Pages

Senin, 03 Maret 2014

Hikmah Rusak

Sudah sebulan lebih grendel dalam pintu utama rumah saya rusak. Untuk bisa membuka pintu ini, hanya bisa dilakukan dari luar karena kondisi grendel yang luar masih bagus. Itulah mengapa hampir tiap pagi saya harus lompat keluar dulu lewat jendela kamar baru bisa membuka pintu dari luar. Pada kondisi semacam itu, saya harus berjuang mati-matian menahan rasa malu ketika tiba-tiba ada orang lewat yang melintas di depan rumah dan melihat dengan wajah aneh aksi saya itu. Mungkin mereka pikir, ekspresi wajah saya lebih mirip maling ketimbang pemilik rumah. Namun seperti Tyson yang semakin dipukul semakin kuat, rasa malu itu justru makin menipis seiring menebalnya muka saya karena sikap cuek yang saya pilih.

Rumah itu tergolong baru. Namun belum ada satu tahun saya tinggali, ke-usang-an rumah itu mulai nampak. Salah satunya ya grendel itu tadi. Tentang ini, istri saya pernah mengajukan renovasi, tapi karena sibuk bekerja dan banyaknya kepentingan rumah tangga lain, membuat saya menunda dulu rencana itu. Akhirnya loncat jendela tiap pagi menjadi alternatif solusi yang terbaik.

Pernah suatu ketika, tetangga menanyakan ihwal grendel kaitannya dengan aksi akrobatik saya itu, namun dengan tenang saya jawab; "Gak apa-apa kok pak... Anggap saja saya berolah raga pagi."
Karena sudah berminggu-minggu saya melakukannya tanpa sadar saya mulai menikmatinya. Saya tidak pernah berprasangka buruk terhadap tetangga-tetangga sekitar yang menganggap saya aneh. Saya bebaskan mereka dari jeratan itu. Saya lebih memilih memberi mereka ruang untuk berimajinasi tentang keanehan saya itu ketimbang membuat klarifikasi resmi apalagi sampai diforumkan di rapat RT.

Positifnya, putri saya, Najwa, selalu tertawa terbahak-bahak melihat aksi saya tadi. Bahkan walaupun masih pagi buta, kalau mendengar suara jendela dibuka sudah bisa dipastikan Najwa akan bangun dan duduk tegak dengan segenap semangatnya. "Cepetan yyaahh!!" begitu dia merengek merayuku untuk segera meloncat. Walau hanya lompat 1 meter saja, namun dia benar-benar terhibur seolah ayahnya mau loncat dari ketinggian 10 meter. Hal ini membuat semangat saya berkobar. Dan dengan semangat itupun saya bisa melakukan akrobat itu berkali-kali hanya demi melihat tawa indah yang mahal itu.

Selain itu, dengan kebiasaan lompat pagi di jendela membuat ribuan Glikogen dan Adenosin Triphospat dalam tubuh ini meningkat sehingga menghasilkan energi yang luar biasa. Apalagi dengan kondisi O2 yang sangat fresh di pagi hari, kadang-kadang saya bisa mengulanginya berkali-kali.

Hingga suatu ketika ada kesempatan untuk memperbaiki grendel itu. Saya dan keluargapun bisa dengan leluasa menggunakan pintu itu semaunya, sama seperti keluarga normal lainnya. Satu masalah teratasi, muncul masalah lain. Saya seperti linglung karena beberapa jenis pertanyaan seperti ini. Bagaimana membuat Najwa tertawa lagi setelah subuh berlalu, bagaimana saya berolah raga lagi karena saya tidak terbiasa berolahraga konvensional. Saya juga tidak lagi bisa melihat ekspresi aneh orang-orang yang lewat depan rumah. Juga tidak lagi saya dengar ledekan-ledekan seru para tetangga. Semuanya karena apa, karena masalah sudah teratasi. Maka tanpa saya sadari saya telah melewatkan kelucuan dan keasyikan dari peristiwa rusaknya grendel itu. Secara batiniah, saya telah kehilangan momen-momen membahagiakan itu.

Dari cerita ini, ada sepenggal hikmah yang bisa saya petik. Ditengah kesusahan pasti ada kesenangan, dan didalam kesulitan pasti ada kemudahan. Prinsip keseimbangan itu pasti ada dimanapun tempatnya, bagaimanapun rupanya. Memang, untuk membuat masalah sulit menjadi mudah bukanlah perkara gampang. Namun, selalu ada saat dimana kita bisa menikmatinya, bergelut dengan hal-hal disekitarnya, dan merasakan manfaatnya. Sehingga pada titik tertentu, kita mampu dengan cerdas mengelola masalah ini menjadi kesenangan.

Bahkan dari model penalaran ala Vivekananda, bisa jadi situasi seperti ini justru menggelitik logika kita untuk mengubah mindset, dimana kita akan otomatis menganggap masalah sebagai sebuah keberuntungan. Karena dengan mencari korelasi linier atas nilai-nilai etimologis dari perkara membenarkan yang rusak tadi saja, muncul filsafat moderat yang berbunyi; selalu ada kebaikan dalam setiap keburukan, dan selalu ada kebenaran dalam setiap kesalahan. Hanya saja kita kadang tidak sadar bahwa Tuhan telah dengan jelas menampakkannya di depan kita. Sehingga, yang menjadi masalah sebenarnya adalah, orang sering dengan sengaja melupakan ungkapan itu.

0 komentar: