Pages

Rabu, 25 Desember 2013

Karjo dan Semir Sepatu

Namanya Karjo. Lengkapnya Lanang Sukarjo. Sebuah nama yang nampaknya terkesan “ndeso” namun menyimpan makna kebersahajaan yang dalam. Entah apa yang difikirkan orang tua nya dulu ketika memberinya nama itu. Semestinya Karjo menanyakan hal itu ketika kecil dulu.

Saat ini Karjo lebih sering melamun dan menyendiri di depan teras kosnya sambil menghabiskan berpuntung-puntung rokok A-Mild. Tidak lupa secangkir kopi hitam menemani saat-saat kontemplatifnya itu.

Semenjak resign dari sebuah Bank swasta 3 minggu lalu, Karjo lebih terlihat seperti mahasiswa yang tak pernah peduli dengan ‘mandi’ daripada disebut sebagai akuntan bank yang setiap paginya harus buru-buru berlari kesana kemari mencari dasi dan semir sepatu.  Teman-teman kosnya selalu memanggilnya “Pak Direktur” dengan busananya yang seperti itu. Diapun lebih terlihat kikuk ketimbang bangga ketika terlontar sebutan itu.

Senin, 09 September 2013

Sebuah Nama, Sebuah Cerita


Mata ini masih juga belum bisa terpejam. Jendela kamar sudah tertutup rapat dan semua perangkat elektronik sudah kumatikan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Namun gambaran peristiwa siang tadi masih saja belum juga membuatku tenang. Gambaran itu masih terbingkai rapi dengan segala detilnya. Aku tidak sengaja bertemu mata dengan dia di toko tadi. Sebagai seorang manager fashion store di sebuah mall, sudah selayaknya aku memperhatikan siapa saja yang keluar masuk toko. 3 tahun berprofesi ini, tidak pernah sekalipun kualitas profesionalisme ku menurun. Hingga kejadian siang tadi... 
 

Aku seperti orang bodoh yang terperangah tanpa mampu berkata-kata ketika wanita itu berjalan memasuki toko. Perawakannya sedang semampai berbalut hijab dari ujung rambut hingga ujung kaki. Saya jadi teringat sosok ustadzah Qanita di sinetron ayat-ayat cinta. Kacamatanya yang tipis dan bening itu menambah kesan “smart” dan “terpelajar”. Terlihat sekali sebuah kesederhanaan dan kebersahajaan ketika senyum itu terkembang tepat dihadapanku. “Selamat siang pak. Saya sedang mencari jilbab untuk saudari saya. Mungkin mas ada rekomendasi?”, kata-kata itu seperti sebuah pedang yang dihunus oleh sayyidina Umar ketika hendak membangunkan kesadaaran para prajurit yang hendak bertempur di perang Khandaq. Seketika ketakjubanku pada makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah ini langsung mengabur. Aku terbangun dari semua itu. “eh, mmm.. anu... iya mbak. Ada, banyak kok yang mbak bisa pilih. Modelnya juga ada beberapa macam. Ma.... mari sini saya antar”, dengan retorika yang terbata-bata sembari berjalan menuju display, aku berusaha keras mengembalikan serpihan-serpihan kesadaranku yang sempat menghilang beberapa detik yang lalu.