Pages

Rabu, 26 Maret 2014

Badut-Badut Protokol


Menjelang Pemilu April ini, banyak sekali perubahan yang terjadi pada tata kota kita. Lokasi lokasi yang biasanya terlihat sehat, tiba-tiba nampak meriah, riuh, penuh dengan reklame dan foto  sosok-sosok tak dikenal. Siapapun yang lewat jalur protokoler dan melihat foto-foto tersebut akan dengan spontan bertanya-tanya; “Alien dari mana ini. PeDe bener masang gigi di pinggir jalan begini...”. Pemandangan foto caleg, calon uleg, atau dalam istilah saya; 'badut-badut protokol'  itu berjejer berderet-deret dengan rapinya, dengan manisnya, dengan segenap wajah gembira yang nampak agak dipaksakan dari tiap posenya itu, sebetu;nya lebih nampak seperti peserta lomba model ketimbang kontestasi calon legislatif Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Banyak nama-nama yang muncul, baik dengan atau tanpa gelar. Sebut saja Joice Triatman, Yayuk Basuki, Siti Hendriyanti, Bambang Sadono, Eko Waluyo, Sulistyo, Nur Solikhin, Saneman, Mulyadi, Slamet Trianto, Suloyo, Wagiyo, Paino, Rukimin, Satino, Paijem, dan nama-nama  keren lainnya (maaf bila ada kesalahan penyebutan nama, itu semata-mata memang saya sengaja). Saking banyaknya, tiap kali berhenti di lampu bangjo, saya selalu berhitung, logo partai mana yang paling banyak tampil. Partai sapi, ataukah partai korupsi, partai Marcella Zalianty, ataukah partai banteng? Atau mungkin dari partai baru yang punya branding hewan lainnya? 

Kadang saking asyiknya, saya sampai membayangkan bagaimana jadinya jika saya yang ada di foto itu. Saya tidak berani membayangkan, apa saja yang bakal saya bawa ke pegadaian nanti sebagai persiapan menggali modal. Juga saya ngeri membayangkan, seperti apa nanti ketika saya kemudian harus mendekam di RSJ setelah mendengar berita kekalahan saya. Mmmm... mungkin saya akan banyak melukis seperti Rano Karno di film lamanya bersama Jessy Gusman. Tapi bukan cewek yang bakal saya lukis, melainkan semak belukar!! He...

Memang, banyak spekulasi dan invasi yang muncul menjelang Pemilu caleg ini. Di area perumahan saya sendiri ada 4 partai besar yang ingin masuk dan menawarkan asosiasi kerjasama dengan RT saya. Namun setelah dijelaskan bahwa hanya ada 34 KK di situ, ke empat-empatnya spontan mundur semua. Tentu saja hal tersebut lebih didasarkan pada ketidak prospektifan jumlah target follower yang ada. Hal ini tentu saja semakin menjelaskan betapa otak mereka hanya dipenuhi dengan jumlah hitungan suara potensial dan tentu saja, uang!

Saya teringat kawan saya yang kemarin turut terjun dalam gegap gempita sebuah kampanye partai besar di lapangan Pancasila Simpang Lima. Uang 100 ribu ditawarkan kepadanya, jika bersedia ikut hore-hore di sana. Tetapi sampai dibela-belain bolos kerja, jalan kaki kepanasan dari Taman KB hingga bundaran Simpang 5, uang yang diterima kawan saya ini hanya 40 ribu, bahkan makan siang saja tidak dapat. Tetapi dia tetap bersyukur, karena uang itu masih bermanfaat untuk membelikan dia rokok 1 bungkus dan 2 liter bensin ketika perjalanan pulang. Dia juga masih sempat mendoakan makelar yang menawarinya bersimpatisan ria di sana, semoga diberi kemudahan dalam menjalankan misinya ngibulin orang-orang, dan juga uang sabetan yang didapat banyak baik itu dari potongan yang didapat di setiap event kampanyenya, maupun dari bayaran yang didapat setelah laporan palsu suara potensial yang telah direkayasa, diterima. Sambil nyesek saya hanya cukup menimpali, “Amin”.

Memang, sudah rahasia umum ketika suara rakyat itu diperjual belikan menjelang konstestasi pemilu caleg. Merupakan hal yang lumrah pula ketika kita menemui seseorang yang memberikan suaranya setelah mendapatkan sejumlah uang yang terbungkus rapat dalam sebuah amplop putih polos. Sebagai manusia yang dianugrahi hati nurani oleh Tuhan Yang Maha Mulia, tentu saja secara pribadi telah melekat pada kita apa yang namanya hak asasi.

Maka, adalah buta orang yang dengan sengaja menutupi mata hati nuraninya hanya karena uang yang jumlahnya mungkin tidak seberapa itu. Saking terbiasanya dengan hal ini, sedikit demi sedikit kita telah dengan sengaja mengikis nilai-nilai kejujuran kita sendiri. Dengan dalih empati, kita pilih mereka yang bermodal, mereka yang kapitalis, mereka yang dungu, yang mengatas namakan rakyat tetapi pada waktu yang bersamaan menginjak martabat mereka dengan membeli harga diri mereka hanya dengan beberapa lembar uang puluhan. Iya, mereka dihargai dengan harga yang murah, sangat murah!! 

Tidak bisakah kita menolak menjadi penjilat opportunis, ataukah memang sudah serendah itu martabat kita sebagai bangsa.  Atau memang kita sudah lupa bahwa kita bisa menyuarakan hati kita dengan sejujur-jujurnya, menuangkan aspirasi, betapa lelah kita dengan gegap gempita palsu dimana secara sadar mereka terus menerus melakukan pembodohan atas ‘keluguan’  kita. Bagaimanapun, jujur adalah sikap etis yang manusiawi, kita hanya perlu ketegasan saja dalam pengungkapannya, karena bagaimanapun, hanya dengan kejujuran saja bangsa ini bisa dibangun. Kecuali, jika memang kita lebih memilih munafik dan lupa dengan slogan ini “Vox populi vox dei”, suara rakyat ya suara Tuhan ...

0 komentar: