Pages

Minggu, 17 Agustus 2014

Cinta Monyet



Namanya Grace. Lengkapnya Anastasya Grace Widjaja. Aku bertemu dia belasan tahun silam. Tepatnya ketika aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tak jelas kenapa aku sering terpancing untuk memperhatikannya kala itu. Bagi seorang anak bawang sepertiku, masih sulit mengartikan kata suka atau simpatik. Yang kutau, melihatnya bermain kelereng saja sudah membuatku senang. Kakakku bilang, waktu itu aku masih bocah monyet (u know, it’s a personal phrase yang artinya kurang lebih; anak bau kencur yang sedang meraba-meraba makna suka. Baca: cinta monyet). Masih tampak jelas, dia selalu berada di barisan paling depan tiap kali jalan bareng gengnya. Dia yang paling sering bercerita ketimbang mendengar cerita. Entah harus berapa kali teman-temannya itu mendengar cerita fiksinya, tapi pernah sekali aku mencuri dengar dan kutau bahwa satu kali duduk saja dia bisa bercerita 3 atau 4 fabel sekaligus. Nampaknya dia memang berbakat menjadi pendongeng. Salah satu cerita favorit karangannya adalah cerita tentang putri kerajaan yang dibuang oleh ibu tirinya dan diselamatkan oleh segerombolan binatang. Ia tumbuh dan besar bersama binatang itu hingga akhirnya bisa saling berkomunikasi. Akhir ceritanya adalah, sang putri, dengan bantuan teman binatangnya,   menemukan cinta sejatinya, seorang pangeran tampan yang mengendarai kuda putih. Setiap ceritanya selalu ada sisi magis. Iya, seperti aku yang selalu terkena daya itu, terhipnotis oleh tiap kata-katanya, ceritanya, ah mungkin lebih tepatnya suaranya.