Pages

Rabu, 25 Desember 2013

Karjo dan Semir Sepatu

Namanya Karjo. Lengkapnya Lanang Sukarjo. Sebuah nama yang nampaknya terkesan “ndeso” namun menyimpan makna kebersahajaan yang dalam. Entah apa yang difikirkan orang tua nya dulu ketika memberinya nama itu. Semestinya Karjo menanyakan hal itu ketika kecil dulu.

Saat ini Karjo lebih sering melamun dan menyendiri di depan teras kosnya sambil menghabiskan berpuntung-puntung rokok A-Mild. Tidak lupa secangkir kopi hitam menemani saat-saat kontemplatifnya itu.

Semenjak resign dari sebuah Bank swasta 3 minggu lalu, Karjo lebih terlihat seperti mahasiswa yang tak pernah peduli dengan ‘mandi’ daripada disebut sebagai akuntan bank yang setiap paginya harus buru-buru berlari kesana kemari mencari dasi dan semir sepatu.  Teman-teman kosnya selalu memanggilnya “Pak Direktur” dengan busananya yang seperti itu. Diapun lebih terlihat kikuk ketimbang bangga ketika terlontar sebutan itu.


Entah apa yang menjadi penyebab resign nya Karjo dari pekerjaan bergengsinya itu. Teman-teman satu kosnya yang juga rata-rata sudah bekerja sering membicarakan hal itu. Bagaimana tidak, ketika masih berjaya sebagai seorang karyawan Bank hampir setiap weekend Karjo mengajak teman-temannya hang out dan mentraktir mereka semua, apapun yang diminta. Luar biasa!

3 tahun bekerja sebagai seorang akuntan nampaknya tak kemudian membuat Karjo bahagia lahir batin. Secara finansial mungkin Karjo sudah mendapatkan surganya, dimana hal itu dibuktikan dengan membeli sebuah motor baru yang modelnya lebih sering terlihat di balap motor GP ketimbang di pangkalan ojek. Makan pun tidak pernah lagi di warteg atau nasi kucing seperti ketika masih mahasiswa dulu. Bersama dengan sahabat-sahabatnya, Karjo lebih sering nongol di Starbucks, KFC, atau resto. Sebuah elegansi hidup yang memukau. Bila mengingat masa kecilnya pernah berjualan donat dan mengamen di sebuah obyek wisata di desanya dulu, Karjo tak pernah menyangka akan mengalami hidup se ‘lux’ itu.

Sampai akhirnya mengundurkan dari jabatan asisten manager di perusahaan financial terbesar di kotanya itu, Karjo masih belum memutuskan akan pergi kemana atau mau melakukan apa untuk menyibukkan dirinya kembali. Satu hal yang masih belum terungkap adalah, mengapa harus surat pengunduran diri, bukan dipecat. Itu yang masih mengganjal di hati Karjo. Sebagai seorang idealis, dimana saat mahasiswa dulu hampir tiap hari ia menulis baik itu tulisan eksotopis, narasi, jurnal, komunikal-linear, maupun yang un-schemed, Karjo selalu memutar isi kepalanya dan mencari-cari semua pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidupnya. Pernah Karjo merasa bahwa pola berfikirnya terlalu jauh melangkah dari apa yang menjadi pijakan analogi sebagian orang. Sering orang menganggap nya tidak waras karena ide-ide gilanya ketika itu. Bahkan tidak sedikit dosen yang terlibat perseteruan logika dengannya. Karjo sering menutup pertikaian ‘kecil’ dalam kelas itu dengan mengatakan ini; “Saya akan hidup dengan idealisme saya, dan itu yang akan memberi makan anak istri saya nanti. Jangan tanyakan sukses saya sampai mana, karena akan saya jawab, sejauh mata memandang!”. 

3 minggu di kos tanpa kegiatan yang berarti, membuat Karjo mulai merasakan kejenuhan. Ia tak lagi murah senyum, wajahnya kusut, rambutnya kini gondrong tak berbentuk, rokok A-Mild itu tak pernah lepas dari mulutnya. Pernah ia mengigau, “tampar aku! Tampar aku!”. Seperti menyuruh seseorang untuk menyadarkannya dari situasi sulit yang sepatutnya ia temui dalam mimpi ketimbang dunia nyata. Sebetulnya, tidak ada siapa-siapa yang menjadi beban hidupnya saat ini. Orang tuanya adalah seorang pensiunan PNS yang tidak pernah mengeluh soal keuangan. Adik ceweknya juga seorang programmer handal yang kini sudah bekerja di perusahaan IT besar di Bandung. Pacar juga tidak ada. Agaknya, Karjo ini hanya sedang bingung tentang bagaimana nasib status sosialnya nanti. Dilihat dari besarnya pesangon yang diberikan Bank semenjak resign nya waktu itu, Karjo seharus nya bisa bernafas lega karena, isi dalam amplop itu adalah cek yang bila dicairkan cukup untuk membuatnya berpesta selama 1 tahun. Namun, nampaknya masalah bukan di situ. Karjo seperti terjebak dalam idealisme nya sendiri. Ia terlalu jauh memandang values dirinya yang secara socio-pragmatik menempatkan harga dirinya dalam kedudukan yang tinggi.

Tiap kali Karjo berimajinasi, ia selalu berada dalam kondisi yang sempurna. Mapan, cerdas, dedikatif, disegani kawan maupun lawan, dan digandrungi banyak gadis. Oke, mungkin ia pernah merasa berada satu langkah menuju ke sana. Namun keputusan telah dibuat dan ini adalah saat dimana Karjo harus mengambil sikap untuk maju atau mundur dari medan laga.

Isu yang beredar di sekitar kos adalah bahwa Karjo tidak bisa menerima keputusan ketika ia harus dipindah tugaskan di luar pulau, dengan posisi jabatan yang lebih tinggi. Ia harus memilih tetap disitu dengan posisi sama, ataukah memiliki jabatan ‘wah’ di negeri orang. Namun jika memang tidak mau pindah, banyak juga yang menyayangkan, kenapa Karjo harus resign sementara dia memiliki pilihan lain, yaitu tetap disitu dengan kesehatan finansial yang tetap prima.

Nampaknya teman-temannya itu tidak melihat sisi lain yang muncul dari kisah Karjo ini. Tidak ada yang menyangka bahwa tidak ada penyesalan di hati Karjo, tidak ada kesedihan di hati Karjo terkait peristiwa pengunduran dirinya. Karjo adalah tipe cowok misionaris. Bukan eksibisionis yang lebih suka gagah-gagahan tetapi stagnan dengan keadaannya ketimbang berfikir maju dan mencoba meraih impiannya. Banyak teman yang menasehati, “it’s all about opportunity, find your own”. Pepatah lama memang mengatakan selagi ada peluang maka ambillah. Namun bagi Karjo, kenapa harus menunggu ada peluang, kenapa tidak kita sendiri yang menciptakannya, mendesainnya, dan menikmatinya.

Bisa dikatakan Karjo adalah korban dari sifat kutu bukunya. Semua -isme ia baca, ia pelajari, ia analisis, dan ia pilah mana yang memungkinkan ia terapkan. Pernah juga ia bermimpi menjadi penulis. Namun ketika itu ia masih lugu, “emangnya menulis bisa ngasih makan?” begitu pikirnya. Sehingga pada akhirnya Karjo membatasi diri hanya pada taraf “membaca” bukan “menulis”. Di situ, ia mencoba menggali kebenaran. Bukan kepalsuan. Dan agaknya, pijakan dasar inilah yang membuatnya seperti ini. Tergantung di awan harapan dengan menyimpan jutaan impian di bagian terdalamnya.

 Dalam konteks harfiah, Karjo memang nampak telah menyerah dengan keadaan. Namun ternyata, dibalik kelusuhannya itu, dibelakang teman-temannya itu, didalam setiap kesunyiannya itu, Karjo telah merencanakan sesuatu. Sesuatu yang besar. Sesuatu yang tak mungkin terpikirkan oleh seorang sarjana ekonomi yang lebih bermindset ‘ikut orang’ ketimbang ‘diikuti orang’. Didalam kamarnya, berserakan kertas-kertas baik itu yang coretan tangan maupun yang tercetak printer, semua tulisan itu mengisyaratkan satu hal: “Enterpreneurship!”.

Sebuah keputusan yang telah bulat dibuat. Semua pikiran dan tenaga terkuras dan tercurah hanya untuk mewujudkan satu hal “Martabat!”

Sepertinya Karjo melihat hal lain ketika direkturnya menawarkan jabatan tinggi itu. Ia melihat bahwa orang mulai mau membayarnya tinggi karena kemampuan yang dimilikinya sedikit demi sedikit membuat orang menganggapnya begitu “bernilai”. Ia telah sampai pada titik perjalanan dimana ia harus singgah dan membuat hidupnya sendiri. Bukan mengabdi pada kehidupan orang lain. Iya, itulah sebenarnya yang terjadi.

Alur indah yang telah ia lewati dalam hidupnya semenjak belia itu telah membuatnya bangun dari ilusi bahwa takdir itu adalah hasil dari apa yang telah kita perjuangkan. Ia tahu bahwa nasib itu dialah yang mengukirnya, melihat hasilnya, dan menentukan apakah ia berharga atau tidak. Dan kini ia tahu, dirinya telah siap untuk itu. Untuk menjadi berlian yang akan dihargai mahal, tak peduli betapa kotor tempat berlian itu berada.

Dari kertas-kertas yang berserakan itu, Karjo menulis, dan terus menulis, kemudian menyatukannya semua menjadi sebuah ide yang siap ia kembangkan dan ia jual.

Benarlah ternyata. Kini teman-teman kos Karjo kembali melihat Karjo yang rapi, mengenakan dasi dan menyemir sepatunya. Menyemir sepatu itu hukanlah persoalan mudah. Dulu ketika berkerja di Bank, Karjo hanya asal saja menyemir sepatunya, yang terlihat hitam saja sudah cukup. Namun kini, tidak hanya hitam, tapi juga kinclong. Sampai-sampai semut saja harus terpeleset ketika sedang mendakinya. Tidak lain tidak bukan adalah karena, ia hari ini lebih berharga dibanding hari kemarin. Dan seperti itulah juga untuk hari-hari besok.

Kini, Karjo telah menerbitkan 3 judul buku yang semuanya adalah tentang bagaimana menjadi individu yang mampu terbang melesat jauh ke langit. Ia tulis disana, bagaimana terlihat cerdas tanpa harus membaca melihat acara Mario Teguh setiap Minggu, atau minum tolak angin agar tidak masuk angin. Ia tulis juga hanya dengan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa bersama kitalah maka keberanian untuk terus berjuang demi hidup yang lebih baik itu ada. Tak lupa juga ia tulis, jangan pernah mau kalah dengan orang-orang seperti Einstein atau Da Vinci yang dalam hidupnya selalu menemukan penemuan-penemuan hebat. Kita bisa melakukan inovasi-inovasi juga karena semua orang berkesempatan untuk itu. Hanya saja inovasi pertama harus dimulai dari menggerakkan hati kita sendiri. Satu hal penting yang tidak pernah lupa ditulis disitu adalah bahwa orang-orang hebat itu kebanyakan tidak mengabdi atau bekerja sebagai pesuruh orang. Apapun jabatannya. Mereka semua bekerja sebagai enterpreneur. Bahkan ketika kita ingin meneladani para Nabi pun, kebanyakan dari mereka semua adalah seorang enterpreneur. Enterpreneur disini maksudnya adalah, semua dibangun dan didasari oleh hasil pengolahan pikir sendiri dan juga resources kita sendiri.

Setelah buku-bukunya sering menjadi best seller, kini Karjo disibukkan mengisi seminar motivasi dan mengisi pelatihan-pelatihan pengembangan diri baik itu yang di perusahaan, perguruan tinggi, serta dinas-dinas pemerintahan. Bahkan salah satu televisi swasta telah mempersiapkan kontrak dengannya untuk sebuah acara talk show. Bulan depan, mungkin pembangunan gedung penerbitan buku Karjo akan selesai. Dari hasil yang terkumpul dari penjualan bukunya, memang telah didepositokan untuk membangun sebuah kerajaan bisnis percetakan dan penerbitan buku yang besar. Akhir-akhir ini, dia juga dekat dengan seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai editor majalah keluarga. Masa depan cerah telah terbentang luas di hadapan Karjo.

Semua hal itu tidak lain tidak bukan adalah hasil dari keberanian seorang manusia, dimana ia telah menemukan nilai sebuah jati diri. Ia telah berhasil menempatkan sebuah bad situation menjadi satu value yang mampu ia gunakan untuk menggapai mimpi-mimpinya. Pada akhirnya, ia telah menang. Sekarang masalahnya ada pada kita. Akankah kita bangun dan mengkuti kesadaran Karjo, ataukah tetap menikmati keadaan ditimang-timang dengan kebahagiaan semu yang selalu menempatkan diri kita satu hasta dibawah otoritas orang lain. Just like an old proverb, “working is about earning, fun, enjoyment, and dignity”. You choose!!





0 komentar: