Pages

Kamis, 06 Oktober 2011

Perjumpaan Ajaib

Membaca tulisan ini akan memerlukan extra waktu, karena konten yang cukup panjang. Jangan membaca sepotong-sepotong, karena ini bukanlah sinetron bersambung. Ini adalah kisah nyata yang benar-benar saya alami. Tidak ada tendensi apapun dalam penulisan ini. Hanya sekedar sharing dan mencoba membagi visi tentang hikmah yang sudah kudapat darinya. Jika anda punya banyak waktu duduk dan membacanya, silahkan, namun jika anda sedang tergesa-gesa, maka sebaiknya lanjutkan membaca ini hingga nanti anda benar-benar free. Mari...

Malam itu, keadaan sekitar lingkungan kantor tidak seperti biasanya. Semuanya nampak begitu lengang.  Sedari siang tadi aku masih berkutat di depan komputer menyelesaikan tugas yang rasanya tak pernah habis. Satpam yang biasanya menemaniku ngobrol sudah pamit pulang sejak sore karena alasan menonton pertandingan bola. Aku menghela nafas sejenak. Merasakan betapa panjang hariku ini. Tumpukan dokumen dan pesanan klien belum ada separo jalan yang kuselesaikan. Sementara badan rasanya sudah memanggul beban berton-ton di punggung. Aku melihat jam yang terpampang di dinding ruangan. 7.30. “Sepertinya sudah cukup untuk hari ini”, batinku. Hari itu memang hari yang melelahkan. Hari kerja yang biasanya hanya sampai pukul 16.00 saja, sekarang harus memanjang karena tuntutan lembur. Setelah komplain yang kuterima dari klien dan bagian SDM pada saat meeting siang tadi, aku merasa seperti dikejar-kejar tanggung jawab yang memang selama ini sering aku nomor duakan. Dan apa yang aku baru saja terima itu, adalah konsekuensi profesionalisme yang mau tak mau, harus dengan lapang dada kutanggung.
Setelah memastikan semua pintu ditutup dengan benar, kubawa motorku keluar area kantor yang bertempat di wilayah Pedurungan, Semarang Timur ini. “Najwa pasti sudah begitu merindukanku”, aku membatin. Tanpa pikir panjang, segera motorku melaju kencang. Jalanan masih ramai. Berbagai jenis kendaraan beroda lalu lalang menuju peraduannya. Di kiri kanan jalan, nampak toko kelontong dan warung nasi kucingan yang dipadati oleh anak-anak muda dan bapak-bapak yang tampak asyik ngobrol ngalor ngidul. Di daerah pusat kota, lampu-lampu kota sangat terlihat mempesona dengan berbagai bentuk kurva dan bentuknya. Mall-mall itu masih kelihatan berjubel. Night club dan cafe nongkrong mulai dipadati pengunjung yang rata-rata anak muda dengan busana gaul masa kini. Benar-benar kota yang hidup.
90 km/jam. Itu yang baru saja kulihat di speedometer Yamaha Vixionku. Tak terasa aku sudah sampai di daerah Mangkang. Daerah yang belum lama ini memakan puluhan korban jiwa karena banjir bandang yang parah. Sekilas, akupun teringat kengerian yang terjadi pada saat itu. Rumah-rumah habis terendam banjir, kendaraan baik yang beroda 2 maupun beroda 4 banyak yang terjungkal dan rusak karena kejamnya air bah. Aku sejenak berfikir. Betapa beruntungnya aku yang sebelum peristiwa itu terjadi, aku sempat melewatinya dan 2 jam setelahnya, monster air itu datang. Hufh...
Aku kembali menatap jalanan. Malam ini, rasanya ada sesuatu yang lain. Kendaraan yang biasanya melintas padat, nampak jarang sekali yang melewati jalur pantura Semarang-Kendal ini. Malam itu malam Jum’at. Mungkin orang-orang sibuk mengikuti Jami’yah Majelis Tahlil. Jalanan begitu lengang. Hanya ada 1, 2 motor yang membarengiku. Itupun semuanya melaju dengan tergesa-gesa.
“Duuuuoooosshhhhh!!!!” tiba-tiba suara itu mengejutkanku. “Waduh banku pecah!!”, aku terpekik. “Waahh bakal pulang malam bener ini, mana HP low bat lagi, cckk!”, gumamku semakin gusar. Kutengok kiri kanan, tak ada satupun makhluk hidup yang terlihat.  Terpaksa mau tak mau, dengan tubuh sebesar dan sebugar ini, harus mendorong motor yang sekecil ini hingga menemukan sang penyelamat, Tukang Tambal Ban! (stress mode: on). T.T
Aku benar-benar berpeluh keringat. Sementara motorku, enak-enakan saja kudorong. Baju kerja yang kupakai sudah sangat basah karena keringat yang sedari pagi belum hilang, kini harus di mix lagi dengan keringat yang baru saja kuproduksi. Bahkan aku bisa mendengar semut-semut dibawahku ini berkata dengan koor, “Ooo, itu ya yang namanya pabrik keringat?”. Tega benar mereka. Akhirnya, setelah perjalanan yang luar biasa panjang, yaitu sekitar 100 meteran, aku sampai di sebuah pos tambal ban.
Pos ini lebih cocok disebut gubuk reot. Tempatnya terletak persis sebelum selokan besar. Jadi bisa anda bayangkan betapa memuaskannya aroma tubuhku yang sudah sangat sweaty ini bercampur dengan aroma selokan itu. Hmmm...
Seorang pria yang kutaksir berusia 50-an duduk sendiri termangu diatas ranjang bambu beralaskan tikar dengan 1 bantal disana, ia menatap jauh ke depan ketika kehadiranku tiba-tiba mengejutkannya. “Sugeng ndalu pak..” sapaku. “Oh nggih mas pinarak,” sahutnya sopan. Setelah meletakkan motorku dengan posisi double standard, aku segera berlari menuju sebuah warung makan yang nampaknya hanya satu-satunya di situ. Aku sudah tak sabar ingin segera memandikan tenggorokan yang rasanya sudah seperti aspal di tengah jalanan Arab ini. “Teh anget setunggal nggih mas”. Udah tau panas, kenapa mesen teh anget? “Eh maaf mas, ralat. Es teh aja dah”, ujarku melakukan revisi. “Nambalin ban ya mas?” kata penjual yang mirip Leon Lai ini sembari memberikan minuman pesananku. “Iya mas.  Lagi gak mujur nih,” kataku basa basi. Setelah membayar, akupun segera berjalan kembali menuju pos dimana motorku tadi sedang diperiksa.
“Gimana pak?” tanyaku sok care. “Ini njenengan pakenya ring 18 ya? Ini yang parah tambalannya mas. Kalo ini saya tambal, ada kemungkinan besok bisa bocor lagi. Kalo situ mau, saya punya 1 ban bekas IRC bagus. Tak jual cuma 20 ribu wis, “ ujarnya menawarkan. Karena kupikir itu bukan ban baru, maka aku menolak tawarannya. “Sementara ditambal aja dulu deh pak. Besok biar saya belikan yang baru dari dealernya saja,” tolakku kejam. Waktu itu, suasana hatiku masih kesal, sehingga apa yang keluar dari mulutku tidak melalui proses berfikir yang skeptik-analisis, integral-komprehensif, dan futuristik-dinamis (motor kali...). Aku tidak tahu, kalau penolakanku tadi, akan membawaku ke sebuah pengalaman nyata luar biasa yang belum pernah terjadi dalam hidupku, yang sebentar lagi akan kita urai.
Aku meletakkan tas, jaket, dan helm diatas bambu reot milik tukang tambal ban itu. Kaosnya berwarna putih lusuh, celana pendek yang dipakainya menandakan dia tidak pernah peduli dengan udara dingin. Tangannya cukup kekar, jari-jarinya nampak begitu kasar, dan perawakannya setinggi aku. Tipe pekerja keras banget. Ada 1 hal yang aku amati. Bapak ini, tidak berkumis. Tampak sekali kalau dia sering mencukur kumisnya. Ada 1 aspek yang diperhatikan oleh bapak ini yang jarang diperhatikan oleh tukang tambal kebanyakan. ‘Kerapian wajah’.
“Nngg, sendirian pak disini?” aku mulai memberanikan diri membuka percakapan. “Apa anda lihat tadi ada orang lain yang menemani saya disini?” dia balik bertanya sinis. “He he, enggak sih pak” jawabku belepotan. “Saya punya asisten mas. Namanya Charlie. Kata banyak orang sih dia mirip sama anak Band mana gitu. Band Demak apa ya?” katanya heboh. “Wwkk. Iya mungkin pak. Emang bapak gak pernah liat televisi ya kok sampe gak tau?” Tanyaku geli. “Terakhir punya TV sekitar 20 tahun yang lalu mas. Setelahnya, saya selalu lihat TV orang,”. Jawabannya ini membuatku terhenyak kaget. “Pak maaf, bukan maksud saya demikian. Saya hanya bercanda...” ucapku takut membuatnya tersinggung. Setelah membenarkan letak posisi ban ke dalam alat tambalnya, Bapak ini pun duduk mendekatiku. “Ndak pa pa mas. Santai saja. Saya selalu menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain. He he...” kata-katanya ini membuatku sedikit lega. “Sudah lama pak disini?” tanyaku lagi. “Ah enggak mas. Baru beberapa bulan kok.” dia menjawab. Setelahnya, obrolan kamipun ngalor ngidul. Orang ini berbicara tentang dunia tambal menambal, sedangkan aku memposisikan diri sebagai pihak yang aktif bertanya tentang presentasinya itu. Aku bertanya bak petugas yang sedang melakukan interogasi setelah operasi SIM dan STNK. Dari harga pompa angin hingga teknik rahasia menambal, aku tanyakan semua. Bapak tersebut, tampak sangat antusias sekali dalam memberikan penjelasan tentang dunianya ini. Pada awalnya, semua terasa sangat biasa, hingga akhirnya percakapan kami mulai terfokus disini.
“Bapak asli mana pak?”. Mendengar pertanyaan saya ini, wajah yang tadinya cerah mendadak berubah murung. “Saya asli Jogja mas..”. “Sudah lama di Semarang?” tanyaku lagi membabi buta. “Belum lama mas. Saya ini musafir. Musafir yang mencoba mencari air kehidupan di tengah rimba raya ini”. Wuihh!! Sosok yang tiap hari berkutat dengan karet ban bisa berpuitisasi. Aku semakin tertarik dengan bapak ini. “Lho kok bisa begitu pak?” desakku semakin tanpa rikuh lagi. “He he, ngngg.. Saya tidak tahu apakah mas nanti bakal percaya atau tidak jika saya ceritakan.” Kata-kata nya yang mendadak diplomatis semakin membuatku penasaran, tentang siapa sebenarnya sosok misterius dihadapanku ini. “Saya akan coba pak!” jawabku mantap. Setelah menarik nafas panjang, bapak inipun mulai bercerita. “Saya asli Jogjakarta. Saya dulu adalah arkeolog dan sejarawan UGM”. Wwwwhhaaattt!! Yang bener pak?? Selang sekian detik aku sempat bengong mendengar ucapan orang ini. Aku mengumpulkan serpihan serpihan yang kabur dan mencoba berfikir jernih dan mulai memfungsikan nalarku. “Ah orang zaman sekarang, pinter banget ngarang cerita bohong. Eiittss!! Tapi tunggu dulu. Buat apa dia berbohong ke aku. Sangat sedikit kasus yang seperti itu. Lagian, seandainya bapak ini orang awam, tidak mungkin bisa mengarang cerita mengaku menjadi seorang arkeolog. Untuk sekelas tukang tambal, karangannya ini di luar kewajaran,“ aku mulai bergumam sendiri. Setelah sempat terdiam beberapa saat, akupun memantapkan diri; “Baik. Akan ku tes!”


“Wah pak, kebetulan sekali. Saya juga sejarah.” Sindirku memancing. Tampaknya, bapak ini melihat adanya mosi tidak percaya di wajahku. “Silahkan!” tantangnya kemudian. “Pak, boleh tahu, menurut bapak, bagaimanakah fakta Supersemar itu?” tanyaku langsung ke hal yang kontroversif. Wajah bapak ini mendadak berubah serius. “Soeharto itu, cuma satu di dunia ini. Tidak ada presiden manapun yang berani menghapuskan sejarah. Namun Soeharto itu, berani menghapusnya, bahkan kemudian merubahnya. Supersemar itu tidak ada. Saya tegaskan lagi. Tidak ada. Itu hanya karangan komando resimen Cakra Birawa saja. Pemerintahan militer yang dijalankan Soeharto pada faktanya berhasil membuatnya menjadi nyata. Dan orang-orang, baru ribut membicarakannya setelah era reformasi ini. Sebenarnya, kepemimpinan jendral bertangan besi ini tidak berdaya apa-apa bila tidak ada Bu Tien.” Hah?!! Mulutku serasa tersumpal mendengarnya. Terkagum-kagum melihat cara dia berbicara, sekaligus terkejut mendengar konten yang ia bicarakan. “Kenapa Bu Tien?” tanyaku spontan. “Tidak bisa saya katakan sekarang. Ini bukan sembarang rahasia yang begitu saja dapat dibocorkan.” Bapak ini mulai mempermainkan emosi lawan bicaranya. “Baik. Saya tidak akan memaksa. Tapi perkenankan saya bertanya satu kali lagi. Bagaimana asal usul Pasar Johar?”, kalau dia asli Jogja, maka sudah bisa dipastikan dia akan kesulitan memberikan jawabannya. “Johar, diambil dari nama Johairiyah. Istri dari gurunya Pangeran Diponegoro. Kyai Taptajani. Sang guru ini suka berkunjung ke daerah-daerah jajahan Belanda dan mendirikan pondok pesantren di tempat-tempat itu. Salah satunya di Semarang. Di daerah yang sekarang kita kenal dengan Johar itu dulu didirikan banyak pondok pesantren. Inilah yang menjelaskan, kenapa banyak orang keturunan Arab yang bermukim di situ hingga sekarang. Mbah Dimyati Kaliwungu itu, konon masih punya garis santri dari Pangeran Diponegoro. Saya sering menemui mbah Dimyati dan diminta untuk menceritakan bagaimana Babad Tanah Jawa itu, bagaimana masuknya Islam ke Tanah Air itu, kenapa para wali itu harus 9, kenapa gak 30 apa 50 aja biar semakin banyak semakin baik, dll. Nah, kembali ke pokok bahasan, karena jasanya mencerdaskan umat muslim itulah, nama istrinya kemudian diambil sebagai nama daerah yang lalu dikerucutkan oleh Pemda hanya menjadi nama pasar saja. Nasib Pangeran Diponegoro sendiri, tidak sepenuhnya mujur. Beliau itu rendah hati dan sangat alim. Bahkan orang Belanda sampai menyebutnya keterlaluan dalam beribadah. Gelar kebangsawanannya di berikan kepada adiknya dan ia memilih hidup bertafakkur dan berjuang membela negara. Suatu teladan yang hingga kini masih belum sepenuhnya dipraktekkan oleh kyai-kyai kita.”  Penjelasannya ini semakin membuatku sadar tentang siapa sosok yang sedang kutemui sekarang. Tanpa malu-malu lagi aku nyatakan kekagumanku, “Luar biasa. Saya benar-benar terkesima mendengarnya.  Saya beruntung bertemu dengan bapak malam ini. Boleh tahu siapa nama bapak?”. “Tidak usah nama lengkap ya. Panggil saja saya Pak Budi”. Siapapun tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dari ucapannya itu. Dia benar-benar menutup rapat identitasnya. “Lalu, kenapa seorang antropolog dan sejarawan seperti bapak bisa berada disini? Di tempat yang seharusnya bukan untuk bapak tempati?”. “Saya sudah katakan di awal tadi, saya itu musafir mas.” Katanya tersenyum sembari berjalan menuju ban tambalan yang ternyata sudah selesai sejak tadi.
Aku menghela nafas panjang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku masih tidak percaya dengan persepsi-persepsi yang mulai bermunculan di kelenjar otakku. Kulihat, Bapak itu sedang memasukkan ban yang sudah selesai ditambal. Ia kemudian mengisinya dengan angin. “Tujuh ribu mas,” katanya langsung meminta imbalan sekaligus menjelaskan niatnya menutup pembicaraan. “Oh, oh, iya pak. Ini.” Kataku terbata-bata sambil memberikan 2 lembar uang masing-masing 5 ribu dan 2 ribu rupiah. “Nnggg, tapi pak, saya masih ingin ngobrol dengan bapak. Saya sudah terlanjur tertarik dengan anda. Semua yang bapak katakan tadi, telah memaksa saya untuk lebih mengenal bapak. Maaf kalau tidak berkenan. Tapi saya tidak ada pilihan lain” tambahku memberanikan diri. Tak lama setelah menghidupkan rokoknya, beliau menjawab dengan nada merendah, “He he, apa sih yang mas ingin tahu dari bapak. Orang kayak saya ini gak penting mas. Bisa makan sehari sekali aja udah merupakan berkah. Jadi, tidak ada hal menarik dari saya yang harus anda ketahui.”
“Begini pak, hanya malam ini saja. Saya ingin ada keterbukaan di antara kita. Anggap saja kita ditakdirkan untuk ngobrol banyak hari ini. Atau, mau saya belikan kopi sebentar?” aku mencoba menawari kebaikan. “Ah gak usah mas. Saya sudah punya air putih. Ya sudah. Terserah mas saja. Kebetulan saya juga sedang sendiri malam ini. Asisten saya si Charlie ndak tahu nanti datang atau enggak. “ jawabnya melegakan. “Oke pak. Terima kasih. Gini pak, saya terus terang baru saja memutar kepala saya 180%. Jika memang benar bapak ini seorang arkeolog, lantas bagaimana ceritanya kok bisa ada disini?” tanyaku mulai membuka jalan selebar-lebarnya. Dengan sedikit menunduk, bapak itu menjawab “Jalan hidup saya itu panjang mas. Ini sudah menjadi ketetapan-Nya. Saya hanya mencoba sabar dan tawakkal saja. Karena memang hanya itu yang saya bisa. Baik saya akan cerita. Mas boleh memanggil saya pak Budi. Itu nama panggilan saya dari kecil. Dulu, saya adalah pegawai negri pada masa rezim Soeharto. Saya alumni UGM yang kemudian diangkat disana menjadi staf ahli bidang sejarah dan arkeologi. Saya mempunyai seorang istri dan 3 anak. Pekerjaan saya meneliti situs-situs bersejarah dan melakukan penggalian-penggalian  baru mencari sisa-sisa peninggalan nenek moyang di seluruh tanah air. Jika anda tahu berita tentang ditemukannya situs kerajaan Galuh di Ciamis, Jawa Barat, maka itu yang menemukan adalah saya berserta tim. Saya sempat membukukannya. Jika memang masih diterbitkan, maka anda bisa mencari di toko Gramedia Banjarnegara penerbit Intan Pariwara. Nama lengkap saya ada di situ. Lengkap dengan titelnya.” Aku benar-benar tercengang-mendengar penuturannya. Otakku semakin panas sulit mempercayai apa yang barusan kudengar. Pak Budi kemudian berkisah lagi, “Awalnya, semua baik-baik saja. Hingga peristiwa itu terjadi. Pada suatu ketika, saya ditawari oleh seorang sahabat yang juga dosen UGM. Dia kepala staff dinas Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada waktu itu. Dia mendapat proyek dari badan arkeologi Internasional yang berpusat di Singapore untuk meneliti dan melakukan penggalian situs Sambisari yang terdapat di sebelah prambanan. Tanpa pikir panjang saya meng’iya’kan saja ajakan tersebut. Singkat cerita, penggalian candi dilakukan. Dan sisa-sisa candi Sambisari benar-benar ditemukan disana. Sayangnya, baru separo jalan, tiba-tiba teman saya tadi memberikan dana sejumlah Rp 250 juta rupiah kepada istri saya. Ketika itu saya masih di Jakarta. Istri saya bilang, kata teman saya, ini adalah jatah uang buat pak Budi sekeluarga. Waktu itu belum ada handphone. Jadi saya tidak bisa mencegah istri saya pada saat itu. Seminggu setelah penerimaan uang itu, saya tiba-tiba dipanggil oleh Kepala Penelitian Proyek Arkeologi di Singapore. Saya tidak tahu apa-apa, tiba-tiba saya disuruh mempertanggungjawabkan uang yang sudah saya terima tersebut di depan Mahkamah Agung Singapore. Teman saya sendiri menjebak saya. Saya bingung harus memberi pembelaan apa. Dana gelap itu pada akhirnya tidak diminta kembali. Namun, gelar pegawai negeri saya dicopot, dan saya dipecat dengan tidak hormat dari Departemen Arkeologi dan Purbakala UGM. Tidak lama setelahnya, istri saya minta cerai dan hak asuh ada ditangannya. Sekarang, istri saya sukses menjadi pengusaha industri keramik dan perabot rumah di Jogja. Anak-anak saya sudah punya bapak baru yang lebih kaya, lebih ganteng dan lebih baik dari saya.  Sedang saya, nama saya sudah terlanjur jelek. Tidak ada satupun teman yang mau menerima saya. Sudah terlanjur terprovokasi oleh peristiwa di Singapore itu. Saudara, pernah ada yang nawarin kerja, tapi saya sudah terlanjur sulit percaya pada siapapun. Di sisi lain, saya juga tidak menjadi beban orang lain. Akhirnya saya menjalani hidup seperti ini. Menjadi GEMBEL. Hidup berpindah-pindah. Tidur di emperan toko atau di bawah kolong jembatan sudah hal yang biasa saya lakukan. Kumpul dengan preman, wong dalan, adalah keseharian saya. Saya pernah jadi kuli, pernah juga jadi supir truk, pernah juga bekerja menggali pasir, dan sekarang saya ingin fokus menjadi penambal ban. Paling tidak pekerjaan saya ini dapat mengurangi angka kecelakaan. Bukan begitu mas?”.
Aku mengangguk pelan. Hatiku bergetar, kucoba untuk sebisa membendung air mata ini agar tidak bergulir. Ketakjuban terhadap sosok ini, benar-benar telah membuka mataku. Betapa tidak layaknya aku sombong terhadap sesama, betapa bodoh dan kerdilnya aku di depan seorang hamba Allah yang sangat santun ini. Aku menjadi seperti semut di tengah lautan. Aku menerawang jauh di depan sana, dan penglihatanku tak mampu menjangkau apapun. Yang ada hanya rasa takut yang sangat terhadap zat Ilahiah yang terasa sampai ke relung jantung ini.
Setelah mencoba mengendalikan diri, aku melanjutkan perbincangan, “Ya Allah... Saya turut prihatin dengan nasib bapak. Betapa berat ujian yang harus bapak alami. Saya tidak menyangka dipertemukan dengan seorang tholabul ilmi seperti anda. Saya beruntung bisa bertemu dengan anda. Lalu, apakah bapak geram dengan semua ini? Dan kenapa bapak tidak ingin mencoba lagi mendekati sahabat-sahabat bapak dulu dan kembali menggeluti bidang keahlian yang seharusnya?”.
“Ini semua sudah digariskan mas. Saya hanya mencoba untuk selalu bersabar dan “berfikir positif” terhadap ketentuan-ketentuan-Nya. Tugas saya hanya tinggal menjalani hidup ini saja tanpa berkeluh kesah. Karena memang hanya itu yang saya bisa, he he. Tentang kembali ke masa lalu, begini mas, sekarang sudah banyak generasi baru yang lebih pintar dan lebih cerdas di banding saya. Walaupun saya tidak memungkiri bahwa hasil penelitian mereka itu sebenarnya banyak didukung oleh buku-buku dan teori teori analogis Barat ketimbang hasil pemikiran mereka sendiri. Zaman saya dulu belum ada internet mas. Mau baca koran aja susahnya minta ampun. Toko buku masih sangat sedikit. Dan buku yang dijualpun hanya yang sejalan dengan keinginan rezim Orde Baru saja. Jadi, hasil-hasil penelitian benar-benar didasarkan pemikiran sendiri. Peluh keringat sendiri. Bukan dengan budaya “MENJILAT! Tapi mas, saya beruntung. Kini anak saya yang pertama mendapat beasiswa kuliah di UGM jurusan Arkeologi Di Fakultas Ilmu Budaya. Ternyata darah saya masih ada yang menuruni, he he”. Aku semakin serius menyimak. Pak Budi mulai terlihat bersemangat bercerita.
“Oke pak saya bisa mengerti situasi Bapak. Mmm, ngomong-ngomong boleh saya tanya-tanya lagi?” aku semakin terpancing. “Silahkan.” Jawab beliau santun.
“Apakah anda sebagai seorang arkeologi, pernah menemukan sesuatu yang istimewa yang sampai hari ini masih anda simpan?” tanyaku semakin tidak sopan. “He he, saya tahu pasti mas akan bertanya begitu. Oke saya jawab. Terus terang, iya! Saya masih menyimpan beberapa sisa-sisa sejarah yang saya berani mengatakan, bahkan badan arkeologi nasional tidak tentang hal ini. Ada serat suluk dari kerajaan Majapahit, peninggalan kitab Kawi dari daerah makamnya Siti Maemunah binti Maemun, serat lodhang, manuskrip asli Mpu Sendok dari Jawa Timur, dan lain sebagainya. Ada juga satu manuskrip kuno yang ditulis oleh Kebo Ijo, yang bercerita tentang kebengisan penjajah, dan masih ada beberapa batu perang dan alat-alat kuno yang saya simpan. Semuanya menyimpan misteri rahasia alam Nusantara ini.”  “Wuih!! Nngeri thokk” aku terpekik! “Tapi kenapa Bapak masih menyimpannya? Bukankah seharusnya akan lebih baik jika diserahkan pada pihak Museum atau Badan Arkeologi Nasional?” aku semakin memperuncing pembahasan. “Tentu semua akan berfikir demikian. Tapi saya tahu sebenar-benarnya, apa yang terjadi di dalam badan pemerintahan kita. Penjajahan sebenarnya tidak pernah berhenti. Sejumlah kerjasama dengan pihak asing dilakukan. Kita dibuai oleh proyek-proyek milyaran rupiah, namun harus mau menjual harga diri bangsa kepada mereka. Mereka minta imbalan bukti sejarah kita. Mereka mempelajarinya, untuk menghancurkan kita. Karakter asli bangsa kita sebenarnya sangat agung. Saking begitu agungnya, sampai sampai antek-antek Amerika rela tinggal di indonesia berlama-lama untuk mempelajari budaya dan historisitas bangsa kita. Banyak peninggalan purbakala kita yang dicuri mereka. Bahkan kitab asli Wedhatama itu, sekarang berada di Belanda. Begitu juga halnya dengan bukti-bukti sejarah kita yang lain. Nah, saya, tidak ingin hal itu terjadi pada penemuan saya. Pernah saya ditawari oleh teman arkeolog saya yang dulu pernah rekanan dengan saya. Dia menawarkan sejumlah uang yang jumlah nolnya saja bisa digabung menjadi sosis. Dia ingin membeli penemuan saya. Kontan saja saya menolak. Sampai akhirnya saya lari pontang panting menjadi bulan-bulanannya dan timnya. Tapi sekarang aku sudah tidak mendengar kabarnya lagi. Saya tidak mau giyah mas. Saya sedang menunggu waktu, kapan akan memberikan harta karun harta karun tersebut kepada dia ‘Sang Pemimpin’ nanti. “ Aku semakin kagum dengan sosok didepanku ini. Ia bahkan memgang teguh kepercayaan eksotis yang hanya dianggap kabar angin saja oleh sebagian orang. Aku melanjutkan percakapan, “Luar biasa pak Budi ini. Tapi bolehkah saya tahu, siapakah yang anda maksud dengan “Sang Pemimpin” ini?”. Setelah satu hisapan rokonya, beliau menjawab tenang, “dalam budaya Hindhu-Budha ada istilah “begawan”. Dalam budaya Nasrani ada sang Mesiah, atau juru selamat. Dalam Islam, ada Imam Mahdi. Dan dalam ilmu Jawa kuno, ada istilah “Satrio Piningit”. Inilah yang saya maksud dengan Sang Pemimpin. Pada eranya nanti, dia akan berani manghalau intervensi asing, dan akan mampu membangun negri secara mandiri. Soekarno, pernah mencoba menjadi Satrio Piningit. Tapi ternyata, bukan dia orangnya.” “Hahh!! Yang bener pak. Saya kok masih sulit percaya ya.”Iya mas, kebanyakan memang begitu. Namun tidak ada yang tidak mungkin dalam arkeologi.” Katanya meyakinkan. “Whaatt?? This is unbelievable. He says like he was a god.” Batinku bergolak. Aku semakin menyadari bahwa perjumpaan ini bukanlah mimpi, namun nyata senyata-nyatanya. .....
Pak Budi melanjutkan pembahasan, “Kerajaan Singosari runtuh pada tahun 1292. Ken Arok telah merebut Kerajaan ini dari Tunggul Ametung dan mempersunting istrinya, Ken Dedes. Sebelum berkuasa ia pernah meminta keris dari Mpu Gandring, gurunya sendiri. Ketika ditanya untuk apa keris itu, ia mengaku bahwa keris itu akan digunakan untuk membunuh. Mpu Gandring spontan mengurungkan niat untuk memberikan keris sakti tersebut ke tangan Ken Arok. Ken Arok kalap. Keris direbut dan di tes kesaktiannya dengan membunuh sang Mpu sendiri. Sebelum mati, Mpu  Gandring mengutuknya. Keris itu akan membunuh 7 generasi penerus Ken Arok. Dan benarlah. Setelah mempersunting Ken Dedes, belasan tahun kemudian, Ken Arok dibunuh oleh anaknya sendiri, menggunakan keris yang sama. Begitu seterusnya, para penguasa setelahnya, mati satu persatu menggunakan keris yang sama. Sampai akhirnya pada era Raja Kertanegara. Pemerintahannya diberontak oleh Jayakatwang yang sudah pro Kerajaan Mongol Kubilai Khan. Setelah Singosari runtuh, muncullah Kerajaan Majapahit menggantikannya. Keris itu akhirnya menjadi legenda paling bersejarah sampai sekarang. Walaupun belum ada yang mengaku menyimpannya, namun menurut penelitian manuskrip kuno dan penelitian peninggalan dari masa Singosari hingga era Majapahit, ditemukan sebuah formula yang sangat kebetulan. Singasari runtuh di tahun yang berangka akhir 2. Majapahit juga demikian. Ini bukan suatu kebetulan. Ada semacam formula sejarah yang hidup dan menjadi penentu kehidupan di tiap masa. Ini bukan rekayasa atau karangan saya lho mas, ini benar-benar ditemukan. Saya tidak berani mengada-ada ketika berbicara tentang sejarah.” Aku mencoba mengikuti arah pembicaraan, “Iya pak saya paham. Jadi bagaimana kemudian?” Pak Budi memberikan pernyataannya, “Jadi, semua berakhir pada tahun berangka akhir 2 dan setelah generasi ke tujuh. Dari Ken Arok hingga Kertanegara adalah 7 turunan. Dari Raden Wijaya sampai Hayam Wuruk, juga 7 generasi. Sekarang, dari Soekarno hingga rezim terakhir ini, sudah 6. Tinggal 1 penentu lagi. Yaitu pemilu 2012! Saya tidak berani memprediksi, setelah itu pergolakan besar apa lagi yang akan terjadi”. Gleekkk!! Aku menelan ludah sebagai penahan keterkejutanku. Ti.. ti... tidak mungkin. Jika benar apa yang dikatakan beliau ini, maka umur pemerintahan Indonesia, hanya tinggal membaca nomor-nomor di kalender saja. Meuncul sebuah tesis di ranah otak kananku; “kemungkinan besar, jika tidak berpindah kekuasaan ke tangan asing, berarti, kemungkinan yang muncul adalah Satrio Piningit tadi. Ah... gak.. aku gak boleh asal berasumsi dan langsung mempercayainya begitu saja. Pokoknya kudoakan, semoga NKRI tetap utuh dan damai tanpa ada coup’ de etat seperti yang kutakutkan (sambil membayangkan tampilan-tampilan berita di TV).”  Aku semakin ciut nyali membayangkan masa depan negara ber-Garuda Pancasila yang mulai diragukan ke-sakti-annya itu kini.
Sedang asyik-asyiknya ngobrol pedagang warung yang mirip Leon Lai tadi mendekati kami. “Lagi serius ya beh?” Tanya nya basa basi ke pak Budi. Yang ditanya hanya tersenyum. Eh tunggu sebentar, ini adalah peluangku untuk bertanya pada si Leon Lai ini. “Eh mas, njenengan sudah tahu bapak ini siapa?”. “Iya mas, saya sudah tahu. Sayang, saya bukan teman mengobrol yang baik jika diajak bicara tentang sejarah. Awalnya, saya hanya melihat tulisan biodata Pak Budi sebelum mendirikan tambal ban ini. Saya terkejut melihat tulisan tangannya yang begitu rapid an indah. Saya berfikir bahwa itu bukan tulisan dari tangan orang biasa. Apalagi untuk sekelas penambal ban. Itu tulisan yang sangat istimewa. Jadi mas, tulisannya itu bagus seperti guru-guru kawak (jaman dulu) itu lho. Saya kemudian bertanya-tanya, dan akhirnya dia mengaku” ungkap si Leon Lai. “Iya mas, bapak Budi ini adalah harta karun yang belum ditemukan” celotehku semakin ngawur. Menyikapi ucapan Leon Lai tadi, aku semakin mantap dan yakin bahwa hari ini adalah hari keberuntunganku bertemu dengan Pak Budi.
Seorang laki-laki lain, tiba-tiba turun dari angkot omprengan. “Eh, sini Charlie! Ini dia mas asisten saya. Charlie namanya. Pernah lihat gak mas?” canda pak Budi. Aku segera menoleh dan kaget bukan kepalang melihat Charlie ST 12 berdiri dengan gagahnya dihadapanku. Seandainya sempat, ingin rasanya aku berlari, memeluk, dan meminta tanda tangannya. Untung saja aku segera tersadar dari lamunanku akibat kelelahan ini. Tapi, aku benar-benar surprise dengan kemiripan wajah asisten Pak Budi ini dengan si Charlie ST 12. Seandainya ada warrtawan Insert saat itu, mereka pasti akanmemberitakan kumpulan orang disitu dengan redaksional begini; “Terjadi perjumpaan unik antara seorang arkeolog, Leon Lai, Charlie ST 12, dan Ahghan!”. Kenapa semua yang ada malam ini begitu menarik ya… J
“Sudah lama mas?” kata si Charlie membuyarkan lamunan gilaku. “Oh lumayan mas..” jawabku sambil senyum-senyum sendiri.
Semenit kemudian, Charlie dan Leon Lai mengambil tempat sendiri menjauh dari tempatku duduik bersama Pak Budi. Sepertinya mereka berdua tahu, kenapa aku berlama-lama di pos tambal ini. Diam-diam akupun berterima kasih kepada mereka.
Heningnya suasana malam, semakin mendukung perbincangan kami. Obrolan sejarah dan arkeologipun terus bergulir. Banyak sejumlah nama-nama dan tokoh-tokoh sejarah yang disebutkannya. Tidak sedikit pula pernyataan pak Budi yang cocok dan relevan dengan buku “Api Sejarah” karangan Ahmad Mansur Suryanegara yang ada di laci buku rumahku. Pak Budi juga sempat bercerita tentang persahabatannya dengan S.H. Mintardja sang penulis kisah "Api di Bukit Menoreh" yang ketika aku SD buku tersebut selalu ada di meja ruang tamuku setelah malamnya di baca oleh mendiang kakekku. Dia bercerita bagaimana S.H. Mintardja menulis buku di tengah-tengah makan malamnya di warung angkringan (nasi kucing) di pinggir jalan. Kemudian ia juga bercerita tentang kecocokannya dengan penulis ini jika sedang mengobrol tentang sejarah. percakapan, kemudian mengalir kembali ke ngarai sejarah nasionalistik. Dan aku sendiri, semakin kritis menanggapi. Setelah beberapa menit, kepalaku terasa semakin sesak karena penuh dengan pertanyaan-pertanyaan sekaligus dipenuhi kebingungan saking banyaknya kisah penemuan cerita sejarah yang terus menerus dikemukakan oleh arkeolog di depanku ini. Salah satunya kisah jujurnya tentang isu-isu Islam. Dia berkisah; “Saya tertawa ketika melihat berita di koran tentang si Panji Gumilang. Saya tahu sekali busuknya dan aslinya si Panji itu seperti apa, tapi saya tidak mau membeberkan. Nanti dikira tukang tambal ban cari sensasi lagi he he. Dulu itu ada istilah pondok Gontor dan pondok Gantar. Gontor pondok beneran di jawa Timur, sedang Gantar adalah nama desa yang sekarang dibuat berdirinya Al Zaitun itu. Kalo itu sih, cuma pondok-pondokan. He he.” Aku terperanjat, “yang bener pak, kalo begitu yang diduga oleh banyak orang itu memang benar”. “Nanti pada saatnya kedok si Panji akan terbuka sendiri. Tinggal tunggu waktu saja,” katanya mulai memberi batasan. Aku hanya mengagguk-angguk saja. Dia melanjutkan jalan cerita; “Ada lagi mas, tentangKyai Achmad Dahlan itu sebenarnya juga kasihan. Dia itu, niatnya sebenarnya mau belajar di Baghdad, Irak, sama seorang kyai Internasional. Tapi ternyata, pesawat yang ditumpanginya berganti arah dan mendarat di Arab. Nah, akhirnya Kyai Ahmad Dahlan belajar teologi sama ulama Wahabi. Jadilah Muhammadiyah itu yang 180 derajat berbeda dari ajaran para Wali Songo dulu. Terus, tentang Ahmadiyah mas. Saya sebenarnya tahu siapa manusia pertama yang membawa ajaran itu ke Indonesia. Dia aktivis politik juga di era Soekarno dulu. Khusus tentang cerita ini, saya pernah bercerita kepada seorang mahasiswa. Ternyata apa yang saya katakan, dia catat semua. Pada suatu ketika, terjadi bentrok Jakarta antara Ahmadiyah dan apa itu namanya, organisasi Pancailais pokoknya. Nah, setelah 1 minggu insiden terjadi, bengkel saya tiba-tiba didatangi beberapa orang Ahmadiyah, beberapa anggota TNI, dan LSM. Yang saya kaget, ternyata yang membawa mereka adalah si mahasiswa tadi. Waduh... Pusing saya. Mereka tanya macem-macem. Saya hanya mengaku kalau saya hanya tahu dari membaca buku saja. Saya bilang kalau saya hanya tukang tambal biasa saja. Akhirnya mereka pergi. Pernah juga ada beberapa orang aktivis dan jurnalis yang mengetahui identitas saya dari saudara, mereka mencari saya, bertanya-tanya tentang banyak hal yang berkaitan dengan sejarah. Termasuk isu harta karun Soekarno yang ditemukan oleh kader-kader Bu Mega dulu, juga tentang kebenaran isu serangan Ninja. Nah, saya seperti berdiri di antara 2 mata pisau. Di satu sisi saya harus memberikan kebenaran, namun disisi lain saya ingin hidup tenang. Akhirnya saya memilih opsi yang ke 2. Saya tahu mereka akan membukukan semua pernyataan saya, dan akan menuding saya jika ada hal yang harus dipertanggungjawabkan dari buku itu terhadap publik dan pers. Ketika tahu saya menolak, akhirnya mereka menawari saya sejumlah uang ber jut-jut. Saya langsung tertawa keras sekali saat itu. Saya spontan berkata ke mereka; ‘Saya pernah hampir mati gara-gara uang segede gitu mas. Saya gak mau itu terulang lagi’. Akhirnya merekapun bisa mengerti dan meninggalkan saya. Setelah kedatangan mereka dan orang-orang asing lainnya, saya kemudian pergi pindah di tempat yang lebih aman. Sampai akhirnya bertemu anda di sini ini mas. He he...”. Aku semakin terpukau. Mungkin wajahku yang terbengong-bengong akan tampak jelek sekali jika berkaca saat itu. “Mmm pak, saya jadi penasaran nih sekarang. Hanya sama saya saja wis pak. Apakah memang benar isu-isu yang mereka tanyakan tersebut?”. Aku bertanya penuh harap. Sembari tersenyum, beliau kembali bercerita; “Baik. Yang pertama, tentang harta karun Soekarno itu, memang benar adanya. Tapi bukan yang ditemukan oleh kader-kader Banteng itu. Itu hanya bagian politik Bu Mega, agar ia terpilih kembali pada periode mendatang. Harta karun itu benar-benar ada dan berjumlah sangat besar. Sebagian di Indonesia, sebagian lagi di luar negri. Soekarno punya sahabat, dan ia telah memberi mereka wasiat untuk menjaganya hingga tiba waktu yang ditentukan berdasarkan formula di atas tadi. Tapi, tentang siapa dan dimana harta ini disimpan, saya tidak bisa mengatakanya. Lalu yang kedua, tentang isu Ninja di awal reformasi dulu itu, sebenarnya hanyalah apus-apus (tipuan rekayasa) si Prabowo saja. Ada motif politik di balik semua itu. Jika pada saat itu ada yang terbunuh, maka dia adalah seorang dukun santet di mana ya.. kalau gak salah di Kediri, yang dibunuh oleh massa di sana. Kasus itulah yang diangkat dan diisukan sebagai Ninja. Saya gak tau, betapa pintarnya orang Indonesia sampai bisa dibodohi seperti itu. Tentang Ninja sebenarnya sudah lama tidak ada. Di Jepang agen mata-mata Pemerintah yang disebut Ninja itu, sudah dihapus dan dibubarkan organisasinya karena dianggap organisasi terlarang yang berpotensi membelot, pada pertengahan abad ke 17. “ Mendengar penjelasan ini, aku merasa malu bukan main karena merasa terbodohi oleh isu yang sama sekali tidak pernah terbukti. Benar-benar pintar bangsa ini ya.. Huft...
Setelah beberapa obrolan, aku menengok jam di handphoneku. 10.30. Wah gawatt!!! Bisa jadi samsak hidup buat istriku nih. Dengan segala kerendahan hati, akupun pamit mengundurkan diri. Tapi sebelum itu, aku sempat memberi 1 pertanyaan terakhir; “Pak, saya dulu pernah dengar, sebelum Soekarno Lengser Keprabon, dia sudah tahu kalo dia akan digulingkan oleh orang kepercayaannya sendiri. Soeharto. Nah, pada saat itu, Soekarno sebenarnya pernah bertanya kepada guru spiritualnya, apakah harus membalas dendam dan menghabisi Soeharto beserta seluruh antek-anteknya, ataukan didiamkan saja. Nah para sesepuh, menyuruh Soekarno untuk mendiamkan saja. Kata mereka; ’Biar rakyat sendiri yang menghukumnya nanti’. Apakah benar begitu adanya pak?”
Beliau menjawab; “Iya, benar sekali. Soekarno, adalah sosok pribumi yang keberadaannya telah mengancam dunia Internasional. Dia memiliki darah ksatria dari Majapahit. Statemen-statemennya selalu membuat ngeri orang-orang Sekutu dan antek-anteknya. Maka, diciptakanlah boneka Soeharto oleh Amerika. Mereka memang berhasil menancapkan kukunya melalui Soeharto. Soeharto manut-manut saja ketika dianjurkan korupsi. Amerika tahu, pribumi “munggah bale” itu akan sangat mudah terpedaya oleh Harto, Tahto, lan Wanito. Ketiga hal itu juga yang akhirnya membunuh Soeharto. Mengenai guru spiritual, jelas Soeharto tidak ada apa-apanya dibanding Soekarno. Soeharto itu, tidak pernah berani menatap mata Soekarno jika sedang bicara serius. Soekarno guru spiritualnya adalah ulama, sesepuh Jawa, dan para alim yang sudah mendunia. Guru Soekarno bukan hanya orang Indonesia. Banyak ulama Timur Tengah yang menjadi gurunya. Sedang Soeharto, dia hanya mengandalkan dukun-dukun pribumi yang lebih bisa disebut sebagai dukun Paganis daripada orang yang beragama. Saya punya kitab aslinya Muhammad Iqbal. Pemikirannya persis sekali dengan kritisisme Soekarno terhadap neo-kolonialisme. Saya tidak pernah berhenti untuk kagum terhadap beliau...”. “Mmmm gitu ya pak, tapi maaf pak. Kalau boleh saya tahu, apakah Bapak selalu terbuka seperti ini terhadap customer Bapak?” tanyaku. “Beliau menjawab, “Oh enggak mas, baru sama njenengan ini saja. Kebanyakan teman saya tidak ada yang tertarik dengan obrolan seperti ini. Saya juga tidak akan bersuara jika tidak dipancing. Lagipula, saya tahu kok, kapan saya boleh berbicara dengan orang lain, dan kapan saya benar-benar harus menjadi pendiam”. Sebuah jawaban yang dalam yang semakin membuatku simpati dan kagum padanya.
Setelah berbasa-basi sebentar, akupun kemudian menutup pembicaraan, dan mohon pamit undur diri sembari menjabat tangan hangat Pak Budi. Kutatap wajahnya. Sebuah senyum persahabatan mengembang disana. Sinar matanya menunjukkan kepuasan hati seseorang setelah puas menumpahkan isi hati dan perasaan yang mungkin telah begitu lama terpenjara dan terkungkung dalam kepalsuan. Kenisbian hidup yang relatif menyiksa batinnya.
Setelah menguluk salam kepada si Charlie dan Leon Lai di sudut pos, akupun pamit undur diri meninggalkan sebuah perjamuan indah yang mungkin telah dicatat dan disaksikan oleh bintang malam dan menjadi buah bibir serius dikalangan dewa-dewa di atas sana…
Sepanjang perjalanan, aku tidak henti-hentinya berfikir tentang pertemuan ajaib yang baru saja kualami. Mungkin ini adalah pengingat, dimana seorang manusia kerdil sepertiku harus mengakui keagungan Tuhan dan hamba-hamba  Nya. Satu hal yang benar-benar bisa kupetik adalah, jangan menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Satu hal yang terus membayangi perasaanku adalah, bagaimana terlukanya hati Pak Budi, dimana ia harus menanggalkan semua atribut hebatnya sebagai seorang arkeolog, dan menjalani hidup miskin tanpa seorangpun yang peduli padanya. Apalagi yang paling menyakitkan menurutku adalah, ketika ia harus menanggung beban menjadi orang lain, tanpa memiliki peluang apapun untuk kembali menuai mimpi-mimpi. Ironis memang… Namun yang lebih membuatku takjub adalah, ketegaran dan ketabahan hatinya. Aku mencoba untuk kembali merenungi, betapa aku sama sekali belum memiliki ketegaran apapun dalam menjalani hidup ini. Bahkan tidak ada secuilpun dari Pak Budi. Aku hanya bisa berkeluh kesah tanpa bisa memaafkan keadaan dan berusaha tabah. Aku tertunduk malu. Seluruh dunia seolah menuding dan berkata padaku; “Seorang pengecut sepertimu tak seharusnya hidup senikmat ini.” Aku menarik nafas panjang sembari terus berkendara menuju peraduan hingga langit nampak semakin gelap.. gelap.. dan gelap…
Hari-hari berikutnya, aku selalu menoleh pos yang beberapa hari sebelumnya sempat aku gunakan untuk menimba ilmu dari seorang kelana bijak. Tapi selalu yang terlihat disana hanyalah si Charlie yang suka sekali menggoyang-goyangkan kepala mendengarkan music dari headphone HP nya. Pernah suatu ketika aku berhenti dan bertanya pada Charlie tentang keberadaan Pak Budi. Namun, Charlie selalu menjawab; “Dia tidak kesini”. Nampaknya, pintu yang awalnya terbuka lebar itu, kini mulai tertutup sedikit demi sedikit hingga waktunya tiba untuk menutup rapat. Aku menyadari bahwa kedekatanku dengan sosok ini nanti, akan beresiko membahayakan nama baiknya. Aku mencoba untuk memakluminya. Hingga kemudian akhirnya aku berfikir, mungkin Tuhan menakdirkan perjumpaan yang singkat tersebut agar aku dapat mengurai hikmah yang ada untuk selamanya.
Hari ini adalah 1 minggunya pertemuan tersebut. Melalui posting ini aku ingin mengajak rekan-rekan pembaca yang budiman untuk terus mengakrabi hidup, melihatnya, merangkulnya, dan bercengkrama dengannya. Mencari tahu, apakah sudah layak kita di sebut manusia yang memanusiakan manusia…
Aku kini berjalan menyusuri koridor gelap kehidupan sembari melihat langit yang pernah kumiliki bersama dia. Sang Begawan sejati, hamba Allah yang berjalan istiqomah di atas keikhlasan dan ketegaran hidup yang bahkan segunung kenikmatanpun tak dapat menggoyahkannya….

0 komentar: