Pages

Senin, 03 Maret 2014

Terjebak Nostalgia

Dari judul diatas, saya tidak sedang mencoba mengenang tentang romansa masa lalu saya. Di tulisan ini, saya hanya mau sedikit berbicara tentang beberapa drama televisi yang pernah menjadi hit di masa-masa remajaku dulu. Kisah mereka sedikit banyak menginspirasi saya dalam menyikapi lika-liku masa mudaku.

Dawson’s Creek, Lupus, Ada Apa Dengan Cinta, Smallville, Mars.

Setidaknya itulah 4 film yang biasa menjadi tontonan wajibku sepulang sekolah. Jangan tanya musik apa yang sering kulihat dulu, semua program MTV hampir aku gak pernah absen nonton sepulang sekolah. Namun walaupun konsumsiku barat, tapi duniaku sangat-sangat Timur.

Saat luangku, beberapa lagu milik Paula Cole mengingatkanku pada Katie Holmes yang bermain dengan sangat apik dalam film drama Dawson’s Creek. Kisah persahabatan muda-mudi yang sampai kapanpun slogan ini akan tetap ada: “Forever Friend”. Saat-saat kebersamaan mereka adalah satu pelajaran berharga bagi kita dimana ketulusan dalam sebuah ikatan persahabatan merupakan unsur yang begitu bernilai yang kadang sering kita lupakan. Hakekat persahabatan adalah satu rasa satu jiwa. Dalam artian luas, sahabat adalah teman hidup, teman berfikir, dan tempat bernaung. Ketika jiwa bergelombang, dia akan menemukan ketenangan dalam kebersamaan. Satu bagian dalam hidup yang kadang kita abaikan.

Cerita serial Dawson's Creek ini benar-bagus bagus, dikemas tidak berlebihan, dialognya rapih dan sinematografinya pun enak dilihat. Banyak hal-hal yang membuat saya terkesan disetiap episodenya. Untuk anda yang pernah menyaksikan film ini pasti masih ingat dengan beberapa memorial scene seperti Joey yang selalu tidur satu ranjang dengan Dawson, Joey yang selau naik perahu, Jen yang selalu menggoda lelaki, Pacey yang usil dan pacaran dengan gurunya sendiri dan masih banyak lagi hal-hal unik di serial ini.

Siapa yang tidak ingat dengan Dawson dan Joey. Dialog-dialog yang muncul cenderung  bersifat dewasa untuk remaja seusia mereka. Dawson yang selalu berbicara tentang mimpi-mimpinya menjadi sutradara film, dan Joey yang tak pernah berhenti bertutur tentang kedewasaan.

Banyak penggemar serial ini bersimpati pada karakter Pacey Witter yang walaupun terlihat seperti tak memiliki masalah, namun menyimpan keperihan karena sering tak dianggap oleh ayah dan keluarganya. Satu pribadi yang banyak diidam-idamkan banyak pria.

Jen Lindley, gadis dari New York yang terpaksa pindah ke kota di mana Dawson dan kawan-kawan tinggal. Awalnya Jen digambarkan sebagai gadis pemberontak yang selalu melawan neneknya yang religius serta hidup bebas, namun menyimpan karakter rapuh di dalamnya. Aktingnya semakin memikat sebagai gadis mandiri di kampus sampai mereka lulus. Jen digambarkan menjadi penghalang antara hubungan cinta Dawson dan Joey, namun belakangan karakternya berkembang dengan permasalahannya sendiri. Jen adalah sosok wanita yang sebetulnya menjadi karakter idaman karena keunikan wataknya. Kita bisa melihat adanya pendewasaan diri dalam diri Jen. Satu karakter wanita yang perlu kita apresiasi.

Film kedua yang membuatku kecanduan adalah Smallville. Akting Tom Wellington yang begitu kalem dan mendalami karakter Clark Kent adalah gaya sinematik yang begitu menarik untuk diikuti. Kristin Kreuk yang manis itu pun, ketika memerankan sosok Louis cukup bagus. Kisah percintaan Clark dan Lana menjadi fokus dan tema cerita ini. Persahabatan yang unik antara si miskin Clark dan keluarga kaya Lex Luthor juga banyak menginspirasi kita dalam berinteraksi dengan lebih cerdas. Saya ingat ketika Clark berjalan di tengah hujan merasakan kepedihan hatinya setelah Louis menolak kehadirannya. Waktu itu lagu lawas Time After Time versi akustik yang dinyanyikan oleh suara emas Norah Jones membawa suasana sendu yang mengalir di sekitar ruangan televisi. Pernah juga romansa itu muncul ketika Lana dan Clark berdua di atas loteng, kemudian mereka melihat bintang jatuh melalui teropong dan mencoba menebak-nebak rasi bintang apa yang sedang terbentuk di atas sana. Namun mereka tidak sepatah katapun mengucapkan tentang cinta.

Clark Kent adalah mahasiswa jurnalistik yang tertutup dan polos, yang bahkan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Lana saja ia tidak berani. Namun Clark pun tetap tegar ketika akhirnya harus merelakan Lana pada Lex sahabatnya sendiri. Satu kedewasaan yang hampir mustahil terjadi di kehidupan nyata. Walaupun film ini tidak terlepas dari aksi-aksi super Clark, namun saya lebih melihat pada romantisme yang muncul dari kisah segitiga antara Clark, Lana, dan Lex. Saya belajar bagaimana bersikap rendah hati menghadapi masalah di depan orang yang kita sayangi. Juga belajar bagaimana berpribadi seperti Clark yang berbangga hati menjadi anak seorang petani di desa. Saya masih ingat betul ketika ayah Clark memberikan petuah saat sedang beristirahat selepas menata hasil panen di ladang; “Orang itu akan bernilai ketika dirinya dihargai orang lain karena jerih payahnya sendiri”. Di sebuah dialog di meja makan, pernah juga ibunya berkata; “Orang-orang diluar sana sibuk memikirkan kemewahan, tetaplah sederhana, karena itu adalah modal yang paling utama di masa depan kelak”. Smallville, adalah tempat dimana kita patut belajar tentang persahabatan, keluarga, dan cinta.

Film berikutnya adalah Lupus. Hampir mirip dengan karakter Clark, Lupus (Irghy Fahrezi)  disini merupakan sosok yang kalem dan banyak ditaksir cewek di sekolah. Kisah cintanya dengan Poppy (Mona Ratuliu) yang awalnya diawali dengan hubungan malu-malu yang akhirnya jadian dengan banyak dukungan dari kawan-kawan gokilnya seperti Gusur, Boim, dan adiknya Lulu (Agnes Monica) adalah satu alur cerita anak SMA yang banyak terjadi di kalangan remaja saat itu. Kisah mereka itu kemudian diabadikan Kahitna dalam lagunya “Gak Ngerti” dimana Lupus dan Poppy menjadi pelaku cerita di video klip itu. Satu hal yang betul-betul patut diteladani dalam kisah Lupus adalah keteguhan sikap Poppy yang tetap memilih cintanya pada Lupus walaupun hadir pria sempurna di kehidupannya. Begitupun juga Lupus, Poppy adalah cinta pertama dan terakhir baginya.

Tidak lama setelah Lupus berakhir, muncul film layar lebar bertemakan kisah remaja SMA yang sampai kapanpun tak akan bosan kukenang. Ada Apa Dengan Cinta. Kisah cinta abadi Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) hingga kini masih menjadi icon remaja di era 2000-an. Persis ketika saya seusia mereka juga, pas juga dengan pertama kali aku serius mengenal cewek. Sebuah kebetulan yang aneh.

Mereka berdua dipertemukan melalui tulisan. Setelah Rangga tak muncul-muncul ketika namanya disebut sebagai juara 1 lomba menulis sajak sekolah, kemudian Cinta yang seharusnya menjadi juara 2 maju sebagai pemenang, semua eksotisme alur ceritapun dimulai. Dunia sastra selalu terasa indah. Begitupun dengan romantisme kisah mereka. Tidak pernah ada kebosanan melihat kecentilan Cinta yang selalu menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat prinsipil. Rangga yang penyendiri dan dingin yang selalu berbeda dilihat dari setiap sisi. Perpaduan Cinta dan Rangga yang sama-sama unik seolah menjadi simbol cinta modern.

Siapapun akan hanyut mendengar Cinta yang membacakan sajak secara live diatas panggung sebuah cafe diiringi gitaris Anda “Bunga”. “Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar gaduh mengaduh...” suara Cinta itu masih terngiang di telinga. Perpisahan Cinta dan Rangga di ahir cerita adalah babak baru kisah mereka dalam imajinasi kita. Aku memilih melanjutkan hubungan sakral mereka itu dalam kehidupanku.

Film terakhir yang masih kurindukan adalah, film Taiwan, Mars. Film yang bercerita tentang romantika cinta Chi Luo (Barbie Hsu) dan Cin Ling (Vic Chou) ini memiliki alur yang menarik. Karakter Luo yang sangat pendiam dan lugu berbanding terbalik dengan watak Ling yang keras, maskulin dan mandiri. Satu hal yang kuingat adalah ketika Ling menolak tawaran ayahnya yang seorang direktur itu untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Ling bilang; “Buat apa hidup jika harus munafik?! Hidupku di dunia balap, dan akan terus seperti itu...”. Ling memilih tinggal di rumah kontrakan kecil dan kuliah sembari kerja sebagai karyawan lapangan di sebuah perusahaan konstruksi ketimbang hidup bak raja di istana namun harus patuh pada cita-cita orang tua. Ling telah memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Keunikannya juga muncul saat Luo bertanya tentang alasan Ling menjadi pembalap. Tutur Ling; “Aku hanya ingin melaju lebih kencang.” Wow!

Kisah Ling yang gigih memperjuangkan cinta dan mimpinya menjadi pembalap, patut diapresiasi dimana ketika banyak manusia yang begitu saja bersembunyi dibalik kekayaan orang tuanya, Ling justru memberi teladan untuk berdiri tegak menghadapi kerasnya hidup di tengah kemandirian yang ia bangun sendiri. Kekayaan bukanlah apa-apa, namun menjadi diri sendiri, itulah yang utama. Ling juga memberi contoh bagaimana menjadi lelaki yang sebenarnya. Ia tidak gentar dan tak pernah tunduk pada apapun, atau siapapun, bahkan pada segunung harta sekalipun.

Film adalah cermin. Cermin di mana manusia berdiri sama rata dengan seseorang  di dalam kaca. Ia adalah bayang-bayang hidup kita yang tervisualisasi dalam sebuah skenario epic. Menonton tokoh utama dalam film, hampir mirip seperti menonton diri kita sendiri...





0 komentar: