Tidak ada yang menyangka bahwa hujan tahun ini akan begitu hebat.
Derasnya air yang turun itu seperti biasa, menghadirkan banjir pula.
Semua pihak dibikin kalang kabut karena pada prinsipnya selain banjir
air, ada saja banjir masalah yang turut datang. Bahkan beberapa titik
kota yang dulunya bisa dikatakan sebagai wilayah bebas banjir, justru
tahun ini menjadi bulan-bulanan luapan air yang kirimannya datang silih
berganti baik itu dari parit maupun sungai.
Kota kelahiran
saya dulu misalnya, Kudus, menjadi kota genangan air yang porsinya bisa
dikatakan hampir seperti sungai Bengawan yang tidak kunjung surut.
Sebagai kota industri dan pariwisata, tidak terhitung sudah kerugian
materiil yang terhitung. Dari mulai warga yang tidak bisa bekerja,
perusahaan yang rugi karena produksi macet, para petani yang gagal
panen, belum lagi sarana transportasi yang lumpuh karena akses masuk
Kudus tertutup semua. Harga sembako mahal, tabung gas mulai sulit
didapat dan sekali dapat, harganyapun meroket. Kelangkaan bensin dan
pusat-pusat perbelanjaan yang tutup menjadikan kota Kretek ini bagai
Kota Atlantis yang tinggal menunggu nasibnya tenggelam di lautan.
Di televisi, tidak jarang saya menggeleng-gelengkan kepala melihat
fenomena banjir di banyak kota di Indonesia. Angan saya kemudian
melayang tinggi membayangkan saudara atau kerabat yang ada di sana.
Sempat pula membayangkan bagaimana seandainya saya yang menjadi korban.
Dari pihak yang semula hanya menjadi penonton, kemudian tanpa firasat
apapun, saya beralih peran menjadi pihak yang ditonton. Iya, saya
merasakan sendiri bagaimana susahnya bertahan hidup di tengah banjir.
Walaupun hanya berlangsung sebentar, namun begitu berkesan pengalaman
itu. Seperti biasa hujan datang begitu deras di malam hari, ketika
manusia-manusia mulai terlelap, saat tingkat kewaspadaan mereka mulai
diuji. Saya bangun pagi karena harus berangkat bekerja. Setelah mulai
berkendara, sampai sekitar 50 meter dari rumah, kekhawatiran saya mulai
muncul melihat banyak nya kendaraan jenis truck raksasa yang berpotensi
menjadi Transformers berjejer di sepanjang jalan arteri dan jalur utama
Kendal-Semarang. Melawan arus, saya terus melaju mencoba positive thinking
bahwa barisan kemacetan ini tidak akan lama sembari menepis
pikiran-pikiran negatif karena hujan deras semalam akan membuat wilayah
yang sebentar lagi saya lewati banjir. Dugaan saya ternyata benar.
Setelah pemandangan lautan helm berhasil saya lewati, saya kaget bukan
kepalang melihat genangan air itu hampir setinggi dada orang dewasa.
Banyak yang nekat menerobos namun akhirnya justru menjadi obyek banjir.
Jalur alternatif lain juga ternyata terendam air. Saya tidak bisa
membayangkan betapa mengenaskan kondisi rumah-rumah di perkampungan
dalam sana.
Tanpa pikir panjang, saya ambil ijin tidak masuk kerja sehari. Ambil
jalan putar, saya bersyukur tidak ada tanda-tanda banjir, namun masalah
lain saya temui, dan masalah itu beraneka ragam jenisnya. Dari mulai
kemacetan arus yang tak kenal kompromi, dimana saya harus membuktikan
kemampuan driving saya setara dengan Rossi, hingga umpatan
tidak jelas yang sering saya dengar sepanjang perjalanan. Sampai rumah
saya memutuskan untuk berkunjung ke tempat putri saya karena isunya di
sana banjir parah. Bersama istri, saya bermaksud berangkat ke sana
hingga akhirnya terjebak banjir juga di hampir seluruh pintu masuknya.
Namun syukurlah, melalui telepon, saya mengetahui kondisi putri saya dan
keluarga di seberang sana baik-baik saja dan berada di lokasi yang
aman. Kemarin, semua jalan itu masih lancar tidak ada air sedikitpun
tergenang, namun hanya dalam hitungan jam saja, semuanya berubah. Tidak
ada apa-apa, hanya hamparan air.
Banyak spekulasi yang
kemudian muncul karena ngerinya hujan kemarin. Ada yang bilang ini efek
Imlek, banyak juga yang gembar gembor ini karena menjelang lengsernya
pemimpin lama menuju kepemimpinan baru, teman saya bilang, Sun Go Kong
sedang mengamuk di kahyangan. Saya tidak ambil pusing tentang kebenaran
atau bahkan kesalahan dari statemen-statemen aneh tersebut. Yang saya
tahu, hujan dan banjir yang datang telah merenggut banyak kebahagiaan
orang-orang.
Secara obyektif, di tengah keprihatinan ini, saya hanya melihat ada hal
positif dari ketidak positifan yang kerap nampak lebih jelas di tengah
hujan yang sering dianggap berujung pada kesusahan massal. Sementara
banyak pihak korporat dan birokrat yang justru mencari siapa yang patut
disalahkan untuk dikambing hitamkan dan di obral di media-media
ketimbang mengurus banjir itu sendiri, beberapa orang justru gencar
membangun kesadaran bersama untuk penggalangan bantuan sosial. Para
mahasiswa yang tidak henti-hentinya turun ke jalan menggalakkan aksi
peduli sosial, para murid pondok pesantren yang terus ber-istighotsah
dan berdoa, LSM – LSM yang terus mengajukan permohonan donasi ke
berbagai pihak, diskon-diskon spare part dan service gratis dealer
otomotif yang juga cukup membantu, hingga para musisi yang mengadakan
event dan pelelangan alat musik untuk penggalangan dana banjir. Maka, di
tengah tangisan kesedihan banyak pula senyum haru bahagia karena uluran
tangan sesama. Pada hakekatnya hal ini sudah cukup menyembuhkan suasana
hati para korban. Namun lebih dari itu, sebetulnya hujan ini mendidik
kita untuk peduli terhadap sesama, bukan hanya ketika musibah datang
melainkan justru saat semua orang tidak peduli terhadap sesama.
Rabu, 26 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar