Pages

Minggu, 17 Agustus 2014

Cinta Monyet



Namanya Grace. Lengkapnya Anastasya Grace Widjaja. Aku bertemu dia belasan tahun silam. Tepatnya ketika aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tak jelas kenapa aku sering terpancing untuk memperhatikannya kala itu. Bagi seorang anak bawang sepertiku, masih sulit mengartikan kata suka atau simpatik. Yang kutau, melihatnya bermain kelereng saja sudah membuatku senang. Kakakku bilang, waktu itu aku masih bocah monyet (u know, it’s a personal phrase yang artinya kurang lebih; anak bau kencur yang sedang meraba-meraba makna suka. Baca: cinta monyet). Masih tampak jelas, dia selalu berada di barisan paling depan tiap kali jalan bareng gengnya. Dia yang paling sering bercerita ketimbang mendengar cerita. Entah harus berapa kali teman-temannya itu mendengar cerita fiksinya, tapi pernah sekali aku mencuri dengar dan kutau bahwa satu kali duduk saja dia bisa bercerita 3 atau 4 fabel sekaligus. Nampaknya dia memang berbakat menjadi pendongeng. Salah satu cerita favorit karangannya adalah cerita tentang putri kerajaan yang dibuang oleh ibu tirinya dan diselamatkan oleh segerombolan binatang. Ia tumbuh dan besar bersama binatang itu hingga akhirnya bisa saling berkomunikasi. Akhir ceritanya adalah, sang putri, dengan bantuan teman binatangnya,   menemukan cinta sejatinya, seorang pangeran tampan yang mengendarai kuda putih. Setiap ceritanya selalu ada sisi magis. Iya, seperti aku yang selalu terkena daya itu, terhipnotis oleh tiap kata-katanya, ceritanya, ah mungkin lebih tepatnya suaranya. 


Untuk anak di usia SD, penampilan Grace sebenarnya biasa-biasa saja. Rambutnya pendek, sedikit tomboy, suka melotot jika digoda teman cowoknya, seolah menantang mereka untuk bertinju. Dia juga sering mengejek teman yang tidak senada dengannya, nampaknya ada sedikit keegoisan di dirinya, yaitu semua temannya harus menyetujui pendapatnya. Mungkin itu efek karena terlalu banyak yang memujinya. Cantiklah, pintarlah, jeniuslah. Banyak lah. Tapi memang, semua itu benar, dia itu juara kelas, selalu ranking satu, aktif di lomba-lomba seperti dokter kecil, science club, dan lain-lain, tidak jarang pula dia jadi juara. Hanya satu hal yang sedikit kurang darinya. Yaitu kelemahan fisiknya. Dia sering absen di jam olahraga, dia sering juga ijin pulang karena sakit. Tidak jelas kenapa bisa begitu. Aku sering menatap bangku tempat dia biasa duduk ketika absen. Seperti ada yang kurang tiap kali dia tidak hadir. Aku sering mengeluh pada teman sebangkuku tentang sedang tidak bersemangatnya aku di kelas jika tidak ada dia. Pernah satu kali aku dan teman yang lain mencoba untuk menengoknya di rumah, namun apa yang terjadi, dia tidak pernah mau keluar dari rumah. Paling-paling hanya ibu atau kakaknya yang keluar memberikan snack dan camilan hanya untuk menghibur kami. Aku tidak tahu kenapa, tapi ini yang sering kami dengar, “Maaf ya, Grace masih istirahat. Kondisinya sedang tidak fit untuk bertemu kalian. Dia juga malu karena belum mandi seharian. Harap maklum ya...”. 

Hingga satu saat, aku memaksa wali kelas untuk menemani kami menjenguknya. Aku hanya berharap Grace mau keluar dan menyapa. Dan ternyata berhasil. Dia terlihat sedikit lesu dengan rambut berantakan dan muka awut-awutan. Tapi bagiku, dia masih tetap cantik. Dengan sedikit malu-malu dia berkata; “Terima kasih ya semuanya. Kalian baik sekali mau datang. Aku gak akan pernah lupakan ini.” Itu kata-kata yang sampai kapanpun selalu kuingat. Aku kembali riang ketika Ana berangkat sekolah lagi. Bahkan setelah tahu bahwa dia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 11 aku langsung jingkrak kegirangan. Dan iya, kami semua berpesta di rumah Grace. Banyak temanku memakai baju bagus di ultahnya. Aku sendiri mengenakan kaos warna hijau favoritku dan celana jeans baggy seukuranku. Aku selalu percaya bahwa aku punya bakat menari. Tarian Michael Jackson adalah yang paling kugemari. Dan pada momen yang tepat seperti hari itu, akan kubuat teman-temanku terpana melihat penampilanku. Dan benarlah, ketika sebuah lagu Pop Beat diputar aku langsung berdiri dan menari mengikuti irama. Aku serasa di panggung konser. Semua menepuki irama seiring dengan tarianku. Sorak sorai mereka semakin keras terdengar ketika aku menyuguhkan mereka tarian Moon Walker. Tak terkira senangnya. Ketika akhirnya selesai, tidak terkira bangganya hatiku melihat Ana memberi tepukan tangan terkerasnya dan sambil berjalan mendekatiku, dia tersenyum dan berkata; “Vico, kamu keren. Terima kasih ya...” begitu katanya sambil menjabat tanganku. Dengan sedikit gemetar, aku membalas jabatannya dan berkata dengan sangat lirih; “Selamat ulang tahun Grace. Best wishes to you ...”kataku lirih. Bahkan sangking lirihnya, aku bisa mendengar degup jantungku yang berdetak kencang ketika berdiri dengan jarak sedekat itu dengan Grace. Kami berdua kemudian saling tersenyum, lalu semua yang datang bertepuk tangan dan bersorak sorai. Seolah para dayang-dayang dan punggawa berbahagia melihat sang Pangeran menemukan Putri impiannya. That was the best day I’ve ever had. 

Tidak lama setelah hari itu, sebuah kabar mengejutkan datang dari ibu. Ibuku bilang bahwa kami sekeluarga akan pindah ke Jawa. Ke tanah kelahiran kami. Kontrak kerja ibuku yang membesarkanku sendirian sejak aku kecil ini, telah habis. Dan ternyata ibu mendapat tawaran kerja baru oleh paman kami di Jawa. Saat mendengar berita itu aku adalah orang yang paling sedih diantara yang lain. Aku harus berpisah dengan teman-temanku, sekolahku, dan lebih lagi dia. Ana, yang selama ini menjadi motivasi terbesarku berangkat ke sekolah. Aku berlari, mengambil sepeda, dan mengayuh sekencang-kencangnya menuju gedung bioskop lama tempatku biasa menyendiri, dan menangis sejadinya di sana. Aku ingin berontak, tapi apa daya, saat itu pilihan yang terbaik adalah menerima. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya aku tanpa teman-temanku ini nanti. Aku tak tahu betapa sesak dada ini, berat rasanya harus berpisah dengan mereka, terutama dia. Ana. Seorang gadis kecil teman sekelas yang membuatku betah tinggal di sekolah dan membuatku semangat menjalani hidup sebagai putra perantauan di negeri orang. Namun waktu selalu berbicara lain. Aku akhirnya harus pergi, banyak sahabat yang menemani kepergianku. Kami saling berbagi alamat rumah untuk sekedar berbagi khabar kelak. Aku mencoba untuk berbesar hati ketika taxi sudah menjemput. Hanya satu yang kusayangkan, aku tidak melihat Grace di antara teman-temanku itu. Aku bilang pada mereka, “Tolong sampaikan salamku ke Grace. Aku pamit. Kita selamanya sahabat. Jaga diri baik-baik. Kutunggu kabar kalian lewat surat.” Dan akupun pergi. Hari yang berat.

“Hei Vico!!” sebuah suara yang dibarengi dengan tepukan membuyarkan lamunanku.
“Ah kamu Maya. Ngagetin orang aja.” Balasku.
“Ngapain kamu ngalamun sendiri di sini. Itu lhoh kamu di cariin si bos. Minta laporan data keuangan bulan kemarin. Sudah kamu rangkum kan?”
“Oh iya iya, sampe lupa aku. Iya oke oke, aku siapkan dulu yah...“ aku berlari menuju ruanganku mengingat hari ini adalah dateline dimana aku biasa menyerahkan laporan keuangan perusahaan. Diam-diam aku berterima kasih pada Maya rekanku sekantor ini, karena sudah diingatkan. “Biarlah, nanti kutraktir makan aja dia” batinku.

Namaku Vico. Seorang pria lajang berusia 30 tahun yang sedang meniti karir di sebuah perusahaan asuransi di Surabaya. Kemampuanku sebagai seorang akuntan ternyata mendapat kepercayaan bosku. Sejak dipromosikan untuk menjabat Kepala Bagian Keuangan 3 bulan lalu, sedikit sekali waktu yang bisa kugunakan untuk bersantai. Bahkan untuk ngopi saja rasanya susah sekali. Syukurlah sekretaris si bos yang bernama Maya tadi sering berbaik hati menemaniku hang out sepulang kerja dan ngobrol santai layaknya teman akrab. Tapi yang membuatku penasaran, apakah karena padatnya waktuku yang membuat akhir-akhir ini aku sering melamun ya....

Jam menunjukkan pukul 19.30. Di meja nomor 10 Cafe ‘Harmoni’ ini aku duduk sendiri menunggu Maya. Malam ini malam Minggu. Malamnya para pecinta. Aneh sekali rasanya bagiku. Malam ini aku harus lagi-lagi ditemani si Maya. Entah sudah berapa makan malam yang kulewatkan dengannya. Seolah-olah hanya dia saja temanku. Tapi tak apalah, memang nyatanya begitu. Aku memang bisa dibilang tipe penyendiri. Gak suka punya banyak teman. Semenjak lulus kuliah dan menjadi corporate executive, bisa dibilang hari-hariku hanya habis untuk mengejar target perusahaan. Karena lebih sering di kantor, aku lebih banyak bertemu dengan orang-orang yang sama. Iklim yang sama pula. Kondisi yang monoton. Jika tidak karena gaji, aku mungkin sudah hengkang dari situ. 

6 tahun bekerja semenjak 1 bulan wisudaku, aku sudah mewujudkan banyak hal. Mobil, rumah, walaupun semua itu masih dalam proses cicilan he he... Tapi paling tidak aku tidak sia-sia berkeringat. Walau demikian, hidupku belum sempurna. Menjadi jomblo 6 tahun itu berat. Pernah aku mencoba dekat dengan seseorang, tapi, mereka semua tidak sesuai dengan ekspektasiku. 
So, am I a perfectionist one? Bisa jadi.

Dari kejauhan bisa kulihat mobil Xenia hitam milik Maya diparkir di depan cafe. Dia turun mengenakan baju santai. T-Shirt pink, dan celana jeans bersepatu tipis, Crock merknya. Sembari tersenyum dia melambaikan tangan dan berjalan ke arahku.

“Sudah lama Vic?” tanyanya langsung setelah menempati posisi nyaman di kursinya.
“Baru aja kok, 15 menitan...” jawabku hangat.
“Sorry ya bikin nunggu... Macet di jalan gak tau ada konser apa...” tukasnya enteng.
Setelah memesan menu makanan dan minuman, kami mulai bercakap.
“Maaf ya May, kamu lagi-lagi harus menemaniku dinner malam ini. Aku gak tau harus membayar kebaikanmu ini pake apa...” aku mulai berceloteh.

“Halah kamu ini kayak sama siapa aja Vic. Udahlah santai aja. Lagipula aku juga pas gak ada kerjaan kok. Cuman di rumah aja nemenin nenek, mana bagian serunya.... He he...”
“Mmm... Pokoknya terima kasih lah...” selorohku.

“Iya deh... Kadang, waktu-waktu santai seperti ini justru memberi kita satu nilai tersendiri di samping suasana kantor yang sering menekan kita. Aku enjoy aja kok Vic. You know, menurutku, Pak Bagas, yang hampir setiap hari sering ngomel-ngomel sama sekretarisnya ini, mungkin malah memiliki situasi yang lebih parah. Sudah belasan tahun menduda, di rumah sendirian, anaknya semua gak ada yang dekat sama dia, dan parahnya lagi, gak pernah bisa ramah sama orang. Bayangin, betapa mengerikannya dia. Sepertinya, bos kita itu harus mulai menyewa psikolog pribadi deh...” Maya mulai membuka obrolan.

“He he... Kamu ini, gak boleh tauk ngomongin orang dibelakang. Tapi mungkin kamu ada benarnya juga May. Cara dia bergaul dengan orang sepertinya sudah menemui titik didih. Jadi, rasa kesepian itu justru lebih terasa ketika dia berkumpul dengan banyak orang. Makanya kalo pas rapat gak jarang dia teriak-teriak sampai gedor-gedor meja. Yaaa.... Mungkin karena posisinya bos, juragan. Beda mungkin kalo dia satpam, atau OB misalnya. Ya itu tadi, saat dia berteriak-teriak bisa jadi itu adalah letupan semangat juang, business pressure, atau mungkin dia dulu mantan demonstran. Hahahaha...” tawa kami hampir berbarengan.
“Ngomongin orang memang asyik yah he he. Sekarang gimana kalo ngomongin diri sendiri?” tawar Maya.
“Oke deh. Tapi setelah makan ya...” sahutku setelah melihat karyawan cafe yang membawa seperangkat menu yang tadi kami pesan.

“Ayok!” tukas Maya mantap sembari menjangkau sendok garpu di depannya.
Tanpa babibu, kamipun langsung menyantap semua yang ada di depan. Seperti dua orang kelaparan saja, begitu pikirku. 

15 menit berlalu. Setelah selesai mencuci tangan, aku merogoh saku kanan jaket dan mengambil sebungkus rokok A Mild. Aku mulai menghisapnya setelah sesaat sebelumnya kugunakan Cricket untuk menyalakannya. 

“Enak ya ngrokok kaya gitu?” pancing Maya.
“Enak. At least, bagi jomblo sepertiku, rokok kecil ini cukup mendamaikan.” Jawabku.
“Gitu ya... He he... Okelah kumaklumi. Tapi sepertinya, nada tinggi barusan yang kudengar saat kamu mengatakan Jomblo, sedikit menggelitik telingaku. “
“Mangsutnye?”

“Biasanya nadamu datar ketika mengatakannya. Tapi kenapa sekarang meninggi? Kata Dale Carnegie, ketika seseorang mengatakan satu kata tertentu yang identik dengan kondisinya, itu berarti dia mulai tidak nyaman dengan sesuatu. Dan menurutku memang, sebetapapun hebatnya kamu membohongiku dengan lagak sok ‘nrima’ mu itu, kamu gak bisa membohongi hatimu. Itu yang sebenarnya terjadi Vic.”
Hey hey, what’s wrong cutie? R U a philosopher now or what? Lagi-lagi kamu mendorongku ke area itu. I’m okay this way. Santai ajalah May...”

“Gak gitu Vic. Kadang aku gak tega ngliat kamu. Okelah, kuakui kemampuan bekerjamu bagus. Tapi tidak sebagus bagaimana kamu bekerja untuk kehidupan pribadimu sob. Itu yang aku gak bisa nerima. Man..., 30 tahun itu usia yang rawan, aku takut kesendirianmu nanti justru membawamu ke hal-hal yang gak bener. Ada pepatah, life begins at thirty. Kalo gak sekarang, kapan lagi? Kamu mungkin gak nyaman ketika aku sering mendikte seperti ini. But, I’m your friend. The one and only. Tentu aku berhak untuk peduli. Apa perlu kuperjelas lagi hal itu?” Maya tiba-tiba nyolot.

“Sebentar May. Kamu tau kenapa aku terus menghisap rokok ini, padahal aku tau ini gak baik buat kesehatan? Itu karena aku menikmatinya. Sama, jalan hidup yang sedang kujalani ini mungkin bukan jalan hidup yang sehat, tapi aku menikmati hidupku, dan aku enjoy gitu lo. Bukan apa-apa, tapi this is the way I live. Kalo tentang jodoh, parameternya bukan terletak pada usia, tapi disini lho, di hati...” kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku.

Aku bersandar pada kursi yang kududuki, menengadahkan kepalaku ke atas. Mataku bertengger pada langit-langit ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Aku mencoba menelan pahit manis yang keluar dari kata-kataku tadi, kepalaku serasa penuh. Kutiupkan asap rokok ke atas sana. Agak lama aku di posisi begitu.

“Vico... Bukannya aku lancang. Kita adalah makhluk sosial yang butuh orang lain. Namun, aku takut ada yang salah denganmu. Kamu selalu berusaha menepis realita. Hidup ini selalu menyuguhkan kita dengan materi-materi matematis kimiawi, dan kita mau gak mau harus mencoba bereksperimen dengannya karena justru disitulah kita akan menemukan nilai-nilai.” Maya mulai mengkuliahiku lagi.

Setelah mengambil nafas panjang, aku mulai bicara. “Kamu tau gak May. Aku sering berdiri di depan kaca. Kulihat diriku yang terpampang jelas disana. Kulihat inci demi inci diriku disana. Dan kamu tahu apa? I’m pathetic, I’m hopeless. Aku gak pernah tau, kesendirian ini akan berakhir sampai kapan... “
“Kalo aku boleh jujur, kamu sebenarnya terlalu memaksakan diri. Kita gak akan pernah tau sesuatu sebelum kita mencoba. Kamu harus mengalami Vic. Itulah yang kumaksudkan. Aku gak tau, kenapa dari sekian banyak temanku yang pernah dekat denganmu gak pernah ada satupun yang nyantol di hatimu. Padahal aku aja sebagai wanita memuji kelebihan-kelebihan mereka. Tapi... sebenarnya tipe seperti apa sih yang kamu cari?” kata-kata Maya mulai meninggi, menatapku lekat-lekat sembari mengernyitkan dahi. 

“Gak gitu May, mereka semua cantik. Smart. Modern. Excellent deh pokoknya. Tapi terkadang mata ini tidak selalu sejalan dengan hati. Itu aja sih masalahnya.”
“Oke kalo gitu, apa kata hatimu?”
  Aku menggeleng, “Gak tau. Aku gak pernah mendengar apapun dari dalam situ.”
“Aneh kamu ini Vic. Dengar, kamu harus mencoba. Kamu harus mencoba menjajaki seseorang. Silahkanlah, kamu pilih sendiri, siapa dia.” Maya menantangku.
Aku tersenyum. Kuteguk kopiku, lalu kuhisap rokokku.
“Bagaimana kalau kamu. Maya Kendarsih.” aku nyeletuk.
Hah?? What?? Kamu pikir kita ini sedang bermain apa!”

“Lho kan kamu yang bilang kalo aku boleh pilih siapa aja. Tiap malam kita dinner, sering juga kita nge-club bareng, aku curhat juga sama kamu. Kenapa gak kita coba May?”
Wooo, wait! Bukan aku menolak, tapi kita ini teman. Kita makan, clubbing, jalan bareng, itu semuanya sebatas teman, gak lebih. Terus, kamu gak mungkin berpacaran dengan teman sekantor, ini akan mengancam karir salah satu dari kita. Dan kamu paham betul itu. Lagipula kamu kan tau, Anton sudah berencana meminangku sepulangnya dari Amsterdam nanti. Gak mungkin aku merusak kepercayaannya hanya karena kamu mencoba bermain-main dengan perasaan.”

“Katamu eksperimen?” aku terus mengejar.
“Yaa tapi kan lihat-lihat juga Vicoo...”
“Hahahaha... Kamu nanggapin serius to? Aku khan cuma bercanda? Hahaha!! Hahahaha...” tawaku membahana hampir di seisi ruangan. 

Maya justru terdiam ketika aku menertawainya begitu. Wajahnya tiba-tiba serius.
“Puas kamu Vic? Terus, terusin aja kamu tertawa. Aku cewek Vic, perasaanku jauh lebih sensitif dari kalian, kaum pria. Kamu anggap ini semua lelucon? Naif kamu! Betul kata kaca itu, kamu ini menyedihkan. Bahkan, aku yang selama ini baik ke kamu aja kamu beginikan. Okeh, terserah kamu. Nikmatin terus hidupmu, seperti kamu menikmati rokok yang penuh dengan racun itu. Selamat malam!” 

Maya pergi begitu saja, dia berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkanku yang masih shock dengan kemarahan hebat yang baru dia keluarkan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seperti kayu. Tak bisa bergerak, kaku, lidahku kelu, tatapanku kosong dengan rokok yang masih menempel diujung bibirku. Apa yang barusan kulakukan? Maya, temanku satu-satunya, pergi menjauh, meninggalkanku. Aku kaget, tak pernah kulihat dia semarah itu. Kali ini sudah kelewatan. Aku baru tersadar, kata-kataku tadi berlebihan. Kesungguhannya dalam memberikan perhatian selama ini, hanya kuanggap lelucon belaka. Tawaku tadi pasti menyakitkan. Pasti! Namun lebih menyakitkan lagi, aku baru saja kehilangan satu-satunya teman. Maya, sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Karena bagaimanapun, aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa berapa banyak uang yang kupunya, aku gak mungkin membeli teman. Aku lemas sekarang.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari-hariku terasa gelap semenjak hari itu. Semuanya terlihat normal-normal saja dari luar. Aku dan Maya hanya sebatas berinteraksi sebagai rekan kerja saja. Tidak lebih. Malam-malam berikutnya aku lebih sering menyibukkan diri dengan bermain bilyard. Dari beberapa sisi bisa dikatakan berkawan dengan sport mampu menghilangkan stress. Itulah mengapa semenjak kuliah dulu, aku sering ikut club bilyard di kampus, walaupun tidak sehebat yang lain, tapi paling tidak aku merasa PeDe dengan memasukkan 6 bola berturut-turut di depan para waiter penunggu meja bilyard. Tetapi setelah semua usaha menghibur diri itu, tetap saja, sunyi. 

“Kkkrrriiiinngggg!!” keras sekali suara dering telpon itu berbunyi. Aku baru saja hendak menutup pintu ruanganku ketika telpon itu berdering.
“Halo” sahutku cepat.
“Pak Vico masih disitu?” tanya seseorang yang ternyata suara pak Bagas.
“Oh iya masih pak, baru saja mau off.”
“Ke ruangan saya sebentar ya...”
“O... baik pak. Ini saya langsung ke sana”

Tanpa menyahut, telpon langsung ditutup. Aku tidak kaget dengan sikap beliau itu. Orang yang sering berkomunikasi dengan beliau pasti tahu betul sifat dingin bos satu itu. Tapi walaupun seperti itu, Pak Bagas orangnya dermawan. Sering kami ditraktir makan siang, walaupun ujung-ujungnya hanya untuk mendengar beliau bercerita tentang kisah-kisahnya ketika masih kuliah di Chicago dulu. 

“Selamat sore pak.“ sapaku ramah, walau tidak seramah wajah pak Bagas waktu itu.
“Silahkan duduk pak Vico. Begini, ada yang ingin saya sampaikan. Bulan ini adalah bulan ke 5 anda menduduki jabatan tertinggi di divisi keuangan. Saya tahu anda sudah cukup banyak memberi kontribusi pada Perusahaan. 6 tahun lalu, saya masih ingat ketika menginterview anda. Anda bilang anda siap melakukan apa saja demi kelangsungan Perusahaan. Dan ternyata anda telah membuktikannya pada saya. Langsung pada intinya saja ya...”
“Baik pak. Silahkan...”

“Ada 1 hal yang menjadi pertanyaan saya sedari pak Vico mulai gabung disini. Bapak tidak pernah sekalipun mengambil kesempatan cuti yang saya tawarkan. Boleh saya tau alasannya?”
“Oh itu pak? Ngngng... apa ya saya juga bingung harus jawab bagaimana. Mungkin karena saya terlalu menikmati pekerjaan, sehingga saya tidak mengambil kesempatan tersebut. Walaupun memang sih bisa dikatakan saya tidak begitu diuntungkan dengan penolakan itu. Tapi memang, saya sudah terbiasa hidup mandiri pak. Orang tua saya tinggal tidak jauh dari rumah saya, dalam arti, untuk bertemu dan sungkem pada mereka saya tidak perlu jauh-jauh. Sehingga mengambil cuti untuk momen yang menurut saya belum perlu, tidak pas menurut saya. Saya hanya mencoba menunjukkan dedikasi pak. Itu saja kok...” jelasku.

“Tapi itu bukan berarti anda seorang workaholic khan?” sentil pak Bagas.
“Tentu tidaklah pak. Saya masih normal kok he he...” jawabku kikuk.
“Begini pak Vico. Kemarin saya berdiskusi dengan manajemen, dan saya pikir sudah saatnya bagi pak Vico untuk mengambil cuti. Beberapa bulan lagi kita tutup buku, dan ternyata prosentase ke arah situ sudah anda cover dengan baik ketika kita terakhir rapat. Maka, tanpa ragu, sekali lagi saya tawarkan anda untuk mengambil cuti yang sebelumnya sering anda tolak. Kali ini bukan hanya 1, 2 minggu. Cuti kali ini bisa dikatakan akumulasi dari cuti-cuti anda sebelumnya. Saya beri anda cuti 2 bulan. Cukup khan?”

“Lho ini beneran pak?” tanyaku keheranan.
“Iya, kapan saya pernah tidak serius?”
“I..i.. iya pak saya mengerti kok. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak pak. Sepertinya untuk kali ini saya tidak bisa lagi menolak. Saya terima pak..” jawabku tegas.
“Nah gitu dong. Jadi khan saya tidak merasa bersalah sama kamu he he...”
Sejenak kunikmati tawa lepas pak Bagas yang jarang sekali terlihat begitu sembari manggut-manggut sebagai penegas persetujuan kami.  

“Nah pak Vico, silahkan setelah ini atau besok mampir sebentar ke Bank partner kita. Ini cek yang sudah saya tanda tangani. Silahkan di cairkan saja. Nikmati liburan anda ini. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasih saya atas dedikasi pak Vico ke Perusahaan. Nanti bila ada apa-apa, bilang saja langsung sama saya. Telpon saya gak pernah offline kok he he...” kata pak Bagas sembari menyodorkan cek yang dimaksud.

“Oh... Beneran ini pak? Alhamdulillaah...”
Aku sedikit terhenyak dari kursi melihat nominal yang tertera di situ, 25 juta.
“Maaf ya gak bisa ngasih banyak. Nikmatilah liburanmu. Lakukan apa saja yang anda inginkan dengan uang itu. Yang penting pesan saya satu, jangan lupa kembali ke sini ya... hahaha..”

Kutanggapi hadiah itu dengan tertawa keras menemani guyonan pak Bagas tadi. Seolah kami berdua telah terlepas dari satu ikatan kerja yang mengubah chemistry yang sebelumnya telah lebih dulu membekukan seluruh sudut ruangan. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang telah diberikan-Nya padaku hari itu.

Aku masih berfikir, apa yang akan kulakukan dengan uang itu. Liburan seperti apa yang akan aku lakukan. Keliling Nusantara, berpesta lajang di Jakarta, ke Bali, atau aku dirumah saja dan uangnya kugunakan untuk melunasi cicilan rumah? Tapi bukan itu yang pak Bagas inginkan. Dia ingin aku benar-benar menikmati masa cuti ini. Aku masih terus berfikir. Mencoba menggapai apa yang diinginkan oleh hati nuraniku. Tiba-tiba selintas bayangan muncul. Baju seragam itu masih terlihat jelas. Merah dan putih, bahkan bayangan diriku ketika itupun masih tampak begitu kentara. Iya, aku tiba-tiba teringat masa kecilku. Masa ketika aku bersekolah SD di Mataram. Saat-saat paling indah yang pernah aku lewati. Iya! Itu! Aku ingin bertemu dengan teman-teman semasa kecilku dulu. Kapan lagi kalau bukan sekarang. Yap! Hatiku sudah mantap. Besok aku akan berpamitan pada ayah ibu, kemudian pak Bagas, lalu.... lalu... Maya...
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

10 menit lagi pesawat Garuda yang aku tumpangi ini akan berangkat. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu mereka. “Sudah jadi apa ya mereka sekarang?” begitu pikirku. Sebuah sms tiba-tiba masuk ke ponselku. “Vico, baik-baik ya di jalan. Enjoy your whole time. Stay wise and cool. Aku tunggu kamu di Surabaya. Have a nice trip my friend...” begitu isinya. Maya, tidak ada yang sebaik dia. Bagaimanapun hebatnya kami bertengkar, kami selamanya sahabat. Dan diapun paham betul itu. Tidak pernah aku berhenti bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik dia. 

Ponsel kumatikan. Dan pesawatpun take off, dari Juanda menuju Mataram, Lombok Timur. Tempat yang akan segera kujumpai, tempat yang mungkin akan menawarkan aku sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin akan merubah hidupku...

Tubuhku serasa bergoyang-goyang... Sayup-sayup kudengar suara wanita memanggilku, “Pak... pak... pak... “ kubuka mataku, “Kita sudah sampai...” ternyata seorang wanita berseragam pramugari sedang membangunkanku dari tidur. “Oh, sudah sampai to? Oke oke mbak, terima kasih ya...” sahutku sambil membetulkan baju dan jaketku.

Aku turun dari pesawat dan kuhirup udara pertama di Mataram, aku berkata, “Selamat datang Vico. Temukan permatamu di sini. Mulailah berpetualang. Be a man! Okay!” kupakai kaca mata hitamku, kutenteng tas ransel besarku dan berjalan layaknya turis.
Aku panggil taxi yang ada di cab spot dekat bandara. “Maaf pak, saya baru saja datang dari Surabaya. Hotel mana ya pak yang bisa saya buat check in di seputaran tengah kota?” kataku langsung setelah masuk taxi.

Sang sopir langsung menyambutku, “Oh ada mas. Namanya hotel Citra Mataram. Hotel bintang 4. Ratenya bervariasi. Ada pool dan fitness center nya, ada pub dan karaokenya, dan yang pasti banyak gadis-gadis di sana he he...”
“Oh he he... Oke pak kita ke sana ya...” sahutku sembari tersenyum geli menanggapi omongannya tadi.
Taxipun berjalan.

Sepanjang perjalanan kuperhatikan kota yang sudah lama kutinggalkan ini. Tidak banyak yang berubah, kotanya masih hijau, banyak pohon-pohin besar di tanam di sana sini. Hanya mungkin yang sedikit berbeda adalah sekarang gedung-gedung bertingkatnya lebih banyak dari yang dulu. Orang-orangnya pun berbeda dalam hal style n fashion. Namun bagaimanapun, kota ini masih terlihat sama di mataku. Kerinduanku terbayar sudah.

Aku segera check in begitu sampai hotel. Kupilih deluxe room yang berada di lantai 6. Hotel ini memiliki 12 lantai, terlihat menawan dari luar apalagi di dalam. Sampai di kamar, aku merasa seperti di apartemen. Luas kamar itu luar biasa. Bisa saja kugunakan kamar ini sebagai pengganti lapangan futsal atau basket bila perlu he he.

View jantung kota Mataram sangat indah terlihat dari sini. Orang-orang terlihat berlalu lalang dari jauh. Ketika malam, pijaran lampu-lampu hias menambah eksotisme kota yang mengagumkan. Ini kotaku, ini kotaku, itu terus yang keluar dari bibirku.
Malam ini aku beristirahat, besok pagi akan kumulai perjalananku.

Matahari sudah tampak berada persis di atas kepala ketika aku menggeser kursi untukku duduk di salah satu resto yang padat pengunjung di sudut bundaran kota. Kupesan sebuah jus jambu dan nasi ayam taliwang sebagai kuliner khas kota ini.  Sesekali kulihat kijang Innova silver yang kusewa tadi pagi dari rental. Kadang-kadang kunikmati juga obrolan bahasa Sasak orang-orang yang duduk di meja-meja sebelahku. Luar biasa, batinku.

Kunyalakan rokokku dan kuhisap dalam-dalam. Kepalaku menengadah ke atas mencoba mencari jawaban atas kejadian pagi tadi. Destinasi pertamaku adalah SD N 3. Tempatku bersekolah dulu. Namun betapa terkejutnya aku setelah mengetahui bahwa guru kelasku yang sangat kucintai sudah tiada sejak 4 tahun silam. Aku sedih gak karuan. Kebanyakan guru-guru yang ada di situ semuanya muda-muda, baru-baru. Dan tidak ada satupun yang mengenaliku. Bahkan pemukiman penduduk yang dulu ada di depan sekolah sekarang sudah tidak ada dan berubah fungsi menjadi kantor pelayanan publik. Aku sudah kehilangan akal. Setelah itu, aku mencoba mencari teman dekatku dulu di rumahnya. Norman Panggabean namanya. Kami sering bermain bersama dulu. Namun betapa kecewanya aku mendapati dia dan keluarganya telah pindah semenjak lulus SD dulu. Rumah itu telah dimiliki orang lain sekarang. Aku sudah kehabisan akal, akhirnya kuputuskan untuk makan siang dulu sebelum melanjutkan perjalananku. 

Seorang waiter muda mendatangiku dan sambil tersenyum ramah dia meletakan menu yang tadi kupesan di meja. “Silahkan pak...” ujarnya lembut.
“Terima kasih...” sahutku.

Kunikmati makan siang itu dengan puas. “Ayam taliwang memang masih nomor satu.” Kataku lirih. Aku baru selesai mencuci tangan ketika tiba-tiba sebuah suara keras seperti orang bertengkar terdengar. Kutoleh setelah aku kembali duduk dan kudapati 2 orang laki-laki sedang beradu mulut. Yang satu jangkung namun membelakngiku, yang satu seorang bapak-bapak usia 50-an sambil tangan kanannya menunjuk-nunjuk orang dihadapannya itu.
“Kamu ini manager resto. Masak ngurusin karyawan kayak gitu aja gak becus?!” kudengar nada bapak itu meninggi. 

Pria berperawakan jangkung itu menimpali, “Maaf Bapak. Bukan saya ingin membela karyawan saya. Mari kita gunakan rasio dan coba dudukkan dulu permasalahannya. Bapak tadi kesini, memesan makanan, karyawan saya melayani, dan bapak terima pesanan Bapak. Setelah itu, Bapak berdiri hendak membayar ketika kemudian entah dengan atau tidak sengaja Bapak meludah di depan kasir yang notabene banyak pelanggan sedang makan di depan. Kemudian karyawan saya itu menegur Bapak agar jangan meludah sembarangan. Sekarang siapa sebetulnya yang patut dinasehati?”

Aku mulai mengikuti percakapan hebat ini. Dengan muka merah padam dan mata sedikit melotot, Bapak ini membalas, “Oh, kamu sudah berani menilai saya ya. Kalau kamu tau siapa saya, tidak mungkin berani seperti ini. Hei bung, saya ini tamu. Parkir saja saya bayar, waiter saya beri tip, semuanya saya bayar, kalau perlu resto ini lho saya beli biar kamu gak lancang seperti itu sama saya.”

“Pak, maaf sekali lagi. Sebagai manager disini, saya hanya menjalankan tugas saja, begitu pula dengan karyawan-karyawan saya. Apa yang dilakukannya tadi, adalah satu bentuk kepedulian juga terhadap konsumen lain. Jika memang Bapak tidak terima, silahkan, itu hak Bapak. Tetapi jika Bapak minta karyawan saya tadi untuk meminta maaf ke Bapak terus terang saya tidak bisa. Karena apa, saya tidak menemukan letak kesalahannya. Sehingga saya pikir tidak etis jika kita perpanjang urusan ini. Saya harap Bapak bisa mengerti.”

“Kamu masih belum paham juga ya bung. Saya tidak terima ditegur seperti itu.”
“ Saya tau pak. Melihat penampilan Bapak, anda ini pasti orang terpandang. Bahkan jas yang Bapak kenakan itu mungkin harganya lebih tinggi dari gaji karyawan-karyawan di sini. Tentu saya tidak berani berbuat lancang pada Bapak. Namun sebagai manusia yang sejatinya berdiri sama rata, ada saat dimana kita harus menghargai orang lain. Bukan begitu pak?”

Bapak itu diam sejenak. Sepertinya dia kehabisan kata-kata. Apalagi orang-orang mulai mengarahkan pandangan mereka kepadanya.

“Sudahlah pak, jika Bapak berkenan, hari ini free charge saja deh buat Bapak, agar kita impas. Gimana, tidak keberatan khan?”  tawar lelaki jangkung itu dengan nada friendly.
Setelah melihat sekeliling dan mulai menyadari kebodohannya, Bapak itu bilang, “Terserah kamu lah... Malas saya berdebat siang-siang begini” sembari nyelonong pergi keluar. Kepergiannya itu diikuti beberapa cibiran kecil yang terlontar dari mulut para pengunjung. Namun mataku lebih tertuju pada manager itu. Luar biasa, dia menangkis serangan-serangan tadi dengan sangat bijaksana dan diplomatis. Orang ini pasti bukan orang sembarangan. 

Kulihat lelaki itu berbincang-bincang dengan seorang karyawan yang nampaknya adalah orang yang menjadi tersangka dalam kasus tadi. Semenit kemudian lelaki itu berbalik sembari berdiri tegak melihat sekeliling, kini kulihat jelas wajahnya. Lelaki itu berkulit sawo matang agak gelap, hidungnya mancung seperti orang Arab, rambutnya bros seperti gaya-gaya orang militer, bodinya atletis dan tegap terlihat dari T-Shirt yang dikenakannya. Pandangan matanya tajam, tipikalnya maskulin dan cowok banget, mungkin bagi beberapa yang hadir di situ, dia terlihat keren setelah menghajar seorang arogan yang sombong dengan kedudukannya walaupun pada akhirnya dia tidak membayar makanannya. 

But wait, wajah itu......., sepertinya familiar. Aku tau wajah itu, tapi siapa ya? Aku terus menyelami naluriku, kuaduk-aduk seluruh isi memoriku, mencoba mencari sebuah sketsa wajah dan nama. And Boom!
“Nor...! Normaaannn!!” aku berteriak sedikit terpekik.

Lelaki itu menoleh. Dia diam saja, masih tanpa ekspresi. Aku mendekat, terus mendekat. Kulihat dari darak dekat, kutegaskan lagi nama itu, “Nooorrmmaannnn...” kali ini sedikit pelan.
Dia masih mencari-cari jati diriku. Kini dahinya terlihat mulai mengernyit. 

“Vico, Norm. Vicorius Sebastian! Temenmu sebangku duluuu...” kataku begitu antusias.
“Hah??!! Vico si pelaut?? Is that you man??” bibir nya mulai melebar dan ekspresi tawa riang itu mulai muncul. Aku terus mengangguk-angguk hebat tanpa jeda.

“Iya bro, ini aku. Vico yang dulu pernah kamu timpuk pake sapu, gara-gara kuejek kamu kayak Gorilla...”
“Hahahahaha maannn... We meet again buddyy!!
Tanpa aba-aba kami berpelukan kuat saling menggoyangkan badan. Pemandangan yang agak aneh mungkin bagi orang-orang. Tapi aku tidak peduli, aku senang sekali.
“Hey hey... You’re back dude! Sini-sini ayo kita duduk.” Aku kembali duduk, namun kini dengan Norman di sebelahku.
“Hey Norman, aku tadi habis dari tempetmu. Ternyata bukan kamu yang ada di situ ya?”
“Lhoh, masak? Kamu dari sana? Hahaha... Aku udah lama pindah Vic. Orang tuaku sekarang tinggal di luar kota, dan aku disini, melanjutkan usaha keluargaku ini. Eh, kamu gimana khabarnya bro?”
“Ya beginilah, it’s all fine as you look here. He he... Cuman aku sekarang domisili di Surabaya. Ini pas cuti aja aku liburan dan langsung pengen ke sini ketemu kamu bro. Pengen maen tinju-tinjuan lagi kayak dulu hahahahaha...”
Gelegak tawa kami hampir berbarengan. Tidak ternilai betapa senangnya hatiku bertemu lagi dengan Norman. Teman terbaikku semasa kecil dulu. 

Masih terlihat jelas ketika kami dikejar-kejar anjing setelah jatuh dari pohon habis mencuri mangga tetangga, masih terbayang pula saat-saat menegangkan waktu Norman menyelamatkanku dari berandal-berandal jalanan Dropped Out yang malak uang jajanku. Dia hajar terus 3 orang itu sampai mereka lari terkencing-kencing, waktu itu ini yang ada di pikiranku, “Norman kalo gede nanti pasti bakal jadi atlet WCW kayak si Hulk Hogan.” Polos ya?

“Eh Norm, kok gak kamu tonjok aja Bapak tadi biar kapok?” aku mulai guyonan.
“Emangnya aku Hulk Hogan? He he... Kamu tau Vic, hal seperti itu sudah biasa di sini. Banyak orang-orang kaya yang merasa hebat ketika marah-marah dengan karyawan resto yang mereka anggap sebagai pelayan mereka. Sebagai seorang humanis, aku gak bisa menutup mata bro. Aku gak bisa mentoleransi tindakan seperti itu. Harga diri bagiku itu sangat berharga. Kamu taulah aku dulu kayak gimana. Dan sepertinya sifat itu masih kubawa sampai sekarang he he..” kata Norman lugas.
“Keren kamu ya Norm. Tapi kamu kayaknya salah jalan deh. Harusnya kamu jadi tentara. Pasti bakalan terlihat keren lagi.”
“Gak Rambo sekalian?” timpal Norman.
“He he...”
“Eh Vic, by the way, bakal berapa lama kamu disini bro?”
“Mmm gak tau juga sih, paling kalo aku udah bosan sama kamu ya aku balik hahahaha...”
“Dasar kamu, edan mu itu kok gak ilang-ilang ya hahahaha...”

“Nggak sih, mm..., aku dapat jatah cuti 2 bulan. Cukup lama khan? Tapi gak tau bakal kuhabiskan disini atau mungkin sisanya ku gunakan untuk keliling lautan. Seperti waktu aku kecil dulu... “
“Janganlah, disini aja. Masak kata ‘Pelaut’ itu masih saja kamu pakai terus?” ledek Norman.
“Ya jelas nggak lah, sekarang sudah pakai pesawat. Jadi aku sekarang penerbang...” celotehku.
“Iya penerbang yang dimesjid-mesjid itu khan, yang bawain lagu-lagu terbangan....”
“Hahahahaha...” tawa kami kembali menggelegak. Kami semakin acuh dengan suasana.

Hari itu kami berbincang-bincang, ngobrol ngalor ngidul tentang dunia kami. Kami sama-sama saling mengagumi satu sama lain. Kehebatan Norman dalam mengembangkan bisnis restonya dan satu usaha butik kuacungi jempol. Dia betul-betul memulai semuanya dari nol. Bahkan siapa yang bakal percaya kalo resto segede itu dulunya hanya sebuah kedai kecil. Luar biasa. Norman juga tidak henti-hentinya memberikan pujiannya tentang posisiku di perusahaan. Kami betul-betul dekat, saling menghargai dan berapresiasi.
Waktu tidak terasa. Ternyata sudah sore. Aku kemudian berpamitan pulang ke hotel. Rencananya dia akan mengunjungiku malam nanti dan melanjutkan obrolan seru sambil menikmati suasana cafe di tower hotel. It’s gonna be awesome!

Ponselku tiba-tiba berbunyi. Sebuah incoming call masuk. Tertera tulisan si penelpon, Norman.
“Bro, aku sudah di lobby. Ku tunggu yah.”
“Okay!” sahutku mantab.
“It’s gonna be a long night...” batinku sembari berjalan menuju lift ke lobby.
Kulihat Norman duduk di sudut lobby, di sebuah sofa panjang dengan hiasan lampu dan bunga disana-sini. Dia berkaca mata hitam, mengenakan kaos biru ketat, celana jeans bersabuk tebal, sepasang sepatu koboi, dan sebuah rokok Marlboro di selipkan di tangan kanannya. Dengan tampilan begitu dia lebih terlihat seperti seorang Yakuza Jepang ketimbang pebisnis kuliner.

“Hello my friend, “ Norman langsung berdiri menyambutku.
“Yeah..” kami kembali berpelukan dan saling menepuk-nepuk punggung.
Kami lalu duduk berhadapan.
“Hotel ini memang keren yah Vic. Pantaslah bagi seorang kamu.”
“Kamu pernah ke sini ya?” tanyaku.
“Seringlah bro. Terakhir aku kesini bersama seorang gadis asal Sunda. Namanya Kiki. Whhoohhh... mantab pokoknya...”
“He he... Kamu memang koboi bro. Gak mungkin aku ngalahin kharismamu di depan wanita.”
“Oh kalo itu pasti lah... He he...” tukas Norman bangga. “Ngomong-ngomong, kamu belum menikah ya? Udah berapa lama kamu nge-jomblo?”

“Sebentar Norm, untuk berbicara tentang itu, aku harus merokok dulu.”
Ku ambil rokokku dan kunyalakan lalu kuhisap. Ritual yang sering kulakukan ketika hatiku sedang dipenuhi dilema seperti ini.

“Lama bro. Lama sekali. But actually, kalo bukan kamu yang nanya aku gak akan cerita.” Aku mulai mengawali.
“Okay... Aku siap mendengarkan kok.” Balas Norman.
“Oke. Pacaran? Aku pernah lah. 2 kali. Yang satu pas SMA. Satunya lagi waktu kuliah. Yang SMA, namanya Christine. Dia baek, cute, pinter, dan berkaca mata tebal. Kami sempat pacaran 1 tahun. Cukup lama bukan? Kami berpacaran sehat, gak neko-neko. Paling banter, kami berduaan di taman belakang sekolah. Saling pegang tangan dan saling bercerita. Aku sering membual jika kami menikah nanti akan kubuatkan singgasana pelaminan yang penuh dengan  bunga mawar di sana sini. Aku akan panggil band ternama dari ibukota. Dan yang aku suka, Christine mendengarkan dengan khidmat, sehingga tidak jarang aku mengulangi cerita itu berkali-kali. Seolah-olah masa depan itu, kamilah yang merancang. Kami berpisah ketika mendekati ujian nasional. Kami berkomitmen untuk break sejenak dan fokus ke UN. Namun, setelah lulus, kulihat dia berboncengan dengan cowok lain. Teman sekelasku, namanya Suroso. Rambutnya Kribo. Lengan seragamnya selalu dilipat. Motornya Vespa butut. Kabarnya mereka berpacaran dan kuliah ditempat yang sama. Aku patah hati.”

“Aku bisa membayangkan, betapa cupunya kamu waktu itu Vic. He he... Menarik. Lalu yang satunya lagi?” Norman mulai penasaran.

“Yang satu lagi namanya Siti Solichah. Dia aktivis muslim di kampus. Dia lah sosok yang paling tegar menegur dan mempropagandakan bahwa memakai celana pensil ketat bagi wanita itu haram. Dia terus melakukannya bahkan sampai diancam akan digugat sama gerombolan cewek-cewek modis di kampusku. Suatu hari, aku melihat dia menangis di tempat parkir. Kuketahui ternyata dia baru saja kehilangan tasnya yang tertinggal di motor. Seseorang mengambilnya ketika dia kelupaan membawanya keluar parkir. Dia bilang disitulah tulisan-tulisannya, artikel-artikelnya, selebaran-selebarannya, semua keringat dan niat baiknya. Aku bilang itu sabotase. Seseorang mengecohnya. Dan kamu tau apa, dia semakin keras menangis. Dia mengusap air matanya dengan jilbab besarnya itu. Aku tidak ada perasaan apa-apa saat itu. Sampai akhirnya dia menatapku, dan kulihat matanya yang sembab. Wajahnya merah semua seperti cabe tomat. Dan aku tahu detik itu juga, aku luluh. Aku kasihan, aku ingin menjadi pelindungnya saja. Gak lebih. Akhirnya kami jadian sehari setelahnya. Kami sempat pacaran 6 bulan lamanya. Sama si Siti ini, aku lebih seperti tukang ojek ketimbang pacarnya. Boro-boro cium, pegang tangan aja dia udah bilang, ‘Maaf mas, bukan muhrim.’ Sambil dia bersungut-sungut mundur gitu. Kayaknya aku harus scanning tanganku, siapa tau aja ada najis ditanganku. Aku bertahan selama 6 bulan sampai akhirnya dia bilang ke aku kalo kata kakak seniornya, pacaran itu tidak boleh menurut syariat, sebaiknya langsung menikah. Hari itu juga dia minta aku menemui ayahnya dan mengutarakan maksud melamarnya. Aku seperti ketiban kelapa persis di ubun-ubun kepala, langsung lemas hampir pingsan. Sepertinya aku salah orang, he he... Tapi, keunikan dia itu, gak akan kulupakan. Ya gitu deh, aku masih pake rasio, kami akhirnya putus. Habis perkara!” tuturku.

Norman bengong dan terus seperti itu beberapa lama tiba-tiba...
“Bbbwakakakakakakakak!!!” seperti kesetanan Norman tertawa terbahak-bahak.
Kampret ni Gorilla...
Setelah tawanya mulai habis dia berkata, “Kamu... kamu.. kammuu... lucu!! Hwahahahaha!!”
“Dasar gorilla! Males ah kalo gini...”
“He he... Tenang tenang... Bagimu mungkin memang berat, tapi bagiku ini komedi! Huahahahaha!!!”
Aku masih saja cemberut.
“Oke oke... enough. Sekarang aku tau masalahmu. Kamu perlu keberanian men...” kata Norman sembari mengatur nafas.

“Keberanian? Keberanian untuk apa bro?” tanyaku penasaran.
“Kamu harus cukup bernyali untuk menemukan wanita idamanmu. Jika kamu punya wanita idaman, cari dia. Cari terus sampai dapat. Jangan nyerah.” saran Norman layaknya Mario Teguh yang tengah berceramah.
“Mmm... Gitu ya?” timpalku mengiyakan.

“Di dalam diri seorang corporate hebat sepertimu, ternyata kamu seorang yang polos. Dan kepolosanmu itu jika ditarik benang merah akan sampai pada titik dimana kamu pernah berimajinasi tentang sosok idamanmu, atau kamu pernah suka pada seseorang. Itu kuncinya. Kamu harus berani untuk melihat masa lalumu kembali. Kamu harus cari tahu siapa dia. Cari tahu dimana dia, temukan, dan taklukkan. That’s it dude!”. Terang Norman. 

“Aku mengerti Norm. Sekarang aku benar-benar mengerti. Aku tidak pernah berimajinasi tentang sosok idaman. Tapi, aku pernah suka seseorang. Dan beberapa kali aku sering melamunkannya, tidak jarang juga dia keluar di mimpiku. Bahkan hingga sekarang.”
“Oh wow! Intuisi masa kecilmu luar biasa sekali. Usually, things gone when you grew up. But, kalo kamu bener, berarti semua masalahmu tadi sudah terjawab. Emang siapa dia Vic?”
Kutatap dalam-dalam mata Norman, dengan sedikit gugup kusebut namanya.
“G..ggg..gg... Grace...”

“Oh what?! Kamu pernah suka dia ya? Kenapa gak bilang dari dulu?”
“Aku masih bingung mengartikan perasaan waktu itu Norm. We were kids, Norm... And u know that
“Iya juga sih. Tapi Vico...., tentang Grace...”
“Apa...?? Kamu tau sesuatu tentang posisi dia saat ini?” tanyaku langsung dengan wajah harap harap cemas.
“Saat ini aku tidak tahu Vic... Tapi, dulu kami satu SMA.”
“Ah...” aku semakin mencondongkan badanku ke Norman. “Tolong Norm, tolong ceritakan...” pintaku memelas.

“Cerita ini tanpa aku buat-buat, tanpa pula aku lebih-lebihkan. Semenjak SD, Grace sudah menunjukkan prestasi akademiknya. Dia terus berkembang, semakin cerdas dari hari ke hari. Di SMA semua biaya sekolahnya ditanggung penuh oleh pemerintah. Dia mendapat beasiswa karena selalu ranking 1 di SMP, piala juaranya juga banyak. Prestasinya meningkat hingga SMA kelas 2. Nggak ada yang nggak suka sama Grace. Dia juga semakin cantik dari hari ke hari. Tidak jarang dia menolak tembakan teman-teman cowoknya di SMA. Karena siapapun tahu, dia punya standar yang tinggi terhadap cowok. Sampai tiba-tiba, sesuatu terjadi padanya...”

Norman tiba-tiba terdiam... Dan menatapku lekat-lekat.
“Kenapa Norm? Kenapa kamu diam? Ayo lanjutkan!” degup jantungku mulai tak beraturan.
  Norman mematikan rokoknya di asbak. Dia melanjutkan kata-katanya...
“Dia mengalami kecelakaan...”
“Ke... ke.. kecelakaan? Kecelakaaan apa?” kekhawatiran mulai meliputi diriku.
Aku mulai mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada Grace. Seribu tanya mulai menghampiriku.

“Grace...
Grace....
Grace hamil di luar nikah.”
DOOM!! 

Diriku seperti tersambar petir. Tiba-tiba seluruh urat syaraf dan nadiku membara. Aku tak bisa berkata apa-apa... Dadaku sesak, sesak sekali... Tanpa sadar, air mataku menetes... Aku menangis. Tak kusangka Grace akan mengalami kepahitan hidup seperti itu. 

“Siapa Norman. Siapa lelaki itu??!!” emosiku mulai meninggi.
“Vico... Vic... Vic... Tolong tenang dulu... Jangan emosi seperti itu. Ini bukan sesuatu yang bisa kita selesaikan hanya dengan sekali pukul. Biarkan kuselesaikan ceritanya dulu, okay, okay...”
Aku masih tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Kupegangi terus kepalaku seolah-olah kepala ini mau lepas dari lehernya.

Kuambil nafas panjang... “Oke... Lanjutkan ceritanya...” aku mulai tenang sembari terus mengusapi air mataku.

“Lelaki itu namanya Gilang. Seorang anak pejabat daerah yang punya rumah mewah, kolektor mobil antik, dan mafia judi terkenal di kota ini. Gilang bertemu Grace ketika ada acara ulang tahun di rumah teman Grace. Awalnya Grace hanya berkenalan biasa. Namun minggu-minggu berikutnya Grace semakin sering keluar bareng Gilang.  Dia sering bolos sekolah dan prestasinya menurun drastis. Bulan-bulan terakhir mendekati UN, Grace semakin jarang terlihat, pihak sekolah beberapa kali mendatangi Grace dengan maksud menjenguk, namun tidak pernah ada orang di rumah. Tetangga Grace bilang, keluarganya sedang mengurus Grace yang sedang sakit di luar kota. Singkat cerita, UN berlangsung tanpa kulihat ada Grace disana. Karena aku semakin khawatir dengan kondisi Grace aku lacak keberadaan dia bersama pacarku waktu itu. Betapa kagetnya setengah mati aku menemukan Grace sedang menggendong bayi wanita di sebuah rumah kontrakan kecil di daerah timur kota sana. “Caren”. Begitu dia menamakan anaknya itu. “
Air mataku semakin tak terbendung. Begitu deras mengalir ke bawah. Norman terus menepuk-nepuk pundakku. 

“Lalu, bagaimana dengan Gilang?” tanyaku sesaat kemudian.
“Setelah tahu Grace hamil, Gilang menghilang. Dia lari dari tanggung jawab. Terakhir kudengar, dia pindah ke Thailand dan mendirikan beberapa bar dan rumah judi di sana tentu dengan lusinan wanita-wanitanya.”
“Vico, Grace sendirian membesarkan anaknya. Jika memang kamu mau, aku bisa mengantarmu ke sana. Ke tempatnya. Mungkin kamu akan menemukan sebuah jawaban atas ini semua...”
Kepalaku masih mendongak ke atas, kusandarkan bahuku di punggung sofa. Aku masih sulit menerimanya. Aku masih terpukul. Semuanya masih begitu absurd di kepala ini. Hingga pada satu momen tertentu, sebuah kekuatan menggumpal di dadaku. 

“Norman. Tolong antar aku menemui Grace. Apapun yang bakal terjadi nanti, aku harus bertemu Grace...  
Norman mengangguk pelan. Aku tahu, kata-kataku tadi menyimpan banyak konsekuensi dan resiko. Namun prioritasku saat ini adalah bertemu Grace, melihat keadaannya. Aku tidak lagi peduli apa yang akan terjadi besok. Kini aku berdiri, sebagai sahabat lama, seseorang yang pernah mengaguminya, bermaksud ingin memberinya sebuah support kecil yang mungkin hanya akan sedikit berarti atau justru tidak akan dimaknai apa-apa olehnya. Namun aku sudah siap, betul-betul siap...

Pening di kepala ini tak lagi berat kurasa. Semenjak berangkat pagi-pagi dari hotel tadi, aku sedikit merasa tak enak badan. Mungkin karena kurang tidur semenjak 2 malam kemarin kuhabiskan waktu bersama Norman. Jazz milik Norman ini nampaknya belum lama di beli, beberapa accessoris masih terlihat kinclong. Sembari menyetir Norman kadang bercerita tentang kehidupan pribadinya. Terutama tentang tunangannya yang seorang bidan. Dia berencana menikah akhir tahun nanti. Senang juga mendengarnya walaupun dalam hati kecilku, ada sedikit ruang yang bergejolak mengetahui temanku ini sedikit lebih cepat dariku dalam urusan cinta. 

“Nah, Vic... Itu dia jalan masuk menuju tempat tinggal Grace. Semoga dia di rumah...” kata Norman setelah memasuki jalan dengan gapura bertuliskan “Selamat datang di Masbagik”. Ternyata aku tak bisa menyembunyikan perasaanku yang sedang berdebar-debar ini. Nafasku memburu, iya aku sedikit gugup. Tegang? Tentu.

Mobil Norman memasuki sebuah jalan pedesaan kecil yang kanan kirinya dikelilingi oleh sawah-sawah lapang. Terlihat beberapa petani sibuk mencangkul di tengahnya. Begitu hijau padi di sini, satu pemandangan indah yang jarang kutemui di Surabaya, ataupun Semarang kota kelahiranku.

"Nah, itu dia rumahnya". Kami langsung bergegas turun. 

Rumah itu tidak begitu besar. Beberapa pohon dan taman kecil yang ada di belakang pagar rumah membuat rumah itu tampak asri dilihat dari luar. Sepertinya, Grace menemukan ketenangannya disini.
Assalamualaikum...” suara Norman terdengar memberi salam pada tuan rumah. Aku berdiri di belakang Norman tak sabar menanti-nanti kehadiran sosok yang selama ini sering mengganggu tidurku. 

Wa’alaikumussalaam...” sebuah suara perempuan menyambut dari dalam. Pintupun terbuka, dan ....
Seorang wanita bertubuh langsing semampai keluar dari dalam rumah. Dia mengenakan baju terusan panjang, rambutnya sebahu, kulitnya putih bersih, matanya sedikit lebih sipit dari orang Sasak kebanyakan, bibirnya tipis dan merah muda tanpa lipstik, hidungnya mancung, dan rona merah di pipinya itu menunjukkan seringnya dia berinteraksi dengan hawa pedesaan. Cantik sekali... Kali ini aku benar-benar terkesima.
Aku masih terdiam, belum bisa berkata-kata...

“Norman?? Hai!!” wanita itu tersenyum lebar sembari menjabat tangan Norman.
“Halo Grace... Lama tak jumpa...” Norman membalas jabatan tangan itu.
Grace..., sudah sedewasa ini dia rupanya.
“Grace, kamu mungkin lupa dengan dia. Tapi dia kawan kita dulu. Kamu masih ingat, si Pelaut?” Norman membuyarkan lamunanku.
“Pelaut? Yang mana ya?”
“SD 3...” Norman menambahkan...
Grace masih terus memandangiku... Aku semakin gugup...
Oh my God... Vicorius!!” Grace semakin melebarkan senyumnya menyadari kehadiranku yang tentu sedikit mengejutkan itu.

“Ha... hai... Grace...” kataku agak terbata.
Kujabat tangannya. Begitu lembut rasanya, walaupun kerutan-kerutan di tangan itu sedikit terasa, menandakan betapa dia telah gigih bekerja selama ini.
“Gimana khabarmu Vico? Lama sekali ya...” Grace mencairkan suasana hatiku.
“Iya Grace lama sekali... Kamu sudah gede ya sekarang...” balasku.
“Ayo... ayo silahkan masuk...” kata Grace mempersilahkan. 

Kami masuk. Keramik putih bersih di rumah itu seolah tersenyum menyambut kami.
Di ruang tamu, tampak sekali kesederhanaan seorang Grace. Tidak banyak foto dan pigura yang terpampang di sana. Hanya satu yang terlihat jelas, sebuah foto di sudut ruangan, Grace dan seorang anak kecil. Keduanya cantik sekali. “Itu pasti Caren” batinku.
Grace datang dengan membawa sebuah celemek berisi 2 cangkir teh lengkap dengan biskuit dan beberapa toples berisi camilan.

“Ini silahkan...“
“Terima kasih...” kataku dan Norman hampir berbarengan.
Grace mengambil posisi duduk di samping Norman, artinya, dia kini tepat berada di hadapanku. Kuambil nafas panjang sebelum memulai perbincangan.

“Tumben sekali Norman... Kamu khan sudah jadi pebisnis sukses sekarang. Masih ingat ya sama aku... he he...” Grace membuka percakapan.

“Yah Grace... Mosok seorang kamu sampai bisa kulupain. Ya gak mungkin. Kalo bukan karena kamu dulu, mungkin aku dihukum terus sama pak Eko, guru fisika SMA kita itu. Untung kamu selalu berbaik hati meminjami buku PR mu setiap pelajaran fisika. He he... You’re my savior Grace... hahaha....” sahut Norman.

“Halah ngerayuu aja kamu Norm... By the way, sudah berapa lama kamu di Mataram Vic?” perhatian Grace kemudian tertuju padaku.

“Ngng.. berapa lama ya, mungkin hampir satu minggu. Aku dapet jatah libur dari kantor 2 bulan lamanya. Karena aku gak ada destinasi yang jelas, ke sini lah aku. Kangen sama temen-temen dulu he he...” jawabku.
Norman menambahkan, “Vico ini, sekarang sudah jadi akuntan hebat di Surabaya sana Grace. Gak kaget khan kamu kalo dia dulu sering jadi pesaingmu di pelajaran Matematika?”
Kami tertawa... “Iya deh, aku akuin kok he he...” Grace menambahkan.

“Ooh.. Jadi kamu disini liburan ya? Tak kirain mau dapet calon orang sini? He he...” ledek Grace.
“Lho kok tau kalo aku masih lajang?”
“Lha itu, aku gak lihat ada cincin di jarimu?” Grace menunjuk jari kananku.
“Owalah ini ya? He he... Oke deh aku ngaku... Aku masih jomblo kok Grace...”
“Masih perjaka!” Norman gantian meledekku.
“Hahaha” kami bertiga tertawa lagi...

“Eh, ngomong-ngomong di mana si Caren? Kok gak keliatan? Sudah SD ya dia sekarang?” Norman mulai mengalihkan perhatian.
“Iya Norm, Caren masih liburan sekolah. Dia ikut neneknya di Selong sana. Biasa kalo pas liburan sekolah gini, dia pasti ke rumah neneknya. Mamahnya ditinggal sendiri di rumah gini he he he...” jawab Grace lugas.
“Mmm... lalu, apa yang biasa menjadi kesibukanmu sehari-hari Grace?” tanyaku mencoba mendominasi perbincangan.

“Oh itu... Aku sehari-hari bekerja di mall ‘Modern City’ yang tadi kamu lewati itu Vic. Aku ada outlet handphone dan gadget di sana. Alhamdulillah walaupun gak gede-gede amat, outletku dapet banyak distributor yang menawarkan harga murah mulai dari Samsung, Nokia, Cross, sampai Sony Ericsson. Cuman kalo barang-barang gelap memang aku tolak, terlalu beresiko disini. Aku juga dibantu sama 2 karyawan setiaku. Mereka ikut aku sejak 3 tahun lalu dan alhamdulillaah jug selama ini belum pernah ada cekcok. Everything goes fine. Tapi hari ini kebetulan aku memang sedang gak ingin berangkat. Semua urusan sudah kuserahkan sama karyawanku kok.” Jelas Grace.

“Hebat kamu ya Grace. Berbisnis HP dan gadget. Kalo gitu aku bisa dapet diskon dong kalo beli ditempetmu?” kelakarku.
“Bisa deh... he he...” sahut Grace cepat.
“Ehem ehem...” tiba-tiba Norman berdehem. “Sebenarnya Grace, Vico yang memintaku datang menemaninya kesini. Sejak kami bertemu di resto, dia sering menanyakan kamu. Yaudah, tanpa babibu kubawa aja dia langsung kesini. Katanya sih dia kangen kamu... qiqiqi..”
“Hush ngawur aja kamu Norm... Enggak Grace... Enggak kok he he...” celotehan Norman tadi membuatku kikuk dan langsung membuat wajahku memerah.
Grace tertawa ringan dan berkata, “Oh... gitu ya... Kalo gitu aku harus masakin yang enak dong hari ini. Kan aku kedatangan tamu dari jauh he he...”
“Beneran nih?” Kata Norman
“Iya lah, jarang-jarang khan ibu-ibu seperti aku ini diapelin 2 cowok lajang dari kota. He he...” Grace mulai menggoda.  
“Hahahaha..” kembali lagi lagi kami tertawa lepas seolah hari itu adalah hari bahagia kami. Dan memang, kami tengah berbahagia...

Tak kusangka Grace pintar memasak. Dia menyuguhkan suguhan spesialnya pada kami, ‘Plecing Ayam’, hampir mirip dengan ayam taliwang tapi bumbunya lebih minimalis dan tidak begitu pedas, namun tetap saja menggigit. Berulang kali dia menyebut kami jago nge-gombal saking seringnya memuji masakannya. Kami juga saling berbagi cerita tentang pekerjaan kami masing-masing, kadang diselingi dengan ledekan-ledekan dan lelucon hebat. Seru betul rasanya.

Grace masih di belakang setelah aku membantunya membereskan tumpukan piring yang kami pakai tadi. Norman duduk di depan sambil merokok. Sesekali dia terlihat sibuk sms dengan ponselnya. Aku sendiri tengah melihat-lihat tumpukan buku yang berjejer rapi disebuah almari kecil di ruang tamu. Kuambil satu dan kulihat judulnya, “Filosofi Kopi”, Dee.
 
“Ah, ternyata Grace seorang pembaca novel-novel Dewi Lestari. Penulis inspiratif itu.” Pikirku.
“Itu buku pencerahku.” Kata-kata Grace mengejutkanku. Aku tidak menyadari kehadirannya di belakang.
“Aku paling suka yang judulnya Mencari Herman. Aforismenya begitu hidup...” Lanjut Grace setelah kami berdua duduk di tempat duduk tadi. 

Hera sebagai subyek sekaligus obyek dalam cerita, digambarkan sebagai sosok perempuan yang terjebak dalam keegoisan hidup yang dramatis. Dia jatuh bangun berjuang sendiri demi sebuah legitimasi sosial. Keluarganya telah begitu naif dengan menganggap kehadiran Hera sebagai aib. Di saat-saat akhir cerita, dia bertemu dengan orang yang menjadi harapan imajinernya sejak kecil, Herman. Sayang, takdir tak pernah selalu sejalan dengan harapan. Dia mati ditangan lelaki itu...”
Bibirku kelu, aku sedikit terhenyak betapa banyak cerita yang sedikit mirip dengan apa yang dialami Grace sendiri.

“Grace... Kisah itu... Tolong jangan diteruskan... Terlalu berat untuk kudengar sekarang...” aku mulai tak enak hati.

“Vico, jika kamu adalah aku, kamu akan terbiasa... Tidak usah berbohong. Aku bisa melihatnya dari matamu.... Norman pasti sudah cerita banyak tentangku....”
Aku diam saja...

“Hidup ini penuh dengan pilihan. Aku memilih hidup damai. Tenang. Jauh dari gangguan peradaban dan kebiadaban. Aku ingin hidupku kembali berarti. Aku putus sekolah ketika SMA, dan ketika itu, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Ketika tau aku hamil, aku sadar betul masa depanku telah hancur. Aku seperti gelas yang terangkat tinggi dan tiba-tiba jatuh lalu pecah berkeping-keping, berserakan di sana sini, tanpa seorangpun yang mencoba menata kembali serpihan-serpihan itu. Aku sadar, hanya akulah yang bisa menyelamatkan hidupku sendiri. Sejak itu, aku mandiri. Aku tinggal di rumah ini menjauh dari keluarga. Aku tak ingin mereka terusik dengan suara sumbang tetangga tentang diriku. Terlebih semenjak ada Caren, dia adalah prioritas utamaku. Aku tidak lagi peduli dengan Gilang. “Brengsek” adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan bajingan itu. Dia pergi begitu saja tanpa pernah kembali semenjak tau aku hamil. Sampai saat ini aku tidak peduli dia masih hidup atau mati, wajahnya seperti apa saja aku sudah lupa. Menyebut namanyapun sudah membuatku sakit, apalagi bertemu. Aku bilang ke Caren, papanya sedang berlayar jauh di luar sana. Nanti ketika tiba saatnya dia datang, pasti dia akan datang dan memperkenalkan diri. Itu saja yang bisa kukatakan ke Caren.”

Aku terus mendengarkan, mencoba menyelami perasaan wanita cantik yang tengah bersedih di depanku ini.
“Caren sering bercerita, kalau dia ketemu sama papanya nanti, dia akan mengajaknya berkeliling ke taman kota, water boom, bercerita tentang Cinderella, meminta dibelikan boneka beruang Teddy Bear besar yang selalu ingin dimilikinya. Sering aku ingin membelikannya, namun Caren bilang, ‘Aku ingin dari Papa, dari Papa! Bukan mama...’ ..” 

Grace mulai menangis. Nada suaranya mulai bergetar. Dadaku mulai sesak, namun aku tahan. Naluri kelaki-lakianku menggeliat. Ingin kutepuk pundaknya, membuatnya tenang dan menjelaskan bahwa masih ada aku yang begitu peduli dengannya.

Grace melanjutkan ceritanya.

“Semenjak hari itu, yang ada hanya kesendirian. Aku dirundung duka hebat. Tak ada lagi yang mau dekat denganku, hanya beberapa teman saja yang masih sering berkomunikasi. Norman salah satunya, kami sudah seperti kakak-adik waktu SMA dulu. Dia begitu baik, bahkan ketika aku butuh teman curhat, aku cerita sampai menangis sejadi-jadinya di telpon. Hanya saja, aku tidak lagi sering menghubunginya semenjak aku tahu dia bertunangan dengan seseorang. Maaf ya Vic, aku malah jadi cerita semua ke kamu...”

“It’s okay Grace. That’s what friend for. Telah begitu lama kamu berada dalam lara. Cuaca demi cuaca telah kamu lewati. Namun kamu akhirnya memilih menjalani hidup yang mulia. Tuhan tidak pernah tidur Grace. Dia selalu ada dan mendengar tiap kali kamu berdoa. Dia selalu ada buatmu dan Caren. Setauku, sejak kecil dulu, kamu kuat. Kamu adalah wonder woman bagi Caren. Dan teman yang luar biasa bagiku juga Norman. Makanya, kamu harus tegar...” kucoba untuk sedikit menghiburnya. 

“Terima kasih Vico...”
Kata-kata itu seperti meraga dalam satu bentuk, menembus dimensi ruang waktu dan dalam sepersekian detik, mampu mencairkan semua kebekuan yang meliputi kami berdua di menit-menit sebelumnya.
Kutengok Norman, dia masih diluar sana, mungkin sengaja memberikanku waktu berdua dengan Grace.
Setelah suasana kondusif mulai terasa, aku memberanikan diri untuk bicara...

“Grace... Mungkin ini sedikit lancang. Tapi, boleh aku minta sesuatu?”
Grace segera mengusap air matanya dan melihat ke arahku. Pandangan matanya tajam, terlihat ada rasa penasaran di sana.
“Aku ingin, kamu menemaniku liburan di Mataram.” Kata-kata itu tiba-tiba terlontar begitu saja tanpa kurancang, tanpa kurencanakan. Bisa jadi itu respon spontan setelah cerita penuh kesedihan yang dituturkan Grace tadi.

Grace tidak berkata-kata. Dia mencoba memahami ucapanku barusan. 

“Ka.. kamu serius Vic?” tanya Grace mencoba meyakinkan diri.
“Iya, aku serius. Aku ingin kamu menemaniku liburan di kota. Kamu mau khan?”
“Ngng.. aku...aku...”
“E..e.. tapi jika kamu gak bisa juga gak pa pa lho Grace. Aku tau kamu gak  bisa meninggalkan counter khan?”
“Bukan, bukan itu. Karyawanku sih bisa kupercaya... Tapi Caren..??”
“Ajak dia juga. Aku ingin berlibur dengan kalian.” Tegasku.
“Beneran?!” senyum Grace terkembang. Senyum yang meyakinkanku bahwa dunia ini indah bahkan jika sekalipun tak ada surga. Kunikmati betul senyum menawan itu.
“Iya...” jawabku tanpa ragu.
“Caren pasti bakal senang sekali. Tapi Vico... u know, kamu gak harus sebaik ini terhadapku lho... Aku kenal dengan beberapa gadis muda yang bisa menemanimu jika itu yang kamu mau...”
“Tolong Grace.... Jangan menilaiku serendah itu. Permintaan ini tulus dari hati, hati seorang teman yang peduli dengan sahabatnya. Aku merasa, it’s gonna be fun jalan-jalan bareng kamu dan Caren. Itu aja kok, gak ada tendensi apapun.”

Grace menegakkan posisi duduknya, tersenyum ringan lalu berkata, “Vico... Terima kasih. Aku gak akan lupa kebaikanmu ini...”

“You’d be my guest My Princess...”
“He he...”, kami berdua tertawa, dan terus tertawa. Merasa menemukan serpihan kecil yang kembali utuh bernama ‘kebahagiaan’. Aku tau, ini tak seberapa nilanya, tapi aku tau juga, bahwa Grace butuh teman, dan aku, sejak saat itu, dalam hatiku dengan segenap niat, telah dengan rela, siap menyerahkan segalanya.
Tak sabar aku ingin segera mengungkapkan kebahagiaanku pada Norman sebentar lagi. Dia pasti gak akan percaya. Tapi inilah faktanya. Aku dan Grace akan kembali mengulang masa kecil kembali, mencoba mengakulturasikan dimensi dewasa dan anak-anak dalam satu momentum. Merajut lagi rasa dan asa bernama kebaikan seolah mencoba mendeklarasikan perdamaian pada hidup. Aku tak sabar ingin segera bertemu Caren. Dia pasti luar biasa, sama seperti mamanya...
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah sms masuk ke ponselku, “Pagi bro. Kamu akan berkelana dengan Grace dan Caren hari ini. Have fun ya. Jika ada yang bisa kubantu buat kalian ngabarin aja. Aku senang kamu mau nemenin dia. Ok, salam buat Grace n Caren...”
Ternyata Norman. Kubalas, “Thanks Norm, you’re my best friend. Ever!”

Saat ini aku tengah menyetir Kijang Innova yang kusewa sepekan lalu, sebentar lagi aku sampai ke rumah Grace. Kami berencana untuk jalan-jalan bareng hari ini. Telah kusewakan juga sebuah kamar premium di hotel tempatku tinggal untuk mereka. Semoga semua berjalan lancar.
Kuhentikan mesin mobilku begitu sampai di depan rumah. Ternyata Grace sudah menungguku di depan rumahnya. Dia mengenakan celana jeans panjang berkaos merah Volcom bertuliskan ‘Catch Me If You Can’. Sebuah tulisan yang menyiratkan sesuatu, he he...
“Kamu tepat waktu banget ya Vic. Jam 8 udah sampai sini... “ Grace menyambutku, aku tersenyum, kami berjabat tangan.
“Mana Caren?” tanyaku.
“Oh didalam, masih menyelesaikan sarapannya.”
“Owh... Oke...”
“Ayo masuk dulu, kubuatkan teh ya buat menghangatkan badanmu. Kamu pasti pagi-pagi sekali ya tadi dari hotel?”
“Ah enggak juga kok Grace. Jam 7 aku dari hotel. Kebetulan karena jalan lancar aja jadi cepet nyampe he.” Tukasku sembari berjalan masuk mengikutinya dari belakang.

“Oh oke... Sebentar ya... Kamu duduk dulu...” Grace berjalan masuk ke bagian dalam rumah.
Rumah ini sebetulnya tidak begitu besar, namun karena didesain dengan rapi, dengan dinding, keramik dan langit-langit yang semuanya putih, membuat siapapun yang berada di sini akan merasa nyaman. Aku jadi teringat tulisan Charles Dickens yang menulis tentang sebuah filosofi bahwa hidup ini seperti kertas putih yang apapun tulisan dan warna tinta yang kita guratkan padanya, sampai kapanpun dia akan tetap putih karena begitulah sejatinya. Aku tersenyum... Grace, seperti apapun kondisimu sekarang, bagiku warnamu tetaplah putih, batinku.

“Hey... jangan melamun dong Vico... Ini tehnya. Silahkan...” Grace mengejutkanku.
“Oh iya Grace terima kasih” segera kuteguk tengah hangat itu, enak sekali.

Sebuah suara kecil tiba-tiba menyita perhatian kami, “Mama...”
Kutoleh asal suara itu, seorang gadis kecil yang kutaksir berusia 7 tahunan keluar dari balik tirai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Gadis kecil itu mengenakan pita rambut di sebelah kanan, mengenakan baju pink dan sepatu itu, lucu sekali. Dia berjalan mendekati mamanya, dan menoleh padaku. Dia tersenyum, lesung pipit itu.... Gadis ini benar-benar cantik.

Hello sweety... Siapa namanya?” kucondongkan badanku kearahnya.
“Eh ditanya sama om Vico kok diem aja? Ayo dong di jawab.” Kata Grace.
“Caren. Carenina Aurel Widjaja...” bibir mungil itu akhirnya bersuara.
“Bagus sekali namanya... Kelas berapa sekarang?” aku mencoba mendekatkan diri.
“Kelas 2.” Jawabnya datar.
“Oh... Caren, hari ini mau jalan-jalan ke mana?” tanyaku.
Caren hanya diam saja sambil senyum-senyum malu. Mamanya mendekatkan wajah dan menciumnya. “Udah sana siap-siap, tasnya diambil dulu yah. Om Vico sama mama nunggu disini.” Kata Grace ke putrinya itu.

Caren segera berlari kecil. Dia tampak senang sekali.
Grace menoleh ke arahku dan berkata “Aku bilang ke Caren kalo hari ini aku akan mengajaknya jalan-jalan dan bermain di kota. Aku juga bilang kalo bakalan ada teman Mama yang nemenin. Dia langsung tanya siapa. Aku bilang Om Vico. Dia tanya lagi, namanya kok kayak nama jajan snack ya... He he”
 “He he... cerdas ya Caren itu. Dia cantik ya Grace. Seperti mamanya...”
Kami tersenyum, kulihat terus mata Grace. Nampaknya dia agak canggung kupuji begitu.
Tirai itu terbuka lagi, Caren kini muncul dengan tas dan topi bundar lucunya. Dia melihat ke arah kami.
“Oke, ayo kita berangkat sekarang...” kataku mantap.

“Yuk.”Grace menggandeng tangan Caren dan kami berjalan menuju mobil. Setelah memastikan semua pintu telah terkunci, Grace segera menyusulku dan Caren yang sudah duluan berada di mobil. Aku tawarkan Caren untuk duduk di depan menemaniku, dan dia mau. Mamanya sendiri berada di belakang. Kuhidupkan mobil dan mulai kujalankan. Mobil melaju santai menuju kota. Sepanjang perjalanan, Caren kuajak ngobrol sembari bertanya tentang hobinya, di sekolah udah diajarin nyanyi apa, dan film kartun apa yang disukainya, tak kusangka kami cepat akrab. Menit-menit berikutnya, Caren sudah seperti pemandu wisata saja. Dia banyak sekali cerita tentang sekolah dan teman-temannya. Kadang aku masih sempat mencuri-curi pandang wajah Grace dari kaca mobil. Dia begitu menikmati kebersamaan ini. Lega sekali rasanya.

Setelah mengantar Grace dan Caren check in di kamarnya, tujuan pertama kami adalah water park, sudah pasti, di sana Caren lah yang menjadi bintangnya. Mamanya menemaninya di pool. Aku sendiri memilih menikmati rokok yang kuhisap sembari memperhatikan dua bidadari itu dari kejauhan. Senang sekali mereka. Tujuan ke dua, sebuah kolam pemancingan. Kami berlomba-lomba memancing gurame terbesar. Dan tak kusangka Grace yang bakal menang. Kami makan siang disana, saling bercanda ria. Senang sekali mendengar tawa Grace dan Caren. Belum lama aku bersama mereka, tapi sepertinya aku merasa sudah menjadi bagian dari mereka sejak lama.

Perjalanan berlanjut ke Movie 3D. Kami bertiga menjerit-jerit sepuasnya ketika monster-monster raksasa dalam layar itu seperti berdatangan mau memakan kami. Luar biasa rasanya. Caren tampak senang sekali. Tak berhenti dia mengatakan betapa senangnya dia terbang dan menembaki monster jahat seperti tadi. Nampaknya dia tak peduli dengan kata-kata 3D. Dia memilih membuatnya jadi nyata. Caren ini begitu unik.
Sore menjelang ketika kami berada di taman kota, kulihat Caren dan mamanya bermain-main ringan disana. Naik ayunan, papan luncur, mobil-mobilan, bermain balon udara, sampai akhirnya mereka kecapekan sendiri. Kami makan sate di sebuah area rumput beralaskan tikar. Lahap sekali Caren memakannya. Nampaknya dia kelelahan dan butuh banyak energi. Kubelikan dia ice cream Walls, dan cara dia mengucapkan terima kasih itu sungguh tulus. Caren ini, benar-benar deh... She’s just so lovely... :) 

Entah sudah berapa jepretan foto mereka yang ada di Tab ku ini. Keceriaan itu benar-benar terlukiskan di situ. Aku tawarkan mereka untuk selfie bertiga denganku. Kami semua tersenyum dan, Jeprett! Kulihat foto itu, manis sekali kami. Langsung kujadikan wallpaper. 

Kuantarkan mereka kembali pulang ke hotel tepat pukul 19.00. Hari yang panjang. Caren sudah tertidur pulas di pangkuan Grace sepanjang perjalanan di mobil tadi. Grace masih menggendong Caren ketika kuantar berjalan menuju kamarnya. 

“Vico... Terima kasih ya... Tawa Caren hari ini berbeda. Dia betul-betul senang. Aku berhutang budi padamu.” Kata Grace tiba-tiba.

 “Grace... Jangan berfikir apa-apa. Anggap saja ini reuni kita. Bukan hanya kamu yang senang melihat Caren begitu, aku lebih senang lagi. Jika memang setiap hari aku bisa melihat Caren dan kamu bisa segembira hari ini, maka akan kulakukan apapun.”

Grace seperti terkejut mendengar kata-kataku barusan. Dia berhenti berjalan dan menatapku dengan serius.
“Tolong jangan salah persepsi Grace. We’re friends forever, and your family is mine too.”
Grace tersenyum dan  berkata, “I know. We’re friends, and it’s been well-appreciated...
Kami kembali berjalan. Grace mengambil kunci dari sakunya dan kemudian membuka pintu kamarnya. Dia lalu masuk dan segera meletakkan Caren di bed. “Uhhft... Caren udah tambah berat. Dia sudah besar sekarang.” Dilihatnya putri satu-satunya itu, dan diciumnya.

Kututup pintu dan aku duduk di kursi sofa depan meja tamu. Grace tampak mendekati gagang telpon di samping jendela, “Halo, ini Grace dari kamar 232. Saya pesan dua coffee latte ya, sama biskuit. Makasih.” Lalu ditutupnya telpon itu.

“Thanks lho Grace udah pesen kopi segala” aku berbasa-basi.
“It’s okay. Nampaknya Caren sudah tertidur pulas, jadi aku cuman pesen dua aja. Mau khan?”
Aku mengangguk. Grace mulai membuka suasana dengan cerita.

“Dari kecil aku suka coffee latte. Chocolate nya itu lho yang khas. Bagiku itu kopi paling spesial. Papaku dulu sering menjanjikan akan membelikanku coffee latte kalo aku dapat ranking satu lagi. Kamu bisa bayangkan betapa senangnya hatiku khan? Kopi demi kopi kuminum, diikuti dengan perasaan papa yang puas dengan nilai raportku. It’s like, tiap aku berprestasi maka di situlah juga ada coffee latte, dia selalu ada tiap kali aku dinilai membanggakan keluarga. Dan itu salah satunya yang membuat aku selalu berharap ada seseorang yang dengan tulus ikhlas memberikanku coffee latte, tanpa syarat apapun. Terakhir aku meminumnya di depan papa ketika aku menjadi juara debat bahasa Inggris di Kabupaten. Dia bilang, ‘bukan hanya Papa yang bangga, tapi juga gurumu, teman-temanmu, tetangga kita, pak bupati. Kamu harus terus maju nak. Sampai puncak!’ begitu dia menyemangatiku. Itu adalah semangat terakhir papa sebelum kejadian memalukan itu menimpaku. Sejak saat itu tak pernah ada lagi senyum di wajahnya, coffee latte favoritku itu seperti lenyap dari permukaan bumi. Begitu rindunya aku pada kopi itu hingga akhirnya aku harus terpaksa membelinya, tidak lagi sebagai hadiah yang penuh prestige dari usaha dan perjuanganku. Aku seperti tak lagi punya nilai. Kopi itu terasa pahit di lidah ini. Asap yang membumbung dari kopi itu seolah memvisualisasikan kehidupanku yang suram.”

Kuhela nafasku dalam-dalam, meraba-raba kesedihan mendalam yang dirasakannya. Dia menunduk lama. Terpaku pada satu sudut lantai yang tertangkap oleh matanya. Terus kubiarkan dia seperti itu tanpa aku berucap apapun, takut salah kata. Semua diam, begitu hening.
Dia kembali menatapku.

“Malam ini aku ingin sekali lagi meminum coffee latte disini, bersamamu. Mereguk bersama makna kebahagiaan hari ini. Aku ingin rasa kopi ini kembali nikmat di lidahku. Kamu mau khan...??”
“Iya Grace. Aku akan menjadi seseorang yang dengan segala keikhlasan akan menemanimu meminum coffee latte itu tanpa syarat apapun. Aku janji.”

Grace menatapku dalam. Matanya berkaca-kaca, bibir bagian bawahnya bergerak-gerak, dia menahan sesak di dadanya, air matanya berlinang. “Terima kasih Vico...” ucapnya pelan.
“Don’t say that Grace. Real friend doesn’t need word of thanks...” kataku sembari memberinya tisu.
Grace mengangguk-angguk pelan sembari diusapnya matanya yang berair itu.
Tidak lama kemudian, kopi itu datang, seorang room boy menghantarkannya.
2 coffee latte dan sekotak biskuit itu terpampang di meja sekarang. Kami buka masing-masing dari tutup cangkir itu. Membiarkan panasnya sedikit menguap agar terhindar dari ruam gigi.
“Sepertinya, panasnya sudah berkurang. Silahkan Vic...” Grace mempersilahkan.
“Mari...”

Kami berdua mengambil cangkir itu, kemudian bersulang.

“Untuk kebahagiaan kita...” ucap Grace.
No more pain...” kataku.
“Tiinngg...” begitu bunyi cangkir itu beradu.

Kami meminumnya berbarengan agak pelan. Tetes demi tetes coffee latte menjalar di setiap inci ruang dalam rongga mulutku. Semua terasa berbeda, bukan karena racikannya. Tetapi karena minuman itu adalah gerbang baru yang terbuka di depan kami berdua, seremoni kecil itu berarti luas bagiku, namun lebih luas lagi tentunya, bagi Grace.

Tidak lama aku disitu setelahnya. Sehabis beberapa obrolan ringan akupun berpamitan. Kami sudah cukup dewasa untuk tahu diri akan batas-batas hubungan yang harus tetap dijaga. Kubuka pintu itu, berat sekali kaki ini. Kini aku di luar kamarnya, Grace mengantarku.
Good night Vic...” katanya.
Good night Grace...” balasku.

Pintu itu hampir saja tertutup ketika aku berpaling kembali dan menahan gerakan pintu itu. Kulihat mata Grace yang sedikit terkejut, mata surga itu, mata malaikat penyelamatku. Dia tersenyum kecil dan berkata dengan aksen bertanya, “What?”

Kubalas senyum indah itu, “Besok, kita minum coffee latte lagi ya...” ajakku.
Senyum Grace semakin lebar sambil menunduk geleng-geleng kepala seperti tidak percaya kalo aku akan mengatakan itu. “Oke...” katanya.

“Nice... I’ll see you tomorrow then...” kataku berpamitan.
Grace melihatku berjalan menjauhi kamarnya. Beberapa langkah, aku membalikkan badanku dan masih kulihat dia sana. Kulambaikan tanganku, dia membalasnya. Kami berpisah.

Di kamar, kuputar mp3 playerku dan ku mainkan sebuah track cantik dari Kenny Loggins. Malam itu, wajah ayu Grace terus terbayang. Tak kusangka lirik lagu ini akan mewakili seluruh kisah hariku. Aku betul-betul menikmati tiap lirik, tiap nada, tiap harmoni, karena semuanya menggambarkan satu nama indah, Grace.

Are those your eyes, is that your smile, I’ve been looking at you forever, and I never saw you before. Are these your hands, holding mine, now I wonder how I could have been so blind. For the first time, I’m looking in your eyes, for the first time, I’m seeing who you are, can’t believe how much I see when you’re looking back at me. Now I understand what love is, for the first time.
Can this be real, can this be true, am I the person who’s same this moment, and are you the same you, it’s all so strange to me, all along this look is right in front of me.
Since a long time ago, I’ve been looking up and finding this emotion. But you’re here with me now, yes I found you somehow, and I’ve never been so sure...
For the first time, I’m looking in your eyes, for the first time, I’m seeing who you are, can’t believe how much I see when you’re looking back at me. Now I understand what love is, for the first time.
See you tomorrow Grace...

Dan akupun terlelap ...

Hari-hari liburan kami terlewati dengan begitu indahnya. Entah sudah berapa tempat wisata yang telah kami kunjungi. Liburan kali ini betul-betul spesial. 4 hari ternyata sudah cukup untuk saling berbagi keceriaan bersama dua orang bidadari yang saat ini tengah tidur terlelap di jok belakang mobil yang tengah kukendarai ini. Rencananya sore ini akan menjadi sore penutup wisata kami. Pagi tadi mereka sudah check out dari hotel dan menjelang petang nanti akan kuantar mereka pulang. 

Mobilku terus melaju ke arah barat di mana matahari akan segera mengucapkan salam perpisahannya. Iya kami rencananya akan bersama-sama menikmati indahnya matahari terbenam di pantai Labuhan Haji, sebuah pantai wisata yang paling terkenal karena keindahan view-nya ketika sore. 

Pohon palem mulai terlihat di kanan kiri jalan, begitu juga dengan pohon kelapa yang mulai nampak banyak berbaris bagai menyambut kami di pintu masuk pantai. Kulihat dari kaca, Grace dan Caren masih memejamkan matanya. Manis sekali mereka jika terlihat demikian. 

Kuberhentikan mobilku di sebuah lokasi yang agak ke timur pantai, tempat yang menurutku memiliki angle paling pas untuk melihat matahari terbenam sembari menikmati indahnya biru laut. 

“Grace... Kita udah sampai. Mau ikut turun nggak?” kubangunkan Grace.
Grace membuka matanya, melihat sekeliling, lalu mengucek-ucek matanya. “Caren... Caren sayang... ayo bangun, kita udah sampai nih.” Kata Grace sembari sedikit menggoyang-goyangkan pundak Caren disampingnya.
“Iya mah.... Ayo kita turun..” kata Caren pelan setelah bangun.
Kami bertiga turun dari mobil. Aku jalan di depan diikuti Grace dan Caren di belakang.
“Mah, aku ke sebelah sana ya, di bibir pantai. Mau main lempar batu he he... Ya, boleh ya? Gak sampai nyebur ke air kok...” Caren meminta ijin mamanya.
“Iya, tapi jangan jauh-jauh ya...  Mamah disini aja sama om Vico.” balas Grace membuat lega hati Caren yang langsung berlari kegirangan.

Grace mendekatiku yang sedang duduk di kursi coklat dari kayu yang nampaknya memang disediakan untuk pasangan muda mudi yang sering datang ke situ. Dia duduk di sebelahku.

Angin di pantai itu bertiup teduh menyapa kami. Langit sudah mulai memerah dan matahari tepat berada di depan kami ditemani awan-awan yang menggantung melukis sinarnya, silhouette itu nampak indah dengan adanya bias garis pantai yang menawarkan pesona biru laut. Suasana yang begitu nyaman.
Grace terus menatap pemandangan itu. Tak lama kemudian dia mulai berkata “Vico, semua yang kita lihat di depan sana itu adalah lukisan Tuhan. Dia sengaja melukiskan keindahan itu dan menunjukkan pada kita bukan tanpa tujuan.”

“Oh.. begitu ya? Menurutmu, apa yang ingin Dia sampaikan melalui lukisan itu?” balasku menimpali.
“Dia ingin kita menghayati. Menghayati semua yang ada ini dengan kesadaran penuh sebagai makhluk Tuhan, bahwa setelah apa yang kita lewati, semuanya akan selalu bermuara pada satu bentuk keindahan nyata. Seperti lukisan itu. Sekelumit realita kehidupan kemarin hanyalah cerminan sederhana fatamorgana lukisan alam ini. Segenggam cinta dari Tuhan ditampakkan-Nya pada kita melalui karya seni di depan itu. Kamu mengerti khan?”

“Iya Grace. Dia tahu betul bahwa kita, ciptaan-Nya selalu mendambakan keindahan. Sore ini aku beruntung ditampakkan 2 keagungan dan kecantikan ciptaan-Nya. Lukisan alam di depan itu, dan.... dan.... dan kamu....” aku mulai membuka diri.

Grace seketika mengalihkan pandangannya padaku. Dia menatapku dalam-dalam. Pandangan itu... adalah pandangan seriusnya yang pernah kulihat dulu ketika kita berdua masih sama-sama belia. Satu pandangan tajam yang menyiratkan seribu satu rasa berkecamuk di batinnya. 

Kusempurnakan kalimatku, “Pemandangan di depan itu memang indah Grace. Sangat indah. Namun keindahan itu tak mungkin berarti jika nggak ada kamu disini sekarang...”

Grace masih terdiam menatapku dalam-dalam, bibirnya sedikit bergerak-gerak, matanya memerah dan mulai berair. “Te... terima kasih Vico... Itu tadi adalah kata-kata termanis yang pernah kudengar dari seorang lelaki. Kamu seperti membuatku hidup kembali untuk tegar. Aku gak mampu lagi berkata-kata... Aku hanya ingin bilang kalau aku benar-benar senang kamu telah begitu baik selama ini...”

Dadaku bergetar hebat. Aku merasa kata-kata yang diucapkannya barusan adalah satu tanda kejujuran hati yang membangkitkan keberanian dalam diri ini untuk menyampaikan hasrat yang telah begitu lama kupendam.

“Grace... Grace... Jika kamu tak keberatan, aku ingin mengatakan sesuatu.“

Wanita di depanku itu, kembali menatapku tajam. Matanya yang sedikit sembab dikucek-kuceknya sedikit.
“Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Namun... pertemuan kita kali ini benar-benar berbeda. Kamu tahu khan, aku dulu mengidolakan kamu. Hanya saja, kita memiliki batas-batas kultural masa kecil yang membelenggu kita untuk bisa mengungkapkan ekspresi dengan bebas.” Senyum Grace mulai tersungging.


 “Maka kupikir, ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengungkapkan apa yang dulu selalu kurasakan tiap kali bertemu kamu.”
Grace mulai memperlihatkan wajah penasaran. “Apa itu Vico? Kamu bebas berbicara sekarang.”
“Aku... “
Aku mulai gugup.
”Aku...”
“A-ku-su-ka-ka-mu...” aku mengucapkannya dengan gaya anak-anak yang suka terbata-bata.
Senyum Grace tampak menghiasi wajah cantiknya dengan begitu sempurna. Senyum itu bisa jadi jawaban responsif dari pernyataanku tadi.

“Kamu nggak marah?” tanyaku menggoda Grace.
“Nggak... Kamu selalu lucu ya Vic. Dari kecil.... Sampai sekarang...”
Dahiku mengernyit mencoba mencari-cari makna tersirat dari kata-katanya itu.

“Kamu... Vico si pelaut. Yang selalu memperhatikanku dulu, yang suka banget naruh tangkai demi tangkai bunga mawar di laci mejaku, yang selalu membelaku saat aku disalahkan guru, yang selalu melihatku dari kejauhan saat aku menangis sendirian di bawah pohon, yang selalu menjengukku ketika aku sakit, yang tak pernah bosan menawariku boncengan sepeda ketika pulang, yang selalu memberiku ucapan selamat paling awal tiap kali hasil rapor dibagikan. Kamu... kamu yang selalu baik padaku walaupun aku selalu menolak kehadiranmu, kamu yang selalu baik dan perhatian walaupun aku sering berteriak ‘jangan ganggu aku’. Kamu tau kenapa Vic? Karena memang kita ditakdirkan untuk mengerti semuanya ketika kita telah sama-sama dewasa. Semua ini sudah benar. Gak ada yang salah. Kita baru bertemu kembali sekarang agar mampu mengerti. Mengerti bahwa memang ada cinta diantara kita Vico. Iya, ada cinta diantara kita.“
Aku kaget bukan main mendengarnya. Kata-katanya itu semuanya mengalir deras membajiri satu ruangan dalam kepalaku, mengisinya dengan pertanyaan-pertanyaan dan memori-memori lama yang terus menguatkan rasa itu. Rasa cinta, seperti yang didefinisikan Grace tadi. 

Aku memilih diam, menunggu kalimat Grace selanjutnya. 

“Melihat situasi kita yang sekarang ini, nampaknya kata cinta bukanlah pilihan kata yang tabu lagi Vico. Aku mengerti betul arti dan rasa yang muncul dari sebuah frasa bernama cinta. Dan aku merasakannya pertama kali setelah satu seduh coffee latte yang kita minum bersama di hotel malam itu. Semuanya muncul begitu saja Vico. Maafkan aku yang terlalu egois membuatmu menunggu selama ini.”
Aku tak tahan lagi, mataku memerah, air mataku mulai jatuh tetes demi tetes, aku tak bisa lagi mendustai diri sendiri. 

“Grace... Rasa itu sedari dulu sampai sekarang, masih tetap utuh tersimpan di hati ini. Namamu, wajahmu, semua kenangan-kenangan itu, selalu menemani kemanapun aku melangkah. Cintamu telah tersemaikan sejak lama dan menemaniku tumbuh. Ada getar di jiwa saat kumenatapmu jauh, kuyakini bahwa mata hatiku tak pernah salah. Aku berharap, dan terus berharap, sampai sekarang... Grace... Kini t’lah kuakui semuanya... Aku sayang kamu, aku cinta kamu... Apa adanya.... You’re all that I want... Aku ingin kamu ada untukku, aku ingin kamu dan Caren menjadi bagian dari hidupku... Hari ini, hari esok, kapanpun, selamanya...” 

Kupegang tangannya itu. Tangan kami saling menggenggam, jari jemari kami saling mencari sela, dan lalu bersatu, menyatu menyapu debu demi debu masa lalu yang sudah seperti abu yang terbenam lama di dalam jiwa ini. Kami berdua menangis bersama, sebuah tangis bahagia. 

Caren berjalan kearah kami, dia mendekat, dia bingung melihat kami begitu, lalu berlari memeluk mamanya. Kami bertiga saling berpegangan tangan, duduk bersama dikursi itu saling mengukir harapan-harapan baru, menatap jauh ke depan sana tempat dimana matahari mulai sedikit demi sedikit tenggelam. Semuanya begitu sempurna sore itu. Begitu indah, begitu damai, begitu penuh dengan cinta... Dan aku terhanyut didalamnya...

1 bulan kemudian...

Lorong di ruangan besar itu terasa begitu panjang. Lama sekali aku berjalan. Aku mempercepat langkahku, aku ingin segera bertemu Norman malam itu. Masih teringat jelas di kepalaku sms dari sahabatku itu satu jam lalu, “Vic, kamu cepat ke sini. Aku sekarang ada di Rumah Sakit Mataram. Ada sesuatu yang kamu harus tahu. Ini tentang Grace.... “ Pesan itu langsung kutanggapi dengan perilaku kejiwaan, dada sesak, nafas memburu, dan batin yang berkecamuk. Aku khawatir, karena beberapa hari terakhir aku hang out bersama Grace kulihat dia sering batuk-batuk dan muntah. Dia bilang sudah ke dokter tapi tetap saja masih kulihat dia begitu. Kali ini aku harus mendapatkan jawaban atas misteri sms itu. 

Sampai di depan ruang kasir, Norman menghentikan langkahku. “Vic... Jangan kaget ya. Grace semalem masuk IGD. Sakitnya kambuh lagi.”

“Sakit?” tanyaku kaget agak terpekik. “Ada yang kamu sembunyikan ya dariku selama ini?”
“Lho, Grace gak bilang ke kamu?”

“Nggak pernah kok. Everything seemed to be fine semenjak kami bersama.”
Norman menghela nafas panjang. Bagaimanapun, aku sudah siap.

“Vico my friend, kamu masih inget khan waktu kecil dulu Grace sering sakit-sakitan?” aku mengangguk.
Norman mulai bicara, “Dia menderita kanker.”

Bagai tersambar petir, badanku langsung lemas. Persendian dan tulangku seperti mati rasa. Ada sesuatu dalam batinku yang tak kuasa menerima kenyataan ini.

“Di mana dia sekarang Norm?” tanyaku kemudian setelah mulai bisa mengatur nafas.
“Dia masih di IGD. Dia belum sadar. Ayo kuantar menemui ibunya. Beliau dan beberapa kerabat sudah sedari tadi menunggu di sana.”

Tanpa banyak kata aku langsung berjalan mengikuti Norman dari belakang. Kulihat ibu Grace dengan matanya yang sedikit sembab melihat ke arah kami. Caren langsung berlari dan memelukku. Dia masih menangis sesenggukan. “Om Vico!!”. Kugendong dia sembari tetap berjalan ke arah omanya.

“Vico, Grace masuk IGD sejak semalam. Maaf kami tidak memberitahukanmu. Saya takut membuatmu khawatir.” Kata ibu Grace langsung setelah aku berdiri dihadapannya.
“Tante, sudah kewajiban saya untuk tahu. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Dia masih belum sadar Vic. Saya sudah gak ada harapan. Kemarin dia terus menyebut namamu sebelumnya akhirnya dia tak sadarkan diri.”

“Ya Allaah...” mataku mulai berair sekarang, aku masih kesulitan mencerna semuanya.
Kuturunkan Caren dari gendonganku.

“Vico, saya ingin bicara. Di sebelah sana ya.” Kata ibu Grace sembari menunjuk sebuah kursi panjang di sebelah kiri kami.
“Mari tante...” sahutku cepat.
Aku berjalan mengikuti ibu Grace dari belakang hingga akhirnya duduk di kursi itu.

“Aku ingin tanya sesuatu ke kamu. Kamu benar mencintai anak saya?”
“Dengan segenap jiwa raga saya bu.” Jawabku mantap.
“Ada yang ingin saya sampaikan. Grace mengidap kanker. Gejalanya sudah muncul sejak kecil. Tapi karena penanganan kami yang kurang tanggap, maka penyakit itu justru menjadi-jadi. Apalagi semenjak dia tinggal berdua dengan Caren. Tidak banyak yang kami lakukan. Dia selalu bilang dia baik-baik saja. Saya gak sangka akan separah ini. Kamu tau khan, dia pernah depresi berat setelah kasusnya waktu SMA dulu. Semenjak itu saya lebih sering bertemu Caren ketimbang mamanya. Saya pikir kamu harus tahu ini.”
“Iya tante...”
“Tadi sore dokter yang menangani Grace menemui saya dan bilang bahwa.... Bahwa kemungkinan Grace bisa pulih kembali sangatlah kecil. Sudah terlalu lama penyakit itu dibiarkannya tanpa pernah kontrol sekalipun. Saya merasa gagal menjadi ibu Vico. Saya senang ketika mendengar dia berhubungan denganmu. Saya memiliki harapan besar padamu. Tapi tidak disangka justru akan menjadi seperti ini.”

Tangis ibu Grace semakin menjadi. Entah sudah berapa tisu yang dibuangnya ke tempat sampah di bawah itu. Aku masih diam terpaku seperti tidak percaya dengan apa yang kudengar. Grace...

“Tante, apapun yang terjadi. Saya sudah berniat untuk selamanya mencintai Grace. Dia adalah alasan kenapa saya tetap disini. Apapun itu, saya sudah siap bu.”
 “Kondisi Grace semakin lemah dan terus melemah itulah kenapa mereka tidak berani melakukan operasi. Dokter menyatakan bahwa saat ini Grace hidupnya sudah tergantung alat. Itupun kalo dia beruntung. Saya sudah tidak tahu harus bagaimana lagi Vico. Aku tahu beberapa minggu terakhir ini Grace sering keluar denganmu. Dia sering cerita bahwa hidupnya telah begitu berarti semenjak ada kamu. Dia... dia belum pernah kulihat sebahagia itu Vic... saya ... saya semakin takut...” suara Ibu Grace semakin bergetar. Namun akulah yang sebetulnya paling gemetar. Terlalu banyak ketakutan yang mulai memenuhi benakku kini.
Norman tiba-tiba berteriak dari samping. “Vic!! Grace sudah sadar!!”

Tanpa dikomando, hampir berbarengan aku dan Ibu Grace langsung berdiri cepat berjalan menuju ruangan yang dimaksud. 

Grace terbaring lemah di tempat tidur itu. Banyak sekali selang yang saling menjulur terpasang di tubuhnya. Dia langsung menyadari kehadiran kami. Caren dan omanya langsung menghampiri Grace dan duduk disampingnya. Aku berjalan mendekati. Mata Grace langsung bertumpu padaku sesaat setelah aku berdiri disebelahnya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya agar bisa kudengar suaranya yang lemah. 
“Vico...” lemah sekali suaranya.
Kugenggam jemarinya. Kukecup keningnya... 

“Grace... Semuanya akan baik-baik saja. Kamu yang tenang ya... Saya akan selalu disini menemanimu...”. Dia tersenyum kecil.
Dia berkata lagi pelan, “Maaf aku tidak bilang ke kamu tentang sakitku.”
“Tolong sayang, jangan ucapkan kata maaf lagi. Yang penting kita bersama, itu saja...”
Dia tersenyum... Manis sekali...

Norman berdiri dibelakangku dan tersenyum pada Grace. Caren dan omanya ada di sisi satunya.
Grace tampak senang ditemani kami semua. 

Sejak malam itu hari-hari kuhabiskan di ruangan itu. Aku terus menjaga Grace, aku hibur dia dengan banyak hal. Bercengkrama, mendongeng, menyuapinya, hingga bernyanyi. Kadang-kadang kuusapi pula bulir-bulir keringat yang jatuh menetes, ketika dia terlelap dalam tidurnya. Semua itu kulakukan agar dia terus terjaga, merasa nyaman, kudengarkan semua kata demi kata yang disampaikannya. Cinta ini semakin kuat dan kami sudah seperti Adam dan Hawa yang dipertemukan kembali setelah sekian lama terpisah.

Ini sudah hari ke tujuh dan belum ada perkembangan dari kondisi Grace. Wanita yang kini menjadi satu-satunya cintaku ini sedang tidur terlelap. Aku terus memandanginya dengan seribu satu pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku. 

Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku dari belakang.

“Maaf mas... Bisa kita bicara sebentar?”
Ternyata dia dokter Anton yang selama ini merawat dan mengikuti progress  Grace.
“Oh... I... iya pak tentu saja...” sahutku cepat.
“Mari...” dokter Anton mempersilahkanku berjalan mengikuti dari belakang. Kami berjalan menuju kantornya.
Kami duduk berhadap-hadapan di meja kantornya.
 
“Begini mas... Ada yang harus segera saya sampaikan.”
Aku mencondongkan wajahku ke depan sembari mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang kira-kira akan dibicarakan. Kucoba menghilangkan pikiran-pikiran lain yang menggangguku sejak kemarin dan mencoba untuk fokus. 

“Nona Grace ini sudah berada pada titik kulminasi.”
“Maksudnya?” tanyaku langsung.
“Kami sudah mencoba semuanya. Anda tau juga khan kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk dioperasi. Tolong tegarkan diri anda ya... Usia nona Grace mungkin tidak akan lama lagi. Saya mohon maaf harus mengatakan ini...”
“Hah!!” mataku terbelalak seperti tidak percaya dengan apa yang kudengar. Ribuan petir seperti menyambarku silih berganti. Batinku bergejolak tak karuan.

Aku geleng-geleng kepala. Mencoba menolak pernyataan itu.

“Tidak mungkin dokter. Pasti masih ada yang bisa dilakukan!” aku sedikit membentak.
“Maaf mas, tapi saya dan tim sudah berusaha yang terbaik, semaksimal kami. Semuanya sekarang tinggal tergantung Yang di Atas mas. Sekali lagi maaf... “ kata dokter Anton menutup pembicaraan.
Aku masih terduduk kaku di kursi itu, mulutku menganga, tanganku gemetar. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini semua pada ibunya nanti. Belum lagi Caren...

Aku beranjak pergi dari hadapan dokter Anton setelah beberapa kali dia menepuk-nepuk pundakku dan berusaha membuatku tenang. Aku berjalan keluar ruangan dan mengambil satu sudut di lorong kecil itu. Kuambil ponselku. Kutelpon semua orang. Norman, ibu Grace, dan 2 karyawannya yang selama ini setia menunggui usahanya di kota sana. 

Tidak lama kemudian mereka semua datang. Kami semua langsung lemas dan menangis sedih setelah kuceritakan apa yang disampaikan dokter Anton tadi. 

Hari itu kami semua berkumpul. Semua terus berdoa, ada yang mengaji, berdzikir, ada yang terus memanggil-manggil ‘mama... mama... Caren sayang mama...’ pemandangan itu begitu menyiksa diriku. Kesedihan hebat tengah melandaku. Aku duduk di samping bed Grace. Kupegang terus tangannya sambil kuusap-usap keningnya. Dia sering bilang ‘aku gak kuat... aku gak kuat Vico...’
Aku terus bilang bahwa dia akan baik-baik saja. Aku terus memberinya semangat untuk memotivasi dia.
Dia berkata lagi dengan sangat pelan. Suaranya benar-benar melemah, selemah kondisinya saat ini. 

“Aku akan meninggal khan Vic?”
“Tidak, sayang... Jangan berkata seperti itu” ujarku meredam.
Dia menggeleng pelan. “Jangan berpura-pura lagi...”
Aku diam saja. Semuanya serba dilematis. Aku tak mungkin berbohong terus. Ini adalah realita yang sebenarnya sudah dia sadari.
Semua orang yang berdiri di ruangan itu langsung mendekat. Mencoba untuk mendengar apa yang akan diucapkan oleh Grace.  
“Kamu sayang aku Vic?” ucapnya lembut.

Kupegang wajahnya, “Sayang. Sayaaannggg banget Grace...”ucapku lembut dan sepenuh hati.
  “Aku ingin minta sesuatu.”
“Apa permintaanmu Grace? Katakan saja..”
“Vico sayang, aku belum pernah menikah. Aku ingin sekali menikah... Bisakah kita...?”
Aku menangis, dan terus menangis. “Kita akan menikah Grace. Hari ini kita menikah...”. Caren menangis sesenggukan di pelukan omanya. 
Aku sadar betul itu adalah permintaan terakhir Grace yang bagaimanapun juga harus kupenuhi, dengan setulus hati dan segenap jiwa raga.

Aku berjalan mendekati Norman. 

“Norm, tolong persiapkan segalanya. Panggil orang KUA ke sini, segera siapkan pula gaun pernikahan terbaik, cincin terbaik, fotografer terbaik. Aku akan menikah. Berikan saja tagihannya padaku semua nanti. Kamu tau khan, aku memang berencana akan menikahi Grace. Tapi tidak dengan cara begini.”

“Aku tahu Vico. Kamu telah begitu bijak mengabulkan permintaan Grace ini. Kamu benar-benar lelaki...”
“Aku sadar sepenuhnya Norman. Aku tidak ada pilihan lagi. Tolong ya...”

“Iya Vic. Tunggu ya, aku berangkat sekarang. Akan kupersiapkan semuanya...”

Hari itu, sejarah baru babak hidupku telah dimulai. Semuanya begitu cepat terjadi. 

Grace terlihat begitu cantik dengan gaun pernikahan putih itu. Orang KUA sedikit tidak percaya dengan pernikahan itu. Kulihat semua orang yang ada diruangan itu menangis ketika akad nikah dimulai. Grace masih dengan posisi terbaring ketika ijab qabul dilaksanakan. Hatiku begitu bergetar ketika mengucapkannya. Grace tersenyum bahagia melihatku meminangnya seperti itu. Kami resmi menjadi suami istri hari itu juga. Cinta sejatiku, idaman hatiku, aku telah menjadi suami sahnya sekarang.  

Kugenggam tangannya erat, kupeluk dia, kukecup keningnya, dan berkata “Sayangku, kamu istriku sekarang. Aku akan selamanya mencintaimu, apapun yang terjadi. Caren anak kita, akupun akan menyayangi dan mencintainya sebagaimana aku mencintaimu Grace.”

“Vico sayang, aku tidak pernah sebahagia ini selama hidupku. Kamu telah menjadi pecinta hatiku tanpa syarat apapun, kamulah lelaki yang memang ditakdirkan untuk bertemu dan hidup denganku. I have put my trust in you. Dan aku sadar kamulah penerang jiwaku dalam gelap. Maka, tolong maafkan aku yah... Kita menikah dengan cara seperti ini.”

“Tidak Grace, aku bahagia. Bahagia sekali... Aku benar-benar bersyukur akhirnya bersanding denganmu. Bulan di atas sana tengah tersenyum menyaksikan kisah cinta kita berakhir bahagia. Aku akan mencintaimu sepenuh hati sayang. Love you babe...

I love you too...” balas Grace.  
Kulihat Caren yang berdiri sedikit berjarak dari kami. Kupandangi dia. Kupanggil dia, “Caren sayang, sini dong.”
Caren mendekat. Kukatakan padanya, “Mulai sekarang jangan panggil om lagi ya. Panggil papa. Kita keluarga sekarang.”

Caren tersenyum, dia berkata “Pa... Papa...” aku yakin sudah lama sekali dia ingin mengucapkan kata itu, kami bertiga berpelukan bahagia. 

“Oke all! Now it’s time for photo session!” suara tinggi Norman sedikit mengejutkan kami. Nampaknya dia tidak ingin kehilangan momen-momen bahagia itu. Diam-diam aku salut padanya. Dari mulai mengundang KUA, memberi mereka pengertian, mempersiapkan uborampe, sampai menjadi waliku, semuanya diselesaikannya hanya dalam hitungan jam. 

Kami semua berfoto bersama. Dengan segala jenis gaya dan posisi. Grace sendiri, walaupun masih dengan posisi terbaring di tempatnya dan dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, masih mampu memberikan senyum terindahnya dan begitu tulus. Aku benar-benar merasakan anugrah terindah-Nya hari itu. 

Kami semua terlena dalam pesta kecil di ruangan itu hingga tidak lama kemudian, Grace mulai batuk-batuk, dia mengeluarkan darah dari hidungnya, dan terus mengalir. Dia melihatku... Aku masih memeganginya ketika tiba-tiba dia pingsan. Kami semua shock dan panik dengan kejadian itu. Kami tengah berbahagia, tapi kenapa cepat sekali waktu berlalu. Grace kembali pingsan and this time she got it worse.
 
Ruangan itu kembali sesak dan penuh ketika tiba-tiba banyak sekali perawat yang masuk, dokter Anton langsung menangani Grace. Kami semua keluar dengan harapan masih ada kesempatan kedua bagi Grace. Kami terus berdoa dan berdoa. Ibu Grace tampak sibuk menenangkan Caren yang masih tampak shock dan kadang-kadang berteriak kecil memanggil-manggil mamanya. Beberapa orang kerabat berada di ujung lorong tidak jauh dari ruangan sembari berkumpul melingkar dan membaca doa-doa. Suasana kembali menegang. Aku menggelosorkan tubuhku di dinding sebelah pintu, kupegang dadaku yang rasanya ingin meletus. Jantungku berdegup begitu kencang, kepalaku mulai pening dan mataku mulai sedikit berkunang, kakiku lunglai, begitu lemas. Hati dan kepalaku begitu kalut saat ini walaupun hanya untuk sekedar berfikir sedikit jernih. Hanya Norman yang kadang mondar mandir sembari sesekali melongok di kaca pintu ruangan. Namun ada satu kesamaan dari kami semua, tidak ada sepatah katapun yang keluar. Kami semua terlalu takut untuk berkata-kata, takut salah ucap. Semuanya benar-benar tengah diliputi kecemasan hebat. 

Tidak lama kemudian, dokter Anton membuka pintu dari dalam. Aku dengan cepat menghampirinya paling depan. Wajahnya begitu murung.

“Saudara-saudara... Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Nona Grace sudah pergi.... Saya dan seluruh pegawai disini turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Yang tegar ya...”
Aku langsung berlari ke dalam menjemput Grace yang telah dinyatakan meninggal. Aku masih tidak percaya dengan semua ini. 

Kuhampiri Grace yang terbaring. Tubuhnya terkulai lemas, begitu lemas. Dia benar-benar telah tiada. Tapi senyum itu ... Dia masih tersenyum, mencoba menunjukkan padaku, dan pada kami semua, bahwa dia tengah berbahagia, bahkan ketika ajal menjemputnya. 

Aku menangis sejadinya, kusebut nama Grace berkali-kali kadang-kadang sambil menjerit. Kupeluk erat tubuh bergaun pengantin yang mulai kehilangan kehangatannya itu. Kuciumi wajahnya, kuungkapkan seluruh perasaan cintaku. Aku benar-benar merasa kehilangan. Baru saja kami melewati hari bahagia kami, namun begitu cepat pula Tuhan menjemputnya. Bila ini memang yang terbaik buat Grace, maka aku relakan kepergiannya. Kami semua berduka, betul-betul berduka.

2 minggu berlalu...
Aku masih berdiri di depan batu nisan itu. Entah sudah berapa ratus kata yang kuungkapkan dan kucurahkan disana. Walaupun kebersamaan itu hanya berlangsung sebentar, namun aku bersyukur aku masih memiliki Caren. Cintaku begitu besar padanya. Dia sepenuhnya putriku sekarang, dan apapun akan kulakukan untuk membuatnya menjadi wanita yang sempurna kelak, as perfect as her mom.

Angin di pemakaman itu sedikit bertiup menyapaku sesaat setelah aku hendak berdiri dan meninggalkan lokasi itu. Aku seperti merasakan kehadiran seseorang. 

“Grace, jika memang itu kamu. Janganlah khawatir. Aku akan jaga Caren seperti ketika kamu menjaganya, aku akan mencintainya dengan segenap jiwa ragaku, akan kurawat Caren hingga akhir hayatku. Setiap hari akan kuajak dia berdoa bersama untukmu, akan kusebut namamu tiap malam menjelang, akan kunyanyikan lagu cinta untukmu tiap bulan bersinar cerah dan bintang-bintangnya bertaburan di langit, sesekali akan kujenguk makammu ini. Aku akan merayakan hari pernikahan kita lengkap dengan kado hari jadinya tiap kali saatnya tiba. Kamu tenanglah disana, bahagialah karena cinta kita bersemi selamanya, karena kita satu. Sayang, engkaulah terang yang kudekap dalam gelap saat bumi bersiap diri untuk selamanya lelap. Namamu akan selalu ada dalam setiap langkahku Grace. Aku pamit.” 

Berat sekali langkah ini rasanya. Ketika aku berbalik membelakangi nisan itu dan berjalan menjauh, aku telah bertekad akan membesarkan keluarga kecilku bersama Caren. Aku akan membuatnya bahagia dan tak akan membiarkan seorangpun menyayatkan luka padanya. And I’ve promised on this with all of my strength. 

Besok, aku akan pulang kembali ke Surabaya. Meninggalkan semua kenangan indah bersama Grace, istriku. Aku akan pulang, bertemu keluarga dan teman-teman yang menyambutku datang bersama Caren. Putriku dan Grace. Aku tak sabar ingin bercerita banyak pada mereka. 

Sampai di depan pintu gerbang makam, aku kembali menengok ke belakang. Nisan Grace terlihat begitu kecil dari situ. Aku tersenyum... Kemudian melambaikan tanganku ke arahnya. “I love you Grace, and I will always do...”

Selesai.

Surabaya, 11 Agustus 2014
Untuk semua kenangan indah 
yang pernah ada di Selong, Lombok Timur, 
atas nama cinta....

   Edwin Mclean


  

 

0 komentar: