Pages

Selasa, 15 Maret 2011

Efek Khawatir

Kekhawatiran, terkadang sering muncul tanpa alasan. Hanya karena tidak dipedulikan, atau diabaikan oleh mereka yang biasanya menjadi "penyuplai perhatian", seseorang bisa saja dilanda rasa khawatir yang sangat. Rasa was-was itu, tiba-tiba mencekat leher dan sekujur tubuh beserta segenap persendiannya. Perasaan ini kemudian menjalar naik menerpa otak dan merepresi akal untuk memproduksi spekulasi-spekulasi negatif yang kemudian menciptakan tekanan hebat pada jantung dan memberi efek "gelisah" pada diri seseorang.


Pada dasarnya, munculnya kekhawatiran akan sesuatu  itu wajar. Bahkan dalam beberapa hal justru sangat dianjurkan. Karena dengan kekhawatiran seseorang akan mampu mendayagunakan fungsionalisme nalar untuk berfikir keras dalam menentukan sikap yang terbaik dalam menyiasati berbagai macam kemungkinan yang bakal terjadi.
Namun dalam konteks kepemimpinan dan kebangsaan, kasus kekhawatiran yang berkembang justru telah meloncat jauh dari cangkang porsinya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ia justru berkorelasi dengan proses pencitraan. Dan dalam pemecahannya, tidak ada rumus yang secara eksplisit-signifikan yang mampu secara komprehensif menjelaskan "chemistry" yang tercipta karenanya, termasuk pelbagai  kemungkinan yang menempel padanya. Atau mungkin Einstein dan Freud belum sempat selesai dengan pekerjaannya menganalisa kode-kode empiris untuk fenomena yang satu ini.

Proses pencitraan yang telah lama dibangun oleh seseorang atas nama pribadi atau lembaga yang biasa dikategorikan sebagai "subyek kekhawatiran" itu, akan dengan mudah runtuh hanya dengan "prasangka" sebagai bagian dari proses khawatir tadi.
Sebelum melangkah lebih jauh, coba lihat sejenak analogi sederhana yang sering muncul di sekitar ruang kerja kita. Citra bos kita misalnya. Hanya karena hari ini ia memotong gaji, atau menunda waktu pembayaran upah, spekulasi-spekulasi produktif akan secara otomatis memenuhi benak kita. Kemungkinan-kemungkinan seperti si bos yang sedang marah dengan kinerja kita, nasib perusahaan yang sedang diujung tanduk, alokasi dana yang mulai digerus oleh Top Management, hingga akhirnya kita cukup bernyali untuk menyatakan "Bos sedang belajar korupsi!". Kemunculan ide-ide spekulan tersebut adalah produk hasil olahan kekhawatiran kita sendiri yang muncul secara refleks. Tentu saja presisi statistika dan ramalan Mama Lauren tidak berlaku disini.
Dalam konteks kepahlawanan, tentu saja kekhawatiran acap kali memproduksi sosok-sosok humanis yang selalu gelisah karena rongrongan disfungsi sosial di sepanjang hidupnya. Sebut saja Tan Malaka, Achmad Wahib, Cak Nun, Mas Pram, Rendra, GM, Munir, bahkan Gesang. Mereka tidak pernah melihat porsi. Namun, sangat memperhatikan efek eufimisme dan seni sosial beserta segala kekhasannya yang "menyentuh". Merekalah orang-orang yang rajin "khawatir" dan hobi dengan "keresahan" personal. Pada akhirnya secara sekilas akan terbersit pertanyaan, "akankah ada generasi seperti mereka?". Dan sejenak kitapun membisu.

Terlepas dari segala konteks, dalam lingkup yang lebih luas, kita bisa sejenak melirik kekhawatiran masyarakat nasional terhadap merosotnya citra pemerintah. Kelambanan para pengemban kebijakan, semakin mengguritanya kasus-kasus korupsi, lumpur lapindo yang kini telah terlanjur menjadi tinta sejarah negeri, atau kebingungan mereka terhadap kaitan Merapi, Mbah Maridjan, dan Mak Lampir, adalah sebab-sebab hadirnya "ekstrimisme prasangka" awam dalam menanggapi fenomena-fenomena seputar kebangsaan.
Kekhawatiran massal yang mengerucut menjadi kepastian adalah semakin terhimpitnya ekonomi dan situasi sosial masyarakat serta rakyat yang semakin tidak berdaya melihat polah tingkah para pemimpin dan "figur-figur terpilih bangsa" yang semakin tak jelas arah operasionalnya. Dalam hal ini, mengambil sikap "saling memaklumi" bukanlah formula yang relevan lagi. Maka, adalah pantas bagi kita yang  masih merasa peduli untuk selalu khawatir dan resah dalam setiap renungan...

0 komentar: