Pages

Selasa, 15 Maret 2011

Perlombaan Yang Indah

Dalam sebuah lomba, yel-yel yang lazim kita kumandangkan adalah "sportif". Dengan sportivitas yang tinggi maka perlombaan akan berjalan dengan "fair" dan penuh tanggung jawab moral. Namun, kini, untuk melengkapi pesonanya nampaknya ada prossa tambahan yang harus diimbuhkan di dalamnya, yakni kata "indah". Kata indah sendiri, merujuk pada suatu dzat yang bersifat memikat, menarik, menakjubkan dan estetis. Keindahan itu, bagaimanapun rupanya tidak hanya membuat siapapun berdecak kagum, namun juga menggugah hati dan nurani untuk bergerak. Bergerak melakukan sesuatu dalam bentuk keindahan yang lain. Tapi, tidak semua orang memandang "keindahan" itu sebagai sesuatu yang "bersinar". Sebagian dari kita justru menganggapnya sebagai sesuatu yang "gelap". Semacam parasit yang perlu dihapus. Tetapi tidak sedikit juga yang  melihatnya sebagai sebuah "peluang". Peluang yang berarti kesempatan untuk memanfaatkan daya pikat yang ada pada kata "indah" itu menjadi semacam aset yang berguna bagi diri sendiri maupun golongan.


Ide subyektif yang pada mulanya berawal dari ketidakmampuan seseorang menafsirkan kata "indah" ini, kemudian mengarahkannya untuk menjadi "awam".  Karena keawamannya ini, ia lalu mengikuti mosi yang bersifat "ikut-ikutan". Digiring ke sana ikut sana, digiring sini ikut sini. Karena keseringannya digiring, maka pemahamannya terhadap kata "indah" kemudian menjadi "samar". Semu belaka. Ia tidak lebih dari sekedar budak kata hatinya sendiri tanpa mampu melihat sisi estetika dari apa yang kita kenal sebagai "mutu". Orang-orang inilah yang sering mendapat predikat "pecundang" dalam setiap perlombaan. Entah itu dalam terminologi yang tersurat, maupun yang tersirat.Namun semua ini, tentu masih dalam tataran konseptual. Mengenai ini, ada baiknya kita lihat pesan Prie GS terhadap anaknya Gibran ketika mengetahui putra kesayangannya itu kalah bertanding: "Kamu boleh kalah dalam lomba, tapi kamu harus menang dalam hidup". Sebuah keberanian yang tak biasa.
Lebih lanjut lagi, jika kita bercakap-cakap perihal lomba, maka akan muncul sederet gambaran lomba di benak kita. Motocross, renang, sepakbola, badminton, karya ilmiah, debat mahasiswa, teater, karya sastra, hingga makan krupuk pada saat 17-an. Namun untuk sejenak, mari kita tinggalkan jenis-jenis perlombaan semacam itu. Sekarang, mari kita mencoba menerawang cakrawala nun jauh di sana untuk melihat sebuah perlombaan hidup yang lain.
Di sebuah mall, nampak orang-orang berjubel berdesak-desakan melihat pameran mobil mewah. Mereka melihat label harga saling mengkalkulasi kocek masing-masing. Menganalisis untung ruginya, atau sekedar bergumam membayangkan betapa gagahnya dia mengendarai mobil itu. Di tempat lain, seorang ibu muda tengah membayar di kasir setelah memesan belasan karung bahan bangunan di sebuah toko. Ia nampak tergesa-gesa, sebab ia harus buru-buru pulang me"mandor"i kuli-kuli yang bekerja membangun bangunan tingkat dan menghias taman dirumahnya.
Inilah abstraksi lomba yang paling banyak terjadi dan diminati. Lomba mengejar kepuasan duniawi. Dan setelah terkejar, mereka akan tertawa senang. Tapi di mata Heraclitos, tawa itu lahir karena “ekstasi”, sebuah perasaan senang yang berasal dari luar), dan bukan lahir dari proses katarsis atau perenungan yang memberi pembaharuan.  Bagi sang filsuf, seharusnya tawa itu lahir melewati proses katarsis, yang timbul dari perenungan yang dalam.
Lomba semacam ini, adalah lomba yang megah. Yang akbar. Yang dimuliakan. Dan dilakukan secara berjamaah hanya semata-mata untuk mendapat pengakuan dunia. Bahkan dapat dikatakan, kebanyakan orang rela berjuang mati-matian untuk memenangkannya. Atau mungkin pandangan manusia tentang semu dan abadi mulai mengabur? Saya jadi teringat ketika  Forrest Gump dinasehati oleh ibunya. "Nak, sebagian besar orang kaya itu, menggunakan uangnya sebesar 20% untuk keperluan hidup, dan selebihnya untuk "gengsi".
Lebih lanjut lagi, panitia dari lomba ini, kata para aktivis dakwah adalah nafsu. Semacam zat adiktif kimiawi yang mampu meledakkan reaksi listrik dalam diri seseorang untuk kemudian menciptakan suatu impresi bahwa hidup haruslah penuh dengan benda-benda.
Mungkin karena hal inilah, perdagangan "barang" cenderung lebih menguntungkan ketimbang perdagangan "jasa". Budaya hidup seperti ini, kemudian membentuk "perilaku konsumerisme". Semua yang menyilaukan mata ingin segera dicaplok saja. "Apapun taruhannya, aku harus memilikinya". Begitu kira-kira niat mereka sebelum terjun ke arena lomba ini. Mungkin ungkapan Goenawan Muhammad berikut yang ditulis di Harian Tempo Juli lalu, cukup mewakili:" Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya adalah kuil-kuil di mana fetisisme komoditas jadi ritual, dan mélik jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya perilaku buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pada akhirnya menggerakkan dunia". Dan di akhir tulisannya, dengan nada sayu di kembali mencoretkan penanya: "Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.…"
Sebuah lomba yang ukuran menangnya dinilai dengan banyaknya jumlah benda-benda yang berkilauan dirumahnya. Benda yang kian hari kian menumpuk itu, pada akhirnya mempengaruhi sang pemilik untuk mengembangkan keindahan materinya. Sehingga rumah-rumah yang awalnya berada pada kategori "sederhana"itu, disulap menjadi istana megah Ratu Bilqis, lengkap dengan burung bul-bulnya.
Kemudian, karena dirasa belum menang, istana-istana itupun dibangun lagi ditempat-tempat lain. Bahkan bila perlu, mengusir suku asli suatu wilayah untuk dapat membuatnya berdiri kokoh terhormat di situ. Tak mau diusir? Panggil saja korps PP. Tak ada yang mustahil bagi mereka, karena uang adalah Tuhan. Bila memungkinkan, sekalian juga mereka beli kebun-kebun dan tanah-tanah lapang milik para pribumi. Karena kini, satu-satunya cara agar mereka tetap berdiri tegak adalah dengan membangun "aset". Sehingga mereka akan mati dengan tenang nantinya, karena mereka yakin anak-cucunya akan bahagia dengan aset-asetnya tersebut. Luar biasa!
Namun sangat kontras dari itu, lomba yang satu ini sungguh berbeda. Orang-orang yang mengikuti perlombaan jenis berikut adalah orang-orang yang berjalan dengan menunduk. Sebuah tipologi manusia yang tidak mau terikat dengan rantai duniawi. Tempat-tempat ibadah adalah rumah kedua mereka. Kehidupan sosialnya sarat dengan keharmonisan. Bagi mereka, miskin, kaya, bukanlah suatu masalah yang perlu diperdebatkan. Senyumnya yang santun terhadap sesama memberikan efek "mekar" bagi lingkungannya. Mutiara kata yang ternukil darinya, tak ubahnya kidung yang menyejukkan dahaga iman.
Seandainyapun ada cemooh yang muncul dari 1, 2 orang terhadap perilaku hidup mereka yang serba sunyi itu, mereka hanya tersenyum lapang dan tak pernah benar-benar menganggapnya. Mereka inilah orang-orang yang "istiqamah" di jalan-Nya. Tak ada sentimen untuk dipahami dan didefinisikan. Sosok-sosok yang percaya bahwa aroma kotor dunia akan hilang seiring dengan angin bersih yang berhembus menerpanya.
Bila gelap tiba, mereka menyendiri menghayati malam. Akal mereka terbang ke awan menyimak perasaan yang sedang melukiskan gambaran, "Bagaimana jika tiba-tiba semua hamparan yang ada di depan mata mereka kini musnah?!" Air mata, menjadi sahabat setia mereka dalam perenungan. Mereka hening dalam sikap kontemplatif. Harapan hanya tertunduk pada langit. Cita-cita hanya dinubuatkan pada kehidupan kekalnya. Dan hanya satu kata yang termaktub di benaknya. Tauhid. Mereka berlari menuju rumah surga, tanpa hijab, tanpa paksaan.
Berlomba-lomba mencari cinta-Nya adalah keindahan yang tak tergantikan baginya. Hatinya tak pernah kekeringan, jiwanya larut dalam kalam-Nya, dan tentu, debu dunia tak mampu menyentuhnya.
Maka dengan mata terpejam, mari kita tentukan, perlombaan model apa yang sebaiknya kita ikuti...

0 komentar: