Pages

Rabu, 26 Februari 2014

Watak Hujan

Tidak ada yang menyangka bahwa hujan tahun ini akan begitu hebat. Derasnya air yang turun itu seperti biasa, menghadirkan banjir pula. Semua pihak dibikin kalang kabut karena pada prinsipnya selain banjir air, ada saja banjir masalah yang turut datang. Bahkan beberapa titik kota yang dulunya bisa dikatakan sebagai wilayah bebas banjir, justru tahun ini menjadi bulan-bulanan luapan air yang kirimannya datang silih berganti baik itu dari parit maupun sungai.

Kota kelahiran saya dulu misalnya, Kudus, menjadi kota genangan air yang porsinya bisa dikatakan hampir seperti sungai Bengawan yang tidak kunjung surut. Sebagai kota industri dan pariwisata, tidak terhitung sudah kerugian materiil yang terhitung. Dari mulai warga yang tidak bisa bekerja, perusahaan yang rugi karena produksi macet, para petani yang gagal panen, belum lagi sarana transportasi yang lumpuh karena akses masuk Kudus tertutup semua. Harga sembako mahal, tabung gas mulai sulit didapat dan sekali dapat, harganyapun meroket. Kelangkaan bensin dan pusat-pusat perbelanjaan yang tutup menjadikan kota Kretek ini bagai Kota Atlantis yang tinggal menunggu nasibnya tenggelam di lautan.


Di televisi, tidak jarang saya menggeleng-gelengkan kepala melihat fenomena banjir di banyak kota di Indonesia. Angan saya kemudian melayang tinggi membayangkan saudara atau kerabat yang ada di sana. Sempat pula membayangkan bagaimana seandainya saya yang menjadi korban. Dari pihak yang semula hanya menjadi penonton, kemudian tanpa firasat apapun, saya beralih peran menjadi pihak yang ditonton. Iya, saya merasakan sendiri bagaimana susahnya bertahan hidup di tengah banjir. Walaupun hanya berlangsung sebentar, namun begitu berkesan pengalaman itu. Seperti biasa hujan datang begitu deras di malam hari, ketika manusia-manusia mulai terlelap, saat tingkat kewaspadaan mereka mulai diuji. Saya bangun pagi karena harus berangkat bekerja. Setelah mulai berkendara, sampai sekitar 50 meter dari rumah, kekhawatiran saya mulai muncul melihat  banyak nya kendaraan jenis truck raksasa yang berpotensi menjadi Transformers berjejer di sepanjang jalan arteri dan jalur utama Kendal-Semarang. Melawan arus, saya terus melaju mencoba positive thinking bahwa barisan kemacetan ini tidak akan lama sembari menepis pikiran-pikiran negatif karena hujan deras semalam akan membuat wilayah yang sebentar lagi saya lewati banjir. Dugaan saya ternyata benar. Setelah pemandangan lautan helm berhasil saya lewati, saya kaget bukan kepalang melihat genangan air itu hampir setinggi dada orang dewasa. Banyak yang nekat menerobos namun akhirnya justru menjadi obyek banjir. Jalur alternatif lain juga ternyata terendam air. Saya tidak bisa membayangkan betapa mengenaskan kondisi rumah-rumah di perkampungan dalam sana.   

Tanpa pikir panjang, saya ambil ijin tidak masuk kerja sehari. Ambil jalan putar, saya bersyukur tidak  ada tanda-tanda banjir, namun masalah lain saya temui, dan masalah itu beraneka ragam jenisnya. Dari mulai kemacetan arus yang tak kenal kompromi, dimana saya harus membuktikan kemampuan driving saya setara dengan Rossi, hingga umpatan tidak jelas yang sering saya dengar sepanjang perjalanan. Sampai rumah saya memutuskan untuk berkunjung ke tempat putri saya karena isunya di sana banjir parah. Bersama istri, saya bermaksud berangkat ke sana hingga akhirnya terjebak banjir juga di hampir seluruh pintu masuknya. Namun syukurlah, melalui telepon, saya mengetahui kondisi putri saya dan keluarga di seberang sana baik-baik saja dan berada di lokasi yang aman.  Kemarin, semua jalan itu masih lancar tidak ada air sedikitpun tergenang, namun hanya dalam hitungan jam saja, semuanya berubah. Tidak ada apa-apa, hanya hamparan air.

Banyak spekulasi yang kemudian muncul karena ngerinya hujan kemarin. Ada yang bilang ini efek Imlek, banyak juga yang gembar gembor ini karena menjelang lengsernya pemimpin lama menuju kepemimpinan baru, teman saya bilang, Sun Go Kong sedang mengamuk di kahyangan. Saya tidak ambil pusing tentang kebenaran atau bahkan kesalahan dari statemen-statemen aneh tersebut. Yang saya tahu, hujan dan banjir yang datang telah merenggut banyak kebahagiaan orang-orang.

Secara obyektif, di tengah keprihatinan ini, saya hanya melihat ada hal positif dari ketidak positifan yang kerap nampak lebih jelas di tengah hujan yang sering dianggap berujung pada kesusahan massal. Sementara banyak pihak korporat dan birokrat yang justru mencari siapa yang patut disalahkan untuk dikambing hitamkan dan di obral di media-media ketimbang mengurus banjir itu sendiri, beberapa orang justru gencar membangun kesadaran bersama untuk penggalangan bantuan sosial. Para mahasiswa yang tidak henti-hentinya turun ke jalan menggalakkan aksi peduli sosial, para murid pondok pesantren yang terus ber-istighotsah  dan berdoa, LSM – LSM yang terus mengajukan permohonan donasi ke berbagai pihak, diskon-diskon spare part dan service gratis dealer otomotif yang juga cukup membantu, hingga para musisi yang mengadakan event dan pelelangan alat musik untuk penggalangan dana banjir. Maka, di tengah tangisan kesedihan banyak pula senyum haru bahagia karena uluran tangan sesama. Pada hakekatnya hal ini sudah cukup menyembuhkan suasana hati para korban. Namun lebih dari itu, sebetulnya hujan ini mendidik kita untuk  peduli terhadap sesama, bukan hanya ketika musibah datang melainkan justru saat semua orang tidak peduli terhadap sesama.

0 komentar: