“Panji! Hoii Panji...!!” sebuah suara yang kurasa tidak asing memanggil-manggil dari arah belakang. Kutoleh, ternyata Toni sedang berlari mengejarku. Dia temen nongkrongku, cuman beda jurusan. “Eh ada apa Ton...?” tanyaku sambil berjalan agak pelan.
“Sebentar, kamu mau masuk khan? Aku juga kok. Ini lho ada titipan lagi...” Tony berkata sembari menyodorkan sebuah kotak nasi bungkus berwarna hijau. “Hah!! Lagi??” aku sedikit kaget mengingat sudah 2 minggu ini Tony memberikan kotak makanan misterius yang lezatnya tiada tara itu. Tony hanya bilang itu dari seorang cewek, tapi dia gak mau bilang siapa.
“Eh Ton, gak salah? Aku malah jadi gak enak sendiri nih...” kataku
“Tenang Panji. Aku hanya menjalankan amanat dari Tuan Putri. Jangan tanya kenapa?” jawab Tony seperti biasanya.
“Tapi Ton, masa aku makan sarapan tiap pagi dari orang yang gak kukenal, dan dengan cara yang aneh seperti dititipkan lewat cowok freak macam kamu gini?” aku makin nyolot.
“Udah kamu bawa aja... Habisin ya.... Dia masak spesial buat kamu lho hari ini...” Tony menggodaku.
“Eh Ton, kamu beruntung ya aku sedang terburu-buru, kalo enggak, ku gembosin itu perut buncit!” tukasku mantap.
“He he... Seperti biasa ya nji, ntar jam 11 selesai mata kuliah kedua kutunggu di Taman kampus. Kamu kasihin lagi bungkusnya itu ke aku... Jangan telat!!”
“Kenapa emang?” tanyaku penasaran
“Soalnya setelah sekian lama, Tuan Putri itu akan muncul nanti... Dia akan menampakkan diri... Qiqiqiqi...” jawab Tony mulai aneh
“Iihh... Kamu ini... Oke beneran lho tapi?! Ntar langsung ke sana deh aku... Makasih ya Ton...” sahutku riang.
Kami berpisah. Sambil berjalan menuju ruangan, aku mulai berfikir, sebentar lagi aku akan tau siapa cewek koki misterius yang selama ini telah begitu baik menghantarkan sarapan lezat kepada mahasiswa kos yang tiap akhir bulan selalu kebingungan nyari uang macam aku ini. Baik, kita lihat saja nanti!
Jam menunjukkan pukul 10.30. Setengah jam lagi, berdasarkan keterangan si Tony tadi, cewek itu bakalan muncul.
“Panjjjiiii!!!” suara seorang cewek yang terdengar keras di telinga itu mengejutkanku. “Slompret kamu Tika, bikin kaget aja. Pake nempelin suara di kuping lagi..” sambil mengelus-elus kuping yang kepanasan ku umpatin dia. Tika ini salah satu teman sekelasku. Di mata kuliah Kalkulus, bisa dibilang dialah pahlawan di kelas. Tapi untuk kelas Filsafat Sains, jangan harap dia bisa menyalipku.
“Ngapain kamu bengong disini sendirian? Udah detektif kamu pake clingak clinguk tengok kanan kiri gitu?” Tika maen nyerocos aja. “Apa urusannya ama situ? Aku mo lari-lari kek, mo boker kek, mo nyopet kek, itu urusan aku. Ngapain kamu ambil pusing?” aku asal jawab aja.
“Eh ngamuk-ngamuk aja kaya gorilla kehabisan pisang. Aku tu kesini mau nanyain, udah selesai belum tugasnya Pak Sausan yang konsep statistika validitas itu? Seperti biasa, temen-temen udah pada nungguin...” ujar Tika.
“Alah.. ngrepotin aja kalian bisanya. Sekali-kali kerjakan sendiri ek.. Udah repot, gak dibayar lagi. Huh!” sahutku cepat.
“Oh gitu... Beneran nih? Jangan harap mata ujian kalkulus besok bisa dapet A kamu yah....” ancam Tika.
“Eh.. eh.. jangan gitu dong non.... Oke oke... Tunggu ya, besok kukasih deh hasil garapanku... Ini tadi gak kubawa, masih di kos... Ya? Ya? Ya?” mohonku bersungut-sungut.
“Nah gitu donk, anak baik... Besok kubeliin permen deh he he...” sahut Tika sambil mengusap-usap rambutku.
“Iye iye... Udah sono, aku ada janji sama orang...”
“Hayyooo.. cewek ya mesti?? Ayooo... “ Tika menggodaku.
“Udah sono... Buruan dateng lho orangnya nanti...” jawabku ketus sambil mendorong-dorong dia dari belakang.
Kulihat Tika berjalan menjauh, dia cengengesan sambil melambai-lambaikan tangannya.
Bagi gadis seramping dan semungil Tika, dia sebenarnya gak BeTe-BeTe amat anaknya. Untuk ukuran cewek yang gak menarik di mataku, dia cukup manis. Rambut seleher dan poni ala Dora cukup match sama hidungnya yang mancung. Pinternya juga lumayan lah. Paling gak dia bisa ngalahin juara hitung sekelas aku di 2 mata kuliah. Cuman ya itu, cerewetnya gak nguatin. Kalo udah sekali keluar suaranya, semua orang disitu gak ada yang diberi kesempatan menyela. Mungkin dia bakal jadi pemenang kalo ada lomba nge-gosip. Aku gak mau ambil resiko punya pacar kayak dia. Eh... Tapi ngomong-ngomong, kok dia tiba-tiba nongol tadi? Jangan-jangan ... ?? Eh tapi gak mungkin, aku gak pernah denger tentang kemampuannya memasak. Aneh rasanya kalo bayangin dia adalah tuan putri itu. Udah lah, mendingan nunggu Tony aja.
“Panji...” sebuah suara lembut memanggilku dari samping. Ah, aku tidak mungkin percaya siapa yang kulihat. Vita, dia benar-benar Vita. Gadis campus idol yang tenar lewat penampilan-penampilannya bernyanyi di pensi-pensi universitas, dan dipuja-puja banyak cowok di kampus ini, tiba-tiba saja muncul begitu saja dihadapanku. Hawa yang aneh pun mulai menjalari sekujur tubuhku.
“Vit... vit... vita... Apa kabar? Lama banget ya gak ketemu...” aku tergagap-gagap membalas sapaan nya. “Lho Panji, tumben sendirian. Gak sama genk nya?” Vita mulai membuka percakapan.
“Eh.. nggak kok.. Sekali-kali lah menyendiri begini he ...” kelakarku sambil garuk-garuk kepala. “Lha kamu sendiri mau kemana?” tambahku lagi.
“Ini nih, mau ke perpustakaan. Maklum lah, sebagai mahasiswi jurusan Sastra, hampir tiap minggu aku harus menjadwal peminjaman buku di perpust. Jadi ya gini deh...” tutur Vita sembari duduk di sebelahku. Kursi kayu reot ini terasa seperti kursi emas yang sedang diduduki Raja dan Ratu. Sembari memperhatikan orang yang lalu lalang melihat kami dengan wajah aneh, aku berusaha menikmati momen-momen penting ini. Jarang-jarang lho ada peristiwa seperti ini. Sebaiknya Tony segera datang, dan memotret kami ketika sedang berdekatan begini. Mungkin bisa jadi kenang-kenangan di hari tuaku nanti.
“Lama banget ya kita gak ketemu. Terakhir kalo gak salah, pas kamu ngiringin aku nyanyi di acara malam inaugurasi 3 bulan lalu ya?” kata-kata Vita mulai mencairkan suasana. Memoriku melayang teringat saat-saat dimana malam itu, aku bermain gitar akustik mengiringi Vita. Dia menyanyikan Serba Salah dan Could It Be yang dipopulerkan Raisa. Suaranya yang merdu dan suasana yang romantis malam itu, memberikan suguhan nuansa yang indah. Bisa jadi, itu adalah malam yang paling berkesan buatku, dimana akhirnya aku bisa sepanggung mengiringi artis kampus yang begitu kukagumi itu.
“Iya ta’. By the way, terima kasih ya atas kesempatannya berkolaborasi. Kamu penyanyi yang hebat.” Pujiku sembari tersenyum kecil.
“Terima kasih Panji. Kamupun pemetik gitar yang handal. Jika ada kesempatan berkolaborasi lagi, aku mau kok.” Vita mulai membuatku bergetar.
“Beneran?” aku mulai bersemangat.
“Iya...” jawab Vita sembari mengangguk kecil.
Sebagai seorang penyanyi berbakat yang selalu tampil nyaris sempurna di panggung, Jovita begitu digandrungi banyak cowok. Dia diidolakan hampir oleh setiap mahasiswa, dosen, akademisi, bahkan satpam-satpam tengil itupun sering bilang kalo Jovita bakalan jadi artis besar di ibukota tidak lama lagi. Mereka sering mengumbar gosip kalo Jovita sudah banyak dilirik manajer label besar. Yah, semoga aja bener....
“Eh Panji, malem minggu besok mau kemana? Temenin makan donk...”
Bagai kejatuhan duren, aku kaget bukan kepalang mendengar tawaran itu.
“Mak... mak.. makkk.. makaaannn??” jeritku agak memekik
“Kenapa emang Panji? Kamu gak pernah makan ya? He he...”
“Eh ... mmm. Anu.. Nngggngngng... Boleh boleh... Dengan senang hati...” jawabku gagap. Seandainya ada kaca, aku mungkin akan muntah melihat betapa lucu dan jeleknya wajahku saat ini.
Sebuah senyum simpul mengembang dari wajah Vita. Dia tampak berbinar mendengar jawabanku yang kacau tadi.
“Yaudah, kutunggu di “In Love Cafe” besok sabtu malam jam 8 tet. Awas jangan telat lho...” Vita menggodaku. Senyum itu lho, senyumnya itu lho adduuuhh...
Setelah berpamitan, Vita kemudian berlalu menuju ke perpustakaan di seberang sana. Aku masih cengar cengir sendiri ketika tiba-tiba Tony menepuk keras bahuku. “Pllaakkk!!” “Heyy!!” setengah teriak Tony mengagetkanku.
“Kamprettt!!” pekikku terkaget-kaget.
“Hahahahaha...” Tony tertawa terbahak-bahak melihat ekspresiku.
“Eh tau gak, mual perutku lihat kamu ketawa begitu” tukasku marah.
“Habisnya, wajahmu itu lho, udah kayak baboon nungguin pisang jatuh. Bwahahahaha!!” Tony mulai menyerang.
“ Kalo aku baboon, berarti kamu gorillanya!!”
“Yaudah sesama keluarga simpanse kita damai aja...” Tony mulai menenangkan diri.
“Eh Panji, aku ada kado nih buat kamu. “
“Ha? Kado apaan maksudmu?”
“Kado pernikahan?”
“Udah gila apa gimana sih kamu nih?”
“He he... Gini gini... Tuan Putri hari ini belum bisa dateng, dia bermaksud memberikan ini padamu... “ tukas Tony sembari menyodorkan sebuah amplop berisi surat kepadaku.
Melihatku mengernyitkan dahi, Tony menyahut; “Mm... sebetulnya dia ingin segera ketemu kamu hari ini... Tapi karena sesuatu hal, dia gak bisa dateng. Surat ini mungkin akan mewakili kehadirannya.”
“Ton, apa sih susahnya nyebut nama? Yaudah, ciri-ciri aja deh?” kataku jengkel.
“Maaf bro, aku udah janji ama dia. Kamu gak akan menyangka siapa dia... Kudoakan kalian nanti ada kesempatan bertemu...” kata-kata Tony tadi semakin mempermainkan hatiku.
“Yaudah, ntar malem kubaca ini surat. Sementara ini, aku mau belanja baju keren, buat besok sabtu.”
“Lho, emang ada acara apa SatNite besok?” gantian Tony yang penasaran.
“Penting ya..?? He he..” aku tertawa menang
“Iya lah, kan seharusnya kamu milikku selamanya.”
“Gila kamu. Dasar beruang madu! He he... Emm.. tapi jangan kaget ya... “
“Eeeeaaahhhhhh...”
“Kamu masih ingat Jovita?”
“Uh yang penyanyi itu ya? Iya tau kenapa emang?”
“Besok malem minggu aku mau dinner ama dia.. Kek kek kek.... Iyes iyes iyes” kataku sambil bergaya ala Sinchan
“Whaaattt??”
“He he he...”
Sambil cengar cengir, aku berjalan meninggalkan Tony si Beruang Madu yang masih terbengong-bengong gak percaya dengan apa yang baruan didengarnya...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Surat ditanganku ini masih belum juga kubuka. Bayanganku melayang jauh ke atas, cewek seperti apa yang tiap 2 hari sekali mempersiapkan sarapan pagi buat seorang cowok yang bahkan bisa saja dia belum pernah mengenalnya. Dan rasanya itu, benar-benar masakan seorang yang profesional. Dari rasanya, komposisinya, tidak mungkin dia cewek sembarangan, dia pasti seseorang yang spesial. Atau mungkin justru sebaliknya, dia cewek yang biasa-biasa saja.
Dasar Tony sialan. Seandainya dia sedikit saja membocorkan nama, pasti aku tidak stress seperti ini. Yang aku tidak habis pikir, untuk apa dia menyibukkan diri seperti itu. Kalo dia sedang melakukan riset tentang masakannya, maka aku dengan senang hati akan memberikan penilaianku yang obyektif. Tetapi jika ini tentang perasaan, maka nampaknya aku harus berani menghadapi kenyataan bahwa masa jombloku akan segera berakhir. Tetapi jika ternyata ini adalah taruhan yang sengaja diujikan ke aku sama si Tony dkk, maka dia harus bersiap-siap menghadapi mimpi buruknya, dan itu adalah aku!!
Setelah menghela nafas panjang, aku buka amplop putih itu, dan mengambil secarik kertas di dalamnya. Nampak sekilas tulisannya yang rapi, tinta hitam dari ballpoint tebal, dan kertas yang masih nampak bersih, menandakan ini baru dibuat paling lama sekitar 24 jam dari ketika aku membukanya tadi.
Ketika kau baca surat ini, dimana nanti kata demi kata mulai kau cerna, mungkin akan kautemui isi tanpa makna dalam pesan ini. Atau mungkin makna tanpa kata yang kan terasa. Aku tak tahu pasti.
Sebetulnya sudah lama sekali ingin aku mengatakan ini. Rasanya kita seperti kembali ke masa SMP dulu dimana berkirim surat adalah media palling ampuh untuk mengungkapkan isi hati. Aku tahu, berbagai media elektronik itu mampu menghantarkan pesan ini kepadamu, tetapi tidak sesakral kertas putih yang bertuliskan tinta pena. Dari hal ini, kuharap engkau akan tahu betapa berharganya surat ini.
Telah lama mungkin kau bertanya-tanya, siapa wanita dibalik ini semua. Dibalik masakan misterius yang hampir tiap pagi terkirim buatmu. Disela-sela hari-harimu yang penuh dengan kesibukan, aku terus memperhatikanmu. Kulihat wajahmu dari jauh, walaupun tidak lama setelahnya, yang tertinggal hanya bayangmu.
Aku bukanlah penguntit yang ingin menjadi teror hidupmu, atau pemuja yang ingin menjadi misteri bagimu. Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku tak ingin kamu tahu, bahwa selama ini aku telah begitu lelah menjadi hantu dibalik tirai. Aku ingin keluar dan bertemu muka denganmu. Bukan ingin apa... Aku hanya ingin bicara... Itu saja... Tentang realita... Tentang rasa... Tentang harapan ... Berharap kau akan memahaminya ... Semoga ...
Semenjak kuputuskan menulis surat ini, aku tau konsekuensi darinya. Mungkin pahit masa lalu itu akan terulang kembali. Atau bahkan lebih buruk lagi... Dunia akan menertawakanku. Aku tak lagi peduli. Aku telah memulai, maka aku pulalah yang harus mengakhiri.
Panji, kuharap kau mulai menyimak sekarang...
Ini semua adalah epos yang tak pernah bisa kita hindari. Ini adalah baju lusuh yang tak pernah bisa kita tanggalkan. Ini pula rumah jiwa yang tak mungkin bisa kita huni. Semuanya seperti menempatkan segala kemungkinan itu dalam suatu bingkai ketidakmungkinan. Seperti mawar yang tak mampu tumbuh di musim panas, atau merpati yang tak bisa lagi terbang karena patah sayapnya. Taman Eden dengan segala keindahannya itu terlalu jauh untuk digapai hingga para dewa pun tak lagi menghiraukan badai.
Dulunya, aku enggan untuk melakukan ini. Namun semenjak hari itu, aku telah yakin. Kepasrahan diri pada kodrat-Nya adalah yang utama. Secara insidentil, kita dipertemukan di sebuah kesempatan. Dari situlah semuanya berawal. Maka, kinilah saatnya aku bicara...
Panji, masihkah kau ingat peristiwa 2 tahun silam. Ketika langit tak lagi muncul di waktu fajar. Saat semuanya menjadi gelap. Namun sinarnya masih menyinari hati kita. Waktu itu, hujan turun dengan begitu deras, namun airnya terasa hangat mengguyur jiwa. Saat semua manusia lelap tertidur, pelangi menghampiri kita dan seolah nyata, ia membawa kita ke awan sana. Kabut tak lagi ada kala itu, tergantikan dengan senyum manis anak-anak kehidupan yang berlarian menerjang malam. Semua menyiratkan kebahagiaan. Tak ada kesedihan. Dan itu semua, berkat kamu, berkat kamu...
Aku tak tahu, kapan lagi saat-saat indah itu kan ada. Semuanya bertutur. Tentang kisah hari itu. Kisah seorang lelaki yang berjuang demi kehormatan orang lain. Dari mulut ke mulut, media ke media, bahkan merpatipun membawa berita itu ke atas sana. Tuhan mendengar doaku, dan disinilah ternyata kita bertemu. Di bawah teduh pohon, di bumi surgawi. Di kampus biru ini ...
Makanan-makanan itu, hanyalah pengingat. Bukan peneror. Itu semata-mata pertanda bahwa perjumpaan kita nanti hanya akan sedikit tertunda. Dan di tiap bumbu masakanku itu pula aku menumpahkan semua isi hatiku. Aku ingin menunjukkan kesungguhanku. Keteguhan hati ini, betapapun beratnya, harus segera kutunjukkan padamu. Aku telah menanti saat-saat ini. Dan pada hari kita bertemu nanti, akan kukabarkan padamu tentang cerita pilu seorang gadis kecil yang terkurung di dalam jiwa seorang lelaki. Mimpi-mimpi itu sudah lama terkubur. Namun seseorang telah berhasil membangkitkannya kembali.
Sampai nanti...
“Ohh shitt!!” pekikku tertahan. Metafor-metafor itu benar-benar membuatku mual.
Siapa yang sebenarnya sedang kuhadapi ini. Mengapa harus serumit ini. Aku berkicau tanpa henti.
Tetapi, dia bukan orang baru. Dia menyebut sebuah periode. Dua tahun lalu. Aku berfikir keras, menemukan serpihan-serpihan ingatanku yang berserakan, untuk kemudian menyatukannya kembali menjadi satu gambaran masa lalu yang utuh. Tetapi tetap saja tidak bisa. Aku tak menemukan apapun disana. Terlalu banyak kesibukan yang kulakukan. Malam itu, aku benar-benar tak bisa tidur. Kegundahan hebat menghinggapiku.
“Kegelisahan ini harus terjawab besok. Harus terjawab!” batinku mantap...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suasana kelas pagi itu agaknya kurang nyaman bagiku. Duduk di pojok belakang sambil memainkan potlot di tangan, pandanganku tertuju pada buku setebal 200 halaman di atas meja. Covernya berwarna putih dengan gambar Einstein sedang menulis menggunakan bolpoin di sebuah kertas, dengan tulisan besar di atasnya, Sains dan Statistika. Tatapanku kosong. Ekspresi wajah ini mungkin menampilkan kegalauan hati yang hebat. Tak ada yang tau bahwa saat ini, aku tak lagi bisa berfikir jernih. Bayangan kotak demi kotak makanan yang kuterima hampir tiap pagi itu melintas jelas di mataku.
Tak biasanya, mata kuliah Pak Timur adalah yang paling kugemari. Tapi hari itu, aku tak tahu lagi apa arti kuliah. Yang kutahu, aku sedang berurusan dengan semacam spionase atau alien yang saat ini sedang memata-matai, mengawasi, dan tanpa sedikit pun tahu apa tujuannya.
“Eh Panji, kamu tau gak berita terbaru pagi ini?” sebuah suara yang ternyata adalah suara si Tika yang duduk di sebelah membuyarkan lamunanku.
“Gak tau, napa emang ka?” sahutku
“Bu Intan sedang di luar negeri. Ikut workshop selama sebulan di Swiss. Kamu seneng khan denger berita ini?” kata Tika
“Biasa aja tuh...” tukasku asal. Tetapi sedikit senang mengingat aku adalah target buruan dosen wanita vampire yang paling ditakuti di kampus ini. Tak terhitung sudah berapa kali aku dihukum dan distrap di depan kelas karena sering salah mengerjakan tugas.
“Eh tapi jangan pikir kamu bisa bolos ya. Bu Intan sudah menyiapkan dosen sementara buat menggantinya mengajar. Dia dosen baru di kampus, prestasinya segudang. Dan katanya lagi, dia lebih galak!”
“Hah!” aku baru mulai benar-benar takut sekarang.
“Udah tenang aja. Aku baik kok orangnya. Ntar kalo ada tugas, kucontekin dah he he...”
“Huft.... Makasih ye... “ aku bernafas lega
“Tapi traktir bakso ya men ... “
“Wedeh bangkrut dah aku kalo kayak gini caranya... Yaudah gak pa pa deh. Yang penting aman..” aku mulai lupa dengan masalahku.
“Nah gitu dong... Tambah cakep deh kamu kalo mau beliin aku bakso.” Cerocos Tika
“Modus.”
“Paannjjiiii!! Bisik-bisik apa kamu dibelakang sama Tika?” sebuah teriakan menggelegar dari depan yang tidak lain tidak bukan adalah suara pak Timur mengejutkan seisi kelas.
“Mm.. mm.. maaf pak. Saya tadi tanya tentang Dasar Proses Statistika yang bapak jelaskan barusan...” jawabku terbata-bata seraya menahan degup jantung yang kian mengencang.
“Gak usah ngeles! Sini maju, coba kerjakan soal yang saya buat ini!”
Pak Timur tanpa basa basi langsung menuliskan 5 soal sulit yang akan segera membuatku basah kuyup karena keringat.
“Kamprettt!” dengan langkah gontai, aku maju mencoba tegar menghadapi masa-masa sulit yang akan kulalui sebentar lagi.
Tika tak bisa menahan tawa melihatku menderita begitu. Dia cengar cengir sendiri di belakang. Sialan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jam weker gitar mini itu berbunyi. “Kkkrrriiinngggg!!!”, kulihat jam, 18.00. “Oh Damn! 2 jam lagiiii!!”. Tau kebablasan tidur siang, aku menjerit. 2 jam dari sekarang, aku harus tampil sempurna, karena seorang gadis impian mengajakku makan malam. Iya, malam ini aku akan dating dengan Jovita. Gadis pujaan semua pria di kampus.
Aku sebenarnya bukanlah tipe cowok pemuja wanita cantik, hanya saja aku punya penilaian sendiri tentang etimologi 'cantik'. Panji, begitu orang-orang memanggilku, bisa dikatakan sosok cowok sederhana yang sangat jauh dari kesan borjuis. Rambutku tak pernah terlihat tersisir rapi. Style awut-awutan sangat kental denganku. Namun dibalik kelugasan sikap itu, aku seorang yang idealis, dan kreatif. Banyak orang bilang aku dikenal sebagai pria yang gaul, dan artistik. Beberapa kali lukisan tanganku di pampang di mading kampus. Aku juga seorang pemetik gitar yang bersemangat. Aku belajar gitar akustik semenjak SMA, ketika Pak Nanda, guru musikku bilang kalo aku hanyalah pemuda kampung biasa yang tak punya bakat apa-apa, cuman gara-gara aku dapat nilai 4 di pelajaran Seni Musik. 1 bulan belajar gitar ternyata cukup untuk membuat Pak Nanda itu takluk dan memberiku 2 jempolnya. Namun aku bukan anak band. Aku bermain gitar hanya untuk dirinya. Kepuasannya sendiri. Itulah mengapa aku gak mau disebut seniman. Terlalu mempersempit langkah gerak kupikir.
Tidak bermaksud sombong, aku juga beberapa kali menjuarai lomba karya ilmiah tingkat universitas. Dosen pembimbingku bilang, aku adalah komunikator yang ulung. Nampaknya, hobi membaca saja sudah cukup membantuku menguasai kompetensi Public Speaking. Yah benar, aku punya semua. Hanya 1 kekuranganku, jomblo.
‘In Love’ Cafe adalah cafe yang paling terkenal di kota itu. Hampir semua muda-mudi di kota pernah ke sana. Lokasinya yang strategis, tata ruangnya yang manis, dan pelayanannya yang memuaskan membuat siapapun akan betah berlama-lama di tempat ini. Menu-menunya pun memikat. Taman miniatur yang didesain unik di kanan kiri meja makan dan tata lampu yang remang-remang sedikit terang di bagian tengah menambah eksotisme interior cafe. Salah satu menu yang diidolakan di sana adalah Lemonade dan Vanilla Chai. Tetapi lebih dari itu, siapapun tahu, orientasi dan makna yang tersirat dari nama cafe itu, In Love...
Di sudut kiri sana, seorang gadis duduk sendiri di meja 17. Table manner set up berada di hadapannya. Rambutnya yang panjang lurus tergerai sepunggung menunjukkan feminisme klasik yang begitu memikat untuk sekedar dipandang. Gaunnya yang panjang menampilkan keanggunan wanita modern yang kharismatik. Blazer ungu yang dipakainya mengiaskan kewibawaan yang tinggi. Dari kejauhan, aku tahu dialah gadis yang lusa bertemu di Taman kampus. Iya, ternyata Jovita seudah duluan datang. Akupun bergegas lari setelah beberapa menit lalu sibuk memarkir motor karena harus antri mencari tempat. Motor vixionku itu sudah seperti capung saja ditengah hamparan parkir motor yang luas itu.
Aku berlari kecil menuju receptionist dan memberi sapaan kecil pada petugas. Aku berjalan sedikit lebih cepat mengingat Jovita sudah duduk dengan posisi sempurna di ujung sana. “Semoga aku tidak terlambat” batinku.
“Maaf ya ta’, jalanan macet tadi. Kamu gak marah khan?” sembari menarik kursi aku langsung menyatakan kekhawatiranku, takut Vita marah.
Vita hanya tersenyum kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku lega.
Dia terlihat anggun sekali malam itu. Kecantikan yang sempurna terpancar hebat dari wajahnya. Rona merah dipipinya menghipnotis setiap pria yang lalu lalang. Hidung mancung nya apalagi, tak terkira indahnya. Ditunjang dengan bakat dan nama tenarnya dia adalah sosok yang patut diperjuangkan. Tak heran jika aku begitu tergila-gila pada gadis satu ini.
“Kamu mau pesan apa Panji?” tanya Vita lembut sembari menyodorkan menu paper.
“Aku jus alpukat aja. Makannya beef steak.” Jawabku singkat.
Vita kemudian menyodorkan menu paper pada waiter yang barusan datang menghampiri.
“Panji... Malam ini rasanya lain ya....” Vita membuka percakapan.
“Emmm.. Menurutmu? Kenapa?” aku mencoba memancing.
“Lihat bulan itu, sepertinya dia sedang tersenyum. Di buku Supernova pertamanya, Dee pernah berkisah tentang seorang putri yang tinggal di bulan. Bersama kucing putihnya yang manis, putri itu dengan setia menunggu kehadiran sang ksatria bumi yang di dambakannya sejak lama. Kemudian bintang jatuh membawakan pesan sang putri itu untuk ksatrianya.” Cerita Vita mulai memikat.
“Lalu bagaimana akhir kisah itu?” tanyaku penasaran
“Baca sendiri...” Vita mengejekku
“He he... Ok deh besok aku pinjamin ya... Susah emang ngomong sama orang sastra... Itu ceritanya Dee, kalo ceritamu kayak apa?” imbuhku mencoba mengurai percakapan.
“Sedari kecil aku suka membaca. Ayahku selalu bilang membaca membuat seseorang berfikir, dan berfikir membuat seseorang dewasa. Begitu beliau mendidikku. Semenjak ayahku tiada, buku seperti menjadi pengganti kehadiran beliau yang meneduhkan. Itulah sebabnya kesempatan menjadi penggelut dunia sastra gak akan kusia-siakan. Aku selalu bercita-cita menjadi penulis suatu hari nanti. “ tutur Vita pelan. Matanya menerawang, tampak betul kesungguhan kisahnya disana.
“Aku akan menjadi pembaca pertama bukumu nanti.” ujarku menimpali.
“Terima kasih Panji...” sambut Vita riang.
“Tetapi Vita, jika passion kamu ada di dunia sastra, kenapa kamu justru menyanyi?” tanyaku menikmati hangatnya obrolan santai ini.
“Lirik lagu adalah bagian dari kesusastraan. Aku mencoba menyelami dalamnya kata-kata dengan bernyanyi. Aku ekspresikan makna yang terdapat disana. Sehingga bisa dikatakan, aku bernyanyi bukan untuk menghayati nada-nadanya melainkan kata-katanya.” terang Vita.
Aku terdiam sejenak, berusaha memahami apa yang baru saja diceritakan gadis cantik di depanku ini. Kagum dan aneh menjadi komposisi yang diaduk di benakku.
“Hmm... Vita... Nampaknya kamu agak berbeda dengan penyanyi kebanyakan ya...”
“Ya begitulah. Menikmati lagu dengan penghayatan karakteristik nada, alunan musik, dan arti lirik lagu adalah satu kombinasi teknik yang tidak mudah. Makanya aku tertantang untuk melakukannya. Mungkin kamu bisa membantuku menciptakan sebuah lagu nanti..”
“Oh benarkah? Saya akan membuat aransemennya, kemudian kamu siapkan liriknya ya... “ imbuhku bersemangat.
“Oh wow! Beneran ya.. Deal!!” kata Vita antusias. Layaknya manager dan direktur, kamipun berjabat tangan kuat penuh optimisme.
“Permisi, ini silahkan, pesanannya sudah siap” sebuah suara dari samping menyela kami. Setelah menata makanan di meja, kulihat karyawan berdasi kupu itu pergi.
Kulihat Vita asyik menyantap sup ayam hidangannya. Akupun tak mau kalah, kulumat habis beef steak di piringku.
Saat itu situasi cafe cukup ramai. Kebanyakan kaum muda-mudi yang berpasang-pasangan. Beberapa anak ABG gaul berada di taman sana sambil menikmati udara malam. Mereka saling tertawa berlelucon ria. Beberapa meja di samping tempatku duduk adalah keluarga yang rata-rata dipenuhi oleh seluruh anggota keluarga lengkap dengan baby sitternya. Suasana malam itu juga semakin berwarna dengan datangnya sekelompok bule-bule muda yang sekilas tampak seperti boyband asal Amrik, One Direction. Tapi nampaknya Jovita tidak begitu mempedulikan situasi sekitar. Nampaknya dia sedang ingin fokus pada satu topik malam ini. Aku akan menunggu...
“Seberapa sering kamu ke sini Vita?” aku memulai percakapan kembali setelah hidangan selesai kami santap.
“Mmm... cukup sering sih. Selain menu nya oke, tempatnya juga nyaman” sahut Vita sesaat setelah meminum lemonade nya.
“Sama siapa emang?” tanyaku mulai mencerca
“Temen-temen, biasa... Pada ngajakin hang out di sini gitu..”
“Pasti ramai ya pada ngegosip...” timpalku
“He he... ya gitu lah cewek...” sahut Vita.
“By the way... Kapan terakhir kamu ke sini ta’?”
“Mmm... jujur sih, aku kesini terakhir satu bulan yang lalu... Saat itu, Rio menemaniku. “
“Rio? Rio siapa? Pacarmu?”
“Dulu kami berpacaran. Namun tiga hari setelah pertemuan kami di sini, aku melihat Rio bergandengan tangan mesra dengan cewek dari fakultas lain. Mereka benar-benar begitu dekat sampai aku tersadar bahwa kedekatan mereka itu lebih dalam daripada aku.”
“Eh... Ngg.. Vita.. Maaf aku gak bermaksud untuk...” aku terbata-bata sedikit gugup takut merusak suasana.
“Gak pa pa Panji. Aku memang pengen cerita ini ke kamu. “
“Baiklah... Aku akan menjadi pendengar setiamu.Teruskan...” Aku mencoba mendengarkan curahan hati Vita. Sembari mencuri peluang menikmati mata indahnya itu.
“Rio itu tajir. Tapi aku gak tau kalau dia itu playboy. Ternyata sudah lama dia menipuku. Sakit rasanya mengingat peristiwa itu. Aku menghampirinya dan minta penjelasan dari dia. Rio marah, dia bilang, hatinya telah berlabuh di dermaga yang lain. Aku terkejut, segampang itu dia mempermainkan perasaanku. Sebagai wanita, harga diriku telah dijatuhkan di depan pacarnya itu. Tetapi, bagaimanapun, aku harus tegar. Aku harus menjadi teratai yang mekar walaupun harus di kubangan air kotor sekalipun. Aku hanya berdoa, semoga tak lagi kutemui lelaki seperti itu...” kenang Vita.
“Kamu terlalu baik buat brengsek macam dia Vita. Dengar... Kamu gak akan menemui cowok seperti itu lagi. Aku janji akan menjagamu Vita..” naluri laki-lakiku tiba-tiba saja muncul. Aku seperti tak menyadari apa yang baru saja terlontar.
Vita kemudian terdiam, dia menatapku lekat-lekat. Dia mencoba menangkap sinyal-sinyal yang keluar dari ucapanku barusan.
“Panji... Kamu serius?”
“Aku tidak rela kamu dibegitukan Rio, atau lelaki lain, atau siapapun! Aku tidak sedang menawarkan apapun Vita. Namun, kita bisa memulai segala sesuatunya pelan-pelan. Sahabat atau kekasih itu hanyalah status. Aku tidak peduli dengan itu. Yang pasti, aku akan selalu ada kapanpun kau butuhkan aku...” aku mulai berterus terang
“Panji...”
“Vita... Percayalah...”
Vita mengangguk dan menggenggam tanganku erat.
“Berjanjilah kau akan selalu ada buatku... “
“Iya Vita... Aku janji...”
Malam itu, kami saling berpadu nostalgia. Melihat Jovita tersenyum dan tertawa membuat hatiku terasa nyaman. Senang melihat dia kembali gembira. Entah itu takdir atau bukan, yang pasti malam itu kami sangat dekat, begitu dekat. Iya, begitulah .... Kami jadian, dengan jalan kami, dengan cara kami...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
15 menit lagi kelasku masuk. Aku masih duduk santai di kursi depan kelas yang saat ini sedang kupakai ngerumpi sama si Beruang Madu “Tony”.
“Aku masih gak bisa percaya bro... Kok bisa ya dia mau sama cowok dekil macam kamu... Kasihan si Jovita. Harusnya aku yang paling pantas...” Tony mulai berulah
“Eh... Kurang ajar. Tau gitu gak usah cerita aku tadi...” sahut ku nyolot.
“He he... Gitu aja marah... Tapi beneran deh, ntar kalo fans nya Jovita pada neror kamu gimana?” tantang Panji.
“Aku udah janji sama Vita. Aku bakal jagain dia. Dan kamu jangan pernah meragukan aku. Jangankan Sammo Hung, Toretto aja ku lawan!” jawab ku kesal.
“Yaudah kalo gitu sana daftar ke sasana tinju nya Chris John. Hahaha...!!”
“Asem...”
“Eh men... By the way, kenapa kamu buru-buru pacaran, gak nunggu tau dulu jati diri tuan putri pengirim catering? He... “ Tony menyentilku.
“Eh gak usah ngomongin tentang itu lagi deh. I’m sick of it. Udah terlalu lama aku menunggu. Kecuali kalo emang ente sama bos catering ente itu mau bikin aku mati penasaran!” tegasku.
“Ya gak gitu juga kali... Yaudah deh... Salam buat Jovita. Bilang kalo butuh manager, aku siap, he he. Udah ya, aku harus buruan masuk kelas. Ada tugas yang harus kukumpulin. Sampai nanti...” Tanpa aba-aba, Tony langsung nyelonong sambil lari kecil menuju kelas nya di ujung lorong sana.
Akupun bergegas masuk juga, kali ini aku gak mau terlambat. Aku penasaran sama dosen pengganti bu Intan vampire itu. Dia pasti lebih tua, lebih jelek, lebih judes, lebih galak, lebih cerewet, lebih gak bagus semuanya deh... Kita lihat saja nanti...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti biasa aku duduk di belakang. Menemani si tengil Tika yang sudah biasa menjadi partnerku dalam urusan contek-mencontek di kelas bu Intan.
Kami semua sedang menduga-duga bakal seperti apa rupa dosen baru itu ketika tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka.
Dan tanpa kami kira, seorang wanita muda berkacamata, mengenakan baju resmi kampus, dan menenteng tas berwarna coklat berjalan masuk menuju meja dosen. Sesaat setelah meletakkan tas nya, ia mulai melihat seisi ruangan dan mulai membuka suara.
“Selamat pagi. Saya di sini menggantikan ibu Intan untuk sementara. Silahkan panggil saya bu Rosa. Dan mata kuliah yang saya ampu nanti adalah mata kuliah terakhir sebelum kalian semua fokus mengerjakan skripsi pertengahan bulan November. Maka saya ingin kalian semua serius dalam mengikuti kelas saya. Yang saya tidak mau adalah; satu, ngerumpi di kelas, dua, saling contek, dan tiga, menyela ketika saya sedang berbicara. Saya tidak segan-segan mengeluarkan kalian dari kelas jika saya merasa terganggu. Bisa dimengerti?”
“Bisa bu...” seperti koor, seisi kelas menjawab.
Dari penampilannya, wanita itu usianya kutaksir hanya lebih sedikit di atasku. Rambutnya sebahu, kulitnya putih, tinggi langsing semampai, dan cukup menarik untuk ukuran dosen killer. Buktinya, kulihat hampir seluruh cowok di kelas ini sedang memperhatikan betul dosen itu dengan wajah bengong seperti melihat alien keluar dari mall.
Tapi tunggu sebentar, sepertinya aku tidak asing dengan wajah dosen baruku ini. Tapi lihat di mana ya... Atau pernah bertemu di mana ya... Hmm...
“Ddrrrtt.. ddrrtt...” HP ku di kantong bergetar... Ternyata sms, kubaca, ternyata dari Jovita ku. “Yank, nanti kutunggu di depan perpust ya. Sebelum pulang, kita mampir salon dulu ya nanti. Aku mau creambath sebentar. Ntar malem ada show soalnya. Kutunggu setelah lunch break ya sayang...”
“Seperti pemancing yang berhasil mendapatkan ikan, wajahku nyengir sendiri dan kubalas sms itu “Iya sayang. Sampai nanti ya...” tampak sekali kalo aku masih kegirangan setelah kami jadian 4 hari lalu.
Jam menunjukkan pukul 11.45.'
“Oke. Sampai disini dulu. Kita lanjut besok pagi. Terima kasih dan selamat siang...” Bu Rosa menutup kelas. Semua mahasiswa keluar satu persatu. Aku sengaja mengemasi barang-barangku agak lama karena ingin mencoba melihat dosen ini lebih dekat. Mungkin akan kutemukan jawaban atas rasa penasaranku nanti.
Kucoba berjalan mendekati meja itu, “Langsung pulang apa masih ada kuliah lagi bu?” tanyaku basa basi sembari terus memperhatikan wajahnya yang semakin lama semakin jelas ketidakasingannya itu.
“Sudah.” Jawabnya datar sembari memberesi buku-buku. Nampaknya dia bisa membaca gelagatku.
“Boleh saya temani keluar kelas bu...?” aku berkelakar mencoba mencari celah agar dapat bertanya-tanya lebih jauh. Aku memang bukan tipe orang yang kenal kompromi dengan rasa penasaran. Bagiku, itu menyakitkan.
“Terima kasih. Tidak usah repot-repot...” dengan wajah tanpa ekspresi bu Rosa ketus menimpaliku sembari berjalan keluar kelas. Nampaknya dia tahu dirinya menarik, sehingga sebisa mungkin menjaga jarak dengan mahasiswanya. Oke, saya hormati keputusan itu. Tapi diam-diam, aku mengakui kecantikan dosen satu ini...
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lelah sekali rasanya menunggu si Jovita creambath tadi. Untung koran Suara Merdeka cukup ampuh menemani di ruang tunggu tadi. Berita tentang kenaikan harga gas dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah menjadi berita utama. Kadang aku berfikir, lambat laun media berpotensi menjadi alat pemantik chaos di masyarakat. Karena kultur sosial kita cenderung paternalistik, maka bisa dikatakan bahwa media adalah mesin penumbuh kembangnya pesimisme di lingkungan masyarakat. But, who the hell care ...
Saat ini Jovita sedang on stage sama band akustik barunya. Dia perform di sebuah special event di acara Pensi SMA. Kenapa aku gak nemenin? Karena bokapnya sudah di sana... Aku gak mau beresiko ditanyain macem-macem. Ntar aja kalo udah mendekati tunangan he he... Ngarepppp...
“Dddrrtt...” Hp ku berbunyi. Sebuah sms. Aku sedikit terperanjat membaca sms itu. Begini bunyinya, “ Panji. Maaf ya hari ini saya tidak sempat mengirim sarapan. Bukan karena gak sempat memasak, tetapi, memang sudah waktunya kita bertemu.”
Sms yang hanya ada nomor di identitas sender itu membuatku kaget bukan kepalang. Aku sedikit mengernyitkan memikirkan harus kubalas apa. Jika memang benar malam ini aku bertemu dia, maka ini akan menjadi malam yang bersejarah. Tetapi, jika ternyata Tony mengerjaiku, maka akan kucekik dia sampai mampus.
Kubalas begini, “Terima kasih. Saya sudah lama menunggu kesempatan ini sejak lama. Di mana kita bertemu?”
Dia membalas,” ‘In Love’ cafe. Ruang VIP. Sekarang...”
“Ok...” balasku
Kenapa harus di In Love... Perasaanku gak enak.. Tapi bagaimanapun, ini adalah saat yang kutunggu-tunggu. Aku bergegas mengendarai motorku menuju lokasi.
Dengan hati berdebar-debar, aku pelan-pelan melangkah masuk... Ruang VIP itu adalah ruang yang terkenal sangat artistik. Pintunya terbuat dari kayu jati terukir bunga mawar. Didalamnya lampu remang-remang dan di beberapa sudut ruangan dipajang satu dua lilin yang menyala. Di dinding terpampang beberapa lukisan roman seperti seorang gadis berbusana mewah ala Belanda Dari jendela tampak seorang wanita duduk sendiri. Nampaknya ruangan mahal itu sengaja disewa khusus untuk privacy. Aku mengetuk pintu dan membuka nya. Hatiku semakin gak karuan rasanya melihat wanita itu sudah dalam posisi duduk. Posisinya masih membelakangiku. MengeRosa.tahui bahwa putri catering itu benar-benar ada dan bukannya Tony yang ngerjain, membuat ku nervous. Wanita misterius itu mengenakan kaos warna putih dengan rok selutut, rambutnya sebahu...
Aku pelan-pelan mendekati... Sepertinya aku kenal.... Eh jangan-jangan...
Sampai aku tepat berada di depannya, aku hampir berteriak kaget bukan kepalang melihat siapa wanita itu.
“Bbbuuuu Rrroossaaaa!!! How come???” mataku terbelalak hampir copot menyadari bahwa ini adalah kenyataan pahit sekaligus manis yang harus kureguk dalam-dalam.
“Kaget yah?” suara khas bu Rosa mencairkan suasana. Tanpa aba-aba aku menarik kursi dan duduk. Aku menata hati dan batinku. Aku sumringah tapi sedikit stress.
“Bu Rosa... Bu Rosa... Bu Rosa...” aku terus menyebut namanya sembari kepalaku geleng-geleng dan menatapnya lekat-lekat...
“Panji... Panji... Panji...” dia membalasku.
“Maaf ya... Harus melalui drama seperti ini untuk bertemu... By the way, panggil aku Rosa saja...” Rosa mengawali pembicaraan. Dengan sedikit sungkan aku mencoba membiasakan diri memanggilnya begitu.
Malam ini dia tampil begitu cantik, rambutnya lurus tergerai, kulit putihnya menambah terang cahaya ruangan itu, senyumnya begitu manis. Sekilas, wajah Rosa mengingatkanku pada sosok Bella di film New Moon. Luar biasa...
“Kenapa harus berbelit-belit Rosa... Kapanpun aku available. Tetapi drama kemarin itu, betul-betul membuatku hampir pingsan. Tidak ada malam yang tidak terlewatkan tanpa memikirkan kotak-kotak makanan itu. Dan pagi tadi, aku bertemu seorang dosen yang begitu terhormat yang ternyata diluar dugaan adalah sang putri catering itu. Tapi ngomong-ngomong masakanmu benar-benar enak...” aku mulai menggombal.
Seraya tersenyum simpul, Rosa berkata, “Maaf sekali lagi. Aku tidak ada pilihan lain...”
“Siapa yang memberimu pilihan?”
“Situasi...”
“Hmm... Sebenarnya ada apa ini? Dan siapa kamu Rosa? Adakah kita pernah bertemu?”
“Aku akan menceritakan semuanya... Tapi kamu mau pesan apa?” Rosa menyodorkan menu paper. Setelah menulis pesanan, seorang waiter datang menghampiri.
“Tapi aku masih gak percaya Rosa... Mimpi apa aku ini...” kataku masih sambil geleng-geleng.
“Sebaiknya tepuk pipimu dengan keras agar kamu terbangun... “ Rosa dengan sadis menimpali.
“He he... Kejam kali dikau makcik...” gayaku bergurau seperti orang Malay
“He he... Panji Setya Anggara ... Itu namamu kan Panji?” Rosa melanjutkan percakapan.
“Iya... Dari mana kamu tau? Mungkin bisa kau mulai ceritamu...” desakku.
“Panji ... Perkenalkan. Namaku Rosa Herdiana. Aku asli Cirebon, dan besar bersama ayahku seorang di rumah. Suatu ketika aku harus pergi meninggalkan beliau untuk waktu yang sangat lama. Aku tetap berkomunikasi lancar, sampai suatu ketika, aku tidak bisa menghubungi beliau. Kukontak saudaraku, juga tidak ada yang bisa kuhubungi. Aku mulai panik, meracau tanpa henti, hingga akhirnya kudengar ayahku terbaring di rumah sakit karena kecelakaan. Dan dari penuturan kakak sepupuku hampir saja beliau tidak tertolong jika tidak ada seorang pemuda yang menyelamatkannya. Saat itu situasiku belum memungkinkan untuk menemui ayahku, hingga sampai suatu ketika, aku pulang dan melihat kondisinya. Dan syukurlah, ayahku sudah membaik...”
Aku mulai menebak-nebak siapa sosok bidadari di depanku ini. Nampaknya mulai ada titik terang... Aku menyimak serius...
Rosa melanjutkan ceritanya...
“Namun satu hal yang aku sayangkan... Aku tidak sempat bertemu dengan penolong itu... Sehingga kuputuskan untuk mencarinya suatu saat nanti... Dan hari ini adalah hari dimana aku bertemu dengan pemuda itu... Panji... Terima kasih atas semuanya...” Rosa mulai menitikkan air mata...
“Rosa... Ternyata kamu putrinya pak Wardo yah?” aku mulai berani berkata-kata setelah tahu siapa dia.
Rosa mengangguk pelan...
Akupun merasa ini saatnya aku mulai bertutur.
“Waktu itu, aku pulang dari menginap di rumah teman, dan bermaksud untuk kembali pulang ke Semarang. Bersama Tony aku mengendarai Taruna merah. Waktu itu aku melalui jalur utama pantura Cirebon-Tegal. Aku baru saja mampir di POM ketika kecelakaan itu berlangsung. Kejadian itu terjadi di depan mataku. Seorang bapak tergeletak bersimbah darah. Tak peduli dengan orang-orang aku langsung membawa bapak itu sebisaku ke RS terdekat. Kuketahui bapak itu bernama Nanang Wardoyo setelah kubaca KTP nya, ku hubungi juga para kerabat beliau. Dan ternyata harus ditangani serius. Aku teringat ayahku di rumah, oleh karenanya aku disana menemani pak Wardo sampai sembuh. Selama 1 minggu lebih kutemani beliau.”
Rosa semakin sering mengusap air matanya, tanpa sedikitpun menyela. Mungkin dia berharap aku meneruskan ceritaku.
“Ketika kutanya dimana anaknya, Pak Wardo menyodorkan sebuah foto dari dompetnya dan mengatakan bahwa putri satu-satunya itu sedang menyelesaikan studi S2 di Chicago. Beliau berkisah tentang putrinya yang begitu cerdas dan berprestasi hingga akhirnya dia mendapatkan beasiswa tanpa putus semenjak SMA sampai kuliah. Dengan keadaannya yang seperti itu pak Wardo tak mau putrinya khawatir dan repot untuk pulang ke Indonesia...”
“Pak Wardo juga bilang beliau ingin sekali memperkenalkan aku ke putrinya itu suatu hari nanti ... Namun aku tau diri dan gak mungkin membahasnya...”
Sambil sedikit tersenyum, Rosa merespon ceritaku. “Ayah selalu bilang, bahwa Panji adalah cowok yang baik dan paling pantas buatku. Ayah pernah bilang, bahwa beliau bukanlah malaikat yang bisa membaca pikiran orang lain, juga tidak mungkin mengetahui seberapa besar ukuran sayang orang pada saya, tapi yang pasti, seorang ayah punya keyakinan yang kuat tentang pilihan-pilihan yang diambil terhadap anaknya. Namamu sering disebut ketika berbicara tentang siapa pasanganku kelak. Nampaknya, Ayah memendam harapan itu. Ayah sudah lama tinggal sendiri semenjak berpisah dengan ibu dulu. Maka adalah tugasku untuk berbakti dan mematuhi semua perkataannya.... Itulah sebabnya ketika ada tawaran mengajar di kampusmu, langsung saya terima tanpa syarat...”
“Bu Rosa, sebagai mahasiswa saya merasa terhormat bisa berkesempatan bertemu dengan dosen sehebat ibu. Namun Rosa, sebagai lelaki. I’m speechless.... Satu hal yang ingin kusampaikan, seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi...”
“Panji... Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima... Berkutat dengan buku-buku dan penelitian sudah menghabiskan hampir seluruh waktuku. Sehingga ketika ayahku menemukan pilihannya, sampailah aku pada suatu titik dimana aku tak lagi harus sendiri. Seseorang telah disiapkan ayah untuk kebaikanku... ”
“Preferensi yang diajukan pak Wardo pada putrinya agaknya tidak melalui seleksi yang matang. Satu kesempatan berinteraksi saja tidak bisa menjadi ukuran kapasitas seseorang...”.
“Terkadang, kesan di awal itulah kejujuran. Itu adalah sebuah mozaik yang telah lama dipercaya ayah...”
Pesanan datang. Kami saling mempersilahkan masing-masing untuk menyantap. Tak ada cengkrama setelahnya, hanya suara sendok berdenting yang terkadang beradu dengan piring.
Setelah selesai meminuk dua teguk minumannya, Rosa kembali bertutur.
“Satu hari, kubaca sebuah buku dalam perjalanan kereta. Buku yang sangat menggugah itu rupanya terserap begitu intens sehingga mungkin ada satu jendela sensitivitas diri yang terbuka.”
Aku mulai memperhatikan kembali.
Dia melanjutkan, “Ketika kubaca sebuah bab yang membahas perihal arti firasat, mendadak aku terdorong untuk mendongak. Aku pun termenung lagi, teringat cerita ayah tentang pemuda dari Semarang yang menjadi pelita hidup keluargaku kelak. Ayah hanya menuturkan kalo dia anak baik. Itu saja. Namun ya Tuhan... Apa arti semua ini? Terlalu naif kalau ku sebut kebetulan. Rasa-rasanya semesta sedang bergerak bersama dengan pikiran. Memberi konfirmasi untuk sesuatu yang dianggapnya berguna. Sekalipun konfirmasinya diberikan melalui hal seremeh tulisan pada truk atau nomor plat mobil, tapi bisa jadi itu menjadi jalan menuju wawasan dan penyadaran kontemplatif yang lebih dalam.”
“Panji, waktu itu, kemudian firasatku bergerak, hatiku bergejolak. Aku mencoba melukis malam dengan rupa dan wajahmu. Aku bayangkan seperti apapun kamu, ayahku tidak mungkin salah pilih. Dia sudah mempercayakannya padaku. Lantas anak macam apa yang mengkhianati kepercayaan orang tuanya...”
“Lantas bagaimana kesanmu setelah melihatku?” aku semakin penasaran.
“Kotak makanan itu adalah jawabannya Panji. Itu adalah bukti sebetul-betulnya ketulusan hati ini. Bukan sebagai dalih untuk bertemu atau menarik perhatianmu, semata-mata hanya salam perkenalan saja... “ jawab Rosa lembut.
“Rosa... Kita sama-sama tahu kemana semua ini akan bermuara. Pernahkah kamu berfikir bagaimana jika aku bukan tipemu, bagaimana jika aku seorang kriminal, apa yang terjadi jika ternyata aku seorang brengsek?” aku mencoba menyudutkannya.
Setelah menghela nafas panjang, Rosa berujar, “Pernahkah kamu membedakan sinkronisitas dengan kebetulan belaka, yaitu makna inheren yang terkandung di balik segala peristiwa tadi? Sinkronisitas menunjukkan ada satu nuansa makna yang kaya, bahkan dalam hal paling insignifikan sekalipun — andaikan kita mau lebih sensitif menelaahnya. Realitas yang kita hadapi ini adalah realitas dualistis yang senantiasa melihat segalanya dalam dikotomi. Tidak mungkin kita bisa mengurainya sesederhana itu?”
“Terus terang aku semakin gak ngerti jalan pikiranmu... Can we just simplify this?” aku mulai kehilangan kendali.
“Ada semacam rantai kodrati yang mengikat kita dari peristiwa kemarin. Layaknya senyawa yang menyatukan 2 unsur kimia yang berbeda. Namun aku tak bisa mendefinisikannya. Yang jelas hati ini telah menetapkan keputusannya...”
“Kamu serius Rosa? Kecantikanmu itu terlalu sempurna untuk cowok kayak aku...”
“Aku bukan jenis wanita yang mengapresiasi dunia kelas. Bahkan aku sangat apriori terhadapnya. Maka tolong singkirkan jauh-jauh pikiran negatifmu itu...”
“Semua butuh proses Rosa...”
“Aku tahu... Dan aku sadar betul hal itu...”
“Nah khan? Lantas gimana?”
“Semenjak ayah merestuimu, Tony menjadi satu-satunya sumberku karena kebetulan juga di hari kamu berpamitan, Tony meninggalkan nomor handphone nya pada ayah. Aku cari tau semua tentangmu dan aku tau, ayah tidak salah... “
Aku sejenak menundukkan kepala dan mencoba meredam semua emosi yang mungkin akan muncul dengan bentuknya yang berbeda-beda. Aku seperti tak percaya, akan bertemu keberuntungan di tengah situasiku yang serba dilematis ini. Tanpa kusadari tangan Rosa memegang tanganku. Dia berkata lagi.
“Panji... Mungkin inilah saatnya kita mempertaruhkan kenyamanan sudut pandang lama kita dengan sesuatu yang baru. Merengkuh sinkronisitas dan terbang bersamanya.”
Sejenak aku mengumpulkan keberanian dan kemudian memberi tanggapanku.
“Rosa... kamu cantik, pintar, baik. Begitu sempurna. Aku merasa bukanlah orang yang tepat. Mungkin cara pandang kita agak berbeda dalam hal ini. Namun aku akan merasa bersalah jika aku tidak berterus terang. Kamu lihat meja nomor 17 di luar itu?” seraya menoleh keluar mencari-cari lokasi meja itu, Rosa mengangguk kecil.
“Di meja itulah, 4 hari yang lalu aku jadian dengan seorang gadis. Dia adalah gadis yang sudah lama kuidam-idamkan. Satu hal yang perlu kutegaskan, ini adalah perasaan cinta, bukan perasaan terpaksa mencinta karena co-incidence (baca: faktor kebetulan).” Paparku.
Dengan ekspresi wajah kecewa, Rosa menyatakan kegalauannya...
“Benarkah itu? Kamu jadian dengan seorang cewek B di saat hari-harimu penuh dengan buah tangan bentuk kepedulian dan kerinduan dari cewek A?” dengan nada meninggi Rosa mulai memintaku mengklarifikasi.
“Bukan itu maksudku Rosa. Aku menghargai betul eksistensi putri catering itu dengan adanya bukti kotak demi kotak makanan yang kuterima. Bahkan jika boleh kusingkirkan rasa malu ini, ingin aku ungkapkan betapa rindunya aku dengan makanan-makanan itu ketika suatu hari Tony tak mengirimiku. Namun, semuanya terjadi begitu cepat, dan tanpa prediksi pula. Aku hanya pasrah ketika aku mulai pesimis tentang keberadaan mu. Aku pikir Tony mencoba mengerjaiku...”
“Maaf Panji tidak seharusnya aku menanyakan itu. Sekali lagi aku minta maaf. A bit loosing control.. So please excuse... Iya aku tau kok. Tidak seorangpun yang mau berkompromi dengan ketidakpastian. Aku tak berhak mendikte, sementara kamupun tak berkewajiban atas penantianku. “ Rosa mengatakannya dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf Rosa, seandainya kita bertemu lebih awal... Mungkin akan lain ceritanya...”
“Tolong Panji, jangan rusak jalinan cintamu dengan hal remeh seperti berandai-andai. Jangan kecewakan dia. Aku bisa menerima kok. Mungkin memang begini seharusnya. Paling tidak aku belajar bagaimana memahami rumitnya nilai seni dalam cinta. Rentetan cerita kemarin itu adalah solilokui yang wajib kita maknai sebagai penabur hikmah. Jangan khawatirkan ayahku. Tidak ada yang lebih tegar dari dia. Yang pasti silaturrahmi ini jangan kau abaikan. Jangan sungkan jika ingin sekedar menyapa atau bercengkrama. Asa itu biarlah kusimpan dalam-dalam di tengah lautan sana...”
Aku memekik kecil tertahan. Kagum dengan ketegaran Rosa. Baginya, pasti sulit mengartikan kesimpulan pertemuan malam ini.
Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya kepiluan tang tertahan di dasar hati ini. Entah perasaan apa ini, gembira karena keberadaan Vita masih baik-baik saja, ataukah bersedih karena telah mengecewakan Rosa, si gadis yang telah membuktikan cintanya untukku. Aku terlalu kesulitan menguntai kata-kata dengan diksi yang tepat ditengah suasana hati yang berkecamuk seperti ini.
Biarlah bulan diatas sana yang menunjuk jawabannya. Semoga bintang jatuh akan membawa pesan itu untuk seisi dunia nanti...
Malam yang berat...
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lagu-lagu milik Norah Jones dan Michael Buble menemaniku siang itu. Aku ingin menghabiskan sisa hari di kamar saja. Baru saja lagu Home milik Buble selesai ketika tiba-tiba handphone ku berbunyi. Ada sebuah sms masuk. Ternyata dari Vita.
“Yank nanti malam ‘Rectoverso’nya Dee akan ditayangkan perdana di E-Plaza. Aku udah pesan 2 tiket. Nanti sore sepulang latihan dari studio aku dijemput ya...”
Dengan sedikit malas aku balas datar saja, “Iya”.
Sebenarnya, rasa sayang ini memang masih utuh buat Vita. Namun gaya hidupnya yang begitu ‘pop’ membuatku pusing. Agak berbeda dari karakterku yang cenderung lebih slengekan. Namun bukankah memang 2 manusia disatukan karena perbedaan? Itulah mengapa aku bertahan. Aku masih percaya bahwa kelak aku akan menjadi lelaki yang berbahagia bersanding dengan Vita.
Entah sudah berapa bulan semenjak pertemuanku dengan Rosa di cafe itu. Semenjak bu Intan masuk dan kembali mengajar, aku tidak pernah melihat Rosa. Jangankan telefon, sms saja tidak ada yang berani memulai. Kami menjaga kenyamanan masing-masing individu. Rasanya semakin aneh ketika aku mendengar dia dimutasi ke kampus cabang di luar kota. Hati ini semakin gak karuan. Aku memang punya Vita, namun aku juga merindukan Rosa. Dari hari ke hari semakin kuat saja rasanya. Hingga pada akhirnya aku harus ikhlas untuk tidak bertemu lagi setelah aku wisuda.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu terus bergulir. Rasanya baru kemarin aku berkumpul bersama Tony dan kawan-kawan yang lain. Namun siapa yang menyangka faktanya, sudah 3 tahun semenjak hari aku di wisuda. Sudah lama aku tidak berhubungan dengan Tony. Aku dengar dia sekarang kembali ke kampung halamannya di Palembang dan mengeola sebuah perusahaan penyedia layanan wisata disana. Tika tidak lagi culun seperti dulu. Dia sekarang adalah wanita karir yang sedang naik daun. Dia baru saja dipromosikan menjadi manager area sebuah perusahaan operator seluler di Bandung. Senang rasanya melihat kawan-kawanku sukses.
Aku sendiri, sekarang disibukkan dengan pengelolaan karyawan yang jumlahnya hampir mencapai 300 orang. Iya, aku dipercaya menjadi HRM di perusahaan retail tempatku bekerja.
Jovita? Seperti apa yang diramalkan oleh orang kebanyakan. Dia sekarang menjadi penyanyi Internasional. Terakhir aku melihatnya di acara talent show sebuah TV swasta Australia. Dia duduk di kursi juri di sana. Tidak banyak perubahan di dirinya. Dia hanya tampak lebih dewasa. Itu saja. Jovita memang sudah lama tinggal di Melbourne. Setelah lulus kuliah, dia melanjutkan studinya di sana sembari mengasah bakat menyanyinya. Hubungan kami, masih berjalan. Kami masih sering kontak via telefon, atau sekedar chat di facebook, kadang juga Skype. Setiap dia pulang ke Indonesia pun kita pasti bertemu.
Namun lama-lama, dia jarang ada waktu untuk sekedar telpon atau sms dengan alasan lelah performing. Setelah mendapatkan manager karir musik Vita memang melesat dan aku paham itu. Nampaknya performing tour dari panggung ke panggung membuatnya lupa denganku juga dengan cita-citanya menulis. Akupun tak ingin mengusiknya. Aku biarkan kondisi seperti itu. Dan terus seperti itu... Hingga memang benar-benar tidak pernah ada kabar baik itu dari Vita maupun dari aku. Seiring sering munculnya Vita di televisi, muncul juga kabar tentang hubungannya dengan sang manager bule yang sudah membantunya memproduseri beberapa album solonya di negeri Kanguru itu. Tapi aku tak ambil pusing, aku tau hal seperti itu pasti lambat laun akan terjadi. Pernah aku meratap, tapi aku paham itu tak ada gunanya. Iya, Jovita sekarang telah benar-benar menjadi artis. Dan aku tak pernah berharap memiliki kesempatan untuk merajut kembali kisah yang telah lama ku kubur itu.
Saat ini aku sedang berada di stasiun kereta api di kota kembang. Aku duduk di kursi tunggu stasiun dengan berbusana resmi kantor. Karcis sudah ditanganku. 20 menit lagi keretaku dijadwalkan tiba. Setelah hampir satu minggu mengikuti konvensi perusahaan di Cihampelas, sekarang saatnya aku harus kembali ke Semarang. Setumpuk berkas yang harus ku audit sudah menunggu di kantor. Lemas rasanya membayangkan betapa banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di Semarang.
Namun, lamunanku tadi tiba-tiba buyar oleh kehadiran seseorang yang melintas lewat didepanku dan kemudian duduk di sebelahku. Dia berkacamata, mengenakan jaket warna ungu, mengenakan syal dan kaos putih bertuliskan “I’ll Be There For You”. Celana jeans yang dikenakan dan sepatu hak tinggi yang dipakainya memberikan kesan funky namun masih tetap terbalut dengan image “kharismatik”.
Aku terus menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip sedikitpun ketika kemudian sepersekian detik aku menyadari siapa gadis yang begitu mempesona itu.
“Ya ampun Rosaaa..” aku menyebut nama yang nyaris saja terhapus dari memoriku. Wanita itu menoleh dan tersenyum lebar... Dia menyebut namaku lirih hampir-hampir tak bersuara, “Panji...”
Kami berdua sama-sama terkejut. Tak mengira dipertemukan kembali setelah bertahun-tahun tak saling berkabar. Rasanya seperti mimpi bertemu dengan Rosa, seseorang yang pernah menorehkan namanya di hati ini. Dia masih cantik, seperti dulu...
“Rosa... Kamuuu...” belum lagi aku melanjutkan bicara, Rosa menempelkan telunjuk kanannya di bibirku dan berujar; “Aku ingin mengulangi perkenalan kita kembali dengan cara yang benar. Kita ulangi lagi prosesnya dari awal...” kata-kata Rosa barusan membuat hatiku bergetar. Aku mengangguk pelan.
Kami berjabat tangan... “Panji Setya Anggara...”, “Rosa Herdiana...”. Kami saling menatap, membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Bayangan kami jauh, melampaui mimpi-mimpi kemarin. Lebih mapan, lebih berharga untuk diperjuangkan. Ini bukan sekedar kisah, namun epos yang bisa jadi merupakan satu bentuk realisasi novel Gibran atau Marga T yang mewujud dalam kehidupan kami. Rasanya, keadilan mulai memihakku. Di kereta nanti akan kuceritakan semuanya. Tentang perasaanku, tentang rasa kehilanganku dulu, tentang kita, tentang semangatku yang kembali muncul, tentang sebungkus nasi kotak, tentang cinta ...
0 komentar:
Posting Komentar