Namanya Karjo. Lengkapnya Lanang Sukarjo. Sebuah nama yang nampaknya terkesan “ndeso”
namun menyimpan makna kebersahajaan yang dalam. Entah apa yang
difikirkan orang tua nya dulu ketika memberinya nama itu. Semestinya
Karjo menanyakan hal itu ketika kecil dulu.
Saat ini Karjo
lebih sering melamun dan menyendiri di depan teras kosnya sambil
menghabiskan berpuntung-puntung rokok A-Mild. Tidak lupa secangkir kopi
hitam menemani saat-saat kontemplatifnya itu.
Semenjak resign dari sebuah Bank swasta 3 minggu lalu, Karjo lebih terlihat seperti mahasiswa yang tak pernah peduli dengan ‘mandi’
daripada disebut sebagai akuntan bank yang setiap paginya harus
buru-buru berlari kesana kemari mencari dasi dan semir sepatu.
Teman-teman kosnya selalu memanggilnya “Pak Direktur” dengan busananya yang seperti itu. Diapun lebih terlihat kikuk ketimbang bangga ketika terlontar sebutan itu.
Entah
apa yang menjadi penyebab resign nya Karjo dari pekerjaan bergengsinya
itu. Teman-teman satu kosnya yang juga rata-rata sudah bekerja sering
membicarakan hal itu. Bagaimana tidak, ketika masih berjaya sebagai
seorang karyawan Bank hampir setiap weekend Karjo mengajak
teman-temannya hang out dan mentraktir mereka semua, apapun yang
diminta. Luar biasa!
3 tahun bekerja sebagai seorang akuntan nampaknya tak kemudian
membuat Karjo bahagia lahir batin. Secara finansial mungkin Karjo sudah
mendapatkan surganya, dimana hal itu dibuktikan dengan membeli sebuah
motor baru yang modelnya lebih sering terlihat di balap motor GP
ketimbang di pangkalan ojek. Makan pun tidak pernah lagi di warteg atau
nasi kucing seperti ketika masih mahasiswa dulu. Bersama dengan
sahabat-sahabatnya, Karjo lebih sering nongol di Starbucks, KFC, atau
resto. Sebuah elegansi hidup yang memukau. Bila mengingat masa kecilnya
pernah berjualan donat dan mengamen di sebuah obyek wisata di desanya
dulu, Karjo tak pernah menyangka akan mengalami hidup se ‘lux’ itu.
Sampai akhirnya mengundurkan dari jabatan asisten manager
di perusahaan financial terbesar di kotanya itu, Karjo masih belum
memutuskan akan pergi kemana atau mau melakukan apa untuk menyibukkan
dirinya kembali. Satu hal yang masih belum terungkap adalah, mengapa
harus surat pengunduran diri, bukan dipecat. Itu yang masih mengganjal
di hati Karjo. Sebagai seorang idealis, dimana saat mahasiswa dulu
hampir tiap hari ia menulis baik itu tulisan eksotopis, narasi, jurnal,
komunikal-linear, maupun yang un-schemed, Karjo selalu memutar
isi kepalanya dan mencari-cari semua pertanyaan-pertanyaan mendasar
dalam hidupnya. Pernah Karjo merasa bahwa pola berfikirnya terlalu jauh
melangkah dari apa yang menjadi pijakan analogi sebagian orang. Sering
orang menganggap nya tidak waras karena ide-ide gilanya ketika itu.
Bahkan tidak sedikit dosen yang terlibat perseteruan logika dengannya.
Karjo sering menutup pertikaian ‘kecil’ dalam kelas itu dengan
mengatakan ini; “Saya akan hidup dengan idealisme saya, dan itu yang
akan memberi makan anak istri saya nanti. Jangan tanyakan sukses saya
sampai mana, karena akan saya jawab, sejauh mata memandang!”.
3 minggu di kos tanpa kegiatan yang berarti, membuat Karjo mulai
merasakan kejenuhan. Ia tak lagi murah senyum, wajahnya kusut, rambutnya
kini gondrong tak berbentuk, rokok A-Mild itu tak pernah lepas dari
mulutnya. Pernah ia mengigau, “tampar aku! Tampar aku!”. Seperti
menyuruh seseorang untuk menyadarkannya dari situasi sulit yang
sepatutnya ia temui dalam mimpi ketimbang dunia nyata. Sebetulnya, tidak
ada siapa-siapa yang menjadi beban hidupnya saat ini. Orang tuanya
adalah seorang pensiunan PNS yang tidak pernah mengeluh soal keuangan.
Adik ceweknya juga seorang programmer handal yang kini sudah bekerja di
perusahaan IT besar di Bandung. Pacar juga tidak ada. Agaknya, Karjo ini
hanya sedang bingung tentang bagaimana nasib status sosialnya nanti.
Dilihat dari besarnya pesangon yang diberikan Bank semenjak resign nya
waktu itu, Karjo seharus nya bisa bernafas lega karena, isi dalam amplop
itu adalah cek yang bila dicairkan cukup untuk membuatnya berpesta
selama 1 tahun. Namun, nampaknya masalah bukan di situ. Karjo seperti
terjebak dalam idealisme nya sendiri. Ia terlalu jauh memandang values
dirinya yang secara socio-pragmatik menempatkan harga dirinya dalam
kedudukan yang tinggi.
Tiap kali Karjo berimajinasi, ia
selalu berada dalam kondisi yang sempurna. Mapan, cerdas, dedikatif,
disegani kawan maupun lawan, dan digandrungi banyak gadis. Oke, mungkin
ia pernah merasa berada satu langkah menuju ke sana. Namun keputusan
telah dibuat dan ini adalah saat dimana Karjo harus mengambil sikap
untuk maju atau mundur dari medan laga.
Isu yang beredar di sekitar kos adalah bahwa Karjo tidak bisa
menerima keputusan ketika ia harus dipindah tugaskan di luar pulau,
dengan posisi jabatan yang lebih tinggi. Ia harus memilih tetap disitu
dengan posisi sama, ataukah memiliki jabatan ‘wah’ di negeri
orang. Namun jika memang tidak mau pindah, banyak juga yang
menyayangkan, kenapa Karjo harus resign sementara dia memiliki pilihan
lain, yaitu tetap disitu dengan kesehatan finansial yang tetap prima.
Nampaknya
teman-temannya itu tidak melihat sisi lain yang muncul dari kisah Karjo
ini. Tidak ada yang menyangka bahwa tidak ada penyesalan di hati Karjo,
tidak ada kesedihan di hati Karjo terkait peristiwa pengunduran
dirinya. Karjo adalah tipe cowok misionaris. Bukan eksibisionis
yang lebih suka gagah-gagahan tetapi stagnan dengan keadaannya
ketimbang berfikir maju dan mencoba meraih impiannya. Banyak teman yang
menasehati, “it’s all about opportunity, find your own”.
Pepatah lama memang mengatakan selagi ada peluang maka ambillah. Namun
bagi Karjo, kenapa harus menunggu ada peluang, kenapa tidak kita sendiri
yang menciptakannya, mendesainnya, dan menikmatinya.
Bisa dikatakan Karjo adalah korban dari sifat kutu bukunya. Semua -isme
ia baca, ia pelajari, ia analisis, dan ia pilah mana yang memungkinkan
ia terapkan. Pernah juga ia bermimpi menjadi penulis. Namun ketika itu
ia masih lugu, “emangnya menulis bisa ngasih makan?” begitu pikirnya. Sehingga pada akhirnya Karjo membatasi diri hanya pada taraf “membaca” bukan “menulis”.
Di situ, ia mencoba menggali kebenaran. Bukan kepalsuan. Dan agaknya,
pijakan dasar inilah yang membuatnya seperti ini. Tergantung di awan
harapan dengan menyimpan jutaan impian di bagian terdalamnya.
Dalam konteks harfiah, Karjo memang nampak telah menyerah dengan
keadaan. Namun ternyata, dibalik kelusuhannya itu, dibelakang
teman-temannya itu, didalam setiap kesunyiannya itu, Karjo telah
merencanakan sesuatu. Sesuatu yang besar. Sesuatu yang tak mungkin
terpikirkan oleh seorang sarjana ekonomi yang lebih bermindset ‘ikut orang’ ketimbang ‘diikuti orang’.
Didalam kamarnya, berserakan kertas-kertas baik itu yang coretan tangan
maupun yang tercetak printer, semua tulisan itu mengisyaratkan satu
hal: “Enterpreneurship!”.
Sebuah keputusan yang telah bulat dibuat. Semua pikiran dan tenaga terkuras dan tercurah hanya untuk mewujudkan satu hal “Martabat!”
Sepertinya
Karjo melihat hal lain ketika direkturnya menawarkan jabatan tinggi
itu. Ia melihat bahwa orang mulai mau membayarnya tinggi karena
kemampuan yang dimilikinya sedikit demi sedikit membuat orang
menganggapnya begitu “bernilai”. Ia telah sampai pada titik perjalanan
dimana ia harus singgah dan membuat hidupnya sendiri. Bukan mengabdi
pada kehidupan orang lain. Iya, itulah sebenarnya yang terjadi.
Alur
indah yang telah ia lewati dalam hidupnya semenjak belia itu telah
membuatnya bangun dari ilusi bahwa takdir itu adalah hasil dari apa yang
telah kita perjuangkan. Ia tahu bahwa nasib itu dialah yang
mengukirnya, melihat hasilnya, dan menentukan apakah ia berharga atau
tidak. Dan kini ia tahu, dirinya telah siap untuk itu. Untuk menjadi
berlian yang akan dihargai mahal, tak peduli betapa kotor tempat berlian
itu berada.
Dari kertas-kertas yang berserakan itu, Karjo menulis, dan terus
menulis, kemudian menyatukannya semua menjadi sebuah ide yang siap ia
kembangkan dan ia jual.
Benarlah ternyata. Kini
teman-teman kos Karjo kembali melihat Karjo yang rapi, mengenakan dasi
dan menyemir sepatunya. Menyemir sepatu itu hukanlah persoalan mudah.
Dulu ketika berkerja di Bank, Karjo hanya asal saja menyemir sepatunya,
yang terlihat hitam saja sudah cukup. Namun kini, tidak hanya hitam,
tapi juga kinclong. Sampai-sampai semut saja harus terpeleset ketika
sedang mendakinya. Tidak lain tidak bukan adalah karena, ia hari ini
lebih berharga dibanding hari kemarin. Dan seperti itulah juga untuk
hari-hari besok.
Kini, Karjo telah menerbitkan 3 judul buku yang semuanya adalah tentang
bagaimana menjadi individu yang mampu terbang melesat jauh ke langit. Ia
tulis disana, bagaimana terlihat cerdas tanpa harus membaca melihat
acara Mario Teguh setiap Minggu, atau minum tolak angin agar tidak masuk
angin. Ia tulis juga hanya dengan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa
bersama kitalah maka keberanian untuk terus berjuang demi hidup yang
lebih baik itu ada. Tak lupa juga ia tulis, jangan pernah mau kalah
dengan orang-orang seperti Einstein atau Da Vinci yang dalam hidupnya
selalu menemukan penemuan-penemuan hebat. Kita bisa melakukan
inovasi-inovasi juga karena semua orang berkesempatan untuk itu. Hanya
saja inovasi pertama harus dimulai dari menggerakkan hati kita sendiri.
Satu hal penting yang tidak pernah lupa ditulis disitu adalah bahwa
orang-orang hebat itu kebanyakan tidak mengabdi atau bekerja sebagai
pesuruh orang. Apapun jabatannya. Mereka semua bekerja sebagai
enterpreneur. Bahkan ketika kita ingin meneladani para Nabi pun,
kebanyakan dari mereka semua adalah seorang enterpreneur. Enterpreneur
disini maksudnya adalah, semua dibangun dan didasari oleh hasil
pengolahan pikir sendiri dan juga resources kita sendiri.
Setelah buku-bukunya sering menjadi best seller, kini Karjo
disibukkan mengisi seminar motivasi dan mengisi pelatihan-pelatihan
pengembangan diri baik itu yang di perusahaan, perguruan tinggi, serta
dinas-dinas pemerintahan. Bahkan salah satu televisi swasta telah
mempersiapkan kontrak dengannya untuk sebuah acara talk show. Bulan
depan, mungkin pembangunan gedung penerbitan buku Karjo akan selesai.
Dari hasil yang terkumpul dari penjualan bukunya, memang telah
didepositokan untuk membangun sebuah kerajaan bisnis percetakan dan
penerbitan buku yang besar. Akhir-akhir ini, dia juga dekat dengan
seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai editor majalah keluarga.
Masa depan cerah telah terbentang luas di hadapan Karjo.
Semua
hal itu tidak lain tidak bukan adalah hasil dari keberanian seorang
manusia, dimana ia telah menemukan nilai sebuah jati diri. Ia telah
berhasil menempatkan sebuah bad situation menjadi satu value yang
mampu ia gunakan untuk menggapai mimpi-mimpinya. Pada akhirnya, ia
telah menang. Sekarang masalahnya ada pada kita. Akankah kita bangun dan
mengkuti kesadaran Karjo, ataukah tetap menikmati keadaan
ditimang-timang dengan kebahagiaan semu yang selalu menempatkan diri
kita satu hasta dibawah otoritas orang lain. Just like an old proverb, “working is about earning, fun, enjoyment, and dignity”. You choose!!
Rabu, 25 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar