Pages

Senin, 09 September 2013

Sebuah Nama, Sebuah Cerita


Mata ini masih juga belum bisa terpejam. Jendela kamar sudah tertutup rapat dan semua perangkat elektronik sudah kumatikan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Namun gambaran peristiwa siang tadi masih saja belum juga membuatku tenang. Gambaran itu masih terbingkai rapi dengan segala detilnya. Aku tidak sengaja bertemu mata dengan dia di toko tadi. Sebagai seorang manager fashion store di sebuah mall, sudah selayaknya aku memperhatikan siapa saja yang keluar masuk toko. 3 tahun berprofesi ini, tidak pernah sekalipun kualitas profesionalisme ku menurun. Hingga kejadian siang tadi... 
 

Aku seperti orang bodoh yang terperangah tanpa mampu berkata-kata ketika wanita itu berjalan memasuki toko. Perawakannya sedang semampai berbalut hijab dari ujung rambut hingga ujung kaki. Saya jadi teringat sosok ustadzah Qanita di sinetron ayat-ayat cinta. Kacamatanya yang tipis dan bening itu menambah kesan “smart” dan “terpelajar”. Terlihat sekali sebuah kesederhanaan dan kebersahajaan ketika senyum itu terkembang tepat dihadapanku. “Selamat siang pak. Saya sedang mencari jilbab untuk saudari saya. Mungkin mas ada rekomendasi?”, kata-kata itu seperti sebuah pedang yang dihunus oleh sayyidina Umar ketika hendak membangunkan kesadaaran para prajurit yang hendak bertempur di perang Khandaq. Seketika ketakjubanku pada makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah ini langsung mengabur. Aku terbangun dari semua itu. “eh, mmm.. anu... iya mbak. Ada, banyak kok yang mbak bisa pilih. Modelnya juga ada beberapa macam. Ma.... mari sini saya antar”, dengan retorika yang terbata-bata sembari berjalan menuju display, aku berusaha keras mengembalikan serpihan-serpihan kesadaranku yang sempat menghilang beberapa detik yang lalu. 


Silahkan...” kataku sembari menunjukkan koleksi yang ada. Tiba-tiba, “Lho mbak Chania, kok ada di sini?”, sebuah suara laki-laki yang ternyata Asep karyawan setiaku itu mengejutkan suasana. “Oh kamu sep, kamu bekerja di sini ya?” tanya wanita yang ternyata bernama Chania ini. “Iya mbak, sudah hampir 2 tahun lho,” timpal Asep. Lelaki berusia 23 tahun ini adalah salah satu karyawan berprestasi dan bisa dikatakan dia adalah anak emas saya ditoko ini. Selain wajahnya yang rupawan, loyalitas dan kredibilitasnya, tidak pernah saya ragukan. “Lho sudah saling kenal ya?” tanyaku penasaran. “Pak Rio, mbak Chania ini adalah sepupu saya. Dia baru pulang dari Kediri dan sekarang sudah tinggal di Semarang.” Chania nampak tersenyum-senyum dijadikan bahan pembicaraan 2 pria yang berdiri mengapit dirinya seperti itu. Mungkin bagi beberapa wanita, situasi seperti demikian adalah anugrah. Dia kemudian menyahut, “Iya pak, Asep ini masih saudara saya. Tapi saya tidak tahu kalau dia bekerja di sini.” “Oh begitu ya, kebetulan sekali... Mungkin biar lebih santai, biar Asep saja yang menemani mbak. Dia paling pintar kalau suruh mengurus fashion wanita. Kalau ada yang bisa saya bantu, kamu tahu kan sep, harus ke ruang mana? He he...”. kataku ke Asep sambil nyengir... “Beres pak...” sahut Asep. Setelah kemudian saya meninggalkan mereka, ada suatu perasaan aneh yang menjalar di dada ini. Aku terus memandangi mereka dari jauh, namun perhatianku lebih tertuju pada Chania ketimbang memperhatikan transaksi jual beli yang terjadi di antara mereka. Hingga kemudian pemandangan itu berakhir di kasir, dan Asep melambaikan tangannya pada wanita berjilbab itu yang hampir selama 30 menit menyita perhatian dan membuatku berkeringat. Entah siapa dia, dan apa ini, aku tak peduli...


Theme Song: Kenny Loggins; “For The First Time” (lihat video)

Lirik:

For the first time

I am looking in your eyes

For the first time

I am seeing who you are

Can’t believe how much I see

When you’re looking back at me

Now I understand what love is…

Love is…
 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kkkrrriiinnggg!!! Jam wekerku berbunyi. “Oh shiitt! Sudah jam 8 ?!!” teriakku. Aku bergegas berlari menuju kamar mandi mengingat satu jam dari sekarang, toko sudah harus beroperasi kembali dan itu berarti aku harus memulai lagi hariku yang selalu berulang-ulang seperti hari-hari kemarin. Satu aktivitas yang sebetulnya membosankan, namun aku tak ada pilihan lain. 
 
Mobilku melaju dengan kencang begitu berada di jalur aman. Untuk ukuran Grand Livina, mobil ini jarang terlambat mengantarkan tuannya, walaupun kalah di start. Aku masih tidak habis pikir dengan apa yang terjadi malam tadi. Semuanya seperti kisah 1001 malam yang habis dibaca sekali duduk, namun begitu berkesan sampai terbawa kemana-mana. Wajah itu terus saja membayangiku, menemaniku, dan masih tetap tersimpan baik di dalam memori ini. Aku tertawa-tawa sendiri tiap kali teringat senyum manisnya yang membuyarkan lamunanku kemarin, yang sebenarnya dia sendiri lah lamunan itu. Iya...., Chania namanya. Sebuah mawar yang kini sedang mekar di suatu tempat di dalam hati ini...

Kulihat semua wajah dengan gaya ceria, walau agak dipaksakan, terpampang di tiap sudut toko. Para karyawan telah bersiap dengan karakter khas penerima tamu toko. “Mana Asep?” itu yang langsung kutanyakan pada salah satu staff wanitaku yang berdiri di koridor toko. “Di belakang pak, masih mendesain interior toko bagian samping gudang,”. Tanpa membalasnya, aku langsung bergegas menemui Asep. Kulihat dia sedang sibuk menata produk yang sebentar lagi akan di tempatkan di display. Aku langsung menyapanya setelah aku meletakkan tas berisi laptopku di meja. “Asep...”.. “Oh Pak Rio, selamat pagi pak!” sahut dia spontan. “Sedang sibuk ya, sini kubantu,” tawarku. Dengan agak sungkan Rio menimpali “Terima kasih banyak pak, kalau tidak merepotkan saya akan senang sekali”. Sambil membantunya menata beberapa sepatu di rak, aku mulai membuka percakapan, “Asep, boleh saya bertanya?”

Tentu pak,”

Mbak Chania yang kemarin itu, betul kamu saudaranya?”

Iya pak benar, dia itu anaknya Budhe saya. Jadi kalo saya manggil ya mbak...”

Oh... Bagus lah ... Mmm.. Kalo boleh tau, dia baru ya di Semarang?”

Iya pak, baru sekitar satu setengah tahun ini. Keluarga budhe saya itu, sangat Islami banget. Jadi semua anak-anaknya dikirim ke pondok, ada yang sambil kuliah, ada juga yang sambil bekerja. Mbak Chania, dulunya santriwati di sebuah pondok di Kediri, juga sempat mengajar di sana. Namun setelah menikah, mbak Chania diajak kembali ke rumah di sini”

Mmmm.. emm.. eemm.. menikaahh??!!” kagetku

I.. ii.. iyyaa pak? Ada yang salah? Bapak gak kenapa-kenapa khan?”. Nampaknya Asep melihat perubahan di wajahku.

Bapak tampak pucat, sebentar saya ambilkan obat” kata Asep menunjukkan kekhawatirannya.

Gak usah sep, aku hanya belum sarapan. Sudah gak pa pa... Saya mau keluar membeli air mineral”, tanpa menghiraukan ekspresi wajah Asep, aku langsung beranjak pergi dengan segala kegalauan dan langkah gontai yang bahkan untuk berdiri tegak saja tak mampu.

backsong: Kahitna: Aku, Dirimu, Dirinya (lihat video)


Meskipun, saling pandang dan terbatas, dan tak akan lebih lagi..

Aku dirimu dirinya, tak pernah bisa mengerti tentang suratan

Aku dirimu dirinya tak resah bila sadari cinta tak kan salah…
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Seminggu berlalu....

Aku memarkir mobilku di depan Starbucks yang biasa kusambangi ketika jam-jam makan malam seperti ini. Tempat ku biasa melepas penat setelah seharian bekerja. Pemiliknya, Anton Rolimpande, adalah teman kuliahku dulu. Kami teman satu perjuangan ketika bersama-sama di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Jika aku punya kakak, maka dialah satu-satunya kakakku. Dibanding teman-temanku yang memilih menjadi PNS, kami lebih suka berbisnis dan ber enterpreneurship. Dia berasal dari Manado dan kini sudah menjadi salah satu pebisnis kuliner sukses di kota ini. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang istimewa, karena aku telah berniat menceritakan semuanya ke Anton, tentang peristiwa “aneh” seminggu yang lalu itu.

Malam itu Anton menyambutku dengan hangat. “Lama sekali gak ke sini Rio... Kemana saja kamu?”

“Nyepi..” sahutku agak kesal

“Ha ha... Kamu masih saja seperti dulu. Suka asal aja kalo ditanya kabar. Kupesankan kopi yah?” kata Anton menawarkan kebaikan

“Iya, boleh deh..”

Semenit kemudian seorang pramuniaga membawakanku sebuah kopi khas Starbucks lengkap dengan camilannya.

“Eh, kemarin aku ketemu temen-temen lama lho, mereka semua pada nanyain kamu.” Ucap Anton membuka perbincangan

“Mmm... pada ngegosipin aku khan mereka?”

“PeDe kamu. Nggak sih... Mereka cuman pada nanya, masih maen musik gak kamu, terus gimana perkembangan bisnismu. Itu aja...” timpal Anton

“Kamu sendiri khan tau nton, aku udah lama memutuskan untuk gak bermusik lagi semenjak berkarier. Pengen sih sebetulnya, sayang, waktu gak memihak padaku. Terlalu sedikit waktu yang harus kubagi untuk hobi. Bahkan kamu sendiri khan tau, sejak aku membuka cabang di daerah, aku udah jarang ngajak kamu maen bilyard. Yah, ini konsekuensi logis jika mau sukses”

“Ah gak juga kok... Menurutku, yang kamu perlukan saat ini hanyalah refreshing. Sudah terlalu penuh otak kamu itu dengan urusan pekerjaan. Janganlah kamu menjadi workaholic. Dimana-mana yang dipikirkan urusan pekerjaan saja. Santailah sekali waktu. Atau perlu kutemani kamu berwisata ke luar negri?” tukas Anton meledek

“Ha ha ha... Ngawur kamu yah nton... “

Setelah beberapa kali kuteguk kopi terbaik di cafe ini, aku mulai menata batin dan memfokuskan pikiranku pada satu hal, atau mungkin lebih spesifik, satu nama.

“Anton, aku ingin bicara... “ kataku dengan nada serius

Anton tampak sedikit kaget dengan perubahan sikapku itu. Dia bergeser mendekat. “Gimana bro..?” dia mulai menampakkan ekspresi serius.

“Mm.. mungkin apa yang bakal aku ceritakan nanti akan terdengar sedikit aneh. Sudah lama aku memendam cerita ini, tapi tidak tahu harus kusampaikan kemana. Untung aku masih punya kamu.”

“Sebentar, sebentar, tentang apa ini?” tanya Anton semakin gusar.

“Sudahlah kamu dengarkan dulu saja...”, dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku bertemu seseorang minggu lalu. Seorang wanita....”

“Oh shitt... oh nooo!!” tukas Anton kaget

“Hey man, calm down... Dengarkan dulu..”

“Lalu bagaimana dengan Donita, istrimu itu?!” Anton mulai panik

“Mohon tenang dulu kawan. Ok? Kamu khan tau sendiri, sudah 1 bulan ini aku tidak pulang ke rumah semenjak pertengkaran itu. Saat ini aku tinggal di kontrakan hanya agar terhindar dari adu mulut dengan Donita..”

“Iya, aku tau, tapi.. tapi...”

“Anton, ini tidak seperti yang kamu pikir. Biarkan aku selesaikan dulu ceritaku...”

“Okey okey...” Anton mulai tampak tenang...

Setelah menata hati dan mengambil nafas panjang, aku memulai ceritaku.

“Aku tidak tahu harus mengawali dari mana. Semuanya begitu rumit untuk dijelaskan. Perasaan itu bergulir begitu saja, tanpa perencanaan, tanpa kuundang, tanpa kusadari... Aku bertemu dia seminggu lalu. Dia datang ke toko, dan ternyata dia masih saudara salah satu karyawanku. Wanita itu namanya Chania, entah apa yang merasukiku, aku seperti terhipnotis ketika dia berjalan menghampiriku. Aku seperti merasa bertemu dengan seseorang yang sejak lama kutunggu kehadirannya. Kami kemudian berbicara beberapa saat. Aku seperti tak bisa berkata-kata seperti biasanya. Nggak semestinya aku begitu. Lidahku seperti kelu dan kaku. Dia begitu menawan nton, gak pernah aku lihat yang seperti dia... Cara dia menatapku, karakter senyumnya, pembawaan gaya gahasanya, begitu khas, begitu anggun, begitu sopan. Dia begitu unik, hingga membuatku lupa pernah engenal wanita sebelumnya. Pesona itu, tak pernah hilang dari benakku nton. Sampai sekarang...”

“Ya ampun Rio.... Kamu mengalami puber ke 2 ya? Ya Allaah Rio Rio...” sahut Anton sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku buru-buru membalas “ Entah nton, tapi ini adalah perasaanku yang paling jujur ketimbang yang dulu-dulu...”

“Nah itu dia men, kamu bener-bener lagi puber senja. Kamu sedang jatuh cinta!” tegas Anton

“Anton, aku gak berani membuat kesimpulan secepat itu...”

“Oke bro, aku tahu. Kamu butuh proses untuk memahami ini semua. Lalu apakah kamu baru kali pertama itu bertemu dengan Chania?” tanya Anton mulai mencerca.

“Sejujurnya sudah 2 kali. Kemarin sore, aku bertemu dengannya lagi.”

“Yang bener? Dimana?” Anton mulai penasaran.

Sembari mengingat-ingat kejadian sore itu, aku menjawab, “Di halte bus depan Gramedia...”

“Oke... oke...” Anton mengangguk-angguk.

“Waktu itu aku udah off kerja. Kebetulan aja berpapasan ama dia di situ. Dia sedang nungguin BRT di halte. Kubuka kaca mobil dan menawarkan tumpangan. Awalnya dia menolak, namun setelah aku bilang kalo aku gak bakalan nyulik dia, dia kemudian tersenyum. Kutegaskan juga kalo aku nakal dia boleh mengadukannya ke Asep. Setelah sedikit basa basi, Chania akhirnya bersedia kuantar pulang.”

“Emang darimana dia?”

“Dari belanja katanya...”

“Kok sendirian? Emang gak ada pacar yang nganter?”

“Anton, sejujurnya dia sudah menikah..”

“Hah?? Kamu.. kamuu... terlalu bernyali Rio...” Anton mulai gelisah

“Tolong jangan berprasangka dulu Anton. Kamu tahu kan aku gak pernah sekalipun bersikap gegabah tiap kali mendapat cobaan?”

“Oke oke aku percaya. Lanjutkan...”

“Di dalam mobil, kami terlibat percakapan. Hanya bersifat umum sich, belum ke arah situ situ...”

“Ehm.. seperti apa misalnya? Anton mulai menikmati ceritaku

“Yaah... Layaknya orang ngobrol aja sih. Misalnya ketika kutanya tentang hobinya, dia bilang membaca, dimana kebetulan sekali dia bertemu dengan seseorang yang hobinya nulis kayak aku ini he he... Di rumah dia punya butik muslimah. Dan saat ini sedang hunting model-model baru. Itulah mungkin alasan mengapa dia ke tokoku minggu lalu. Suaminya, seorang akuntan bank. Dia berangkat pagi, dan pulang malam. Begitu terus tiap hari. Saat aku tanya, apa dia gak merasa kesepian, dia bilang bahwa dia selalu bersabar. Dia juga bilang kalo belum ada momongan. Dia berharap tahun ini sudah bisa membahagiakan suaminya dengan menghadiahkannya seorang anak. Yang aku suka adalah, dia tidak pernah menatapku saat kami bicara, dia hanya menunduk dan tersipu ketika aku mulai banyak bertanya. Bahkan ketika aku bertanya apakah suaminya akan marah bila melihat dia berada di mobilku, dia Cuma bilang, “Insya Allah tidak. Niat kita khan baik..” betul-betul santri tulen dah dia nton... Yang bikin geli, entah sudah berapa kali aku salah bicara karena grogi. Bahkan saking groginya, aku gak sadar kalau mobil berjalan dengan begitu pelan he he... Entah udah berapa kendaraan yang mengklaksonku saking pelannya. Aku merasa bergetar tiap kali dia menjawab pertanyaanku. Perasaan senang, bingung, gelisah, canggung, deg-degan, semuanya tercampur menyatu menjadi sebuah Juice!”



“Kok kayak wartawan sama narasumber gitu... Emang dia gak nanya-nanya tentang kamu?”

“Ya iya lah. Banyak juga dia tanyanya malah... Dia tanya tentang statusku, pekerjaan, hobi, terus ya gitu-gitu dah... he he...”

“Jadi dia tau kalo kamu udah beristri?”

“Ya tau lah...”

“Terus reaksinya gimana?”

“Nah itu dia nton yang gak bakal kulupain. Reaksinya ketika aku menjawab pertanyaan itu...”

“Gimana gimana...?” Anton mulai mendekatkan posisi duduknya

“Ketika aku jawab aku udah beristri, dia kayak kaget gitu. Terus ngeliatin wajahku serius banget... Pas kebetulan di lampu merah men... Aku berhenti, ahirnya kulihat juga dia, kita saling tatap.. Laammaaaaa bangettt!!”

“Berapa lama?”

“Ya 5 detikan kali...”

“Yah 5 detik aja lama... Pake banget lagi... Pake kenceng lagi ngomongnya... Rio rio...”

Kami tertawa...

“Tapi nton terus terang aku gak kuat pas Chania liatin aku dengan tatapan kayak gitu. Aku seperti es batu yang mencair kepanasan. Swear... Dalem banget dia liatinnya. Seperti ada sesuatu yang ingin dia utarakan di sana. Binar di matanya itu sedikit meredup ketika aku katakan itu. Bukannya aku ke PeDe-an, tapi betul-betul jelas sekali terlihat.”

“Terus kamu bilang apa setelah saling bengong gitu?”
“Aku spontan bilang, ‘Mata kamu indah sekali Chania...’ Entah setan apa yang lewat, bisa aja aku ngomong kayak gitu. Gak pake mbak lagi manggilnya. Buruan aja aku minta maaf karena aku gak pake mbak manggilnya. Tapi tebak dia bilang apa?”

“Lha apa..?”

“Dia bilang ‘Panggil aja aku Chania...’..”

“Whhaaattt?? Hebat kamu Rio! Itu lampu ijo namanya mmeennn!!”

Kami tertawa lagi hampir berbarengan....

Sejak di kampus dulu, Anton ini adalah sahabatku yang paling fair dan selalu mendukungku jika aku sedang ada masalah. Dia juga yang banyak menolongku secara ekonomi ketika aku hampir bangkrut dulu. Aku beruntung punya sahabat seperti dia...

“Terus terus...??” Anton terus mendesakku

“Yah.. Akhirnya kupanggil aja Chania... He he... Setelah itu obrolan bergulir dengan lebih natural. Hebatnya lagi nton, jadi khan ceritanya hampir tiap hari aku titip salam terus sama si Asep buat Chania, nah ketika Chania kutanya apakah salamku sampai dia bilang ‘Iya sampai... Bahkan sudah kujadikan koleksi pribadi di kamar...’... Cowok mana coba yang tahan dengan jawaban itu nton nton...”

Kami tertawa lagi....

“Gila kamu Rio, hebat hebatt!” jempol kiri Anton tampak teracung

“Dia akhirnya sampai rumah... Kuantar dia hingga pintu gerbang. Dan ku keluar, kubukakan pintunya sembari membungkuk layaknya Romeo membukakan pintu kereta kuda emasnya Juliet. Setelah berpamitan, Chania melambaikan tangannya dan berbalik menuju rumah. Setelah membalas lambaiannya aku hanya terpaku melihat Chania dari belakang. Kulihat terus bagaimana dia berjalan dengan menunduk, membayangkan apa yang ada di benaknya saat itu... Hingga kemudian dia terlihat memasuki rumah dan akupun meninggalkannya... “

“Lho, gak minta nomor handphone?” tukas Anton

“Aku gak seceroboh itu nton. Aku masih menghormati dia sebagai wanita yang mencintai keluarganya. Aku tidak berani melakukannya...”

“Hey bro, itu khan cuman nomor? Kenapa harus sekhawatir itu...?”

“Enggak nton.. Ini beda.. Dia unik... Dia bagai merpati yang terbang sendirian, dimana para pemburu tidak berani menembak karena takut kecantikannya akan sirna... Mereka takjub, kagum, sayang jika ia harus ditangkap. Para pemburu itu memutuskan untuk membiarkannya terbang... Tinggi di langit sana... Membiarkannya memilih sendiri, siapa pasangan sejatinya kelak....”

Theme Song: “Kahitna: “Engga Ngerti” (lihat video)

Lirik:

Sesungguhnya, aku kangen kamu

Dimana dirimu

Aku gak ngerti

Dengarkanlah, kau tetap terindah

Meski tak mungkin bersatu

Kau s’lalu ada di langkahku


“Aku bener-bener terhanyut denger ceritamu Rio. Aku gak nyangka Tuhan memberimu kesempatan kedua.”


Aku sedikit terhenyak dari kursi mendengarnya... “Kesempatan kedua? Emang gimana menurutmu nton? Bisa gak kamu ngejelasin apa yang sebenarnya sedang terjadi ini?”


Anton temanku ini sering dipanggil 'ustadz kesiangan' karena gayanya yang sok ngustadz tiap memberi masukan pada teman-teman yang curhat. Dia memang pernah nyantri di sebuah pondok di Jawa Barat sana sebelum kemudian memutuskan untuk kuliah di kampus kami dulu. Orangnya memang agak slenge'an, namun diam-diam sudah sejak lama aku salut dengan pengetahuan teologi keIslaman yang dimilikinya.


“Dari sisi mana dulu nih men?” timpal Anton
“Umum dulu dong...” pintaku


“Oke bro... Begini... Dari kasusmu yang baru bertemu beberapa hari dan dengan perasaanmu yang begitu kompleksnya, kupikir ini lebih dari sekedar perasaan simpatik. Namun terlalu buru-buru jika kukatakan kamu sedang jatuh cinta. Ini benar-benar rumit. Gini deh, aku pengen tahu dulu apa yang sering kamu rasain semenjak hari itu...”


“Wah susah ngejelasinnya nton...”


“Udahh.. terbuka ajalah bro. Biar plong. Aku tau, cuman sama aku aja kamu bisa cerita kaya gini...”


Sentilannya itu membuat senyumku sedikit terkembang. Sembari memandang view yang ada di balik tirai jendela, aku mulai menggambarkan suasana yang biasa kurasakan tiap harinya.


“Mungkin ini agak sedikit aneh. Tapi memang inilah yang terjadi. Di toko, aku sering salah memanggil nama karyawanku. Terutama staff cewek. Kupanggil Chania semua mereka. Tiap kali aku membuat laporan, sering aku salah ketik. Bahkan password yang dipakai untuk mengakses dokumen kantor aja sering kuketik Chania. Pernah juga aku dikomplain pelanggan karena salah menyebut merk, lagi-lagi kusebut namanya. Ketika aku sendirian, misalnya makan siang gitu, aku merasa dia seperti ada di sampingku menemani. Kulihat kursi kosong itu, membayangkan dia ada di situ, dengan penampilan yang menarik seperti biasanya dan kami berbicara panjang lebar tentang semua hal. Tiap ada pelanggan yang masuk toko, aku selalu berharap ada dia. Saat-saat yang paling menyakitkan adalah waktu malam hari. Ketika aku beranjak tidur... Wajahnya selalu menghiasi malamku. Terbayang dan terpampang jelas di depan mata. Saat-saat dia tersenyum, ketika dia tertawa, tatapan matanya, rona merah pipinya, kaca mata beningnya ... Semuanya, tampak begitu nyata. Aku seperti pengidap insomnia akut yang tak kunjung sembuh nton. Dia benar-benar bagaikan hantu atau mungkin lebih tepatnya peri, mm... bukan bukan.. Bidadari yang tiap malam menghampiriku... “


Anton tersenyum senyum sendiri sambil geleng-geleng kepala..

“Oke dari ungkapanmu itu aku sudah sedikit punya gambaran umum. Kamu mungkin memang sedang kasmaran. Cuman begini bro, coba aku kasih sedikit visi tentang resiko terberatmu. Satu, mungkin kamu aman karena saat ini memang kamu sedang pisah ranjang dengan Donita. Tetapi melihat posisi Chania, dia akan sedikit lebih rumit di mana dia tinggal satu rumah dengan suaminya dan butiknya juga ada di rumah. Sekarang gini aja deh, kamu punya harapan apa dengan Chania? Lalu Donita mau kamu simpan dimana? Di penampungan?”
“Slompret kamu nton. Becandanya jangan keterlaluan donk…” kataku nyolot
“Gak gak… Udah cepetan di jawab dulu…”
“Mmm… Gimana yah… Ya secara pribadi tentu saja aku ingin ini berujung pada kepastian… Intinya, gini nton, secara legalitas, aku masih bersama dengan Donita. Tetapi secara perasaan, aku ingin selalu bareng sama Chania. Oke, aku tahu pertemuan kemarin bukanlah ukuran baik buruknya Chania. Tetapi keyakinan ini begitu kuat Anton… Kalo aku boleh sedikit jujur, air mataku selalu berderai tiap kali teringat wajahnya di malam hari. Apa ini namanya? Appaaa??!!” Aku mulai tidak tahan lagi. Aku ingin menumpahkan semuanya malam ini. Semuanya! Anton terlihat agak sedikit serius sekarang.

“Oke bro tenangkan dulu pikiranmu. Ditata dulu hatimu. Coba kamu dengarkan baik baik kataku ini. Sekarang aku akan mengurai kasusmu ini dari kaca mata agama. Kamu pernah mendengar jodoh spiritual?”
“Mmm… belum…” jawabku singkat.
“Dari yang aku ingat …. Guruku dulu pernah bilang, bahwa manusia itu memiliki jodoh. Namun belum tentu jodoh kita di dunia ini adalah jodoh spiritual kita, atau yang akan kekal abadi di akhirat nanti. Beberapa orang beruntung mendapatkan jodoh akhiratnya langsung di dunia ini. Namun beberapa lainnya tidak. Kata beliau lagi, sebaik-baik jodoh adalah jodoh di akhirat, jodoh yang kekal. Namun sejatinya kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di akhirat. Karena belum tentu jodoh di dunia juga otomatis jodoh di akhirat. Maka yang bisa diikhtiarkan saat ini adalah mencari jodoh di dunia untuk membawanya menjadi jodoh di akhirat pula.

Nah, Tuhan itu Maha Agung dan Maha Adil. Salah satu keadilan Tuhan adalah Dia akan menunjukkan pada kita siapa jodoh kita di akhirat. Tinggal kitanya aja, peka atau tidak dengan tanda-tanda yang ada?”
“Hah? Serius kamu nton? Seperti apa emang tandanya?”

“Guruku itu seorang ma’rifat. Jadi dia tidak secara gamblang menjelaskannya padaku waktu itu karena hakikatnya jodoh itu termasuk perkara Qadha’. Dia hanya sedikit memberikan metafor-metafor kecil seperti ini: Di dalam Islam itu ada Akad dan ada Talak. Kenapa masih ada talak, karena belum tentu pasangan yang dipilihnya itu adalah pasangan kekalnya. Ini adalah salah satu bukti nyata. Tentang tanda-tandanya, seseorang, entah dia sudah menikah atau belum, dia akan terbayang terus wajah orang itu, sampai tidurpun dia gak akan nyenyak. Dia seperti orang “lupa”. Tapi ini beda dengan sihir, voodoo, atau semacamnya lho. Ini benar-benar alami!”
“Walaupun hanya bertemu sesaat?” aku menyela.
“Walaupun hanya bertemu sesaat.” tegas Anton.

Tanda lainnya yang jelas adalah, sedari kita kecil, atau remaja, akan ada sebuah gambaran tentang pria atau wanita idaman kita kelak. Gambaran visioner itu muncul begitu saja di benak kita tanpa kita ciptakan terlebih dulu. Nah, salah satu keadilan Tuhan lainnya adalah, walaupun hanya sebentar, kita akan dipertemukan dengan orang yang kita idam-idamkan itu di dunia ini, di mana itulah sebenar-benarnya jodoh kita kelak.”
“Wow… Kenapa bisa cocok sekali denganku? Chania itu, adalah gambaran wanita idamanku waktu kecil nton!!” aku bersemangat sekali
“Tapi Rio, sekali lagi, itu semua hanya teori. Misteri Illahi adalah rahasia langit. Yang kita bisa upayakan hanyalah berdoa dan ikhtiar serta memohon petunjuk-Nya. Maka bijaklah dalam memutuskan nanti kawan…”
Aku termenung sejenak. Menunduk … Anganku melayang setinggi mungkin membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi ke depan nanti… Kata-kata Anton barusan benar-benar menghunjam jantungku. Bagaimana tidak, di dalam penjelasan singkatnya tadi terbersit harapan namun terkandung pula sedikit ancaman.
“So, apa rencanamu berikutnya Rio?” Anton mulai bertanya…
“Aku … Aku … Aku gak tau…” aku mulai terbata, gugup, bingung dengan kondisiku sendiri…
Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, maka ini yang akhirnya kukatakan; “Sudah nton. Sudah kuputuskan… Aku akan menemuinya… Akan kukatakan semuanya …. “
“Bagus… Apa kau juga akan mengatakan tentang kepindahanmu nanti?”
“Itu juga rencanaku. Aku mau berpamitan… “


Theme Song: Utha Likumahuwa – Trie Utami : “Mungkinkah Terjadi” (lihat video)

Lirik:
Kau ada yang memiliki
Aku ada yang memiliki
Walau kita masih saling menyayangi
Kau disana, aku disini
Satu rasa dalam hati
Namun hanya kau yang kusayangi
Mungkinkah terjadi


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku melangkah kecil di balik koridor toko. Kulihat Asep sedang bersih-bersih di sana. Sembari menyiapkan segala sesuatunya sebelum menutup toko. Malam itu toko agak sepi pengunjung, tidak seperti biasanya. Pegawaiku sudah pulang duluan sejak tadi. Aku sengaja membiarkan Asep sedikit sibuk di belakang karena ada yang ingin kuutarakan padanya.


Sep… Ada yang ingin saya sampaikan.” Aku membuka obrolan ringan.
Oh iya pak, saya sudah selesai kok. “ sahut Asep
Mmm… Saya mau ngrepotin lagi nih… He he…” aku mulai canggung seperti biasanya tiap kali membicarakan tentangnya.
Oh.. Pasti tentang mbak Chania lagi ya pak? He he.. Iya pak gak pa pa… Gimana? Salam lagi khan?”
Enggak sep.. Kali ini bukan salam. Aku ingin menitipkan surat ini untuknya. Bisa khan? Aku ingin semuanya clear…” pintaku
Iya pak, saya atu kok. Ini semua tentang kepindahan Bapak minggu depan khan?”
Ternyata kamu sudah membaca situasinya ya? Ya… bisa dibilang begitu mungkin he he… Anyway, terima kasih ya sep atas semuanya. Saya banyak berhutang budi sama kamu… Saya gak tau gimana ngebalasnya…”
Jangan begitu pak. Saya bisa mengerti kok” jawab Asep polos
Terima kasih sekali lagi. Aku menaruh banyak harapan padamu kali ini.”

Theme song: Yana Julio; “Selamanya Cinta” (Lihat Video)
 
Lirik:

Andaikan ku dapat,
mengungkapkan,
perasaan ku,
hingga membuat,
kau percaya
Akan ku berikan,
seutuhnya,
rasa cinta ku

~ selamanya, selamanya
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Begini isi surat itu…

Gadis berkerudung…. Kutulis ini sebagai titisan dari perasaanku yang sejak lama menggantung di penaku. Semuanya tentang kejujuran, kepasrahan, dan keikhlasan, semoga …..

Hatiku bagai burung dalam sangkar yang tak mampu terbang. Kali ini kuterpenjara dalam kasih yang kau tanamkan. Mungkin untuk waktu yang lama… 
 
Bahagia, namun tersiksa. Tersenyum walaupun menangis. Tertawa dalam kedukaan. Aku selalu dirundung rindu. Risau yang begitu hebat menghampiriku tiap saat. Dimanapun, kulihat senyum itu. Senyum yang telah begitu merubah hidupku. Aku yang lalu, bagaikan daun kering yang gugur di musim panas, kini telah menjelma menjadi Edelweis yang mekar di musim semi.
Mentari pagi selalu nampak indah semenjak kehadiranmu. Kicau burung kenari pagi meniupkan kedamaian tiap kali mentari menghantarkan parasmu kepadaku. 
 
Ketika kutulis sajak ini, aku berfikir jika kertas ini mungkin akan berakhir di sebuah kubangan sampah. Namun aku keliru. Kamu ternyata masih memegangnya dan terus membacanya. Terus… Hingga kau temukan arti dibalik semua ini. Entah bagaimana jadinya nanti… Ini adalah suratan takdir yang tak pernah bisa kita mengerti…

Semuanya seolah berhenti ketika pertama kali mata kita bertemu. Saat itu tidak ada sedikitpun keraguan di benakku, dimana hanya dalam waktu sepersekian detik saja, keyakinanku telah terkumpul dan teguh, bahwa mata yang sedang kutatap, bukanlah mata biasa. Itu adalah sepasang mata surga. Keindahan yang tersimpan, tak pernah mampu kuungkapkan lewat kata-kata. Ia sarat dengan seni yang keelokannya tak berbatas. Mata dari pemilik yang akan menyelamatkan diriku kelak.

Aku melihat kedamaian disana. Aku teringat ketika Sayyidina Ali begitu terpukau saat pertama kali melihat paras ayu Sayyidati Fatimah Az -Zahra. Beliau tak mampu berkata-kata. Hanya ta’aruf yang kemudian buru-buru ia niatkan. Sebuah kemuliaan niat yang mustahil aku lakukan sekarang.
Senyummu itu masih tampak jelas terukir dalam ingatanku. Sebuah kesempurnaan yang telah Allaah anugrahkan kepada makhluk ciptaan-Nya yang paling indah. Jelaslah Adam berbahagia karena telah bertemu Hawa yang berasal dari tulang rusuknya. Seperti kebahagiaan yang juga kurasakan saat ini.

Pertama kali kita berbicara, ada perasaan aneh yang menjalar di seluruh sistem syaraf ini. Kamu seperti sosok yang tidak asing. Ini bagaikan sebuah jawaban atas penantian panjangku. Kita mungkin pernah bertemu. Bahkan dalam waktu yang lama. Sangat lama.... Mungkin di kehidupan kita yang lalu, atau bisa jadi yang akan datang… Entahlah…

Melihatmu Chania… Akupun larut… Larut ke dalam bayangmu, pesonamu, dirimu… Tak pernah seharipun terlewatkan tanpamu. Benih-benih kasih yang kau tebar ini, telah meruntuhkan seluruh pilar-pilar jiwaku yang dulu berdiri kokoh. Ribuan puisi dan ratusan bunga yang mungkin kukirim nantipun tak akan cukup melukiskan kecantikanmu Chania… Cintamu adalah makanan yang telah begitu matang dihidangkan. Maka maafkan aku yang terlalu lahap menyantapnya…
Aku adalah Julius Caesar yang tertawan hati seorang Cleopatra, seorang Romeo yang bersedia mati demi Juliet, seorang Gibran yang tak pernah lelah menulis prosa cintanya untuk Wardah al-Hani, dan seorang lelaki dunia yang mencintai bidadari dari surga. 
 
Hampir tiap menjelang senja ku pergi ke pantai. Melihat senyummu yang terhias anggun di kejauhan sana. Di antara mega-mega itu kau berada. Pasir putih itu menuliskan namamu, Chania… Debur ombak yang kadang pasang seperti melantunkan nada-nada cinta untukmu. Tak mungkin aku lewatkan keindahan ini. Aku merasa damai di sana. Tenang sekali. Kamu dengan setia selalu menemaniku. Namun tiap senja berakhir, aku selalu melihat bayangmu berakhir bersama dengan tenggelamnya matahari. Aku seperti melihatmu berjalan dari belakang. Meninggalkanku, yang sendirian, dengan hati yang terkoyak, dengan mulut yang tertutup rapat, tanpa kata yang mampu terungkap, hingga aku tersadar, bahwa itu semua hanyalah bayangan.
Aku ingin pulang, namun ku tak bisa. Ada bisikan kuat yang bergemuruh di hati ini, mengajakku untuk kembali, menengok cinta yang telah lama bersemayam sejak zaman Adam dan Hawa dahulu…
Di setiap heningku tak pernah lelah kau menemaniku
walau itu hanya bayang-bayang senyummu yg bila kusentuh senyum itu pergi

Di setiap matahari pergi, s'lalu saja terlihat saat kau berpaling dan berjalan meninggalkanku
Aku ingin bertahan, namun langkahku terbatas

Kunikmati kesepian-kesepian ini
dengan nada, dengan mimpi, juga dengan kenanganmu
biar saja rindu ini hidup di dasar hati
menunggu sampai waktu yang panjang menegurnya
sampai ia menemui apa yang ia inginkan, apa yang ia rindu

Telah kubingkai namamu, lihatlah sangat indah di dalam hati
dan perpisahan ini tak mampu merusaknya sama sekali
suatu hari nanti jika kita bersatu lagi, kan kubacakan puisi ini untukmu
dan jika tidak, kan kubacakan sajak ini pada matahari di senja hari, atau pada bulan yang s'lalu menanti ... Ini hanya sekedar lukisan hatiku saat ini, dan entah seperti apa di suatu hari



Aku seharusnya berterima kasih kepadamu Chania… Karena dengan mengenalmu aku mengenal pula makna cinta yang sesungguhnya. Cinta yang murni, yang tanpa syarat, yang tak kenal menyakiti, yang hanya mengenal kebahagiaan. Iya, kamulah mata air yang kutemukan di padang gurun saat aku kehausan, kamulah berlian yang kutemukan di sungai berpasir, Iya Chani… Kamulah matahari ku… Kamulah Sunny ku… Cintamu, kasihmu terbit laksana bintang, yang bersinar terang menerangi jiwaku…. Maaf, tapi kaulah segalanya untukku… Ini bukan gombal Chania, ini adalah puisi kejujuran seorang hamba kepada tuan Putri yang dicintainya… Maka, maafkan kelancanganku ini…
Dulu semuanya hanyalah semu, namun bagaimana rupa cinta sejati itu, kini tampak begitu nyata bagiku. Melalui kelopak mata beningmu. Melalui nafas kerinduan yang selalu terhembus indah dari bahasa tubuhmu. Aku melihat harapan-harapan di dirimu, namun aku pun melihat ketakutan-ketakutan di sana. Aku bimbang, bingung harus berjalan di arah mana. Ini adalah cobaan terberat dalam hidupku. Dimana aku harus memilih tanpa ada pilihan, dimana aku harus mekar di saat semuanya memintaku untuk gugur.
Aku percaya, manusia di beri kesempatan untuk mencari hikmah. Sebagai bukti bahwa Dia tak pernah tidur. Lewat kisah kita ini, tertoreh satu keindahan yang kekal. Jauh melampaui batas-batas dogma, agama, apalagi budaya. Ada kalanya seseorang bertemu dengan sosok yang tepat di waktu yang salah, ataupun sebaliknya. Itu adalah Sunnatullaah yang tak mungkin bisa kita lawan. Namun aku bukanlah badai yang ingin menerjang istana cinta dan rumah tanggamu. Aku hanyalah angin yang berhembus di musim kemarau. Aku sadar akan posisiku. Aku bukanlah siapa-siapa. Jangan kau pikirkan tentangku Chania…
Aku akan tetap berada di ujung lorong kecil itu, melihatmu bahagia dari jauh, biarlah doa ku yang menerbangkan cinta ini ke langit sana. Agar bersemayam di atas awan-awan itu. Menjadi saksi abadi betapa mulianya cinta itu. Cukuplah tulisan pena ini menjelaskan semuanya. Tentang kebahagiaan, tentang kesedihan, dan tentang misteri yang selalu menghampiri kita. Terkadang dunia ini berubah menjadi begitu kejam, bukan untuk menghancurkan kita, namun semata-mata untuk mendidik anak-anak Adam.
Chania…. Senja telah usai dan malam telah sampai. Tak perlu ada derai, apalagi gerimis di matamu yang manis, sebab ini sudah jalanku. Jangan berfikir kau salah, karena tak ada yang bersalah dan disalahkan. Takdir ini, biarlah berjalan sebagaimana mestinya. Kita hanya manusia biasa, tempat khilaf dan alpha…
Namun, jika memang Sang Pemangku Spiritualitas menyatukan kita kelak, aku akan membawamu ke tempat terindah di surga sana… Bukan untuk menikmati keelokan taman Eden nya, atau langit yang senantiasa bersinar terang, namun tak lain hanya kulakukan untuk mengagungkan keindahan matamu… Aku ingin menulis puisi di sana.. Seuntai bait yang kutorehkan pada mata airnya.. Kuhanyutkan lewat riak berkereta buih putih.. Hingga sampai ke muara cinta kita.. Dan sang mentari mengantarnya ke langit.. Menyatu dengan awan gemawan.. Lalu Jibril menjelmakannya menjadi hujan.. Yang menemui rindumu mengantar sejuk.. Di ketika itu engkau akan faham.. Arti dari semua ini…

Semarang, Agustus 2013

Yang bertabur debu…


Rio …




---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mobilku melaju kencang, menuju taman KB di daerah bundaran Jl. Menteri Supeno. Hari ini adalah hari Minggu, 25 Agustus 2013. Hari dimana aku dan Asep telah memutuskan untuk mengatur pertemuanku dengan Chania.
Kuparkir mobilku di depan SMA 1. Lokasi Taman tidak begitu ramai. Hanya beberapa anak kecil yang berlarian dan para orang tua yang menunggui anaknya bermain sembari duduk santai di bawah pohon rindang taman. Aku sengaja berpenampilan agak biasa pagi itu. T-Shirt putih bertuliskan “I Love You Girl”, bawahan jeans hitam, dan alas kaki sandal kulit yang biasa kukenakan jika sedang hang out menjadi modeku yang lain hari itu. Aku ingin memberi kesan sederhana pada Chania.
Sebisa mungkin aku ingin membuatnya simpatik. Karena bisa jadi, pertemuan ini adalah pertemuan yang akan sangat menentukan. Entah bagaimana akhirnya nanti, aku sudah menyerahkan sepenuhnya pada Yang di Atas…
Aku duduk di ayunan merah di samping kolam. Jam tangan menunjukkan pukul 9 pagi. Aku masih resah menunggu Chania yang rencananya akan diantar Asep pagi ini. Hasrat ini begitu besar hingga tiap motor yang lewat aku berharap itu dia.

Sebuah motor Yamaha Vixion merah berhenti di depan warung bubur yang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatku beranjak. Kulihat Asep turun dari motor diikuti oleh wanita berjilbab di belakangnya yang tak lain adalah Chania. Hatiku berdegup kencang setelah hampir 20 menit menunggunya.
Pagi itu, Chania terlihat begitu cantik. Jilbab warna ungu keemasan yang dipakainya dengan bros bunga berwarna merah, dipadu dengan balutan dressing ala santriwati yang begitu nenawan, membuat pesonanya semakin terang. Aku benar-benar tidak kuasa untuk menandangnya tanpa henti.
Sudah lama pak?!” sapaan Asep tadi membuyarkan lamunanku.
O.. oh.. ya lumayan. Baru 5 menit kok..” kataku berbohong tidak ingin membuat mereka sungkan.
Maaf ya pak… Saya terlambat..” suara Chania yang lembut menambah kehangatan awal pertemuan itu.
Pak Rio, saya ini agak buru-buru. Sudah di tunggu teman-teman mau bilyard di Nine Feet Pamularsih. Mbak Chani saya tinggal di sini ya. Nanti kalo mau saya jemput sms aja gak pa pa…” Asep berpamitan
Oh iya sep… Hati-hati… Salam buat temen-temen semua. “ kataku
Hati-hati ya Asep…” Chania menimpali.
Asep kemudian bergegas menghidupkan motornya dan menghilang berbarengan dengan beberapa kendaraan yang juga lalu lalang di sekitar bundaran Taman KB.
“Mari silahkan..” kataku sembari berjalan menuju sebuah kursi panjang di bawah pohon yang rindang. Chania mengikutiku dari belakang.
Kami duduk bersebelahan. Di hadapan kami pemandangan taman dengan segala kesejukannya. Beberapa anak bermain bersama para orang tua di sudut sana. Kami seperti pasangan muda-mudi yang ingin bercengkrama di hadapan taman kebanggaan kota Semarang ini.
Setelah hamper 15 menit berbasa basi aku akhirnya memberanikan diri untuk mengutarakan maksudku.
“Boleh saya panggil Chania saja?”
“Iya boleh pak…”

“Chania.. Mungkin agak terkesan aneh, dimana seorang istri sepertimu keluar dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Namun kuambil resiko bertemu denganmu pagi ini untuk meluruskan beberapa hal yang jika tidak dilakukan akan berbuntut sangat panjang di masa depan nanti. Kau tau khan? Aku mulai gemetaran sekarang
Setelah menatapku, Chania tersenyum, “Iya pak… Saya tahu. Saya sudah membaca surat Bapak kemarin… Seluruhnya…”
“Alhamdulillaah … Aku tidak akan mengulangi kata-kata yang ada dalam surat itu. Sudah begitu jelas bukan yang tertulis di sana?”
“Iya pak. Mmm… Sebetulnya saya juga tersiksa…”
Bagai mendengar suara petir di siang bolong aku kaget mendengarnya.
“Tersiksa bagaimana?”
“Apa yang Bapak rasakan saya juga rasakan. Hanya saja, saya tak punya kata-kata untuk mengutarakannya. “
Badanku begitu gemetar mendengar kata-kata manis itu.
Kamu serius Chania?” tanyaku mempertanyakannya lagi
Saya serius pak. Saya juga menunggu saat-saat ini. Di mana kita bisa saling terbuka dan mengungkapkan isi hati tanpa kebimbangan, tanpa keraguan... “ Chania mulai menampakkan wajah serius.
Dia melanjutkan kata-katanya; “Saya dijodohkan 2 tahun lalu oleh keluarga saya. Ketika saya masih di Kediri. Saya terpaksa pulang karena suami saya meminta pernikahannya di percepat. Karena menghormati orang tua, saya mengiyakan saja kemauan mereka itu tanpa memikirkan resikonya untuk saya. Usia kami terlampau jauh untuk pasangan suami istri. Saya belum sempat mengenal suami saya lebih jauh, hingga akhirnya kami bertemu langsung pertama kali di pelaminan. Di depan penghulu. Pada hakikatnya, saya menikah untuk berbahagia, namun nyatanya, sampai hari ini saya belum bisa menerjemahkan kata kebahagiaan itu sendiri…” Chania mulai meneteskan air matanya

Aku terharu, diam membisu, aku tak kuasa melihatnya menangis seperti itu. Aku tetap diam, takut salah bicara…
Namun semenjak kita bertemu, aku tau bahwa seseorang memang dilahirkan untuk seseorang lainnya. Semestinya aku menyadari itu sebelum menikah dulu. Namun karena dogma agama yang kadang berada di jalur sempit, aku jadi terlambat menyadarinya. Maafkan aku…” Chania mulai membuka hatinya
Chania….”
Pak Rio, sejak di halte itu, bayang-bayang Bapak selalu menyita perhatian saya. Ternyata mitos tentang lelaki pujaan itu memang benar adanya. Teman saya di Pesantren dulu sering mengatakan hal itu ke saya. ‘Sebelum kamu bertemu lelaki pujaanmu, kamu tidak akan tenang. Namun kamu akan lebih tidak tenang lagi jika sudah bertemu dengannya… Dan semua itu memang nyata…”
Aku tak tahan lagi… Dadaku mulai sesak. Air mata ini mulai menetes. Aku terharu, bahagia, sekaligus tersiksa mendengar ungkapannya itu.
Chania… terima kasih… Terima kasih telah jujur kepadaku… Seandainya waktu bisa kita putar kembali. Pasti ceritanya tak akan begini…”


Kuberanikan diri untuk berbicara, “Mungkin tidak akan cukup hanya sekedar kata-kata untuk melukiskan betapa sempurnanya dirimu bagiku Chania. Hati ini sudah memilih tempatnya berlabuh. Walaupun realita tak mampu untuk mewujudkannya. Aku tahu, kita tak mungkin bersatu. Namun, jika masih ada hari esok, lihatlah langit yang pernah kita miliki ini. Jika kau merindukan saat-saat bersama kita, lihatlah awan di atas itu, aku ada di sana melambaikan tanganku padamu…”
Air mata Chania nampak semakin deras mengalir, membanjiri pipinya yang putih bersih, seputih kapas yang suci…
Aku tau, banyak yang ingin di ungkapkannya, namun ia tak punya hati untuk menyampaikan semuanya. Dari cara dia menangis, aku tau, dia menyimpan banyak hal yang tak mungkin dia ungkapkan kepadaku. Air mata itu sudah mewakili semuanya…

Chania… Aku mau berpamitan…”
Chania kembali menatap wajahku, mata yang berkaca-kaca itu, dalam sekali ia melihatku… Aku melihat banyak hal… Banyak sekali didalam sana…
Direktur perusahaanku memintaku untuk menjadi manager area untuk fashion store cabang di Jakarta. Aku akan berangkat besok siang… Sebelum kesini tadi, aku sudah mengemasi barang-barangku..”
Chania tampak terperanjat, sedikit kaget mungkin.
Istrimu?”
Biarlah… Kami sudah lama tidak berkomunikasi. Mungkin dia sudah menemukan dunianya sendiri. Aku sudah berpamitan ke dia. Namun dia lebih banyak cueknya. Akupun tidak lagi risau tentangnya. Tentang kelangsungan pernikahan kami, biarlah nanti takdir yang berbicara…”
Pak Rio… Kenapa harus sejauh itu… “
Ini permintaan atasan, aku tidak bisa menolak Chani…”
Apakah memang ini suratan takdir kita? Haruskah secepat ini? Atau apakah ini cobaan bagi kita?”
Aku mencoba menjawab; “Mungkin Tuhan telah menuliskan ini untuk kita Chani… Kamu telah menorehkan sejarah indah dalam hidupku yang mungkin selamanya akan terkenang tersimpan dan terbingkai dengan rapi di lubuk sanubariku yang paling dalam. Jejak kasih dan mahkota namamu terukir cantik di sana… Aku bahagia pernah mengenalmu…”

Secepat inikah kita berpisah?” wajahnya mulai sedih
Aku gak ngerti apakah ini perpisahan atau tidak… Kirimilah aku surat sesekali… Agar dunia yang membentang ini tetap terlihat indah di hadapanku… Sekarang, kembalilah ke suamimu Chani… Dialah tempat peraduanmu. Biar aku yang pergi. Penantianku sudah cukup sampai di sini. Biarlah aku menepi. Bukan lelah menanti. Walaupun pedih ku rasa. Kenyataannya cinta memang tak harus saling miliki… Maafkan aku Chania… Sampai kapanpun perasaan ini tak kan berubah kepadamu…
Chania menangis sejadinya… kubiarkan dia seperti itu hingga beberapa lama, sampai kemudian ia berkata…
Aku yang seharusnya minta maaf… Aku telah menyakitimu… Maafkan aku… “
Tidak Chani.. Tidak…”

Kami berdua saling pandang… Merasakan denyut-denyut kesedihan yang menjalar di seluruh impulse dan sistem syaraf kami… 1001 rasa menghampiri… Tanpa sadar, tangan kami saling beradu, dan tanpa disangka, tanpa aba-aba, kami saling berpelukan… Tanpa kata, hanya tangis ….

Theme Song: Fatin : “Aku Memilih Setia” (Lihat Video)



Lirik: .

Ada banyak cara Tuhan menghadirkan cinta
Mungkin engkau adalah salah satunya


Namun engkau datang di saat yang tidak tepat
Cintaku telah dimiliki

Inilah akhirnya harus ku akhiri
Sebelum cintamu semakin dalam
Maafkan diriku memilih setia
Walaupun kutahu cintamu lebih besar darinya

Maafkanlah diriku tak bisa bersamamu
Walau ku sadar tulusnya rasa cintamu
Takkan mungkin untuk membagi cinta tulusku
Dan aku memilih setia

Seribu kali logika untuk menolak
Tapi ku tak bisa bohongi hati kecilku
Bila saja diriku ini masih sendiri
Pasti ku kan memilih ... kan memilih kamu



----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pintu pesawat telah tertutup sejak 5 menit yang lalu. Aku mulai merasakan getaran pesawat yang mulai naik ke langit secara perlahan. Hamparan Kota Semarang nampak semakin mengecil seiring dengan meningginya pesawat ini. Kuambil nafas panjang pertanda lembaran baru hidupku akan dimulai sebentar lagi. Aku masih tak bisa mengerti tentang kisah kemarin. Wajah itu masih saja membayangi-bayangi hingga kini. Biarlah… Aku anggap dia sedang mendoakanku. 

Walau semuanya telah tertutup rapat kemarin di taman, namun diam-diam sampai kapanpun hati ini masih terbuka untuknya. Dan tak mungkin ada yang bisa menggantikannya. Walau Donita sekalipun. Aku tak tahu lagi mana benar mana salah. Yang aku tahu, cinta tak kan pernah salah… 
 
Selamat tinggal Semarang, selamat tinggal Chania ku… Selamat tinggal Sunny ku… Semoga angin masih bersedia membawa kabar darimu, dan burung camar masih mau membawa salam hangat dariku untukmu…

 
With love…..




















































1 komentar:

Anonim mengatakan...

ceritanya bagus banget boss