Pages

Rabu, 26 Maret 2014

Efek Dekat

Sudah sejak Januari lalu saya selalu berangkat kerja bareng istri. Berita baiknya, dia kini resmi berdomisili di Semarang setelah beberapa waktu lalu penempatan di Bogor. Berita tidak bagusnya, saya semakin kesulitan mencari alasan meninggalkan rumah seenaknya lagi. Pasalnya, dia tau persis seperti apa kegiatanku di luar. Pada awalnya, saya menikmati kebersamaan ini. Apalagi kadang ada giliran jaga. Biasanya setelah 20 menit berkendara, aku minta dia yang di depan, jadi aku bisa sambil ngantuk-ngantuk bonceng di belakang. Begitu juga ketika ada operasi di jalan, cukup dia yang tersenyum pada pak polisi lalu kami sudah bisa berjalan kembali. Betapa menyenangkannya ada dia. Ketika lelahpun, kita biasanya mampir dulu di POM, shalat maghrib dulu, cuci muka gitu, dan yang terpenting apapun yang kuinginkan, hampir semua dikabulkannya. Yang dulu biasanya aku harus berhemat karena kemana-mana sendiri, sekarang dengannya, aku seperti berjalan dengan mesin ATM. Dulu paling banter aku hanya berani mampir nasi kucing atau warteg untuk sekedar makan malam. Tapi sekarang, aku bisa memilih aneka macam masakan kuliner yang tersedia. Kadang bakso, sate, soto ayam, penyet, gule, semur ayam, beef steak, dan banyak resep mahal lainnya. Tambah lagi, aku bisa kapan saja order sebungkus Sampoerna Mild tiap kali istriku masuk ke Indomaret. Dan dengan bangganya dia akan keluar toko seraya bilang; “Mas, ini aku sudah dapat rokokmu!”. Seolah-olah rokok itu didapat dari hasil rayuan hebatku supaya dapat surat ijin merokok darinya. Setidaknya, itu yang mungkin dipikirkan orang yang lalu lalang.

Tetapi, prinsip keseimbangan itu selalu ada. Di setiap enak, pasti ada tidak enaknya. Ada beberapa hal yang dulunya terasa enak, kini justru menjadi tidak enak. Saya biasa berkendara sendiri, baik itu berangkat kerja, ataupun sepulang darinya. Dan kebiasaan tersebut sudah hampir 5 tahun saya jalani. Karena sendirian, saya lebih sering berkendara dengan kecepatan tinggi. Dan menjadi pembalap imajiner seperti itu betul-betul membuat saya merasa‘gagah’. Namun sekarang, baru mau saya naikkan kecepatan menjadi 80 km/jam saja, istri saya sudah seperti singa kehilangan ekor. Ada saja bagian dari tubuh saya yang menjadi korban pukulan dan cakarannya.

Dulu, saya bisa saja menggoda siswi-siswi SMA yang sama-sama berhenti di area traffic light sampai pipinya semerah lampu bangjo ituTidak jarang pula ada pemandangan-pemandangan sehat ABG-ABG bening tiap kali saya berhenti untuk sekedar mampir ngeteh ngrokok di warung-warung sekitar Jl. Pleburan. Yaaa.... Obat mata kata teman saya. Namun kini, semua hal itu tidak pernah lagi ada. Aku memilih cuek melihat penampakan-penampakan anomali tersebut, daripada mata saya justru sakit terkena tonjokan istri.

Karena sering lembur dan pulang malam, dulu saya biasa janji bertemu dengan kawan lama dan kumpul bareng di warung angkringan sambil ngobrol ngalor ngidul ngegosip sana sini. Walaupun jarak yang harus kutempuh ketika pulang dari situ cukup jauh, namun tetap saja saya nikmati itu. Tetapi sekarang sudah lain soal, prioritas lebih saya utamakan pada kesehatan istri, mengingat esok harinya dia harus kembali berangkat kerja. Sehingga entah itu lembur entah itu bubur entah itu sayur, selesai pulang kerja ya sebisa mungkin pulang. Dan itulah yang kini terjadi. Lagi-lagi aku harus terbiasa dengan pola baru ini.

Bagaimana rasanya di awal? Ya tentu saja berat. Saya harus selalu berkompromi dulu sebelum mengambil keputusan. Tidak jarang ada perdebatan kecil, bahkan ketika masih berkendara di tengah arus lalu lintas yang padat. Rasanya hal itu seperti sudah menjadi konsumsi wajib bagi kami. Aneh memang, tetapi, setelah sama-sama lelah, baru biasanya muncul kesepakatan. Saking gondoknya tiap kali ini terjadi, sempat terlintas di benak saya untuk membeli stempel khusus dan materai 6 ribu, sehingga setiap kesepakatan yang terjadi baik itu yang dijalan, di telpon, di warung, di fesbuk, di kamar mandi, di radio, di televisi, di mangkok, di piring, semuanya bisa terdata secara kolektif dan terdokumentasi dengan baik sebagai bagian dari administrasi keluarga..

Tetapi sekarang, setelah semuanya mulai terbiasa, kedekatan dan kelekatan yang terjadi antara saya dan istri sedikit demi sedikit mulai menghadirkan pandangan baru. Setelah beberapa benturan idealisme yang terjadi, saya pada akhirnya mulai memahami jalan yang dipilihkan-Nya ini. Saya seperti pelan-pelan dipandu untuk mengerti makna dari kata ‘bersatu’. Iya, hakikat menikah adalah proses penyatuan. Dan kendatipun kami sedikit berbeda dalam cara pandang, namun pada akhirnya kebersatuan itu terjadi juga. Saya akhirnya paham, istri saya mencoba mengingatkan saya bahwa menjadi pembalap gadungan di jalanan sama saja dengan tidak peduli dengan diri sendiri dan sengaja melupakan keberadaan keluarga yang tiap hari senantiasa dengan sabar menanti di rumah. Dia mencoba menyelamatkan saya dari ke-alpha-an diri yang bisa saja sewaktu-waktu membawa saya ke ketidak-beruntungan.

Satu hal yang paling terasa adalah, kegalauan yang kerap muncul tiap kali melihat pasangan muda mudi atau suami istri yang berkendara berboncengan, kini telah sirna, berganti dengan perasaan senang dan bahagia dimana istri saya yang luar biasa ini akan dengan bangga saya tunjukkan pada mereka semua sembari tersenyum lebar seolah-olah bercerita tentang hebatnya kisah kami.

Saya juga paham bahwa sikap dingin yang harus saya ambil tiap kali terjadi penampakan-penampakan anomali tadi, adalah satu bentuk komitmen serius seorang suami terhadap istri. Siapapun paham akan hal ini. Dan percekcokan yang kerap terjadi hampir setiap hari adalah cara Tuhan menyatukan perbedaan yang ada. Sehingga, bisa jadi ini semua adalah berkah. Berkah kebersatuan yang datang dalam hidup, setelah hampir 5 tahun saya mengawali hari-hari dengan kesendirian.







0 komentar: