Namanya Grace. Lengkapnya Anastasya
Grace Widjaja. Aku bertemu dia belasan tahun silam. Tepatnya ketika aku
masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tak jelas kenapa aku sering terpancing untuk
memperhatikannya kala itu. Bagi seorang anak bawang sepertiku, masih sulit
mengartikan kata suka atau simpatik. Yang kutau, melihatnya bermain kelereng
saja sudah membuatku senang. Kakakku bilang, waktu itu aku masih bocah monyet (u know, it’s a personal phrase yang
artinya kurang lebih; anak bau kencur yang sedang meraba-meraba makna suka.
Baca: cinta monyet). Masih tampak jelas, dia selalu berada di barisan paling
depan tiap kali jalan bareng gengnya. Dia yang paling sering bercerita
ketimbang mendengar cerita. Entah harus berapa kali teman-temannya itu
mendengar cerita fiksinya, tapi pernah sekali aku mencuri dengar dan kutau
bahwa satu kali duduk saja dia bisa bercerita 3 atau 4 fabel sekaligus.
Nampaknya dia memang berbakat menjadi pendongeng. Salah satu cerita favorit
karangannya adalah cerita tentang putri kerajaan yang dibuang oleh ibu tirinya
dan diselamatkan oleh segerombolan binatang. Ia tumbuh dan besar bersama
binatang itu hingga akhirnya bisa saling berkomunikasi. Akhir ceritanya adalah,
sang putri, dengan bantuan teman binatangnya,
menemukan cinta sejatinya, seorang pangeran tampan yang mengendarai kuda
putih. Setiap ceritanya selalu ada sisi magis. Iya, seperti aku yang selalu
terkena daya itu, terhipnotis oleh tiap kata-katanya, ceritanya, ah mungkin
lebih tepatnya suaranya.
Untuk anak di usia SD, penampilan
Grace sebenarnya biasa-biasa saja. Rambutnya pendek, sedikit tomboy, suka melotot
jika digoda teman cowoknya, seolah menantang mereka untuk bertinju. Dia juga
sering mengejek teman yang tidak senada dengannya, nampaknya ada sedikit
keegoisan di dirinya, yaitu semua temannya harus menyetujui pendapatnya.
Mungkin itu efek karena terlalu banyak yang memujinya. Cantiklah, pintarlah,
jeniuslah. Banyak lah. Tapi memang, semua itu benar, dia itu juara kelas,
selalu ranking satu, aktif di lomba-lomba seperti dokter kecil, science club,
dan lain-lain, tidak jarang pula dia jadi juara. Hanya satu hal yang sedikit
kurang darinya. Yaitu kelemahan fisiknya. Dia sering absen di jam olahraga, dia
sering juga ijin pulang karena sakit. Tidak jelas kenapa bisa begitu. Aku
sering menatap bangku tempat dia biasa duduk ketika absen. Seperti ada yang
kurang tiap kali dia tidak hadir. Aku sering mengeluh pada teman sebangkuku
tentang sedang tidak bersemangatnya aku di kelas jika tidak ada dia. Pernah
satu kali aku dan teman yang lain mencoba untuk menengoknya di rumah, namun apa
yang terjadi, dia tidak pernah mau keluar dari rumah. Paling-paling hanya ibu
atau kakaknya yang keluar memberikan snack dan camilan hanya untuk menghibur
kami. Aku tidak tahu kenapa, tapi ini yang sering kami dengar, “Maaf ya, Grace masih
istirahat. Kondisinya sedang tidak fit untuk bertemu kalian. Dia juga malu
karena belum mandi seharian. Harap maklum ya...”.
Hingga satu saat, aku memaksa
wali kelas untuk menemani kami menjenguknya. Aku hanya berharap Grace mau
keluar dan menyapa. Dan ternyata berhasil. Dia terlihat sedikit lesu dengan
rambut berantakan dan muka awut-awutan. Tapi bagiku, dia masih tetap cantik.
Dengan sedikit malu-malu dia berkata; “Terima kasih ya semuanya. Kalian baik
sekali mau datang. Aku gak akan pernah lupakan ini.” Itu kata-kata yang sampai
kapanpun selalu kuingat. Aku kembali riang ketika Ana berangkat sekolah lagi.
Bahkan setelah tahu bahwa dia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 11 aku
langsung jingkrak kegirangan. Dan iya, kami semua berpesta di rumah Grace.
Banyak temanku memakai baju bagus di ultahnya. Aku sendiri mengenakan kaos
warna hijau favoritku dan celana jeans baggy
seukuranku. Aku selalu percaya bahwa aku punya bakat menari. Tarian Michael
Jackson adalah yang paling kugemari. Dan pada momen yang tepat seperti hari
itu, akan kubuat teman-temanku terpana melihat penampilanku. Dan benarlah,
ketika sebuah lagu Pop Beat diputar aku langsung berdiri dan menari mengikuti
irama. Aku serasa di panggung konser. Semua menepuki
irama seiring dengan tarianku. Sorak sorai mereka semakin keras terdengar
ketika aku menyuguhkan mereka tarian Moon Walker. Tak terkira senangnya. Ketika
akhirnya selesai, tidak terkira bangganya hatiku melihat Ana memberi tepukan
tangan terkerasnya dan sambil berjalan mendekatiku, dia tersenyum dan berkata;
“Vico, kamu keren. Terima kasih ya...” begitu katanya sambil menjabat tanganku.
Dengan sedikit gemetar, aku membalas jabatannya dan berkata dengan sangat
lirih; “Selamat ulang tahun Grace. Best
wishes to you ...”kataku lirih. Bahkan sangking lirihnya, aku bisa
mendengar degup jantungku yang berdetak kencang ketika berdiri dengan jarak
sedekat itu dengan Grace. Kami berdua kemudian saling tersenyum, lalu semua
yang datang bertepuk tangan dan bersorak sorai. Seolah para dayang-dayang dan
punggawa berbahagia melihat sang Pangeran menemukan Putri impiannya. That was the best day I’ve ever had.
Tidak lama setelah hari itu, sebuah
kabar mengejutkan datang dari ibu. Ibuku bilang bahwa kami sekeluarga akan
pindah ke Jawa. Ke tanah kelahiran kami. Kontrak kerja ibuku yang membesarkanku
sendirian sejak aku kecil ini, telah habis. Dan ternyata ibu mendapat tawaran
kerja baru oleh paman kami di Jawa. Saat mendengar berita itu aku adalah orang
yang paling sedih diantara yang lain. Aku harus berpisah dengan teman-temanku,
sekolahku, dan lebih lagi dia. Ana, yang selama ini menjadi motivasi terbesarku
berangkat ke sekolah. Aku berlari, mengambil sepeda, dan mengayuh
sekencang-kencangnya menuju gedung bioskop lama tempatku biasa menyendiri, dan
menangis sejadinya di sana. Aku ingin berontak, tapi apa daya, saat itu pilihan
yang terbaik adalah menerima. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya aku
tanpa teman-temanku ini nanti. Aku tak tahu betapa sesak dada ini, berat
rasanya harus berpisah dengan mereka, terutama dia. Ana. Seorang gadis kecil
teman sekelas yang membuatku betah tinggal di sekolah dan membuatku semangat
menjalani hidup sebagai putra perantauan di negeri orang. Namun waktu selalu
berbicara lain. Aku akhirnya harus pergi, banyak sahabat yang menemani
kepergianku. Kami saling berbagi alamat rumah untuk sekedar berbagi khabar
kelak. Aku mencoba untuk berbesar hati ketika taxi sudah menjemput. Hanya satu
yang kusayangkan, aku tidak melihat Grace di antara teman-temanku itu. Aku
bilang pada mereka, “Tolong sampaikan salamku ke Grace. Aku pamit. Kita selamanya
sahabat. Jaga diri baik-baik. Kutunggu kabar kalian lewat surat.” Dan akupun
pergi. Hari yang berat.
“Hei Vico!!” sebuah suara yang
dibarengi dengan tepukan membuyarkan lamunanku.
“Ah kamu Maya. Ngagetin orang
aja.” Balasku.
“Ngapain kamu ngalamun sendiri di
sini. Itu lhoh kamu di cariin si bos. Minta laporan data keuangan bulan
kemarin. Sudah kamu rangkum kan?”
“Oh iya iya, sampe lupa aku. Iya
oke oke, aku siapkan dulu yah...“ aku berlari menuju ruanganku mengingat hari
ini adalah dateline dimana aku biasa
menyerahkan laporan keuangan perusahaan. Diam-diam aku berterima kasih pada
Maya rekanku sekantor ini, karena sudah diingatkan. “Biarlah, nanti kutraktir
makan aja dia” batinku.
Namaku Vico. Seorang pria lajang
berusia 30 tahun yang sedang meniti karir di sebuah perusahaan asuransi di
Surabaya. Kemampuanku sebagai seorang akuntan ternyata mendapat kepercayaan
bosku. Sejak dipromosikan untuk menjabat Kepala Bagian Keuangan 3 bulan lalu,
sedikit sekali waktu yang bisa kugunakan untuk bersantai. Bahkan untuk ngopi
saja rasanya susah sekali. Syukurlah sekretaris si bos yang bernama Maya tadi
sering berbaik hati menemaniku hang out
sepulang kerja dan ngobrol santai layaknya teman akrab. Tapi yang membuatku
penasaran, apakah karena padatnya waktuku yang membuat akhir-akhir ini aku
sering melamun ya....
Jam menunjukkan pukul 19.30. Di
meja nomor 10 Cafe ‘Harmoni’ ini aku
duduk sendiri menunggu Maya. Malam ini malam Minggu. Malamnya para pecinta.
Aneh sekali rasanya bagiku. Malam ini aku harus lagi-lagi ditemani si Maya.
Entah sudah berapa makan malam yang kulewatkan dengannya. Seolah-olah hanya dia
saja temanku. Tapi tak apalah, memang nyatanya begitu. Aku memang bisa dibilang
tipe penyendiri. Gak suka punya banyak teman. Semenjak lulus kuliah dan menjadi
corporate executive, bisa dibilang hari-hariku hanya habis untuk
mengejar target perusahaan. Karena lebih sering di kantor, aku lebih banyak
bertemu dengan orang-orang yang sama. Iklim yang sama pula. Kondisi yang
monoton. Jika tidak karena gaji, aku mungkin sudah hengkang dari situ.
6 tahun bekerja semenjak 1 bulan
wisudaku, aku sudah mewujudkan banyak hal. Mobil, rumah, walaupun semua itu
masih dalam proses cicilan he he... Tapi paling tidak aku tidak sia-sia
berkeringat. Walau demikian, hidupku belum sempurna. Menjadi jomblo 6 tahun itu
berat. Pernah aku mencoba dekat dengan seseorang, tapi, mereka semua tidak
sesuai dengan ekspektasiku.
So,
am I a perfectionist one? Bisa jadi.
Dari kejauhan bisa kulihat mobil
Xenia hitam milik Maya diparkir di depan cafe. Dia turun mengenakan baju
santai. T-Shirt pink, dan celana jeans bersepatu tipis, Crock merknya. Sembari tersenyum dia melambaikan tangan dan
berjalan ke arahku.
“Sudah lama Vic?” tanyanya
langsung setelah menempati posisi nyaman di kursinya.
“Baru aja kok, 15 menitan...”
jawabku hangat.
“Sorry ya bikin nunggu... Macet
di jalan gak tau ada konser apa...” tukasnya enteng.
Setelah memesan menu makanan dan
minuman, kami mulai bercakap.
“Maaf ya May, kamu lagi-lagi
harus menemaniku dinner malam ini.
Aku gak tau harus membayar kebaikanmu ini pake apa...” aku mulai berceloteh.
“Halah kamu ini kayak sama siapa
aja Vic. Udahlah santai aja. Lagipula aku juga pas gak ada kerjaan kok. Cuman
di rumah aja nemenin nenek, mana bagian serunya.... He he...”
“Mmm... Pokoknya terima kasih lah...”
selorohku.
“Iya deh... Kadang, waktu-waktu
santai seperti ini justru memberi kita satu nilai tersendiri di samping suasana
kantor yang sering menekan kita. Aku enjoy
aja kok Vic. You know, menurutku, Pak
Bagas, yang hampir setiap hari sering ngomel-ngomel sama sekretarisnya ini,
mungkin malah memiliki situasi yang lebih parah. Sudah belasan tahun menduda,
di rumah sendirian, anaknya semua gak ada yang dekat sama dia, dan parahnya
lagi, gak pernah bisa ramah sama orang. Bayangin, betapa mengerikannya dia.
Sepertinya, bos kita itu harus mulai menyewa psikolog pribadi deh...” Maya
mulai membuka obrolan.
“He he... Kamu ini, gak boleh
tauk ngomongin orang dibelakang. Tapi mungkin kamu ada benarnya juga May. Cara
dia bergaul dengan orang sepertinya sudah menemui titik didih. Jadi, rasa
kesepian itu justru lebih terasa ketika dia berkumpul dengan banyak orang.
Makanya kalo pas rapat gak jarang dia teriak-teriak sampai gedor-gedor meja.
Yaaa.... Mungkin karena posisinya bos, juragan. Beda mungkin kalo dia satpam,
atau OB misalnya. Ya itu tadi, saat dia berteriak-teriak bisa jadi itu adalah
letupan semangat juang, business
pressure, atau mungkin dia dulu mantan demonstran. Hahahaha...” tawa kami
hampir berbarengan.
“Ngomongin orang memang asyik yah
he he. Sekarang gimana kalo ngomongin diri sendiri?” tawar Maya.
“Oke deh. Tapi setelah makan
ya...” sahutku setelah melihat karyawan cafe yang membawa seperangkat menu yang
tadi kami pesan.
“Ayok!” tukas Maya mantap sembari
menjangkau sendok garpu di depannya.
Tanpa babibu, kamipun langsung
menyantap semua yang ada di depan. Seperti dua orang kelaparan saja, begitu
pikirku.
15 menit berlalu. Setelah selesai
mencuci tangan, aku merogoh saku kanan jaket dan mengambil sebungkus rokok A
Mild. Aku mulai menghisapnya setelah sesaat sebelumnya kugunakan Cricket untuk
menyalakannya.
“Enak ya ngrokok kaya gitu?”
pancing Maya.
“Enak. At least, bagi jomblo sepertiku, rokok kecil ini cukup
mendamaikan.” Jawabku.
“Gitu ya... He he... Okelah
kumaklumi. Tapi sepertinya, nada tinggi barusan yang kudengar saat kamu mengatakan
Jomblo, sedikit menggelitik telingaku. “
“Mangsutnye?”
“Mangsutnye?”
“Biasanya nadamu datar ketika
mengatakannya. Tapi kenapa sekarang meninggi? Kata Dale Carnegie, ketika seseorang mengatakan satu kata tertentu yang
identik dengan kondisinya, itu berarti dia mulai tidak nyaman dengan sesuatu.
Dan menurutku memang, sebetapapun hebatnya kamu membohongiku dengan lagak sok ‘nrima’ mu itu, kamu gak bisa membohongi
hatimu. Itu yang sebenarnya terjadi Vic.”
“Hey hey, what’s wrong cutie? R
U a philosopher now or what? Lagi-lagi kamu mendorongku ke area itu. I’m okay this way. Santai ajalah May...”
“Gak gitu Vic. Kadang aku gak
tega ngliat kamu. Okelah, kuakui kemampuan bekerjamu bagus. Tapi tidak sebagus
bagaimana kamu bekerja untuk kehidupan pribadimu sob. Itu yang aku gak bisa
nerima. Man..., 30 tahun itu usia yang
rawan, aku takut kesendirianmu nanti justru membawamu ke hal-hal yang gak
bener. Ada pepatah, life begins at
thirty. Kalo gak sekarang, kapan lagi? Kamu mungkin gak nyaman ketika aku
sering mendikte seperti ini. But, I’m
your friend. The one and only. Tentu aku berhak untuk peduli. Apa perlu
kuperjelas lagi hal itu?” Maya tiba-tiba nyolot.
“Sebentar May. Kamu tau kenapa
aku terus menghisap rokok ini, padahal aku tau ini gak baik buat kesehatan? Itu
karena aku menikmatinya. Sama, jalan hidup yang sedang kujalani ini mungkin
bukan jalan hidup yang sehat, tapi aku menikmati hidupku, dan aku enjoy gitu lo. Bukan apa-apa, tapi this is the way I live. Kalo tentang
jodoh, parameternya bukan terletak pada usia, tapi disini lho, di hati...”
kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku.
Aku bersandar pada kursi yang
kududuki, menengadahkan kepalaku ke atas. Mataku bertengger pada langit-langit
ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Aku mencoba menelan pahit manis yang
keluar dari kata-kataku tadi, kepalaku serasa penuh. Kutiupkan asap rokok ke
atas sana. Agak lama aku di posisi begitu.
“Vico... Bukannya aku lancang.
Kita adalah makhluk sosial yang butuh orang lain. Namun, aku takut ada yang
salah denganmu. Kamu selalu berusaha menepis realita. Hidup ini selalu
menyuguhkan kita dengan materi-materi matematis kimiawi, dan kita mau gak mau
harus mencoba bereksperimen dengannya karena justru disitulah kita akan
menemukan nilai-nilai.” Maya mulai mengkuliahiku lagi.
Setelah mengambil nafas panjang,
aku mulai bicara. “Kamu tau gak May. Aku sering berdiri di depan kaca. Kulihat
diriku yang terpampang jelas disana. Kulihat inci demi inci diriku disana. Dan
kamu tahu apa? I’m pathetic, I’m
hopeless. Aku gak pernah tau, kesendirian ini akan berakhir sampai kapan...
“
“Kalo aku boleh jujur, kamu
sebenarnya terlalu memaksakan diri. Kita gak akan pernah tau sesuatu sebelum
kita mencoba. Kamu harus mengalami Vic. Itulah yang kumaksudkan. Aku gak tau,
kenapa dari sekian banyak temanku yang pernah dekat denganmu gak pernah ada satupun
yang nyantol di hatimu. Padahal aku aja sebagai wanita memuji
kelebihan-kelebihan mereka. Tapi... sebenarnya tipe seperti apa sih yang kamu
cari?” kata-kata Maya mulai meninggi, menatapku lekat-lekat sembari
mengernyitkan dahi.
“Gak gitu May, mereka semua
cantik. Smart. Modern. Excellent deh
pokoknya. Tapi terkadang mata ini tidak selalu sejalan dengan hati. Itu aja sih
masalahnya.”
“Oke kalo gitu, apa kata hatimu?”
Aku menggeleng, “Gak tau. Aku gak pernah mendengar apapun dari dalam
situ.”
“Aneh kamu ini Vic. Dengar, kamu
harus mencoba. Kamu harus mencoba menjajaki seseorang. Silahkanlah, kamu pilih
sendiri, siapa dia.” Maya menantangku.
Aku tersenyum. Kuteguk kopiku, lalu
kuhisap rokokku.
“Bagaimana kalau kamu. Maya Kendarsih.” aku nyeletuk.
“Hah?? What?? Kamu pikir kita ini sedang bermain apa!”
“Lho kan kamu yang bilang kalo
aku boleh pilih siapa aja. Tiap malam kita dinner,
sering juga kita nge-club bareng, aku
curhat juga sama kamu. Kenapa gak kita coba May?”
“Wooo, wait! Bukan aku menolak, tapi kita ini teman. Kita makan, clubbing, jalan bareng, itu semuanya
sebatas teman, gak lebih. Terus, kamu gak mungkin berpacaran dengan teman
sekantor, ini akan mengancam karir salah satu dari kita. Dan kamu paham betul
itu. Lagipula kamu kan tau, Anton sudah berencana meminangku sepulangnya dari
Amsterdam nanti. Gak mungkin aku merusak kepercayaannya hanya karena kamu
mencoba bermain-main dengan perasaan.”
“Katamu eksperimen?” aku terus
mengejar.
“Yaa tapi kan lihat-lihat juga
Vicoo...”
“Hahahaha... Kamu nanggapin
serius to? Aku khan cuma bercanda? Hahaha!! Hahahaha...” tawaku membahana
hampir di seisi ruangan.
Maya justru terdiam ketika aku
menertawainya begitu. Wajahnya tiba-tiba serius.
“Puas kamu Vic? Terus, terusin
aja kamu tertawa. Aku cewek Vic, perasaanku jauh lebih sensitif dari kalian,
kaum pria. Kamu anggap ini semua lelucon? Naif kamu! Betul kata kaca itu, kamu
ini menyedihkan. Bahkan, aku yang selama ini baik ke kamu aja kamu beginikan.
Okeh, terserah kamu. Nikmatin terus hidupmu, seperti kamu menikmati rokok yang
penuh dengan racun itu. Selamat malam!”
Maya pergi begitu saja, dia
berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkanku yang masih shock dengan kemarahan hebat yang baru
dia keluarkan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seperti kayu. Tak bisa bergerak,
kaku, lidahku kelu, tatapanku kosong dengan rokok yang masih menempel diujung
bibirku. Apa yang barusan kulakukan? Maya, temanku satu-satunya, pergi menjauh,
meninggalkanku. Aku kaget, tak pernah kulihat dia semarah itu. Kali ini sudah
kelewatan. Aku baru tersadar, kata-kataku tadi berlebihan. Kesungguhannya dalam
memberikan perhatian selama ini, hanya kuanggap lelucon belaka. Tawaku tadi
pasti menyakitkan. Pasti! Namun lebih menyakitkan lagi, aku baru saja
kehilangan satu-satunya teman. Maya, sahabat terbaik yang pernah aku kenal.
Karena bagaimanapun, aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa berapa banyak uang yang
kupunya, aku gak mungkin membeli teman. Aku lemas sekarang.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari-hariku terasa gelap semenjak
hari itu. Semuanya terlihat normal-normal saja dari luar. Aku dan Maya hanya
sebatas berinteraksi sebagai rekan kerja saja. Tidak lebih. Malam-malam
berikutnya aku lebih sering menyibukkan diri dengan bermain bilyard. Dari beberapa sisi bisa
dikatakan berkawan dengan sport mampu
menghilangkan stress. Itulah mengapa
semenjak kuliah dulu, aku sering ikut club bilyard di kampus, walaupun tidak
sehebat yang lain, tapi paling tidak aku merasa PeDe dengan memasukkan 6 bola
berturut-turut di depan para waiter penunggu meja bilyard. Tetapi setelah semua
usaha menghibur diri itu, tetap saja, sunyi.
“Kkkrrriiiinngggg!!” keras sekali
suara dering telpon itu berbunyi. Aku baru saja hendak menutup pintu ruanganku
ketika telpon itu berdering.
“Halo” sahutku cepat.
“Pak Vico masih disitu?” tanya
seseorang yang ternyata suara pak Bagas.
“Oh iya masih pak, baru saja mau
off.”
“Ke ruangan saya sebentar ya...”
“O... baik pak. Ini saya langsung
ke sana”
Tanpa menyahut, telpon langsung
ditutup. Aku tidak kaget dengan sikap beliau itu. Orang yang sering
berkomunikasi dengan beliau pasti tahu betul sifat dingin bos satu itu. Tapi
walaupun seperti itu, Pak Bagas orangnya dermawan. Sering kami ditraktir makan
siang, walaupun ujung-ujungnya hanya untuk mendengar beliau bercerita tentang
kisah-kisahnya ketika masih kuliah di Chicago dulu.
“Selamat sore pak.“ sapaku ramah,
walau tidak seramah wajah pak Bagas waktu itu.
“Silahkan duduk pak Vico. Begini,
ada yang ingin saya sampaikan. Bulan ini adalah bulan ke 5 anda menduduki
jabatan tertinggi di divisi keuangan. Saya tahu anda sudah cukup banyak memberi
kontribusi pada Perusahaan. 6 tahun lalu, saya masih ingat ketika menginterview anda. Anda bilang anda siap
melakukan apa saja demi kelangsungan Perusahaan. Dan ternyata anda telah
membuktikannya pada saya. Langsung pada intinya saja ya...”
“Baik pak. Silahkan...”
“Ada 1 hal yang menjadi
pertanyaan saya sedari pak Vico mulai gabung disini. Bapak tidak pernah
sekalipun mengambil kesempatan cuti yang saya tawarkan. Boleh saya tau
alasannya?”
“Oh itu pak? Ngngng... apa ya
saya juga bingung harus jawab bagaimana. Mungkin karena saya terlalu menikmati
pekerjaan, sehingga saya tidak mengambil kesempatan tersebut. Walaupun memang
sih bisa dikatakan saya tidak begitu diuntungkan dengan penolakan itu. Tapi
memang, saya sudah terbiasa hidup mandiri pak. Orang tua saya tinggal tidak jauh
dari rumah saya, dalam arti, untuk bertemu dan sungkem pada mereka saya tidak
perlu jauh-jauh. Sehingga mengambil cuti untuk momen yang menurut saya belum
perlu, tidak pas menurut saya. Saya hanya mencoba menunjukkan dedikasi pak. Itu
saja kok...” jelasku.
“Tapi itu bukan berarti anda
seorang workaholic khan?” sentil pak
Bagas.
“Tentu tidaklah pak. Saya masih
normal kok he he...” jawabku kikuk.
“Begini pak Vico. Kemarin saya
berdiskusi dengan manajemen, dan saya pikir sudah saatnya bagi pak Vico untuk
mengambil cuti. Beberapa bulan lagi kita tutup buku, dan ternyata prosentase ke
arah situ sudah anda cover dengan baik ketika kita terakhir rapat. Maka, tanpa
ragu, sekali lagi saya tawarkan anda untuk mengambil cuti yang sebelumnya
sering anda tolak. Kali ini bukan hanya 1, 2 minggu. Cuti kali ini bisa
dikatakan akumulasi dari cuti-cuti anda sebelumnya. Saya beri anda cuti 2
bulan. Cukup khan?”
“Lho ini beneran pak?” tanyaku
keheranan.
“Iya, kapan saya pernah tidak
serius?”
“I..i.. iya pak saya mengerti
kok. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak pak. Sepertinya untuk kali ini
saya tidak bisa lagi menolak. Saya terima pak..” jawabku tegas.
“Nah gitu dong. Jadi khan saya
tidak merasa bersalah sama kamu he he...”
Sejenak kunikmati tawa lepas pak
Bagas yang jarang sekali terlihat begitu sembari manggut-manggut sebagai
penegas persetujuan kami.
“Nah pak Vico, silahkan setelah
ini atau besok mampir sebentar ke Bank partner kita. Ini cek yang sudah saya
tanda tangani. Silahkan di cairkan saja. Nikmati liburan anda ini. Anggap saja
ini sebagai ungkapan terima kasih saya atas dedikasi pak Vico ke Perusahaan.
Nanti bila ada apa-apa, bilang saja langsung sama saya. Telpon saya gak pernah
offline kok he he...” kata pak Bagas sembari menyodorkan cek yang dimaksud.
“Oh... Beneran ini pak?
Alhamdulillaah...”
Aku sedikit terhenyak dari kursi
melihat nominal yang tertera di situ, 25
juta.
“Maaf ya gak bisa ngasih banyak.
Nikmatilah liburanmu. Lakukan apa saja yang anda inginkan dengan uang itu. Yang
penting pesan saya satu, jangan lupa kembali ke sini ya... hahaha..”
Kutanggapi
hadiah itu dengan tertawa keras menemani guyonan pak Bagas tadi. Seolah kami
berdua telah terlepas dari satu ikatan kerja yang mengubah chemistry yang sebelumnya telah lebih dulu membekukan seluruh sudut
ruangan. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang telah diberikan-Nya padaku
hari itu.
Aku masih berfikir, apa yang akan
kulakukan dengan uang itu. Liburan seperti apa yang akan aku lakukan. Keliling
Nusantara, berpesta lajang di Jakarta, ke Bali, atau aku dirumah saja dan
uangnya kugunakan untuk melunasi cicilan rumah? Tapi bukan itu yang pak Bagas
inginkan. Dia ingin aku benar-benar menikmati masa cuti ini. Aku masih terus
berfikir. Mencoba menggapai apa yang diinginkan oleh hati nuraniku. Tiba-tiba
selintas bayangan muncul. Baju seragam itu masih terlihat jelas. Merah dan
putih, bahkan bayangan diriku ketika itupun masih tampak begitu kentara. Iya,
aku tiba-tiba teringat masa kecilku. Masa ketika aku bersekolah SD di Mataram.
Saat-saat paling indah yang pernah aku lewati. Iya! Itu! Aku ingin bertemu
dengan teman-teman semasa kecilku dulu. Kapan lagi kalau bukan sekarang. Yap!
Hatiku sudah mantap. Besok aku akan berpamitan pada ayah ibu, kemudian pak
Bagas, lalu.... lalu... Maya...
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
10 menit lagi pesawat Garuda yang
aku tumpangi ini akan berangkat. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu
mereka. “Sudah jadi apa ya mereka sekarang?” begitu pikirku. Sebuah sms
tiba-tiba masuk ke ponselku. “Vico, baik-baik ya di jalan. Enjoy your whole time. Stay
wise and cool. Aku tunggu kamu di Surabaya. Have a nice trip my friend...” begitu isinya. Maya, tidak ada yang
sebaik dia. Bagaimanapun hebatnya kami bertengkar, kami selamanya sahabat. Dan
diapun paham betul itu. Tidak pernah aku berhenti bersyukur dipertemukan dengan
orang sebaik dia.
Ponsel
kumatikan. Dan pesawatpun take off,
dari Juanda menuju Mataram, Lombok Timur. Tempat yang akan segera kujumpai,
tempat yang mungkin akan menawarkan aku sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin
akan merubah hidupku...
Tubuhku serasa
bergoyang-goyang... Sayup-sayup kudengar suara wanita memanggilku, “Pak...
pak... pak... “ kubuka mataku, “Kita sudah sampai...” ternyata seorang wanita
berseragam pramugari sedang membangunkanku dari tidur. “Oh, sudah sampai to?
Oke oke mbak, terima kasih ya...” sahutku sambil membetulkan baju dan jaketku.
Aku turun dari pesawat dan
kuhirup udara pertama di Mataram, aku berkata, “Selamat datang Vico. Temukan
permatamu di sini. Mulailah berpetualang. Be
a man! Okay!” kupakai kaca mata
hitamku, kutenteng tas ransel besarku dan berjalan layaknya turis.
Aku panggil taxi yang ada di cab spot dekat bandara. “Maaf pak, saya
baru saja datang dari Surabaya. Hotel mana ya pak yang bisa saya buat check in di seputaran tengah kota?”
kataku langsung setelah masuk taxi.
Sang sopir langsung menyambutku,
“Oh ada mas. Namanya hotel Citra Mataram. Hotel bintang 4. Ratenya bervariasi.
Ada pool dan fitness center nya, ada pub dan karaokenya, dan yang pasti banyak
gadis-gadis di sana he he...”
“Oh he he... Oke pak kita ke sana
ya...” sahutku sembari tersenyum geli menanggapi omongannya tadi.
Taxipun berjalan.
Sepanjang perjalanan kuperhatikan
kota yang sudah lama kutinggalkan ini. Tidak banyak yang berubah, kotanya masih
hijau, banyak pohon-pohin besar di tanam di sana sini. Hanya mungkin yang
sedikit berbeda adalah sekarang gedung-gedung bertingkatnya lebih banyak dari
yang dulu. Orang-orangnya pun berbeda dalam hal style n fashion. Namun bagaimanapun, kota ini masih terlihat sama
di mataku. Kerinduanku terbayar sudah.
Aku segera check in begitu sampai
hotel. Kupilih deluxe room yang
berada di lantai 6. Hotel ini memiliki 12 lantai, terlihat menawan dari luar
apalagi di dalam. Sampai di kamar, aku merasa seperti di apartemen. Luas kamar
itu luar biasa. Bisa saja kugunakan kamar ini sebagai pengganti lapangan futsal
atau basket bila perlu he he.
View jantung kota Mataram sangat indah
terlihat dari sini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dari jauh. Ketika
malam, pijaran lampu-lampu hias menambah eksotisme kota yang mengagumkan. Ini
kotaku, ini kotaku, itu terus yang keluar dari bibirku.
Malam
ini aku beristirahat, besok pagi akan kumulai perjalananku.
Matahari sudah tampak berada
persis di atas kepala ketika aku menggeser kursi untukku duduk di salah satu resto
yang padat pengunjung di sudut bundaran kota. Kupesan sebuah jus jambu dan nasi
ayam taliwang sebagai kuliner khas kota ini. Sesekali kulihat kijang Innova silver yang
kusewa tadi pagi dari rental. Kadang-kadang kunikmati juga obrolan bahasa Sasak orang-orang yang duduk di meja-meja
sebelahku. Luar biasa, batinku.
Kunyalakan rokokku dan kuhisap
dalam-dalam. Kepalaku menengadah ke atas mencoba mencari jawaban atas kejadian
pagi tadi. Destinasi pertamaku adalah SD N 3. Tempatku bersekolah dulu. Namun
betapa terkejutnya aku setelah mengetahui bahwa guru kelasku yang sangat
kucintai sudah tiada sejak 4 tahun silam. Aku sedih gak karuan. Kebanyakan
guru-guru yang ada di situ semuanya muda-muda, baru-baru. Dan tidak ada satupun
yang mengenaliku. Bahkan pemukiman penduduk yang dulu ada di depan sekolah
sekarang sudah tidak ada dan berubah fungsi menjadi kantor pelayanan publik.
Aku sudah kehilangan akal. Setelah itu, aku mencoba mencari teman dekatku dulu
di rumahnya. Norman Panggabean namanya. Kami sering bermain
bersama dulu. Namun betapa kecewanya aku mendapati dia dan keluarganya telah pindah
semenjak lulus SD dulu. Rumah itu telah dimiliki orang lain sekarang. Aku sudah
kehabisan akal, akhirnya kuputuskan untuk makan siang dulu sebelum melanjutkan
perjalananku.
Seorang waiter muda mendatangiku
dan sambil tersenyum ramah dia meletakan menu yang tadi kupesan di meja.
“Silahkan pak...” ujarnya lembut.
“Terima kasih...” sahutku.
Kunikmati makan siang itu dengan
puas. “Ayam taliwang memang masih nomor satu.” Kataku lirih. Aku baru selesai
mencuci tangan ketika tiba-tiba sebuah suara keras seperti orang bertengkar
terdengar. Kutoleh setelah aku kembali duduk dan kudapati 2 orang laki-laki
sedang beradu mulut. Yang satu jangkung namun membelakngiku, yang satu seorang
bapak-bapak usia 50-an sambil tangan kanannya menunjuk-nunjuk orang
dihadapannya itu.
“Kamu ini manager resto. Masak
ngurusin karyawan kayak gitu aja gak becus?!” kudengar nada bapak itu meninggi.
Pria berperawakan jangkung itu
menimpali, “Maaf Bapak. Bukan saya ingin membela karyawan saya. Mari kita gunakan
rasio dan coba dudukkan dulu permasalahannya. Bapak tadi kesini, memesan
makanan, karyawan saya melayani, dan bapak terima pesanan Bapak. Setelah itu,
Bapak berdiri hendak membayar ketika kemudian entah dengan atau tidak sengaja
Bapak meludah di depan kasir yang notabene banyak pelanggan sedang makan di
depan. Kemudian karyawan saya itu menegur Bapak agar jangan meludah
sembarangan. Sekarang siapa sebetulnya yang patut dinasehati?”
Aku mulai mengikuti percakapan
hebat ini. Dengan muka merah padam dan mata sedikit melotot, Bapak ini
membalas, “Oh, kamu sudah berani menilai saya ya. Kalau kamu tau siapa saya,
tidak mungkin berani seperti ini. Hei bung, saya ini tamu. Parkir saja saya
bayar, waiter saya beri tip, semuanya saya bayar, kalau perlu resto ini lho
saya beli biar kamu gak lancang seperti itu sama saya.”
“Pak, maaf sekali lagi. Sebagai
manager disini, saya hanya menjalankan tugas saja, begitu pula dengan karyawan-karyawan
saya. Apa yang dilakukannya tadi, adalah satu bentuk kepedulian juga terhadap
konsumen lain. Jika memang Bapak tidak terima, silahkan, itu hak Bapak. Tetapi
jika Bapak minta karyawan saya tadi untuk meminta maaf ke Bapak terus terang
saya tidak bisa. Karena apa, saya tidak menemukan letak kesalahannya. Sehingga
saya pikir tidak etis jika kita perpanjang urusan ini. Saya harap Bapak bisa
mengerti.”
“Kamu masih belum paham juga ya
bung. Saya tidak terima ditegur seperti itu.”
“ Saya tau pak. Melihat
penampilan Bapak, anda ini pasti orang terpandang. Bahkan jas yang Bapak
kenakan itu mungkin harganya lebih tinggi dari gaji karyawan-karyawan di sini.
Tentu saya tidak berani berbuat lancang pada Bapak. Namun sebagai manusia yang
sejatinya berdiri sama rata, ada saat dimana kita harus menghargai orang lain.
Bukan begitu pak?”
Bapak itu diam sejenak.
Sepertinya dia kehabisan kata-kata. Apalagi orang-orang mulai mengarahkan
pandangan mereka kepadanya.
“Sudahlah pak, jika Bapak
berkenan, hari ini free charge saja
deh buat Bapak, agar kita impas. Gimana, tidak keberatan khan?” tawar lelaki jangkung itu dengan nada friendly.
Setelah melihat sekeliling dan
mulai menyadari kebodohannya, Bapak itu bilang, “Terserah kamu lah... Malas
saya berdebat siang-siang begini” sembari nyelonong pergi keluar. Kepergiannya
itu diikuti beberapa cibiran kecil yang terlontar dari mulut para pengunjung.
Namun mataku lebih tertuju pada manager
itu. Luar biasa, dia menangkis serangan-serangan tadi dengan sangat bijaksana
dan diplomatis. Orang ini pasti bukan orang sembarangan.
Kulihat lelaki itu
berbincang-bincang dengan seorang karyawan yang nampaknya adalah orang yang
menjadi tersangka dalam kasus tadi. Semenit kemudian lelaki itu berbalik
sembari berdiri tegak melihat sekeliling, kini kulihat jelas wajahnya. Lelaki
itu berkulit sawo matang agak gelap, hidungnya mancung seperti orang Arab, rambutnya
bros seperti gaya-gaya orang militer, bodinya atletis dan tegap terlihat dari T-Shirt
yang dikenakannya. Pandangan matanya tajam, tipikalnya maskulin dan cowok
banget, mungkin bagi beberapa yang hadir di situ, dia terlihat keren setelah
menghajar seorang arogan yang sombong dengan kedudukannya walaupun pada
akhirnya dia tidak membayar makanannya.
But
wait,
wajah itu......., sepertinya familiar. Aku tau wajah itu, tapi siapa ya? Aku
terus menyelami naluriku, kuaduk-aduk seluruh isi memoriku, mencoba mencari
sebuah sketsa wajah dan nama. And Boom!
“Nor...! Normaaannn!!” aku
berteriak sedikit terpekik.
Lelaki itu menoleh. Dia diam
saja, masih tanpa ekspresi. Aku mendekat, terus mendekat. Kulihat dari darak
dekat, kutegaskan lagi nama itu, “Nooorrmmaannnn...” kali ini sedikit pelan.
Dia masih mencari-cari jati
diriku. Kini dahinya terlihat mulai mengernyit.
“Vico, Norm. Vicorius Sebastian!
Temenmu sebangku duluuu...” kataku begitu antusias.
“Hah??!! Vico si pelaut?? Is that you man??” bibir nya mulai
melebar dan ekspresi tawa riang itu mulai muncul. Aku terus mengangguk-angguk
hebat tanpa jeda.
“Iya bro, ini aku. Vico yang dulu
pernah kamu timpuk pake sapu, gara-gara kuejek kamu kayak Gorilla...”
“Hahahahaha maannn... We meet again buddyy!!”
Tanpa aba-aba kami berpelukan
kuat saling menggoyangkan badan. Pemandangan yang agak aneh mungkin bagi
orang-orang. Tapi aku tidak peduli, aku senang sekali.
“Hey hey... You’re back dude! Sini-sini ayo kita duduk.” Aku kembali duduk,
namun kini dengan Norman di sebelahku.
“Hey Norman, aku tadi habis dari
tempetmu. Ternyata bukan kamu yang ada di situ ya?”
“Lhoh, masak? Kamu dari sana?
Hahaha... Aku udah lama pindah Vic. Orang tuaku sekarang tinggal di luar kota,
dan aku disini, melanjutkan usaha keluargaku ini. Eh, kamu gimana khabarnya
bro?”
“Ya beginilah, it’s all fine as you look here. He he...
Cuman aku sekarang domisili di Surabaya. Ini pas cuti aja aku liburan dan
langsung pengen ke sini ketemu kamu bro. Pengen maen tinju-tinjuan lagi kayak
dulu hahahahaha...”
Gelegak tawa kami hampir
berbarengan. Tidak ternilai betapa senangnya hatiku bertemu lagi dengan Norman.
Teman terbaikku semasa kecil dulu.
Masih terlihat jelas ketika kami
dikejar-kejar anjing setelah jatuh dari pohon habis mencuri mangga tetangga,
masih terbayang pula saat-saat menegangkan waktu Norman menyelamatkanku dari
berandal-berandal jalanan Dropped Out
yang malak uang jajanku. Dia hajar terus 3 orang itu sampai mereka lari
terkencing-kencing, waktu itu ini yang ada di pikiranku, “Norman kalo gede
nanti pasti bakal jadi atlet WCW kayak si Hulk Hogan.” Polos ya?
“Eh Norm, kok gak kamu tonjok aja
Bapak tadi biar kapok?” aku mulai guyonan.
“Emangnya aku Hulk Hogan? He
he... Kamu tau Vic, hal seperti itu sudah biasa di sini. Banyak orang-orang
kaya yang merasa hebat ketika marah-marah dengan karyawan resto yang mereka
anggap sebagai pelayan mereka. Sebagai seorang humanis, aku gak bisa menutup
mata bro. Aku gak bisa mentoleransi tindakan seperti itu. Harga diri bagiku itu
sangat berharga. Kamu taulah aku dulu kayak gimana. Dan sepertinya sifat itu
masih kubawa sampai sekarang he he..” kata Norman lugas.
“Keren kamu ya Norm. Tapi kamu
kayaknya salah jalan deh. Harusnya kamu jadi tentara. Pasti bakalan terlihat
keren lagi.”
“Gak Rambo sekalian?” timpal
Norman.
“He he...”
“Eh Vic, by the way, bakal berapa lama kamu disini bro?”
“Mmm gak tau juga sih, paling
kalo aku udah bosan sama kamu ya aku balik hahahaha...”
“Dasar kamu, edan mu itu kok gak ilang-ilang ya hahahaha...”
“Nggak sih, mm..., aku dapat
jatah cuti 2 bulan. Cukup lama khan? Tapi gak tau bakal kuhabiskan disini atau
mungkin sisanya ku gunakan untuk keliling lautan. Seperti waktu aku kecil dulu...
“
“Janganlah, disini aja. Masak
kata ‘Pelaut’ itu masih saja kamu pakai terus?” ledek Norman.
“Ya jelas nggak lah, sekarang
sudah pakai pesawat. Jadi aku sekarang penerbang...” celotehku.
“Iya penerbang yang
dimesjid-mesjid itu khan, yang bawain lagu-lagu terbangan....”
“Hahahahaha...” tawa kami kembali
menggelegak. Kami semakin acuh dengan suasana.
Hari itu kami berbincang-bincang,
ngobrol ngalor ngidul tentang dunia kami. Kami sama-sama saling mengagumi satu
sama lain. Kehebatan Norman dalam mengembangkan bisnis restonya dan satu usaha
butik kuacungi jempol. Dia betul-betul memulai semuanya dari nol. Bahkan siapa
yang bakal percaya kalo resto segede itu dulunya hanya sebuah kedai kecil. Luar
biasa. Norman juga tidak henti-hentinya memberikan pujiannya tentang posisiku
di perusahaan. Kami betul-betul dekat, saling menghargai dan berapresiasi.
Waktu
tidak terasa. Ternyata sudah sore. Aku kemudian berpamitan pulang ke hotel.
Rencananya dia akan mengunjungiku malam nanti dan melanjutkan obrolan seru
sambil menikmati suasana cafe di tower hotel. It’s gonna be awesome!
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Sebuah
incoming call masuk. Tertera tulisan
si penelpon, Norman.
“Bro, aku sudah di lobby. Ku
tunggu yah.”
“Okay!” sahutku mantab.
“It’s
gonna be a long night...” batinku sembari berjalan menuju lift ke
lobby.
Kulihat Norman duduk di sudut
lobby, di sebuah sofa panjang dengan hiasan lampu dan bunga disana-sini. Dia berkaca
mata hitam, mengenakan kaos biru ketat, celana jeans bersabuk tebal, sepasang
sepatu koboi, dan sebuah rokok Marlboro di selipkan di tangan kanannya. Dengan
tampilan begitu dia lebih terlihat seperti seorang Yakuza Jepang ketimbang
pebisnis kuliner.
“Hello
my friend, “ Norman
langsung berdiri menyambutku.
“Yeah..”
kami
kembali berpelukan dan saling menepuk-nepuk punggung.
Kami lalu duduk berhadapan.
“Hotel ini memang keren yah Vic.
Pantaslah bagi seorang kamu.”
“Kamu pernah ke sini ya?”
tanyaku.
“Seringlah bro. Terakhir aku
kesini bersama seorang gadis asal Sunda. Namanya Kiki. Whhoohhh... mantab
pokoknya...”
“He he... Kamu memang koboi bro.
Gak mungkin aku ngalahin kharismamu di depan wanita.”
“Oh kalo itu pasti lah... He
he...” tukas Norman bangga. “Ngomong-ngomong, kamu belum menikah ya? Udah
berapa lama kamu nge-jomblo?”
“Sebentar Norm, untuk berbicara
tentang itu, aku harus merokok dulu.”
Ku ambil rokokku dan kunyalakan
lalu kuhisap. Ritual yang sering kulakukan ketika hatiku sedang dipenuhi dilema
seperti ini.
“Lama bro. Lama sekali. But actually, kalo bukan kamu yang nanya
aku gak akan cerita.” Aku mulai mengawali.
“Okay... Aku siap mendengarkan
kok.” Balas Norman.
“Oke. Pacaran? Aku pernah lah. 2
kali. Yang satu pas SMA. Satunya lagi waktu kuliah. Yang SMA, namanya Christine. Dia baek, cute, pinter, dan
berkaca mata tebal. Kami sempat pacaran 1 tahun. Cukup lama bukan? Kami
berpacaran sehat, gak neko-neko. Paling banter, kami berduaan di taman belakang
sekolah. Saling pegang tangan dan saling bercerita. Aku sering membual jika
kami menikah nanti akan kubuatkan singgasana pelaminan yang penuh dengan bunga mawar di sana sini. Aku akan panggil
band ternama dari ibukota. Dan yang aku suka, Christine mendengarkan dengan
khidmat, sehingga tidak jarang aku mengulangi cerita itu berkali-kali.
Seolah-olah masa depan itu, kamilah yang merancang. Kami berpisah ketika
mendekati ujian nasional. Kami berkomitmen untuk break sejenak dan fokus ke UN.
Namun, setelah lulus, kulihat dia berboncengan dengan cowok lain. Teman
sekelasku, namanya Suroso. Rambutnya Kribo. Lengan seragamnya selalu dilipat.
Motornya Vespa butut. Kabarnya mereka berpacaran dan kuliah ditempat yang sama.
Aku patah hati.”
“Aku bisa membayangkan, betapa
cupunya kamu waktu itu Vic. He he... Menarik. Lalu yang satunya lagi?” Norman
mulai penasaran.
“Yang satu lagi namanya Siti Solichah. Dia aktivis muslim di
kampus. Dia lah sosok yang paling tegar menegur dan mempropagandakan bahwa
memakai celana pensil ketat bagi wanita itu haram. Dia terus melakukannya
bahkan sampai diancam akan digugat sama gerombolan cewek-cewek modis di
kampusku. Suatu hari, aku melihat dia menangis di tempat parkir. Kuketahui
ternyata dia baru saja kehilangan tasnya yang tertinggal di motor. Seseorang
mengambilnya ketika dia kelupaan membawanya keluar parkir. Dia bilang disitulah
tulisan-tulisannya, artikel-artikelnya, selebaran-selebarannya, semua keringat
dan niat baiknya. Aku bilang itu sabotase. Seseorang mengecohnya. Dan kamu tau
apa, dia semakin keras menangis. Dia mengusap air matanya dengan jilbab
besarnya itu. Aku tidak ada perasaan apa-apa saat itu. Sampai akhirnya dia
menatapku, dan kulihat matanya yang sembab. Wajahnya merah semua seperti cabe
tomat. Dan aku tahu detik itu juga, aku luluh. Aku kasihan, aku ingin menjadi
pelindungnya saja. Gak lebih. Akhirnya kami jadian sehari setelahnya. Kami
sempat pacaran 6 bulan lamanya. Sama si Siti
ini, aku lebih seperti tukang ojek ketimbang pacarnya. Boro-boro cium, pegang
tangan aja dia udah bilang, ‘Maaf mas, bukan muhrim.’ Sambil dia bersungut-sungut mundur gitu. Kayaknya aku
harus scanning tanganku, siapa tau aja ada najis ditanganku. Aku bertahan
selama 6 bulan sampai akhirnya dia bilang ke aku kalo kata kakak seniornya,
pacaran itu tidak boleh menurut syariat,
sebaiknya langsung menikah. Hari itu juga dia minta aku menemui ayahnya dan
mengutarakan maksud melamarnya. Aku seperti ketiban kelapa persis di ubun-ubun
kepala, langsung lemas hampir pingsan. Sepertinya aku salah orang, he he...
Tapi, keunikan dia itu, gak akan kulupakan. Ya gitu deh, aku masih pake rasio,
kami akhirnya putus. Habis perkara!” tuturku.
Norman bengong dan terus seperti
itu beberapa lama tiba-tiba...
“Bbbwakakakakakakakak!!!” seperti
kesetanan Norman tertawa terbahak-bahak.
Kampret ni Gorilla...
Setelah tawanya mulai habis dia
berkata, “Kamu... kamu.. kammuu... lucu!! Hwahahahaha!!”
“Dasar gorilla! Males ah kalo
gini...”
“He he... Tenang tenang... Bagimu
mungkin memang berat, tapi bagiku ini komedi! Huahahahaha!!!”
Aku masih saja cemberut.
“Oke oke... enough. Sekarang aku tau masalahmu. Kamu perlu keberanian men...”
kata Norman sembari mengatur nafas.
“Keberanian? Keberanian untuk apa
bro?” tanyaku penasaran.
“Kamu harus cukup bernyali untuk
menemukan wanita idamanmu. Jika kamu punya wanita idaman, cari dia. Cari terus
sampai dapat. Jangan nyerah.” saran Norman layaknya Mario Teguh yang tengah
berceramah.
“Mmm... Gitu ya?” timpalku
mengiyakan.
“Di dalam diri seorang corporate hebat sepertimu, ternyata kamu
seorang yang polos. Dan kepolosanmu itu jika ditarik benang merah akan sampai
pada titik dimana kamu pernah berimajinasi tentang sosok idamanmu, atau kamu
pernah suka pada seseorang. Itu kuncinya. Kamu harus berani untuk melihat masa
lalumu kembali. Kamu harus cari tahu siapa dia. Cari tahu dimana dia, temukan,
dan taklukkan. That’s it dude!”. Terang
Norman.
“Aku mengerti Norm. Sekarang aku
benar-benar mengerti. Aku tidak pernah berimajinasi tentang sosok idaman. Tapi,
aku pernah suka seseorang. Dan beberapa kali aku sering melamunkannya, tidak
jarang juga dia keluar di mimpiku. Bahkan hingga sekarang.”
“Oh wow! Intuisi masa kecilmu
luar biasa sekali. Usually, things gone
when you grew up. But, kalo kamu bener, berarti semua masalahmu tadi sudah
terjawab. Emang siapa dia Vic?”
Kutatap dalam-dalam mata Norman,
dengan sedikit gugup kusebut namanya.
“G..ggg..gg... Grace...”
“Oh what?! Kamu pernah suka dia ya? Kenapa gak bilang dari dulu?”
“Aku masih bingung mengartikan
perasaan waktu itu Norm. We were kids,
Norm... And u know that”
“Iya juga sih. Tapi Vico....,
tentang Grace...”
“Apa...?? Kamu tau sesuatu
tentang posisi dia saat ini?” tanyaku langsung dengan wajah harap harap cemas.
“Saat ini aku tidak tahu Vic...
Tapi, dulu kami satu SMA.”
“Ah...” aku semakin mencondongkan
badanku ke Norman. “Tolong Norm, tolong ceritakan...” pintaku memelas.
“Cerita ini tanpa aku buat-buat,
tanpa pula aku lebih-lebihkan. Semenjak SD, Grace sudah menunjukkan prestasi
akademiknya. Dia terus berkembang, semakin cerdas dari hari ke hari. Di SMA
semua biaya sekolahnya ditanggung penuh oleh pemerintah. Dia mendapat beasiswa
karena selalu ranking 1 di SMP, piala juaranya juga banyak. Prestasinya
meningkat hingga SMA kelas 2. Nggak ada yang nggak suka sama Grace. Dia juga
semakin cantik dari hari ke hari. Tidak jarang dia menolak tembakan teman-teman
cowoknya di SMA. Karena siapapun tahu, dia punya standar yang tinggi terhadap
cowok. Sampai tiba-tiba, sesuatu terjadi padanya...”
Norman tiba-tiba terdiam... Dan
menatapku lekat-lekat.
“Kenapa Norm? Kenapa kamu diam?
Ayo lanjutkan!” degup jantungku mulai tak beraturan.
Norman
mematikan rokoknya di asbak. Dia melanjutkan kata-katanya...
“Dia mengalami kecelakaan...”
“Ke... ke.. kecelakaan? Kecelakaaan
apa?” kekhawatiran mulai meliputi diriku.
Aku mulai mencoba menebak-nebak
apa yang sebenarnya terjadi pada Grace. Seribu tanya mulai menghampiriku.
“Grace...
Grace....
Grace hamil di luar nikah.”
DOOM!!
Diriku seperti tersambar petir. Tiba-tiba
seluruh urat syaraf dan nadiku membara. Aku tak bisa berkata apa-apa... Dadaku
sesak, sesak sekali... Tanpa sadar, air mataku menetes... Aku menangis. Tak
kusangka Grace akan mengalami kepahitan hidup seperti itu.
“Siapa Norman. Siapa lelaki
itu??!!” emosiku mulai meninggi.
“Vico... Vic... Vic... Tolong
tenang dulu... Jangan emosi seperti itu. Ini bukan sesuatu yang bisa kita
selesaikan hanya dengan sekali pukul. Biarkan kuselesaikan ceritanya dulu,
okay, okay...”
Aku masih tak percaya dengan apa
yang barusan kudengar. Kupegangi terus kepalaku seolah-olah kepala ini mau
lepas dari lehernya.
Kuambil nafas panjang... “Oke...
Lanjutkan ceritanya...” aku mulai tenang sembari terus mengusapi air mataku.
“Lelaki itu namanya Gilang.
Seorang anak pejabat daerah yang punya rumah mewah, kolektor mobil antik, dan
mafia judi terkenal di kota ini. Gilang bertemu Grace ketika ada acara ulang
tahun di rumah teman Grace. Awalnya Grace hanya berkenalan biasa. Namun minggu-minggu
berikutnya Grace semakin sering keluar bareng Gilang. Dia sering bolos sekolah dan prestasinya
menurun drastis. Bulan-bulan terakhir mendekati UN, Grace semakin jarang
terlihat, pihak sekolah beberapa kali mendatangi Grace dengan maksud menjenguk,
namun tidak pernah ada orang di rumah. Tetangga Grace bilang, keluarganya
sedang mengurus Grace yang sedang sakit di luar kota. Singkat cerita, UN
berlangsung tanpa kulihat ada Grace disana. Karena aku semakin khawatir dengan
kondisi Grace aku lacak keberadaan dia bersama pacarku waktu itu. Betapa
kagetnya setengah mati aku menemukan Grace sedang menggendong bayi wanita di
sebuah rumah kontrakan kecil di daerah timur kota sana. “Caren”. Begitu dia menamakan anaknya itu. “
Air mataku semakin tak terbendung.
Begitu deras mengalir ke bawah. Norman terus menepuk-nepuk pundakku.
“Lalu, bagaimana dengan Gilang?”
tanyaku sesaat kemudian.
“Setelah tahu Grace hamil, Gilang
menghilang. Dia lari dari tanggung jawab. Terakhir kudengar, dia pindah ke Thailand dan mendirikan beberapa bar dan
rumah judi di sana tentu dengan lusinan wanita-wanitanya.”
“Vico, Grace sendirian
membesarkan anaknya. Jika memang kamu mau, aku bisa mengantarmu ke sana. Ke
tempatnya. Mungkin kamu akan menemukan sebuah jawaban atas ini semua...”
Kepalaku masih mendongak ke atas,
kusandarkan bahuku di punggung sofa. Aku masih sulit menerimanya. Aku masih
terpukul. Semuanya masih begitu absurd
di kepala ini. Hingga pada satu momen tertentu, sebuah kekuatan menggumpal di dadaku.
“Norman. Tolong antar aku menemui
Grace. Apapun yang bakal terjadi nanti, aku harus bertemu Grace... “
Norman
mengangguk pelan. Aku tahu, kata-kataku tadi menyimpan banyak konsekuensi dan
resiko. Namun prioritasku saat ini adalah bertemu Grace, melihat keadaannya.
Aku tidak lagi peduli apa yang akan terjadi besok. Kini aku berdiri, sebagai
sahabat lama, seseorang yang pernah mengaguminya, bermaksud ingin memberinya
sebuah support kecil yang mungkin
hanya akan sedikit berarti atau justru tidak akan dimaknai apa-apa olehnya. Namun
aku sudah siap, betul-betul siap...
Pening di kepala ini tak lagi
berat kurasa. Semenjak berangkat pagi-pagi dari hotel tadi, aku sedikit merasa
tak enak badan. Mungkin karena kurang tidur semenjak 2 malam kemarin kuhabiskan
waktu bersama Norman. Jazz milik
Norman ini nampaknya belum lama di beli, beberapa accessoris masih terlihat
kinclong. Sembari menyetir Norman kadang bercerita tentang kehidupan
pribadinya. Terutama tentang tunangannya yang seorang bidan. Dia berencana
menikah akhir tahun nanti. Senang juga mendengarnya walaupun dalam hati
kecilku, ada sedikit ruang yang bergejolak mengetahui temanku ini sedikit lebih
cepat dariku dalam urusan cinta.
“Nah, Vic... Itu dia jalan masuk
menuju tempat tinggal Grace. Semoga dia di rumah...” kata Norman setelah
memasuki jalan dengan gapura bertuliskan “Selamat datang di Masbagik”. Ternyata aku tak bisa
menyembunyikan perasaanku yang sedang berdebar-debar ini. Nafasku memburu, iya
aku sedikit gugup. Tegang? Tentu.
Mobil Norman memasuki sebuah
jalan pedesaan kecil yang kanan kirinya dikelilingi oleh sawah-sawah lapang.
Terlihat beberapa petani sibuk mencangkul di tengahnya. Begitu hijau padi di
sini, satu pemandangan indah yang jarang kutemui di Surabaya, ataupun Semarang
kota kelahiranku.
"Nah, itu dia rumahnya". Kami
langsung bergegas turun.
Rumah itu tidak begitu besar.
Beberapa pohon dan taman kecil yang ada di belakang pagar rumah membuat rumah
itu tampak asri dilihat dari luar. Sepertinya, Grace menemukan ketenangannya disini.
“Assalamualaikum...” suara Norman terdengar memberi salam pada tuan
rumah. Aku berdiri di belakang Norman tak sabar menanti-nanti kehadiran sosok
yang selama ini sering mengganggu tidurku.
“Wa’alaikumussalaam...” sebuah suara perempuan menyambut dari dalam.
Pintupun terbuka, dan ....
Seorang wanita bertubuh langsing
semampai keluar dari dalam rumah. Dia mengenakan baju terusan panjang, rambutnya
sebahu, kulitnya putih bersih, matanya sedikit lebih sipit dari orang Sasak kebanyakan, bibirnya tipis dan merah
muda tanpa lipstik, hidungnya mancung, dan rona merah di pipinya itu menunjukkan
seringnya dia berinteraksi dengan hawa pedesaan. Cantik sekali... Kali ini aku benar-benar terkesima.
Aku masih terdiam, belum bisa
berkata-kata...
“Norman?? Hai!!” wanita itu
tersenyum lebar sembari menjabat tangan Norman.
“Halo Grace... Lama tak jumpa...”
Norman membalas jabatan tangan itu.
Grace..., sudah sedewasa ini dia
rupanya.
“Grace, kamu mungkin lupa dengan
dia. Tapi dia kawan kita dulu. Kamu masih ingat, si Pelaut?” Norman membuyarkan
lamunanku.
“Pelaut? Yang mana ya?”
“SD 3...” Norman menambahkan...
Grace masih terus memandangiku...
Aku semakin gugup...
“Oh my God... Vicorius!!” Grace semakin melebarkan senyumnya
menyadari kehadiranku yang tentu sedikit mengejutkan itu.
“Ha... hai... Grace...” kataku
agak terbata.
Kujabat tangannya. Begitu lembut
rasanya, walaupun kerutan-kerutan di tangan itu sedikit terasa, menandakan
betapa dia telah gigih bekerja selama ini.
“Gimana khabarmu Vico? Lama
sekali ya...” Grace mencairkan suasana hatiku.
“Iya Grace lama sekali... Kamu
sudah gede ya sekarang...” balasku.
“Ayo... ayo silahkan masuk...”
kata Grace mempersilahkan.
Kami masuk. Keramik putih bersih
di rumah itu seolah tersenyum menyambut kami.
Di ruang tamu, tampak sekali kesederhanaan
seorang Grace. Tidak banyak foto dan pigura yang terpampang di sana. Hanya satu
yang terlihat jelas, sebuah foto di sudut ruangan, Grace dan seorang anak kecil.
Keduanya cantik sekali. “Itu pasti Caren”
batinku.
Grace datang dengan membawa
sebuah celemek berisi 2 cangkir teh lengkap dengan biskuit dan beberapa toples
berisi camilan.
“Ini silahkan...“
“Terima kasih...” kataku dan
Norman hampir berbarengan.
Grace mengambil posisi duduk di
samping Norman, artinya, dia kini tepat berada di hadapanku. Kuambil nafas
panjang sebelum memulai perbincangan.
“Tumben sekali Norman... Kamu
khan sudah jadi pebisnis sukses sekarang. Masih ingat ya sama aku... he he...”
Grace membuka percakapan.
“Yah Grace... Mosok seorang kamu
sampai bisa kulupain. Ya gak mungkin. Kalo bukan karena kamu dulu, mungkin aku
dihukum terus sama pak Eko, guru fisika SMA kita itu. Untung kamu selalu
berbaik hati meminjami buku PR mu setiap pelajaran fisika. He he... You’re my savior Grace... hahaha....”
sahut Norman.
“Halah ngerayuu aja kamu Norm... By the way, sudah berapa lama kamu di
Mataram Vic?” perhatian Grace kemudian tertuju padaku.
“Ngng.. berapa lama ya, mungkin
hampir satu minggu. Aku dapet jatah libur dari kantor 2 bulan lamanya. Karena
aku gak ada destinasi yang jelas, ke sini lah aku. Kangen sama temen-temen dulu
he he...” jawabku.
Norman menambahkan, “Vico ini,
sekarang sudah jadi akuntan hebat di Surabaya sana Grace. Gak kaget khan kamu
kalo dia dulu sering jadi pesaingmu di pelajaran Matematika?”
Kami tertawa... “Iya deh, aku
akuin kok he he...” Grace menambahkan.
“Ooh.. Jadi kamu disini liburan
ya? Tak kirain mau dapet calon orang sini? He he...” ledek Grace.
“Lho kok tau kalo aku masih
lajang?”
“Lha itu, aku gak lihat ada
cincin di jarimu?” Grace menunjuk jari kananku.
“Owalah ini ya? He he... Oke deh
aku ngaku... Aku masih jomblo kok Grace...”
“Masih perjaka!” Norman gantian
meledekku.
“Hahaha” kami bertiga tertawa
lagi...
“Eh, ngomong-ngomong di mana si
Caren? Kok gak keliatan? Sudah SD ya dia sekarang?” Norman mulai mengalihkan
perhatian.
“Iya Norm, Caren masih liburan
sekolah. Dia ikut neneknya di Selong
sana. Biasa kalo pas liburan sekolah gini, dia pasti ke rumah neneknya.
Mamahnya ditinggal sendiri di rumah gini he he he...” jawab Grace lugas.
“Mmm... lalu, apa yang biasa
menjadi kesibukanmu sehari-hari Grace?” tanyaku mencoba mendominasi
perbincangan.
“Oh itu... Aku sehari-hari bekerja
di mall ‘Modern City’ yang tadi kamu
lewati itu Vic. Aku ada outlet handphone dan gadget di sana. Alhamdulillah
walaupun gak gede-gede amat, outletku dapet banyak distributor yang menawarkan
harga murah mulai dari Samsung, Nokia, Cross, sampai Sony Ericsson. Cuman kalo
barang-barang gelap memang aku tolak, terlalu beresiko disini. Aku juga dibantu
sama 2 karyawan setiaku. Mereka ikut aku sejak 3 tahun lalu dan alhamdulillaah jug selama ini belum
pernah ada cekcok. Everything goes fine. Tapi
hari ini kebetulan aku memang sedang gak ingin berangkat. Semua urusan sudah
kuserahkan sama karyawanku kok.” Jelas Grace.
“Hebat kamu ya Grace. Berbisnis
HP dan gadget. Kalo gitu aku bisa dapet diskon dong kalo beli ditempetmu?”
kelakarku.
“Bisa deh... he he...” sahut
Grace cepat.
“Ehem ehem...” tiba-tiba Norman
berdehem. “Sebenarnya Grace, Vico yang memintaku datang menemaninya kesini.
Sejak kami bertemu di resto, dia sering menanyakan kamu. Yaudah, tanpa babibu
kubawa aja dia langsung kesini. Katanya sih dia kangen kamu... qiqiqi..”
“Hush ngawur aja kamu Norm...
Enggak Grace... Enggak kok he he...” celotehan Norman tadi membuatku kikuk dan
langsung membuat wajahku memerah.
Grace tertawa ringan dan berkata,
“Oh... gitu ya... Kalo gitu aku harus masakin yang enak dong hari ini. Kan aku
kedatangan tamu dari jauh he he...”
“Beneran nih?” Kata Norman
“Iya lah, jarang-jarang khan ibu-ibu
seperti aku ini diapelin 2 cowok lajang dari kota. He he...” Grace mulai
menggoda.
“Hahahaha..”
kembali lagi lagi kami tertawa lepas seolah hari itu adalah hari bahagia kami.
Dan memang, kami tengah berbahagia...
Tak kusangka Grace pintar
memasak. Dia menyuguhkan suguhan spesialnya pada kami, ‘Plecing Ayam’, hampir mirip dengan ayam taliwang tapi bumbunya
lebih minimalis dan tidak begitu pedas, namun tetap saja menggigit. Berulang
kali dia menyebut kami jago nge-gombal saking
seringnya memuji masakannya. Kami juga saling berbagi cerita tentang pekerjaan
kami masing-masing, kadang diselingi dengan ledekan-ledekan dan lelucon hebat.
Seru betul rasanya.
Grace masih di belakang setelah aku
membantunya membereskan tumpukan piring yang kami pakai tadi. Norman duduk di
depan sambil merokok. Sesekali dia terlihat sibuk sms dengan ponselnya. Aku sendiri tengah melihat-lihat tumpukan
buku yang berjejer rapi disebuah almari kecil di ruang tamu. Kuambil satu dan
kulihat judulnya, “Filosofi Kopi”, Dee.
“Ah, ternyata Grace seorang pembaca
novel-novel Dewi Lestari. Penulis
inspiratif itu.” Pikirku.
“Itu buku pencerahku.” Kata-kata
Grace mengejutkanku. Aku tidak menyadari kehadirannya di belakang.
“Aku paling suka yang judulnya Mencari Herman. Aforismenya begitu
hidup...” Lanjut Grace setelah kami berdua duduk di tempat duduk tadi.
“Hera sebagai subyek sekaligus obyek dalam cerita, digambarkan
sebagai sosok perempuan yang terjebak dalam keegoisan hidup yang dramatis. Dia
jatuh bangun berjuang sendiri demi sebuah legitimasi sosial. Keluarganya telah
begitu naif dengan menganggap kehadiran Hera sebagai aib. Di saat-saat akhir
cerita, dia bertemu dengan orang yang menjadi harapan imajinernya sejak kecil, Herman. Sayang, takdir tak pernah selalu
sejalan dengan harapan. Dia mati ditangan lelaki itu...”
Bibirku kelu, aku sedikit
terhenyak betapa banyak cerita yang sedikit mirip dengan apa yang dialami Grace
sendiri.
“Grace... Kisah itu... Tolong
jangan diteruskan... Terlalu berat untuk kudengar sekarang...” aku mulai tak
enak hati.
“Vico, jika kamu adalah aku, kamu
akan terbiasa... Tidak usah berbohong. Aku bisa melihatnya dari matamu....
Norman pasti sudah cerita banyak tentangku....”
Aku diam saja...
“Hidup ini penuh dengan pilihan.
Aku memilih hidup damai. Tenang. Jauh dari gangguan peradaban dan kebiadaban.
Aku ingin hidupku kembali berarti. Aku putus sekolah ketika SMA, dan ketika
itu, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Ketika tau aku hamil, aku sadar betul
masa depanku telah hancur. Aku seperti gelas yang terangkat tinggi dan
tiba-tiba jatuh lalu pecah berkeping-keping, berserakan di sana sini, tanpa
seorangpun yang mencoba menata kembali serpihan-serpihan itu. Aku sadar, hanya akulah
yang bisa menyelamatkan hidupku sendiri. Sejak itu, aku mandiri. Aku tinggal di
rumah ini menjauh dari keluarga. Aku tak ingin mereka terusik dengan suara
sumbang tetangga tentang diriku. Terlebih semenjak ada Caren, dia adalah
prioritas utamaku. Aku tidak lagi peduli dengan Gilang. “Brengsek” adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan bajingan
itu. Dia pergi begitu saja tanpa pernah kembali semenjak tau aku hamil. Sampai
saat ini aku tidak peduli dia masih hidup atau mati, wajahnya seperti apa saja
aku sudah lupa. Menyebut namanyapun sudah membuatku sakit, apalagi bertemu. Aku
bilang ke Caren, papanya sedang berlayar jauh di luar sana. Nanti ketika tiba saatnya
dia datang, pasti dia akan datang dan memperkenalkan diri. Itu saja yang bisa
kukatakan ke Caren.”
Aku terus mendengarkan, mencoba
menyelami perasaan wanita cantik yang tengah bersedih di depanku ini.
“Caren sering bercerita, kalau
dia ketemu sama papanya nanti, dia akan mengajaknya berkeliling ke taman kota,
water boom, bercerita tentang Cinderella, meminta dibelikan boneka beruang Teddy Bear besar yang selalu ingin
dimilikinya. Sering aku ingin membelikannya, namun Caren bilang, ‘Aku ingin
dari Papa, dari Papa! Bukan mama...’ ..”
Grace mulai menangis. Nada
suaranya mulai bergetar. Dadaku mulai sesak, namun aku tahan. Naluri
kelaki-lakianku menggeliat. Ingin kutepuk pundaknya, membuatnya tenang dan
menjelaskan bahwa masih ada aku yang begitu peduli dengannya.
Grace melanjutkan ceritanya.
“Semenjak hari itu, yang ada
hanya kesendirian. Aku dirundung duka hebat. Tak ada lagi yang mau dekat
denganku, hanya beberapa teman saja yang masih sering berkomunikasi. Norman
salah satunya, kami sudah seperti kakak-adik waktu SMA dulu. Dia begitu baik,
bahkan ketika aku butuh teman curhat, aku cerita sampai menangis sejadi-jadinya
di telpon. Hanya saja, aku tidak lagi sering menghubunginya semenjak aku tahu dia
bertunangan dengan seseorang. Maaf ya Vic, aku malah jadi cerita semua ke
kamu...”
“It’s
okay Grace. That’s what friend for. Telah begitu lama kamu berada
dalam lara. Cuaca demi cuaca telah kamu lewati. Namun kamu akhirnya
memilih menjalani hidup yang mulia. Tuhan tidak pernah tidur Grace. Dia selalu
ada dan mendengar tiap kali kamu berdoa. Dia selalu ada buatmu dan Caren.
Setauku, sejak kecil dulu, kamu kuat. Kamu adalah wonder woman bagi Caren. Dan teman yang luar biasa bagiku juga Norman.
Makanya, kamu harus tegar...” kucoba untuk sedikit menghiburnya.
“Terima kasih Vico...”
Kata-kata itu seperti meraga
dalam satu bentuk, menembus dimensi ruang waktu dan dalam sepersekian detik,
mampu mencairkan semua kebekuan yang meliputi kami berdua di menit-menit sebelumnya.
Kutengok Norman, dia masih diluar
sana, mungkin sengaja memberikanku waktu berdua dengan Grace.
Setelah suasana kondusif mulai
terasa, aku memberanikan diri untuk bicara...
“Grace... Mungkin ini sedikit
lancang. Tapi, boleh aku minta sesuatu?”
Grace segera mengusap air matanya
dan melihat ke arahku. Pandangan matanya tajam, terlihat ada rasa penasaran di
sana.
“Aku ingin, kamu menemaniku
liburan di Mataram.” Kata-kata itu tiba-tiba terlontar begitu saja tanpa kurancang,
tanpa kurencanakan. Bisa jadi itu respon spontan setelah cerita penuh kesedihan
yang dituturkan Grace tadi.
Grace tidak berkata-kata. Dia
mencoba memahami ucapanku barusan.
“Ka.. kamu serius Vic?” tanya
Grace mencoba meyakinkan diri.
“Iya, aku serius. Aku ingin kamu
menemaniku liburan di kota. Kamu mau khan?”
“Ngng.. aku...aku...”
“E..e.. tapi jika kamu gak bisa
juga gak pa pa lho Grace. Aku tau kamu gak
bisa meninggalkan counter khan?”
“Bukan, bukan itu. Karyawanku sih
bisa kupercaya... Tapi Caren..??”
“Ajak dia juga. Aku ingin
berlibur dengan kalian.” Tegasku.
“Beneran?!” senyum Grace
terkembang. Senyum yang meyakinkanku bahwa dunia ini indah bahkan jika sekalipun
tak ada surga. Kunikmati betul senyum menawan itu.
“Iya...” jawabku tanpa ragu.
“Caren pasti bakal senang sekali.
Tapi Vico... u know, kamu gak harus
sebaik ini terhadapku lho... Aku kenal dengan beberapa gadis muda yang bisa
menemanimu jika itu yang kamu mau...”
“Tolong Grace.... Jangan
menilaiku serendah itu. Permintaan ini tulus dari hati, hati seorang teman yang
peduli dengan sahabatnya. Aku merasa, it’s
gonna be fun jalan-jalan bareng kamu dan Caren. Itu aja kok, gak ada
tendensi apapun.”
Grace menegakkan posisi duduknya,
tersenyum ringan lalu berkata, “Vico... Terima kasih. Aku gak akan lupa
kebaikanmu ini...”
“You’d
be my guest My Princess...”
“He he...”, kami berdua tertawa,
dan terus tertawa. Merasa menemukan serpihan kecil yang kembali utuh bernama ‘kebahagiaan’. Aku tau, ini tak seberapa
nilanya, tapi aku tau juga, bahwa Grace butuh teman, dan aku, sejak saat itu, dalam
hatiku dengan segenap niat, telah dengan rela, siap menyerahkan segalanya.
Tak sabar aku ingin segera
mengungkapkan kebahagiaanku pada Norman sebentar lagi. Dia pasti gak akan
percaya. Tapi inilah faktanya. Aku dan Grace akan kembali mengulang masa kecil
kembali, mencoba mengakulturasikan dimensi dewasa dan anak-anak dalam satu
momentum. Merajut lagi rasa dan asa bernama kebaikan seolah mencoba mendeklarasikan
perdamaian pada hidup. Aku tak sabar ingin segera bertemu Caren. Dia pasti luar
biasa, sama seperti mamanya...
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah sms masuk ke ponselku, “Pagi bro. Kamu akan berkelana dengan Grace
dan Caren hari ini. Have fun ya. Jika ada yang bisa kubantu buat kalian
ngabarin aja. Aku senang kamu mau nemenin dia. Ok, salam buat Grace n Caren...”
Ternyata Norman. Kubalas, “Thanks Norm, you’re my best friend. Ever!”
Saat ini aku tengah menyetir
Kijang Innova yang kusewa sepekan lalu, sebentar lagi aku sampai ke rumah
Grace. Kami berencana untuk jalan-jalan bareng hari ini. Telah kusewakan juga
sebuah kamar premium di hotel
tempatku tinggal untuk mereka. Semoga semua berjalan lancar.
Kuhentikan mesin mobilku begitu
sampai di depan rumah. Ternyata Grace sudah menungguku di depan rumahnya. Dia
mengenakan celana jeans panjang berkaos merah Volcom bertuliskan ‘Catch Me
If You Can’. Sebuah tulisan yang menyiratkan sesuatu, he he...
“Kamu tepat waktu banget ya Vic.
Jam 8 udah sampai sini... “ Grace menyambutku, aku tersenyum, kami berjabat
tangan.
“Mana Caren?” tanyaku.
“Oh didalam, masih menyelesaikan
sarapannya.”
“Owh... Oke...”
“Ayo masuk dulu, kubuatkan teh ya
buat menghangatkan badanmu. Kamu pasti pagi-pagi sekali ya tadi dari hotel?”
“Ah enggak juga kok Grace. Jam 7
aku dari hotel. Kebetulan karena jalan lancar aja jadi cepet nyampe he.”
Tukasku sembari berjalan masuk mengikutinya dari belakang.
“Oh oke... Sebentar ya... Kamu
duduk dulu...” Grace berjalan masuk ke bagian dalam rumah.
Rumah ini sebetulnya tidak begitu
besar, namun karena didesain dengan rapi, dengan dinding, keramik dan
langit-langit yang semuanya putih, membuat siapapun yang berada di sini akan
merasa nyaman. Aku jadi teringat tulisan Charles
Dickens yang menulis tentang sebuah filosofi bahwa hidup ini seperti kertas
putih yang apapun tulisan dan warna tinta yang kita guratkan padanya, sampai
kapanpun dia akan tetap putih karena begitulah sejatinya. Aku tersenyum... Grace, seperti apapun kondisimu sekarang,
bagiku warnamu tetaplah putih, batinku.
“Hey... jangan melamun dong
Vico... Ini tehnya. Silahkan...” Grace mengejutkanku.
“Oh iya Grace terima kasih”
segera kuteguk tengah hangat itu, enak sekali.
Sebuah suara kecil tiba-tiba
menyita perhatian kami, “Mama...”
Kutoleh asal suara itu, seorang
gadis kecil yang kutaksir berusia 7 tahunan keluar dari balik tirai pembatas
ruang tamu dan ruang keluarga. Gadis kecil itu mengenakan pita rambut di
sebelah kanan, mengenakan baju pink dan sepatu itu, lucu sekali. Dia berjalan
mendekati mamanya, dan menoleh padaku. Dia tersenyum, lesung pipit itu.... Gadis
ini benar-benar cantik.
“Hello sweety... Siapa namanya?” kucondongkan badanku kearahnya.
“Eh ditanya sama om Vico kok diem
aja? Ayo dong di jawab.” Kata Grace.
“Caren.
Carenina Aurel Widjaja...” bibir mungil itu akhirnya bersuara.
“Bagus sekali namanya... Kelas
berapa sekarang?” aku mencoba mendekatkan diri.
“Kelas 2.” Jawabnya datar.
“Oh... Caren, hari ini mau jalan-jalan
ke mana?” tanyaku.
Caren hanya diam saja sambil
senyum-senyum malu. Mamanya mendekatkan wajah dan menciumnya. “Udah sana
siap-siap, tasnya diambil dulu yah. Om Vico sama mama nunggu disini.” Kata
Grace ke putrinya itu.
Caren segera berlari kecil. Dia
tampak senang sekali.
Grace menoleh ke arahku dan
berkata “Aku bilang ke Caren kalo hari ini aku akan mengajaknya jalan-jalan dan
bermain di kota. Aku juga bilang kalo bakalan ada teman Mama yang nemenin. Dia
langsung tanya siapa. Aku bilang Om Vico. Dia tanya lagi, namanya kok kayak
nama jajan snack ya... He he”
“He he... cerdas ya Caren itu. Dia cantik ya
Grace. Seperti mamanya...”
Kami tersenyum, kulihat terus
mata Grace. Nampaknya dia agak canggung kupuji begitu.
Tirai itu terbuka lagi, Caren
kini muncul dengan tas dan topi bundar lucunya. Dia melihat ke arah kami.
“Oke, ayo kita berangkat
sekarang...” kataku mantap.
“Yuk.”Grace menggandeng tangan
Caren dan kami berjalan menuju mobil. Setelah memastikan semua pintu telah
terkunci, Grace segera menyusulku dan Caren yang sudah duluan berada di mobil.
Aku tawarkan Caren untuk duduk di depan menemaniku, dan dia mau. Mamanya
sendiri berada di belakang. Kuhidupkan mobil dan mulai kujalankan. Mobil melaju
santai menuju kota. Sepanjang perjalanan, Caren kuajak ngobrol sembari bertanya
tentang hobinya, di sekolah udah diajarin nyanyi apa, dan film kartun apa yang
disukainya, tak kusangka kami cepat akrab. Menit-menit berikutnya, Caren sudah
seperti pemandu wisata saja. Dia banyak sekali cerita tentang sekolah dan
teman-temannya. Kadang aku masih sempat mencuri-curi pandang wajah Grace dari
kaca mobil. Dia begitu menikmati kebersamaan ini. Lega sekali rasanya.
Setelah mengantar Grace dan Caren
check in di kamarnya, tujuan pertama kami adalah water park, sudah pasti, di sana Caren lah yang menjadi bintangnya.
Mamanya menemaninya di pool. Aku
sendiri memilih menikmati rokok yang kuhisap sembari memperhatikan dua bidadari
itu dari kejauhan. Senang sekali mereka. Tujuan ke dua, sebuah kolam
pemancingan. Kami berlomba-lomba memancing gurame terbesar. Dan tak kusangka
Grace yang bakal menang. Kami makan siang disana, saling bercanda ria. Senang
sekali mendengar tawa Grace dan Caren. Belum lama aku bersama mereka, tapi
sepertinya aku merasa sudah menjadi bagian dari mereka sejak lama.
Perjalanan berlanjut ke Movie 3D.
Kami bertiga menjerit-jerit sepuasnya ketika monster-monster raksasa dalam
layar itu seperti berdatangan mau memakan kami. Luar biasa rasanya. Caren
tampak senang sekali. Tak berhenti dia mengatakan betapa senangnya dia terbang dan
menembaki monster jahat seperti tadi. Nampaknya dia tak peduli dengan kata-kata
3D. Dia memilih membuatnya jadi
nyata. Caren ini begitu unik.
Sore menjelang ketika kami berada
di taman kota, kulihat Caren dan mamanya bermain-main ringan disana. Naik
ayunan, papan luncur, mobil-mobilan, bermain balon udara, sampai akhirnya
mereka kecapekan sendiri. Kami makan sate di sebuah area rumput beralaskan
tikar. Lahap sekali Caren memakannya. Nampaknya dia kelelahan dan butuh banyak
energi. Kubelikan dia ice cream Walls, dan cara dia mengucapkan terima kasih
itu sungguh tulus. Caren ini, benar-benar deh... She’s just so lovely... :)
Entah sudah berapa jepretan foto
mereka yang ada di Tab ku ini.
Keceriaan itu benar-benar terlukiskan di situ. Aku tawarkan mereka untuk selfie bertiga denganku. Kami semua
tersenyum dan, Jeprett! Kulihat foto itu, manis sekali kami. Langsung kujadikan
wallpaper.
Kuantarkan mereka kembali pulang ke
hotel tepat pukul 19.00. Hari yang panjang. Caren sudah tertidur pulas di
pangkuan Grace sepanjang perjalanan di mobil tadi. Grace masih menggendong
Caren ketika kuantar berjalan menuju kamarnya.
“Vico... Terima kasih ya... Tawa
Caren hari ini berbeda. Dia betul-betul senang. Aku berhutang budi padamu.”
Kata Grace tiba-tiba.
“Grace... Jangan berfikir apa-apa. Anggap saja
ini reuni kita. Bukan hanya kamu yang senang melihat Caren begitu, aku lebih
senang lagi. Jika memang setiap hari aku bisa melihat Caren dan kamu bisa
segembira hari ini, maka akan kulakukan apapun.”
Grace seperti terkejut mendengar
kata-kataku barusan. Dia berhenti berjalan dan menatapku dengan serius.
“Tolong jangan salah persepsi
Grace. We’re friends forever, and your
family is mine too.”
Grace tersenyum dan berkata, “I
know. We’re friends, and it’s been well-appreciated...”
Kami kembali berjalan. Grace
mengambil kunci dari sakunya dan kemudian membuka pintu kamarnya. Dia lalu
masuk dan segera meletakkan Caren di bed.
“Uhhft... Caren udah tambah berat. Dia sudah besar sekarang.” Dilihatnya putri
satu-satunya itu, dan diciumnya.
Kututup pintu dan aku duduk di
kursi sofa depan meja tamu. Grace tampak mendekati gagang telpon di samping
jendela, “Halo, ini Grace dari kamar 232. Saya pesan dua coffee latte ya, sama biskuit. Makasih.” Lalu ditutupnya telpon
itu.
“Thanks lho Grace udah pesen kopi
segala” aku berbasa-basi.
“It’s okay. Nampaknya Caren sudah
tertidur pulas, jadi aku cuman pesen dua aja. Mau khan?”
Aku mengangguk. Grace mulai
membuka suasana dengan cerita.
“Dari kecil aku suka coffee latte. Chocolate nya itu lho yang
khas. Bagiku itu kopi paling spesial. Papaku dulu sering menjanjikan akan
membelikanku coffee latte kalo aku
dapat ranking satu lagi. Kamu bisa bayangkan betapa senangnya hatiku khan? Kopi
demi kopi kuminum, diikuti dengan perasaan papa yang puas dengan nilai
raportku. It’s like, tiap aku
berprestasi maka di situlah juga ada coffee
latte, dia selalu ada tiap kali aku dinilai membanggakan keluarga. Dan itu
salah satunya yang membuat aku selalu berharap ada seseorang yang dengan tulus
ikhlas memberikanku coffee latte,
tanpa syarat apapun. Terakhir aku meminumnya di depan papa ketika aku menjadi
juara debat bahasa Inggris di Kabupaten. Dia bilang, ‘bukan hanya Papa yang
bangga, tapi juga gurumu, teman-temanmu, tetangga kita, pak bupati. Kamu harus
terus maju nak. Sampai puncak!’ begitu dia menyemangatiku. Itu adalah semangat
terakhir papa sebelum kejadian memalukan itu menimpaku. Sejak saat itu tak pernah
ada lagi senyum di wajahnya, coffee latte
favoritku itu seperti lenyap dari permukaan bumi. Begitu rindunya aku pada kopi
itu hingga akhirnya aku harus terpaksa membelinya, tidak lagi sebagai hadiah
yang penuh prestige dari usaha dan
perjuanganku. Aku seperti tak lagi punya nilai. Kopi itu terasa pahit di lidah
ini. Asap yang membumbung dari kopi itu seolah memvisualisasikan kehidupanku
yang suram.”
Kuhela nafasku dalam-dalam,
meraba-raba kesedihan mendalam yang dirasakannya. Dia menunduk lama. Terpaku
pada satu sudut lantai yang tertangkap oleh matanya. Terus kubiarkan dia
seperti itu tanpa aku berucap apapun, takut salah kata. Semua diam, begitu
hening.
Dia kembali menatapku.
“Malam ini aku ingin sekali lagi
meminum coffee latte disini,
bersamamu. Mereguk bersama makna kebahagiaan hari ini. Aku ingin rasa kopi ini
kembali nikmat di lidahku. Kamu mau khan...??”
“Iya Grace. Aku akan menjadi
seseorang yang dengan segala keikhlasan akan menemanimu meminum coffee latte itu tanpa syarat apapun.
Aku janji.”
Grace menatapku dalam. Matanya berkaca-kaca,
bibir bagian bawahnya bergerak-gerak, dia menahan sesak di dadanya, air matanya
berlinang. “Terima kasih Vico...” ucapnya pelan.
“Don’t
say that Grace. Real friend doesn’t need word of thanks...” kataku
sembari memberinya tisu.
Grace mengangguk-angguk pelan
sembari diusapnya matanya yang berair itu.
Tidak lama kemudian, kopi itu
datang, seorang room boy
menghantarkannya.
2 coffee latte dan sekotak biskuit itu terpampang di meja sekarang. Kami
buka masing-masing dari tutup cangkir itu. Membiarkan panasnya sedikit menguap
agar terhindar dari ruam gigi.
“Sepertinya, panasnya sudah
berkurang. Silahkan Vic...” Grace mempersilahkan.
“Mari...”
Kami berdua mengambil cangkir
itu, kemudian bersulang.
“Untuk kebahagiaan kita...” ucap
Grace.
“No more pain...” kataku.
“Tiinngg...” begitu bunyi cangkir
itu beradu.
Kami meminumnya berbarengan agak
pelan. Tetes demi tetes coffee latte menjalar
di setiap inci ruang dalam rongga mulutku. Semua terasa berbeda, bukan karena
racikannya. Tetapi karena minuman itu adalah gerbang baru yang terbuka di depan
kami berdua, seremoni kecil itu berarti luas bagiku, namun lebih luas lagi
tentunya, bagi Grace.
Tidak lama aku disitu setelahnya.
Sehabis beberapa obrolan ringan akupun berpamitan. Kami sudah cukup dewasa
untuk tahu diri akan batas-batas hubungan yang harus tetap dijaga. Kubuka pintu
itu, berat sekali kaki ini. Kini aku di luar kamarnya, Grace mengantarku.
“Good night Vic...” katanya.
“Good night Grace...” balasku.
Pintu itu hampir saja tertutup
ketika aku berpaling kembali dan menahan gerakan pintu itu. Kulihat mata Grace
yang sedikit terkejut, mata surga itu, mata malaikat penyelamatku. Dia
tersenyum kecil dan berkata dengan aksen bertanya, “What?”
Kubalas senyum indah itu, “Besok,
kita minum coffee latte lagi ya...”
ajakku.
Senyum Grace semakin lebar sambil
menunduk geleng-geleng kepala seperti tidak percaya kalo aku akan mengatakan
itu. “Oke...” katanya.
“Nice...
I’ll see you tomorrow then...” kataku berpamitan.
Grace melihatku berjalan menjauhi
kamarnya. Beberapa langkah, aku membalikkan badanku dan masih kulihat dia sana.
Kulambaikan tanganku, dia membalasnya. Kami berpisah.
Di kamar, kuputar mp3 playerku
dan ku mainkan sebuah track cantik dari Kenny
Loggins. Malam itu, wajah ayu Grace terus terbayang. Tak kusangka lirik
lagu ini akan mewakili seluruh kisah hariku. Aku betul-betul menikmati tiap
lirik, tiap nada, tiap harmoni, karena semuanya menggambarkan satu nama indah, Grace.
Are
those your eyes, is that your smile, I’ve been looking at you forever, and I
never saw you before. Are these your hands, holding mine, now I wonder how I
could have been so blind. For the first time, I’m looking in your eyes, for the
first time, I’m seeing who you are, can’t believe how much I see when you’re
looking back at me. Now I understand what love is, for the first time.
Can
this be real, can this be true, am I the person who’s same this moment, and are
you the same you, it’s all so strange to me, all along this look is right in
front of me.
Since
a long time ago, I’ve been looking up and finding this emotion. But you’re here
with me now, yes I found you somehow, and I’ve never been so sure...
For
the first time, I’m looking in your eyes, for the first time, I’m seeing who
you are, can’t believe how much I see when you’re looking back at me. Now I
understand what love is, for the first time.
See
you tomorrow Grace...
Dan
akupun terlelap ...
Hari-hari liburan kami terlewati
dengan begitu indahnya. Entah sudah berapa tempat wisata yang telah kami
kunjungi. Liburan kali ini betul-betul spesial. 4 hari ternyata sudah cukup
untuk saling berbagi keceriaan bersama dua orang bidadari yang saat ini tengah
tidur terlelap di jok belakang mobil yang tengah kukendarai ini. Rencananya
sore ini akan menjadi sore penutup wisata kami. Pagi tadi mereka sudah check out dari hotel dan menjelang
petang nanti akan kuantar mereka pulang.
Mobilku terus melaju ke arah
barat di mana matahari akan segera mengucapkan salam perpisahannya. Iya kami
rencananya akan bersama-sama menikmati indahnya matahari terbenam di pantai
Labuhan Haji, sebuah pantai wisata yang paling terkenal karena keindahan view-nya ketika sore.
Pohon palem mulai terlihat di
kanan kiri jalan, begitu juga dengan pohon kelapa yang mulai nampak banyak
berbaris bagai menyambut kami di pintu masuk pantai. Kulihat dari kaca, Grace
dan Caren masih memejamkan matanya. Manis sekali mereka jika terlihat demikian.
Kuberhentikan mobilku di sebuah
lokasi yang agak ke timur pantai, tempat yang menurutku memiliki angle paling pas untuk melihat matahari
terbenam sembari menikmati indahnya biru laut.
“Grace... Kita udah sampai. Mau
ikut turun nggak?” kubangunkan Grace.
Grace membuka matanya, melihat
sekeliling, lalu mengucek-ucek matanya. “Caren... Caren sayang... ayo bangun,
kita udah sampai nih.” Kata Grace sembari sedikit menggoyang-goyangkan pundak
Caren disampingnya.
“Iya mah.... Ayo kita turun..”
kata Caren pelan setelah bangun.
Kami bertiga turun dari mobil.
Aku jalan di depan diikuti Grace dan Caren di belakang.
“Mah, aku ke sebelah sana ya, di
bibir pantai. Mau main lempar batu he he... Ya, boleh ya? Gak sampai nyebur ke
air kok...” Caren meminta ijin mamanya.
“Iya, tapi jangan jauh-jauh
ya... Mamah disini aja sama om Vico.”
balas Grace membuat lega hati Caren yang langsung berlari kegirangan.
Grace mendekatiku yang sedang
duduk di kursi coklat dari kayu yang nampaknya memang disediakan untuk pasangan
muda mudi yang sering datang ke situ. Dia duduk di sebelahku.
Angin di pantai itu bertiup teduh
menyapa kami. Langit sudah mulai memerah dan matahari tepat berada di depan
kami ditemani awan-awan yang menggantung melukis sinarnya, silhouette itu nampak indah dengan adanya bias garis pantai yang
menawarkan pesona biru laut. Suasana yang begitu nyaman.
Grace terus menatap pemandangan
itu. Tak lama kemudian dia mulai berkata “Vico, semua yang kita lihat di depan
sana itu adalah lukisan Tuhan. Dia sengaja melukiskan keindahan itu dan
menunjukkan pada kita bukan tanpa tujuan.”
“Oh.. begitu ya? Menurutmu, apa
yang ingin Dia sampaikan melalui lukisan itu?” balasku menimpali.
“Dia ingin kita menghayati.
Menghayati semua yang ada ini dengan kesadaran penuh sebagai makhluk Tuhan,
bahwa setelah apa yang kita lewati, semuanya akan selalu bermuara pada satu
bentuk keindahan nyata. Seperti lukisan itu. Sekelumit realita kehidupan
kemarin hanyalah cerminan sederhana fatamorgana lukisan alam ini. Segenggam
cinta dari Tuhan ditampakkan-Nya pada kita melalui karya seni di depan itu.
Kamu mengerti khan?”
“Iya Grace. Dia tahu betul bahwa
kita, ciptaan-Nya selalu mendambakan keindahan. Sore ini aku beruntung
ditampakkan 2 keagungan dan kecantikan ciptaan-Nya. Lukisan alam di depan itu,
dan.... dan.... dan kamu....” aku mulai membuka diri.
Grace seketika mengalihkan
pandangannya padaku. Dia menatapku dalam-dalam. Pandangan itu... adalah
pandangan seriusnya yang pernah kulihat dulu ketika kita berdua masih sama-sama
belia. Satu pandangan tajam yang menyiratkan seribu satu rasa berkecamuk di
batinnya.
Kusempurnakan kalimatku,
“Pemandangan di depan itu memang indah Grace. Sangat indah. Namun keindahan itu
tak mungkin berarti jika nggak ada kamu disini sekarang...”
Grace masih terdiam menatapku
dalam-dalam, bibirnya sedikit bergerak-gerak, matanya memerah dan mulai berair.
“Te... terima kasih Vico... Itu tadi adalah kata-kata termanis yang pernah
kudengar dari seorang lelaki. Kamu seperti membuatku hidup kembali untuk tegar.
Aku gak mampu lagi berkata-kata... Aku hanya ingin bilang kalau aku benar-benar
senang kamu telah begitu baik selama ini...”
Dadaku bergetar hebat. Aku merasa
kata-kata yang diucapkannya barusan adalah satu tanda kejujuran hati yang
membangkitkan keberanian dalam diri ini untuk menyampaikan hasrat yang telah
begitu lama kupendam.
“Grace... Grace... Jika kamu tak
keberatan, aku ingin mengatakan sesuatu.“
Wanita di depanku itu, kembali
menatapku tajam. Matanya yang sedikit sembab dikucek-kuceknya sedikit.
“Aku tidak tahu harus memulai
dari mana. Namun... pertemuan kita kali ini benar-benar berbeda. Kamu tahu
khan, aku dulu mengidolakan kamu. Hanya saja, kita memiliki batas-batas
kultural masa kecil yang membelenggu kita untuk bisa mengungkapkan ekspresi
dengan bebas.” Senyum Grace mulai tersungging.
“Maka kupikir, ini adalah saat yang tepat
bagiku untuk mengungkapkan apa yang dulu selalu kurasakan tiap kali bertemu
kamu.”
Grace mulai memperlihatkan wajah
penasaran. “Apa itu Vico? Kamu bebas berbicara sekarang.”
“Aku... “
Aku mulai gugup.
”Aku...”
“A-ku-su-ka-ka-mu...” aku
mengucapkannya dengan gaya anak-anak yang suka terbata-bata.
Senyum Grace tampak menghiasi wajah
cantiknya dengan begitu sempurna. Senyum itu bisa jadi jawaban responsif dari
pernyataanku tadi.
“Kamu nggak marah?” tanyaku
menggoda Grace.
“Nggak... Kamu selalu lucu ya
Vic. Dari kecil.... Sampai sekarang...”
Dahiku mengernyit mencoba mencari-cari
makna tersirat dari kata-katanya itu.
“Kamu... Vico si pelaut. Yang
selalu memperhatikanku dulu, yang suka banget naruh tangkai demi tangkai bunga
mawar di laci mejaku, yang selalu membelaku saat aku disalahkan guru, yang
selalu melihatku dari kejauhan saat aku menangis sendirian di bawah pohon, yang
selalu menjengukku ketika aku sakit, yang tak pernah bosan menawariku boncengan
sepeda ketika pulang, yang selalu memberiku ucapan selamat paling awal tiap kali
hasil rapor dibagikan. Kamu... kamu yang selalu baik padaku walaupun aku selalu
menolak kehadiranmu, kamu yang selalu baik dan perhatian walaupun aku sering
berteriak ‘jangan ganggu aku’. Kamu
tau kenapa Vic? Karena memang kita ditakdirkan untuk mengerti semuanya ketika
kita telah sama-sama dewasa. Semua ini sudah benar. Gak ada yang salah. Kita
baru bertemu kembali sekarang agar mampu mengerti. Mengerti bahwa memang ada
cinta diantara kita Vico. Iya, ada cinta diantara kita.“
Aku kaget bukan main
mendengarnya. Kata-katanya itu semuanya mengalir deras membajiri satu ruangan
dalam kepalaku, mengisinya dengan pertanyaan-pertanyaan dan memori-memori lama
yang terus menguatkan rasa itu. Rasa cinta, seperti yang didefinisikan Grace
tadi.
Aku memilih diam, menunggu
kalimat Grace selanjutnya.
“Melihat situasi kita yang
sekarang ini, nampaknya kata cinta bukanlah pilihan kata yang tabu lagi Vico.
Aku mengerti betul arti dan rasa yang muncul dari sebuah frasa bernama cinta. Dan
aku merasakannya pertama kali setelah satu seduh coffee latte yang kita minum bersama di hotel malam itu. Semuanya
muncul begitu saja Vico. Maafkan aku yang terlalu egois membuatmu menunggu
selama ini.”
Aku tak tahan lagi, mataku
memerah, air mataku mulai jatuh tetes demi tetes, aku tak bisa lagi mendustai diri
sendiri.
“Grace... Rasa itu sedari dulu
sampai sekarang, masih tetap utuh tersimpan di hati ini. Namamu, wajahmu, semua
kenangan-kenangan itu, selalu menemani kemanapun aku melangkah. Cintamu telah
tersemaikan sejak lama dan menemaniku tumbuh. Ada getar di jiwa saat
kumenatapmu jauh, kuyakini bahwa mata hatiku tak pernah salah. Aku berharap,
dan terus berharap, sampai sekarang... Grace... Kini t’lah kuakui semuanya... Aku
sayang kamu, aku cinta kamu... Apa adanya.... You’re all that I want... Aku ingin kamu ada untukku, aku ingin
kamu dan Caren menjadi bagian dari hidupku... Hari ini, hari esok, kapanpun,
selamanya...”
Kupegang tangannya itu. Tangan
kami saling menggenggam, jari jemari kami saling mencari sela, dan lalu
bersatu, menyatu menyapu debu demi debu masa lalu yang sudah seperti abu yang
terbenam lama di dalam jiwa ini. Kami berdua menangis bersama, sebuah tangis
bahagia.
Caren
berjalan kearah kami, dia mendekat, dia bingung melihat kami begitu, lalu
berlari memeluk mamanya. Kami bertiga saling berpegangan tangan, duduk bersama dikursi
itu saling mengukir harapan-harapan baru, menatap jauh ke depan sana tempat
dimana matahari mulai sedikit demi sedikit tenggelam. Semuanya begitu sempurna
sore itu. Begitu indah, begitu damai, begitu penuh dengan cinta... Dan aku terhanyut didalamnya...
1 bulan kemudian...
Lorong di ruangan besar itu
terasa begitu panjang. Lama sekali aku berjalan. Aku mempercepat langkahku, aku
ingin segera bertemu Norman malam itu. Masih teringat jelas di kepalaku sms dari sahabatku itu satu jam lalu,
“Vic, kamu cepat ke sini. Aku sekarang ada di Rumah Sakit Mataram. Ada sesuatu
yang kamu harus tahu. Ini tentang Grace....
“ Pesan itu langsung kutanggapi dengan perilaku kejiwaan, dada sesak, nafas
memburu, dan batin yang berkecamuk. Aku khawatir, karena beberapa hari terakhir
aku hang out bersama Grace kulihat
dia sering batuk-batuk dan muntah. Dia bilang sudah ke dokter tapi tetap saja
masih kulihat dia begitu. Kali ini aku harus mendapatkan jawaban atas misteri
sms itu.
Sampai di depan ruang kasir,
Norman menghentikan langkahku. “Vic... Jangan kaget ya. Grace semalem masuk
IGD. Sakitnya kambuh lagi.”
“Sakit?” tanyaku kaget agak
terpekik. “Ada yang kamu sembunyikan ya dariku selama ini?”
“Lho, Grace gak bilang ke kamu?”
“Nggak pernah kok. Everything seemed to be fine semenjak kami
bersama.”
Norman menghela nafas panjang.
Bagaimanapun, aku sudah siap.
“Vico my friend, kamu masih inget khan waktu kecil dulu Grace sering
sakit-sakitan?” aku mengangguk.
Norman mulai bicara, “Dia
menderita kanker.”
Bagai tersambar petir, badanku
langsung lemas. Persendian dan tulangku seperti mati rasa. Ada sesuatu dalam
batinku yang tak kuasa menerima kenyataan ini.
“Di mana dia sekarang Norm?”
tanyaku kemudian setelah mulai bisa mengatur nafas.
“Dia masih di IGD. Dia belum
sadar. Ayo kuantar menemui ibunya. Beliau dan beberapa kerabat sudah sedari
tadi menunggu di sana.”
Tanpa banyak kata aku langsung
berjalan mengikuti Norman dari belakang. Kulihat ibu Grace dengan matanya yang
sedikit sembab melihat ke arah kami. Caren langsung berlari dan memelukku. Dia
masih menangis sesenggukan. “Om Vico!!”. Kugendong dia sembari tetap berjalan
ke arah omanya.
“Vico, Grace masuk IGD sejak
semalam. Maaf kami tidak memberitahukanmu. Saya takut membuatmu khawatir.” Kata
ibu Grace langsung setelah aku berdiri dihadapannya.
“Tante, sudah kewajiban saya
untuk tahu. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Dia masih belum sadar Vic. Saya
sudah gak ada harapan. Kemarin dia terus menyebut namamu sebelumnya akhirnya
dia tak sadarkan diri.”
“Ya Allaah...” mataku mulai
berair sekarang, aku masih kesulitan mencerna semuanya.
Kuturunkan Caren dari
gendonganku.
“Vico, saya ingin bicara. Di
sebelah sana ya.” Kata ibu Grace sembari menunjuk sebuah kursi panjang di
sebelah kiri kami.
“Mari tante...” sahutku cepat.
Aku berjalan mengikuti ibu Grace
dari belakang hingga akhirnya duduk di kursi itu.
“Aku ingin tanya sesuatu ke kamu.
Kamu benar mencintai anak saya?”
“Dengan segenap jiwa raga saya
bu.” Jawabku mantap.
“Ada yang ingin saya sampaikan.
Grace mengidap kanker. Gejalanya sudah muncul sejak kecil. Tapi karena
penanganan kami yang kurang tanggap, maka penyakit itu justru menjadi-jadi.
Apalagi semenjak dia tinggal berdua dengan Caren. Tidak banyak yang kami
lakukan. Dia selalu bilang dia baik-baik saja. Saya gak sangka akan separah
ini. Kamu tau khan, dia pernah depresi berat setelah kasusnya waktu SMA dulu.
Semenjak itu saya lebih sering bertemu Caren ketimbang mamanya. Saya pikir kamu
harus tahu ini.”
“Iya tante...”
“Tadi sore dokter yang menangani
Grace menemui saya dan bilang bahwa.... Bahwa kemungkinan Grace bisa pulih kembali
sangatlah kecil. Sudah terlalu lama penyakit itu dibiarkannya tanpa pernah
kontrol sekalipun. Saya merasa gagal menjadi ibu Vico. Saya senang ketika
mendengar dia berhubungan denganmu. Saya memiliki harapan besar padamu. Tapi
tidak disangka justru akan menjadi seperti ini.”
Tangis ibu Grace semakin menjadi.
Entah sudah berapa tisu yang dibuangnya ke tempat sampah di bawah itu. Aku
masih diam terpaku seperti tidak percaya dengan apa yang kudengar. Grace...
“Tante, apapun yang terjadi. Saya
sudah berniat untuk selamanya mencintai Grace. Dia adalah alasan kenapa saya
tetap disini. Apapun itu, saya sudah siap bu.”
“Kondisi Grace semakin lemah dan terus melemah
itulah kenapa mereka tidak berani melakukan operasi. Dokter menyatakan bahwa
saat ini Grace hidupnya sudah tergantung alat. Itupun kalo dia beruntung. Saya
sudah tidak tahu harus bagaimana lagi Vico. Aku tahu beberapa minggu terakhir
ini Grace sering keluar denganmu. Dia sering cerita bahwa hidupnya telah begitu
berarti semenjak ada kamu. Dia... dia belum pernah kulihat sebahagia itu Vic...
saya ... saya semakin takut...” suara Ibu Grace semakin bergetar. Namun akulah
yang sebetulnya paling gemetar. Terlalu banyak ketakutan yang mulai memenuhi
benakku kini.
Norman tiba-tiba berteriak dari
samping. “Vic!! Grace sudah sadar!!”
Tanpa dikomando, hampir
berbarengan aku dan Ibu Grace langsung berdiri cepat berjalan menuju ruangan
yang dimaksud.
Grace terbaring lemah di tempat
tidur itu. Banyak sekali selang yang saling menjulur terpasang di tubuhnya. Dia
langsung menyadari kehadiran kami. Caren dan omanya langsung menghampiri Grace
dan duduk disampingnya. Aku berjalan mendekati. Mata Grace langsung bertumpu
padaku sesaat setelah aku berdiri disebelahnya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya
agar bisa kudengar suaranya yang lemah.
“Vico...” lemah sekali suaranya.
Kugenggam jemarinya. Kukecup
keningnya...
“Grace... Semuanya akan baik-baik
saja. Kamu yang tenang ya... Saya akan selalu disini menemanimu...”. Dia
tersenyum kecil.
Dia berkata lagi pelan, “Maaf aku
tidak bilang ke kamu tentang sakitku.”
“Tolong sayang, jangan ucapkan
kata maaf lagi. Yang penting kita bersama, itu saja...”
Dia tersenyum... Manis sekali...
Norman berdiri dibelakangku dan
tersenyum pada Grace. Caren dan omanya ada di sisi satunya.
Grace tampak senang ditemani kami
semua.
Sejak
malam itu hari-hari kuhabiskan di ruangan itu. Aku terus menjaga Grace, aku
hibur dia dengan banyak hal. Bercengkrama, mendongeng, menyuapinya, hingga
bernyanyi. Kadang-kadang kuusapi pula bulir-bulir keringat yang jatuh menetes,
ketika dia terlelap dalam tidurnya. Semua itu kulakukan agar dia terus terjaga,
merasa nyaman, kudengarkan semua kata demi kata yang disampaikannya. Cinta ini
semakin kuat dan kami sudah seperti Adam dan Hawa yang dipertemukan kembali setelah
sekian lama terpisah.
Ini sudah hari ke tujuh dan belum
ada perkembangan dari kondisi Grace. Wanita yang kini menjadi satu-satunya
cintaku ini sedang tidur terlelap. Aku terus memandanginya dengan seribu satu
pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku.
Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku
dari belakang.
“Maaf mas... Bisa kita bicara
sebentar?”
Ternyata dia dokter Anton yang
selama ini merawat dan mengikuti progress
Grace.
“Oh... I... iya pak tentu
saja...” sahutku cepat.
“Mari...” dokter Anton
mempersilahkanku berjalan mengikuti dari belakang. Kami berjalan menuju
kantornya.
Kami duduk berhadap-hadapan di
meja kantornya.
“Begini mas... Ada yang harus
segera saya sampaikan.”
Aku mencondongkan wajahku ke
depan sembari mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang kira-kira akan
dibicarakan. Kucoba menghilangkan pikiran-pikiran lain yang menggangguku sejak
kemarin dan mencoba untuk fokus.
“Nona Grace ini sudah berada pada
titik kulminasi.”
“Maksudnya?” tanyaku langsung.
“Kami sudah mencoba semuanya.
Anda tau juga khan kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk dioperasi. Tolong
tegarkan diri anda ya... Usia nona Grace mungkin tidak akan lama lagi. Saya
mohon maaf harus mengatakan ini...”
“Hah!!” mataku terbelalak seperti
tidak percaya dengan apa yang kudengar. Ribuan petir seperti menyambarku silih
berganti. Batinku bergejolak tak karuan.
Aku geleng-geleng kepala. Mencoba
menolak pernyataan itu.
“Tidak mungkin dokter. Pasti masih
ada yang bisa dilakukan!” aku sedikit membentak.
“Maaf mas, tapi saya dan tim
sudah berusaha yang terbaik, semaksimal kami. Semuanya sekarang tinggal
tergantung Yang di Atas mas. Sekali
lagi maaf... “ kata dokter Anton menutup pembicaraan.
Aku masih terduduk kaku di kursi
itu, mulutku menganga, tanganku gemetar. Aku tidak tahu bagaimana harus
mengatakan ini semua pada ibunya nanti. Belum lagi Caren...
Aku beranjak pergi dari hadapan
dokter Anton setelah beberapa kali dia menepuk-nepuk pundakku dan berusaha
membuatku tenang. Aku berjalan keluar ruangan dan mengambil satu sudut di
lorong kecil itu. Kuambil ponselku. Kutelpon semua orang. Norman, ibu Grace,
dan 2 karyawannya yang selama ini setia menunggui usahanya di kota sana.
Tidak lama kemudian mereka semua
datang. Kami semua langsung lemas dan menangis sedih setelah kuceritakan apa
yang disampaikan dokter Anton tadi.
Hari itu kami semua berkumpul.
Semua terus berdoa, ada yang mengaji, berdzikir, ada yang terus
memanggil-manggil ‘mama... mama... Caren
sayang mama...’ pemandangan itu begitu menyiksa diriku. Kesedihan hebat
tengah melandaku. Aku duduk di samping bed
Grace. Kupegang terus tangannya sambil kuusap-usap keningnya. Dia sering bilang
‘aku gak kuat... aku gak kuat Vico...’
Aku terus bilang bahwa dia akan
baik-baik saja. Aku terus memberinya semangat untuk memotivasi dia.
Dia berkata lagi dengan sangat
pelan. Suaranya benar-benar melemah, selemah kondisinya saat ini.
“Aku akan meninggal khan Vic?”
“Tidak, sayang... Jangan berkata
seperti itu” ujarku meredam.
Dia menggeleng pelan. “Jangan
berpura-pura lagi...”
Aku diam saja. Semuanya serba
dilematis. Aku tak mungkin berbohong terus. Ini adalah realita yang sebenarnya sudah
dia sadari.
Semua orang yang berdiri di
ruangan itu langsung mendekat. Mencoba untuk mendengar apa yang akan diucapkan
oleh Grace.
“Kamu sayang aku Vic?” ucapnya
lembut.
Kupegang wajahnya, “Sayang.
Sayaaannggg banget Grace...”ucapku lembut dan sepenuh hati.
“Aku
ingin minta sesuatu.”
“Apa permintaanmu Grace? Katakan
saja..”
“Vico sayang, aku belum pernah
menikah. Aku ingin sekali menikah... Bisakah kita...?”
Aku menangis, dan terus menangis.
“Kita akan menikah Grace. Hari ini kita menikah...”. Caren menangis sesenggukan
di pelukan omanya.
Aku sadar betul itu adalah
permintaan terakhir Grace yang bagaimanapun juga harus kupenuhi, dengan setulus
hati dan segenap jiwa raga.
Aku berjalan mendekati Norman.
“Norm, tolong persiapkan
segalanya. Panggil orang KUA ke sini, segera siapkan pula gaun pernikahan
terbaik, cincin terbaik, fotografer terbaik. Aku akan menikah. Berikan saja
tagihannya padaku semua nanti. Kamu tau khan, aku memang berencana akan menikahi
Grace. Tapi tidak dengan cara begini.”
“Aku tahu Vico. Kamu telah begitu
bijak mengabulkan permintaan Grace ini. Kamu benar-benar lelaki...”
“Aku sadar sepenuhnya Norman. Aku
tidak ada pilihan lagi. Tolong ya...”
“Iya Vic. Tunggu ya, aku
berangkat sekarang. Akan kupersiapkan semuanya...”
Hari itu, sejarah baru babak
hidupku telah dimulai. Semuanya begitu cepat terjadi.
Grace terlihat begitu cantik
dengan gaun pernikahan putih itu. Orang KUA sedikit tidak percaya dengan
pernikahan itu. Kulihat semua orang yang ada diruangan itu menangis ketika akad
nikah dimulai. Grace masih dengan posisi terbaring ketika ijab qabul dilaksanakan.
Hatiku begitu bergetar ketika mengucapkannya. Grace tersenyum bahagia melihatku
meminangnya seperti itu. Kami resmi menjadi suami istri hari itu juga. Cinta
sejatiku, idaman hatiku, aku telah menjadi suami sahnya sekarang.
Kugenggam tangannya erat, kupeluk
dia, kukecup keningnya, dan berkata “Sayangku, kamu istriku sekarang. Aku akan
selamanya mencintaimu, apapun yang terjadi. Caren anak kita, akupun akan
menyayangi dan mencintainya sebagaimana aku mencintaimu Grace.”
“Vico sayang, aku tidak pernah
sebahagia ini selama hidupku. Kamu telah menjadi pecinta hatiku tanpa syarat
apapun, kamulah lelaki yang memang ditakdirkan untuk bertemu dan hidup
denganku. I have put my trust in you.
Dan aku sadar kamulah penerang jiwaku dalam gelap. Maka, tolong maafkan aku
yah... Kita menikah dengan cara seperti ini.”
“Tidak Grace, aku bahagia.
Bahagia sekali... Aku benar-benar bersyukur akhirnya bersanding denganmu. Bulan
di atas sana tengah tersenyum menyaksikan kisah cinta kita berakhir bahagia.
Aku akan mencintaimu sepenuh hati sayang. Love
you babe...”
“I love you too...” balas Grace.
Kulihat Caren yang berdiri
sedikit berjarak dari kami. Kupandangi dia. Kupanggil dia, “Caren sayang, sini
dong.”
Caren mendekat. Kukatakan
padanya, “Mulai sekarang jangan panggil om lagi ya. Panggil papa. Kita keluarga
sekarang.”
Caren tersenyum, dia berkata
“Pa... Papa...” aku yakin sudah lama sekali dia ingin mengucapkan kata itu, kami
bertiga berpelukan bahagia.
“Oke all! Now it’s time for photo
session!” suara tinggi Norman sedikit mengejutkan kami. Nampaknya dia tidak
ingin kehilangan momen-momen bahagia itu. Diam-diam aku salut padanya. Dari
mulai mengundang KUA, memberi mereka pengertian, mempersiapkan uborampe, sampai
menjadi waliku, semuanya diselesaikannya hanya dalam hitungan jam.
Kami semua berfoto bersama.
Dengan segala jenis gaya dan posisi. Grace sendiri, walaupun masih dengan
posisi terbaring di tempatnya dan dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki,
masih mampu memberikan senyum terindahnya dan begitu tulus. Aku benar-benar
merasakan anugrah terindah-Nya hari itu.
Kami semua terlena dalam pesta
kecil di ruangan itu hingga tidak lama kemudian, Grace mulai batuk-batuk, dia
mengeluarkan darah dari hidungnya, dan terus mengalir. Dia melihatku... Aku
masih memeganginya ketika tiba-tiba dia pingsan. Kami semua shock dan panik dengan kejadian itu.
Kami tengah berbahagia, tapi kenapa cepat sekali waktu berlalu. Grace kembali
pingsan and this time she got it worse.
Ruangan itu kembali sesak dan
penuh ketika tiba-tiba banyak sekali perawat yang masuk, dokter Anton langsung
menangani Grace. Kami semua keluar dengan harapan masih ada kesempatan kedua
bagi Grace. Kami terus berdoa dan berdoa. Ibu Grace tampak sibuk menenangkan
Caren yang masih tampak shock dan kadang-kadang berteriak kecil memanggil-manggil
mamanya. Beberapa orang kerabat berada di ujung lorong tidak jauh dari ruangan sembari
berkumpul melingkar dan membaca doa-doa. Suasana kembali menegang. Aku
menggelosorkan tubuhku di dinding sebelah pintu, kupegang dadaku yang rasanya
ingin meletus. Jantungku berdegup begitu kencang, kepalaku mulai pening dan
mataku mulai sedikit berkunang, kakiku lunglai, begitu lemas. Hati dan kepalaku
begitu kalut saat ini walaupun hanya untuk sekedar berfikir sedikit jernih. Hanya
Norman yang kadang mondar mandir sembari sesekali melongok di kaca pintu
ruangan. Namun ada satu kesamaan dari kami semua, tidak ada sepatah katapun
yang keluar. Kami semua terlalu takut untuk berkata-kata, takut salah ucap. Semuanya
benar-benar tengah diliputi kecemasan hebat.
Tidak lama kemudian, dokter Anton
membuka pintu dari dalam. Aku dengan cepat menghampirinya paling depan.
Wajahnya begitu murung.
“Saudara-saudara... Kami tidak
bisa berbuat apa-apa. Nona Grace sudah pergi.... Saya dan seluruh pegawai
disini turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Yang tegar ya...”
Aku langsung berlari ke dalam
menjemput Grace yang telah dinyatakan meninggal. Aku masih tidak percaya dengan
semua ini.
Kuhampiri Grace yang terbaring. Tubuhnya
terkulai lemas, begitu lemas. Dia benar-benar telah tiada. Tapi senyum itu ...
Dia masih tersenyum, mencoba menunjukkan padaku, dan pada kami semua, bahwa dia
tengah berbahagia, bahkan ketika ajal menjemputnya.
Aku
menangis sejadinya, kusebut nama Grace berkali-kali kadang-kadang sambil
menjerit. Kupeluk erat tubuh bergaun pengantin yang mulai kehilangan
kehangatannya itu. Kuciumi wajahnya, kuungkapkan seluruh perasaan cintaku. Aku
benar-benar merasa kehilangan. Baru saja kami melewati hari bahagia kami, namun
begitu cepat pula Tuhan menjemputnya. Bila ini memang yang terbaik buat Grace,
maka aku relakan kepergiannya. Kami semua berduka, betul-betul berduka.
2 minggu berlalu...
Aku masih berdiri di depan batu
nisan itu. Entah sudah berapa ratus kata yang kuungkapkan dan kucurahkan
disana. Walaupun kebersamaan itu hanya berlangsung sebentar, namun aku
bersyukur aku masih memiliki Caren. Cintaku begitu besar padanya. Dia
sepenuhnya putriku sekarang, dan apapun akan kulakukan untuk membuatnya menjadi
wanita yang sempurna kelak, as perfect as
her mom.
Angin di pemakaman itu sedikit
bertiup menyapaku sesaat setelah aku hendak berdiri dan meninggalkan lokasi itu.
Aku seperti merasakan kehadiran seseorang.
“Grace, jika memang itu kamu.
Janganlah khawatir. Aku akan jaga Caren seperti ketika kamu menjaganya, aku
akan mencintainya dengan segenap jiwa ragaku, akan kurawat Caren hingga akhir
hayatku. Setiap hari akan kuajak dia berdoa bersama untukmu, akan kusebut
namamu tiap malam menjelang, akan kunyanyikan lagu cinta untukmu tiap bulan
bersinar cerah dan bintang-bintangnya bertaburan di langit, sesekali akan
kujenguk makammu ini. Aku akan merayakan hari pernikahan kita lengkap dengan
kado hari jadinya tiap kali saatnya tiba. Kamu tenanglah disana, bahagialah
karena cinta kita bersemi selamanya, karena kita satu. Sayang, engkaulah terang
yang kudekap dalam gelap saat bumi bersiap diri untuk selamanya lelap. Namamu akan
selalu ada dalam setiap langkahku Grace. Aku pamit.”
Berat sekali langkah ini rasanya.
Ketika aku berbalik membelakangi nisan itu dan berjalan menjauh, aku telah
bertekad akan membesarkan keluarga kecilku bersama Caren. Aku akan membuatnya
bahagia dan tak akan membiarkan seorangpun menyayatkan luka padanya. And I’ve promised on this with all of my strength.
Besok, aku akan pulang
kembali ke Surabaya. Meninggalkan semua kenangan indah bersama Grace, istriku. Aku akan pulang, bertemu
keluarga dan teman-teman yang menyambutku datang bersama Caren. Putriku dan
Grace. Aku tak sabar ingin bercerita banyak pada mereka.
Sampai
di depan pintu gerbang makam, aku kembali menengok ke belakang. Nisan Grace terlihat
begitu kecil dari situ. Aku tersenyum... Kemudian melambaikan tanganku ke
arahnya. “I love you Grace, and I will
always do...”
Selesai.
Surabaya, 11 Agustus 2014
Untuk semua kenangan indah
yang pernah ada di Selong, Lombok Timur,
atas nama cinta....
Surabaya, 11 Agustus 2014
Untuk semua kenangan indah
yang pernah ada di Selong, Lombok Timur,
atas nama cinta....
Edwin Mclean
0 komentar:
Posting Komentar