Ada yang mengatakan, hal itu terjadi karena penggaris kayu yang ada di tangannya bisa saja melayang ke arah kepala atau punggung siapa saja yang berani merusak suasana mengajar. Ada yang mengatakan itu ‘killer’, namun saya lebih memilih menyebutnya ‘idealis’. Sebuah budaya mengajar yang ‘sepenuh hati’.Orang-orang pada masa itu, rutinitas kesehariannya masih sangat tertata. Orang tua mencari penghasilan, anak belajar. Politisi, fokus pada bagaimana membangun politik yang beradab dan mencerdaskan rakyat, para ahli terus memproduksi hipotesa yang berguna untuk membangun bangsa, dan para guru tentunya bekerja keras pada bagaimana caranya mencerdaskan rakyat dari level yang paling dasar hingga tingkat akhir (SD-SMA) hingga mampu menjadi tolok ukur kesuksesan suatu bangsa. Pada dasarnya, mereka sadar betul bahwa kunci kemandirian suatu bangsa itu terletak pada generasi mudanya. Bahkan tanpa harus memiliki titel berawalan huruf S atau M atau tanpa memiliki sertifikat dengan standar nilai tertentupun, para guru pada masa itu sudah tahu bahwa peluh keringat mereka baik di kelas maupun di luar kelas itu adalah sebenar-benarnya penentu laju zaman. Karenanya, mereka secara ikhlas telah mendedikasikan dirinya untuk negara dan bangsa. Jika tidak percaya silahkan tanya pada siapa saja yang pernah hidup pada masa pasca kemerdekaan dulu. Bagaimana para guru bekerja keras membuat siswa menjadi cerdas. Saya kira semua sudah sepakat di tingkat ini.
Lalu bagaimana kondisi siswanya? Melihat ilustrasi di awal tadi, sudah jelas betapa patuh dan disiplinnya murid-murid pada masa itu. Kenapa hal itu bisa demikian? Saya rasa hanya ada dua jawaban untuk pertanyaan dengan konteks itu. Satu, kesadaran guru dalam mencerdaskan rakyat sangat tinggi (Semangat orang yang baru saja merdeka, tentu lebih besar daripada orang yang sudah mendapatkan segalanya). Kedua, tata sosialnya masih sederhana. Belum ada komputer, handphone, notebook, internet, kamera multimedia, PDA, iPad, apalagi TV Plasma. Sehingga kegiatan hidupnya masih berbanding lurus dengan tujuan hidupnya. Sekarang, siapa saja bisa menjadi begitu canggih dan futuristik. Dunia menjadi begitu kecil dengan adanya produk-produk teknologi yang saya sebutkan tadi. Banyak yang masuk dan keluar dalam komunikasi yang terjadi antara pengguna dan yang digunakan (baca: gadget). Sayangnya, untuk anak-anak usia pelajar, lebih banyak hal yang masuk daripada yang dikeluarkan. Kita sangat-sangat tahu, betapa orang-orang korporasi di luar sana sangat mengerti bahwa sasaran pasar paling potensial adalah anak-anak usia sekolah. Semua dikomunikasikan melalui berbagai media. Fashion, life style, gaya bahasa gaul, slang, fast food, entertainment, yang mana kesemuanya itu selalu bersumber dari distorsi mediasi yang dilakukan oleh pihak yang sangat bertentangan budaya dengan kita, pihak Barat. Kita juga sadar betul, bahwa mereka tidak pernah peduli terhadap nilai-nilai moral, budaya ketimuran, apalagi akhlak! Itu sudah rahasia umum.
Lalu
apakah memang hanya topik-topik itu yang mereka cari? Tentu tidak, namun remaja
cenderung ingin mengkonsumsi hal-hal praktis dan ringan di luar jam-jam
sekolah. Semakin maju zaman, semakin banyak tuntutan dari sekolah yang membuat
mereka enggan menerima hal-hal berat di luar jam pelajaran. Jadi, mayoritas
konten cyber space yang mereka cari
adalah yang berhubungan dengan hal-hal
tadi. Jelas sekali bahwa fenomena dunia remaja yang sering kita prihatinkan
sekarang ini adalah bersumber dari itu. Untuk membuktikannya, tidak usah
jauh-jauh hingga membuka blog gaulatau melihat peringkat daftar lagu di
iTunes.com. Cukup tanyakan pada diri anda sendiri, apakah ada satu saja
tayangan di televisi saat ini yang mendidik?!
Nah
perbedaan kita dengan guru-guru pada masa lalu terletak pada titik ini. Ketika
masih sadar bahwa mereka masih memiliki musuh pasca kemerdekaan yaitu
“Kebodohan” mereka sekuat tenaga mati-matian mencerdaskan anak didiknya.
Sedangkan guru pada masa ini, walaupun sudah sadar memiliki musuh bernama
“globalisasi” belum sepenuhnya dapat melawannya dengan bijak. Bahkan tidak
sedikit pula yang justru turut terjerat olehnya.
Tentang
ini, mari kita tarik garis. MenurutSpencer
Johnson, penulis buku sukses The One
Minute Teacher, guru itu harus memiliki sasaran.
Sedangkan pendidikan sendiri menurut M.
J. Langeveld adalah setiap usaha
yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar
anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Ternyata tugas kita adalah
membuat mereka menjadi dewasa. Luar biasa memang. Dan sasaran pendidikan
menurut Imam al Ghazali adalah
Pendidikan Ruh (agama), Pendidikan Akal, Pendidikan Akhlak (Adab Perilaku),
Pendidikan Jiwa, Pendidikan Fisik dan Pendidikan Sosial Kemasyarakatan (Ihya’ Ulumuddin). Hanya cukup membaca 3
hal tadi saja kita sudah harus berfikir keras, apalagi jika sudah dihadapkan
pada hal-hal administratif rencana
pembelajaran, administrasi penilaian, pendataan profil siswa, dan lain
sebagainya. Maka memang benar kata orang, menjadi guru itu tidak cukup hanya
siap digugu lan ditiru. Tapi juga diburu.
Kaitannya
dengan perkembangan pola keremajaan anak didik kita yang kepribadiannya semakin
kompleks, sebenarnya tidak perlu banyak buku yang harus dibeli atau memaksa
diri membayar mahal seminar-seminar teacher
training untuk dapat menyikapi mereka. Setelah pemaparan diatas, saya rasa
ada baiknya kita mencoba meraba-raba siapa atau lebih tepatnya apa yang sedang
kita hadapi ini
Pertama,
media
globalisasi. Melalui media yang oleh Marshall
McLuhandisebut sebagai global village utamanya Internet, anak
didik dapat mencari apa saja yang mereka inginkan(Understanding Media).
Mindset tersebut lalu membentuk opini bahwa Google lebih hebat dari siapapun.
Termasuk dari guru-guru mereka. Pada dasarnya inilah yang membuat mengapa
mereka lebih respect pada dunia luar daripada jam belajarnya di sekolah. Solusinya,
buatlah diri anda cerdas. Buat siswa anda tercengang-cengang dengan penjelasan
anda yang begitu luas, begitu mencerahkan, dan kaya akan informasi. But how? Simple. Budayakan gemar
membaca.
Kedua,
kondisi
psikologis anak yang labil karena pengaruh berbagai jenis media.
Solusinya, jadilah guru yang mampu berperan sebagai orang tua, teman, bahkan
saudara. Jika paham pepatah jawa amemangun
karyenak tyasing sesama, maka berperan menjadi siapa saja akan otomatis kita
lakukan bila memang itu membuat mereka nyaman di samping kita. Disini,
ketulusan seorang guru menjadi kuncinya.
Ketiga,
struktur
rutinitas kita sekarang menjadi semakin kompleks karena adanya budaya
konsumerisme. Membagi waktu dan menyeimbangkan banyak faktor dalam satu waktu
tentulah sangat sulit karena semua hal nampak penting di mata kita. Termasuk mungkin
update status di facebook. Khusus ini, cukup sadarkan diri kita bahwa kita
perlu berkorban sedikit demi kepentingan anak didik kita, dan ini adalah bentuk
keseriusan kita terhadap upaya memajukan pendidikan dan meluruskan moralitas
generasi muda yang mulai melenceng.
Terakhir,
tidak ada yang instan di dunia ini. Bagi saya, bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai proses. Baik itu proses sejarah, proses perjuangan, dan proses
pembelajaran. Bukan hanya hasil akhirnya saja. Maka berkaca dari guru-guru di
masa lalu, mari belajar ikhlasuntuk berpeluh keringat dalam mendidik dan
membimbing generasi muda bangsa, bukan karena sentimenpencapaian nilai UAN,
bukan demi mendapatkan status RSBI atau SBI, bukan pula untuk mendapatkan
derajat pangkat dan jumlah nominal tunjangan yang lebih. Percayalah, obsesi
buta terhadap hal-hal tersebut hanya akan menyuburkan duna kasta. Maka, mari
kita berlomba-lomba membuat diri kita menjadi layak disebut sebagai Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa. Bukan Pahlawan Tanpa Tanda Terima. Karena sebenarnya, pada
keseriusan gurulah nasib masa depan bangsa itu digantungkan!
0 komentar:
Posting Komentar