Dari judul diatas, saya tidak sedang mencoba mengenang tentang
romansa masa lalu saya. Di tulisan ini, saya hanya mau sedikit berbicara
tentang beberapa drama televisi yang pernah menjadi hit di masa-masa
remajaku dulu. Kisah mereka sedikit banyak menginspirasi saya dalam
menyikapi lika-liku masa mudaku.
Dawson’s Creek, Lupus, Ada Apa Dengan Cinta, Smallville, Mars.
Setidaknya
itulah 4 film yang biasa menjadi tontonan wajibku sepulang sekolah.
Jangan tanya musik apa yang sering kulihat dulu, semua program MTV
hampir aku gak pernah absen nonton sepulang sekolah. Namun walaupun
konsumsiku barat, tapi duniaku sangat-sangat Timur.
Saat luangku, beberapa lagu milik Paula Cole mengingatkanku pada
Katie Holmes yang bermain dengan sangat apik dalam film drama Dawson’s
Creek. Kisah persahabatan muda-mudi yang sampai kapanpun slogan ini akan
tetap ada: “Forever Friend”. Saat-saat kebersamaan mereka adalah satu
pelajaran berharga bagi kita dimana ketulusan dalam sebuah ikatan
persahabatan merupakan unsur yang begitu bernilai yang kadang sering
kita lupakan. Hakekat persahabatan adalah satu rasa satu jiwa. Dalam
artian luas, sahabat adalah teman hidup, teman berfikir, dan tempat
bernaung. Ketika jiwa bergelombang, dia akan menemukan ketenangan dalam
kebersamaan. Satu bagian dalam hidup yang kadang kita abaikan.
Cerita
serial Dawson's Creek ini benar-bagus bagus, dikemas tidak berlebihan,
dialognya rapih dan sinematografinya pun enak dilihat. Banyak hal-hal
yang membuat saya terkesan disetiap episodenya. Untuk anda yang pernah
menyaksikan film ini pasti masih ingat dengan beberapa memorial scene
seperti Joey yang selalu tidur satu ranjang dengan Dawson, Joey yang
selau naik perahu, Jen yang selalu menggoda lelaki, Pacey yang usil dan
pacaran dengan gurunya sendiri dan masih banyak lagi hal-hal unik di
serial ini.
Siapa yang tidak ingat dengan Dawson dan Joey. Dialog-dialog yang
muncul cenderung bersifat dewasa untuk remaja seusia mereka. Dawson
yang selalu berbicara tentang mimpi-mimpinya menjadi sutradara film, dan
Joey yang tak pernah berhenti bertutur tentang kedewasaan.
Banyak
penggemar serial ini bersimpati pada karakter Pacey Witter yang
walaupun terlihat seperti tak memiliki masalah, namun menyimpan
keperihan karena sering tak dianggap oleh ayah dan keluarganya. Satu
pribadi yang banyak diidam-idamkan banyak pria.
Jen
Lindley, gadis dari New York yang terpaksa pindah ke kota di mana Dawson
dan kawan-kawan tinggal. Awalnya Jen digambarkan sebagai gadis
pemberontak yang selalu melawan neneknya yang religius serta hidup
bebas, namun menyimpan karakter rapuh di dalamnya. Aktingnya semakin
memikat sebagai gadis mandiri di kampus sampai mereka lulus. Jen
digambarkan menjadi penghalang antara hubungan cinta Dawson dan Joey,
namun belakangan karakternya berkembang dengan permasalahannya sendiri.
Jen adalah sosok wanita yang sebetulnya menjadi karakter idaman karena
keunikan wataknya. Kita bisa melihat adanya pendewasaan diri dalam diri
Jen. Satu karakter wanita yang perlu kita apresiasi.
Film kedua yang membuatku kecanduan adalah Smallville. Akting Tom
Wellington yang begitu kalem dan mendalami karakter Clark Kent adalah
gaya sinematik yang begitu menarik untuk diikuti. Kristin Kreuk yang
manis itu pun, ketika memerankan sosok Louis cukup bagus. Kisah
percintaan Clark dan Lana menjadi fokus dan tema cerita ini.
Persahabatan yang unik antara si miskin Clark dan keluarga kaya Lex
Luthor juga banyak menginspirasi kita dalam berinteraksi dengan lebih
cerdas. Saya ingat ketika Clark berjalan di tengah hujan merasakan
kepedihan hatinya setelah Louis menolak kehadirannya. Waktu itu lagu
lawas Time After Time versi akustik yang dinyanyikan oleh suara
emas Norah Jones membawa suasana sendu yang mengalir di sekitar ruangan
televisi. Pernah juga romansa itu muncul ketika Lana dan Clark berdua
di atas loteng, kemudian mereka melihat bintang jatuh melalui teropong
dan mencoba menebak-nebak rasi bintang apa yang sedang terbentuk di atas
sana. Namun mereka tidak sepatah katapun mengucapkan tentang cinta.
Clark Kent adalah mahasiswa jurnalistik yang tertutup dan polos, yang
bahkan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Lana saja ia tidak berani.
Namun Clark pun tetap tegar ketika akhirnya harus merelakan Lana pada
Lex sahabatnya sendiri. Satu kedewasaan yang hampir mustahil terjadi di
kehidupan nyata. Walaupun film ini tidak terlepas dari aksi-aksi super
Clark, namun saya lebih melihat pada romantisme yang muncul dari kisah
segitiga antara Clark, Lana, dan Lex. Saya belajar bagaimana bersikap
rendah hati menghadapi masalah di depan orang yang kita sayangi. Juga
belajar bagaimana berpribadi seperti Clark yang berbangga hati menjadi
anak seorang petani di desa. Saya masih ingat betul ketika ayah Clark
memberikan petuah saat sedang beristirahat selepas menata hasil panen di
ladang; “Orang itu akan bernilai ketika dirinya dihargai orang lain karena jerih payahnya sendiri”. Di sebuah dialog di meja makan, pernah juga ibunya berkata; “Orang-orang
diluar sana sibuk memikirkan kemewahan, tetaplah sederhana, karena itu
adalah modal yang paling utama di masa depan kelak”. Smallville, adalah tempat dimana kita patut belajar tentang persahabatan, keluarga, dan cinta.
Film berikutnya adalah Lupus. Hampir mirip dengan karakter Clark,
Lupus (Irghy Fahrezi) disini merupakan sosok yang kalem dan banyak
ditaksir cewek di sekolah. Kisah cintanya dengan Poppy (Mona Ratuliu)
yang awalnya diawali dengan hubungan malu-malu yang akhirnya jadian
dengan banyak dukungan dari kawan-kawan gokilnya seperti Gusur, Boim,
dan adiknya Lulu (Agnes Monica) adalah satu alur cerita anak SMA yang
banyak terjadi di kalangan remaja saat itu. Kisah mereka itu kemudian
diabadikan Kahitna dalam lagunya “Gak Ngerti” dimana
Lupus dan Poppy menjadi pelaku cerita di video klip itu. Satu hal yang
betul-betul patut diteladani dalam kisah Lupus adalah keteguhan sikap
Poppy yang tetap memilih cintanya pada Lupus walaupun hadir pria
sempurna di kehidupannya. Begitupun juga Lupus, Poppy adalah cinta
pertama dan terakhir baginya.
Tidak lama setelah Lupus
berakhir, muncul film layar lebar bertemakan kisah remaja SMA yang
sampai kapanpun tak akan bosan kukenang. Ada Apa Dengan Cinta. Kisah
cinta abadi Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian
Sastrowardoyo) hingga kini masih menjadi icon remaja di era 2000-an.
Persis ketika saya seusia mereka juga, pas juga dengan pertama kali aku
serius mengenal cewek. Sebuah kebetulan yang aneh.
Mereka berdua dipertemukan melalui tulisan. Setelah Rangga tak
muncul-muncul ketika namanya disebut sebagai juara 1 lomba menulis sajak
sekolah, kemudian Cinta yang seharusnya menjadi juara 2 maju sebagai
pemenang, semua eksotisme alur ceritapun dimulai. Dunia sastra selalu
terasa indah. Begitupun dengan romantisme kisah mereka. Tidak pernah ada
kebosanan melihat kecentilan Cinta yang selalu menjunjung tinggi
hal-hal yang bersifat prinsipil. Rangga yang penyendiri dan dingin yang
selalu berbeda dilihat dari setiap sisi. Perpaduan Cinta dan Rangga yang
sama-sama unik seolah menjadi simbol cinta modern.
Siapapun
akan hanyut mendengar Cinta yang membacakan sajak secara live diatas
panggung sebuah cafe diiringi gitaris Anda “Bunga”. “Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar gaduh mengaduh...” suara
Cinta itu masih terngiang di telinga. Perpisahan Cinta dan Rangga di
ahir cerita adalah babak baru kisah mereka dalam imajinasi kita. Aku
memilih melanjutkan hubungan sakral mereka itu dalam kehidupanku.
Film terakhir yang masih kurindukan adalah, film Taiwan, Mars. Film yang bercerita tentang romantika cinta Chi Luo (Barbie Hsu) dan Cin Ling
(Vic Chou) ini memiliki alur yang menarik. Karakter Luo yang sangat
pendiam dan lugu berbanding terbalik dengan watak Ling yang keras,
maskulin dan mandiri. Satu hal yang kuingat adalah ketika Ling menolak
tawaran ayahnya yang seorang direktur itu untuk menggantikan posisinya
di perusahaan. Ling bilang; “Buat apa hidup jika harus munafik?! Hidupku
di dunia balap, dan akan terus seperti itu...”. Ling memilih tinggal di
rumah kontrakan kecil dan kuliah sembari kerja sebagai karyawan
lapangan di sebuah perusahaan konstruksi ketimbang hidup bak raja di
istana namun harus patuh pada cita-cita orang tua. Ling telah memutuskan
untuk menjadi dirinya sendiri. Keunikannya juga muncul saat Luo
bertanya tentang alasan Ling menjadi pembalap. Tutur Ling; “Aku hanya ingin melaju lebih kencang.” Wow!
Kisah
Ling yang gigih memperjuangkan cinta dan mimpinya menjadi pembalap,
patut diapresiasi dimana ketika banyak manusia yang begitu saja
bersembunyi dibalik kekayaan orang tuanya, Ling justru memberi teladan
untuk berdiri tegak menghadapi kerasnya hidup di tengah kemandirian yang
ia bangun sendiri. Kekayaan bukanlah apa-apa, namun menjadi diri
sendiri, itulah yang utama. Ling juga memberi contoh bagaimana menjadi
lelaki yang sebenarnya. Ia tidak gentar dan tak pernah tunduk pada
apapun, atau siapapun, bahkan pada segunung harta sekalipun.
Film adalah cermin. Cermin di mana manusia berdiri sama rata dengan seseorang di dalam kaca. Ia adalah bayang-bayang hidup kita yang
tervisualisasi dalam sebuah skenario epic. Menonton tokoh utama dalam film,
hampir mirip seperti menonton diri kita sendiri...
Senin, 03 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar