Pages

Sabtu, 06 Desember 2014

Seuntai Nada Buat Vee

Matahari masih tampak mengintip di balik serangkaian awan. Sinarnya menyelinap dari balik dedaunan. Menyisir setiap apa yang lewat di jalan itu. Sebuah jalan besar satu arah yang membawa orang-orang menuju sebuah bangunan megah dengan tulisan besar, “Universitas Ciputra”.

Di pintu masuk itu banyak mahasiswa yang lalu lalang. Beberapa tampak sedikit terburu-terburu. Ada juga sepasang mahasiswa yang tengah berjalan santai bersama bergandengan tangan sembari tertawa-tawa ringan. Di kawasan akademis yang menjulang tinggi itu, sebuah bangunan yang tampak sedikit lebih ‘mewah’ berdiri tegak di tengahnya. “Fakultas Magister Manajemen”. Seorang gadis tampak berjalan sedikit terburu-buru menuju koridor kampus. Rambutnya tergerai lurus sepinggang. Mengenakan T-Shirt dan blue-jeans sambil menenteng tas kecil di pundak kirinya. Kaca matanya tipis memberikan kesan smart yang akan membuat siapapun meliriknya.


Sebuah suara memanggilnya tepat ketika ia mulai menaiki tangga kecil menuju kelas.
“Vee... Vee... Tunggu!”
Gadis itu berbalik mendengar sebuah suara memanggilnya. Wajahnya sedikit tirus dengan bola mata yang sedikit menyipit. Hidungnya mancung dan bibir tipisnya tersungging melihat siapa yang memanggilnya. “Rafa...” ucapnya pelan dengan nada suara yang begitu manis.
“Sorry....  Ini buku yang kemarin lalu aku pinjam...” ujar cowok itu dengan nada bicara yang sedikit tersengal-sengal seperti habis berlari.

“Oh ... Ok. Kamu beneran udah selesai bacanya?” tanya Vee.
“Iya. Udah kok. Partikel emang luar biasa. Aku udah gak sabar nunggu sekuel setelahnya. Gelombang.”
“Iya ... Kita tunggu aja yah... By the way, aku agak buru-buru nih. Kelasnya Prof. Sidharta udah mau mulai. Sampai nanti ya... “ ujar Vee sembari tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan Rafa.
“Terima kasih ya Vee. Iya... Sampai nanti.”
Rafa masih menoleh ke belakang saat Vee membuka pintu ruang kelasnya. Dari kejauhan ia masih terus menatap gadis cantik itu bahkan ketika pintu sudah tertutup. Cowok kece itu tersenyum simpul sembari berujar sesuatu “Vee... Itu namamu khan? Semoga ... ” kemudian melangkah kecil meninggalkan koridor itu.

Suasana kantin mahasiswa itu nampak semakin ramai saja walau jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Masih banyak dari mereka yang nongkrong dan berbincang-bincang disana. Kantin Universitas itu sudah menjadi tempat favorit bagi para mahasiswa terutama mereka yang hobi camilan dan ngopi di waktu petang. Tidak sedikit pula kuliner khas Surabaya yang ditawarkan di situ.
Diantara sekerumunan mahasiswa itu, seorang gadis tampak sedang berbincang-bincang akrab dengan seorang teman ceweknya. Dua gelas jus dan sepiring kentang goreng menemani mereka.
“Terus terang aku masih bingung Vee... Tentang materi yang disampaikan Prof. Sidharta tadi, kayaknya aku mulai stuck deh. Bagaimana bisa akumulasi penyusutan justru menambah kemungkinan terjadinya inflasi cash-flow perusahaan?”
“Sebenarnya bukan stuck Nin... Itu karena kamu belum pernah menemukan satu kasus semacam itu di perusahaan tempatmu bekerja. Sebagai seorang akuntan, seharusnya kamu lebih peka dong dengan hal-hal kayak gitu.” Sahut Vee.
“Seharusnya sih gitu. Tapi kamu khan tau sendiri, aku hanya bekerja mengikuti SOP yang berlaku. Untuk analisis proses kan sudah ditangani sama tim audit. Jadi ya, aku gak pernah tau bagaimana sejatinya semua perhitungan itu bermuara.”

 “Oke aku ngerti kok. Tapi aku yakin, dengan adanya rasa penasaran yang kamu miliki itu, kamu bakalan ngerti dalem-dalemnya teori Keseimbangan Akumulatif yang dijelaskan Prof. Sidharta. Karena kamu selain belajar, juga praktek. Gak kayak aku Nin, yang jelas-jelas beda jauh dari aktivitas itu. Aku masih sulit mengimplementasikan apa yang kudapat dari sini di dalam pekerjaanku.”
Nindi tampak mulai serius mendengarkan.
Vee lalu melanjutkan, “Sebagai seorang guru, aku hanya harus bagus dalam mengajar dan aktif dalam proses akademik. Di tataran manajemen, yayasan sudah memegang penuh kendalinya. Jadi ya gak ada ruang bagiku untuk istilahnya, “berekspresi”, dan mencoba teori-teori yang kudapat disini. But I enjoy it kok he...”
“Oke deh Vee... Eh ngomong-ngomong, siapa itu namanya? Cowok yang minggu lalu nyamperin kita di perpustakaan itu? Yang tinggi keren itu lho...”
“Yang mana sih?” tanya Vee sembari mengernyitkan dahi.
“Halah ... Yang itu lho, pas dia tiba-tiba nyerocos gak jelas bicara ngalor ngidul tentang isi novelnya Dewi Lestari yang Atom terus kamu tanggepin yang terus aku bengong gak tau apa-apa itu lhoh...?”
“Owalah, maksudmu Rafa?”
“Iya iya itu... Siapa tadi?”
“Rafa, Nin. Rafael namanya...”
“Iya betul itu. Kok gak pernah keliatan lagi ya... Apa karena kita yang jarang ke perpust ya?”
“Aku tadi ketemu.”
“Hah! Serius?” Nindi bertanya sedikit terpekik.
Vee mengangguk. “Dia ngembaliin buku yang kupinjemin waktu itu. Kamu masih inget khan waktu dia bilang gak mungkin ada cewek yang begitu nerdy dengan mengoleksi karya-karya fiksi Dewi Lestari. Lalu dia kelabakan pas kuliatin novel Partikel dari tas waktu itu.”
“Oh iya iya... Aku inget. Iya ya, yang dia langsung minta ijin pinjem itu kan?”
“Iya he he..”
Mereka berdua tertawa lepas merasa menang dari lelaki.

“Eh Vee dia itu, mahasiswa jurusan apa ya, kamu inget gak pas dia kenalan dulu itu?”
“Kalo gak salah sih dia pernah nyebut kalo dia dari Magister Manajemen Psikologi.”
“Oh... Keren juga ya. Masih jomblo gak ya dia? He he ...”
“Owalah Nin... Jadi ceritanya kamu naksir dia nih? Hahaha...”
“Gak tau deh ... “ balas Nindi senyum-senyum sendiri.
“Kayaknya dia baik kok Nin. Aku dukung deh kalo gitu. He ... “ujar Vee sembari tersenyum simpul.
“Eh tapi belum tentu juga lho Vee. Ada yang bilang cowok itu rajanya akting. Kadang mereka bisa begitu baik sama kita, tapi gak jarang juga lho yang tiba-tiba berubah jadi buas dan nyakitin hati kita.”
Vee langsung menyahut, “Itulah kenapa, ada yang mengatakan, jika kamu cewek, maka jadiah singa betina. Agar serigala-serigala lapar itu akan berfikir berulang kali untuk menyerang.”
“Betul juga kamu Vee. Kamu tau khan terakhir kali aku putus sama Nico. Gara-gara aku yang terlalu lembek dan memanjakan dia, aku jadi harus merasakan sakit hati waktu ngeliat dia jalan sama cewek lain yang menurutku nggak lebih cantik dari aku.” papar Nindi.
“Ya itu salah satunya Nin. Ketika kita telah memposisikan diri sebagai seseorang yang prinsipil dan berkomitmen, ya harus tegas pula kita menjaganya. Salah satunya ya itu, kita harus berani galak dan judes sama cowok. Kita ini seperti sudah ditakdirkan untuk selalu bilang tidak sama cowok. Nah, sudah takdir pula para cowok ini selalu merasa tertantang dan ingin terus berjuang untuk membuat si cewek ini bilang iya.”

“Iya Vee. I got it.”
“Yang sabar ya Nin. Masih ada juga kok cowok baik di luar sana. I mean, cowok yang betul=betul baik dan bisa ngertiin kita para cewek, luar dalam.”
Nindy kembali tersenyum, “Feelingku sih mengatakan, mungkin si Rafa ini... Hahahaha...”
Mereka berdua kembali tertawa lepas. Kali ini lebih keras, seolah tak lagi peduli dengan orang-orang di sekitar.
“Kalo memang ditakdirkan begitu, aku juga ada feeling, bahwa besok kita bakal ketemu lagi sama dia.” Vee mulai bercakap kembali.
“O ya...?” mata Nindi berbinar-binar.
“Aku dengar, si Rafa ini jago maen piano. Dan kalo gak salah, dari brosur pesta musik kampus yang kulihat tadi, dia bakalan ikut perform juga disana. Ada namanya kok disana. Di situ tertulis, Special Performance: Rafael Antonio. Dan ada fotonya juga disitu.”
Oh my... He’s so cccuutteeee... A pianist? Perfect banget ya dia Vee...? Yaudah kita besok dateng ya Vee, dateng ya, plizzz...”
“Kalo ini sih bukan ditakdirkan lagi namanya. Tapi ngarep... Iya wis, besok kutemenin. Demi kamu Nin, demi kamu....” wajah Vee mulai cemberut.
“Makasih ya Vee... Makkaassiih banget udah mau malam mingguan bareng aku besok. Kamu emang temenku yang paling buaek, cuanteek, semuart, pokoknya semuanya deh he he...”
“Aku gak butuh pujianmu Nin. Aku butuh dibeliin Donuts J-Co sama Black Mocca nya pak Ipul aja besok.” Kata Vee sambil tetap memalingkan wajahnya yang dilipat.
“Oke deh. Deal!”
“Oke, deal!”

Suasana hall gedung utama kampus terlihat begitu ramai dengan kerumunan penonton yang ingin menyaksikan konser tahunan bertajuk Pesta Musik Kampus itu. Satu demi satu band-band dan performer saling unjuk kebolehan di square stage berukuran 10x6 meter itu. Orang-orang mulai turut bernyanyi ketika salah satu band pengisi membawakan lagu-lagu Maliq D’ Essentials. Satu bentuk antusiasme yang luar biasa.
Diantara kerumunan itu, berdiri 2 cewek cantik yang turut mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama groovy yang dimainkan. Mereka adalah Nindi dan Vee.
“Keren banget ya Vee” kata Nindi berapresiasi.
“Iya Nin. Aku juga suka kok lagu-lagunya Maliq. Liriknya dalem dan musiknya oke punya. Semoga nanti mereka membawakan Taman Sriwedari.” Vee menimpali.
Harapan Veepun terkabul. Taman Sriwedari dimainkan dan suasana terasa begitu riuh ketika suara penonton dengan kompak menyanyikan lagu itu bersama-sama. Mereka terlihat begitu lekat dengan lagu hits terbaru Maliq tersebut. Vee dan Nindi tampak begitu menikmati. Kadang mereka ikut bernyanyi dan bergoyang.
Suasana berubah ketika band tersebut turun lalu MC menyebut nama seorang soloist yang sebentar lagi akan naik ke stage dan unjuk kebolehan. Rafael Antonio.
“Ini dia Vee, ini dia!” jerit Nindi.
Vee hanya geleng-geleng kepala melihat teman satu kelasnya itu lompat-lompat kegirangan.
Tidak lama kemudian Rafa muncul dia atas panggung. Cowok berkacamata itu mengenakan hem kotak-kotak lengan panjang bercelana jeans bersepatu ket. Setelah menata sedikit letak piano uprightnya, iapun mulai menyapa pengunjung.

“Musik adalah bahasa universal. As a part of nature, dia sudah indah secara alamiah. Maka mari kita berapresiasi. Style yang saya mainkan nanti, mungkin agak sedikit berbeda. Bagi saya musik klasik adalah harmoni yang selalu membuat saya menggali inspirasi-inspirasi. Semoga anda terhibur.”
Rafa menutup prolognya dengan disertai tepuk tangan para penonton. Dan tentu saja Nindi yang paling keras tepuk tangannya.

Penonton nampak begitu hikmat mendengarkan ketika Rafa mulai memainkan jari-jarinya membawakan komposisi-komposisi klasik karya maestro-maestro besar seperti Mozart, Monteverdi, dan tentu sang legenda Beethoven. Nada demi nada melantun apik dari tangannya. Satu penampilan yang betul-betul memikat, terutama bagi Nindi. Diam-diam Vee mulai menyadari bahwa lelaki yang tengah diidolakan temannya itu mulai menarik perhatiannya.
Lagu terakhir dimainkan dengan begitu apik oleh Rafa. Kecepatan dan ketepatan nada-nada yang dihasilkan begitu akurat, sehingga menarik decak kagum orang-orang yang hadir. Begitu klimaks. Tepuk tangan panjang terdengar membahana memenuhi seisi ruangan setelah Rafa berdiri dan membungkukkan badannya berpamitan pada para penonton. Tak lama kemudian ia turun dan memasuki ruangan kecil di belakang panggung.

“Eh Vee, ayo kita ke sana. Kita sapa dia.” Tukas Nindi.
Belum sempat Vee membalas, tangannya sudah ditarik langsung oleh sahabat karibnya itu.
Dengan sedikit tergopoh-gopoh mereka berjalan begitu cepat menuju ruangan khusus performer itu.
“Tunggu tunggu. Kalian mau bertemu siapa?” kata seorang laki-laki tinggi besar yang nampaknya salah satu panitia yang bertugas menjaga pintu masuk ruangan itu.
“Ng.. ngg.. kami temannya Rafa. Kami mau bertemu sebentar.” kelakar Nindi.
“Maaf ini ruangan khusus pengisi acara, orang luar dilarang masuk.” Tegas lelaki bertubuh atletis  itu.
“Plizz mas. Cuman sebentar tok kok. Sebentaaarr aja...” ujar Nindi memelas.
“Iya deh mas, sebentar aja kok. Teman saya ini ada hal penting yang harus disampaikan ke Rafa. Gak sampai 10 menit kok. Bentar aja deh...” Vee membantu Nindi beralasan.
“Mm 10 menit? Oke, tapi 10 menit beneran ya, setelah itu saya akan sterilkan lagi ruangan ini.” Lelaki itu memberi peringatan.
“Terima kasih mas.” kata Vee hampir berbarengan dengan Nindi.
 Mereka masuk ke ruangan itu, terlihat beberapa personil band dan penampil acara duduk-duduk santai sembari ngobrol menunjukkan keakraban sesama musisi. Mata Nindi mencoba mencari-cari di mana Rafa.
“Itu dia Nin.” Jari Vee menunjuk ke arah sudut ruangan dimana Rafa duduk-duduk santai menatap jendela luar.
Rafa masih belum menyadari kehadiran mereka ketika akhirnya Nindi menyapanya. “Rafa...” sapa Nindi.

Rafa menoleh ke belakang. Dilihatnya Vee dan Nindi dengan ekspresi kaget.
“Lhoh... Kalian juga datang ya?” ujar lelaki manis berlesung pipit itu.
“Iya fa... Kami kebetulan dateng dan surprise banget liat maenmu yang keren tadi. Gak kusangka kamu seorang pianis.” Nindi langsung melayangkan pujiannya.
Rafa tersenyum lebar sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ah biasa aja kalee... Aku emang suka sama piano sejak kecil. Jadi ya udah kayak pacarku aja dia hahaha...” sahut Rafa.
“Aku suka yang Minuet tadi fa. Suasananya dramatis banget. Kayak lagi nonton film seri romantis gitu he he...” Vee turut menunjukkan simpatinya.
“Oh tau juga ya Minuet kamu Vee?” tanya Rafa.
“Ya dikit-dikit tau lah. Musik klasik kan sudah jadi keharusan ketika kita belajar musik di masa sekolah dulu.” sahut Vee.
“Eh Rafa... Kamu sibuk nggak? Kita hangout yuk.” ajak Nindi tanpa basa basi memotong topik.
Vee tampak sedikit kikuk mendengar temannya itu langsung menawarkan kopi darat. Baginya, itu sedikit berlebihan untuk sebuah awalan.
Dengan sedikit canggung, Rafa menjawab, “Mmm... Beneran nih? Sibuk sih nggak. Tapi apa nggak takut pulang kemaleman nanti kalian?”
 “Ini akan malam minggu fa. Selalu ada pengecualian untuk siapapun yang merayakan Sat-Nite khan?” Nindi masih saja mengejar.
“Nin, masih ada lain waktu kok. Mungkin Rafa capek habis perform tadi. Kamu ngertiin dia dong?” rayu Vee mencoba membaca situasi.
Dengan sedikit cemberut, Nindi menoleh ke arah Vee seolah mengatakan ‘kamu kok gitu sih, ga dukung aku?’
 “Oh nggak nggak, aku fit kok he he... Ok, boleh deh kita ngopi. Di Han’s Coffee belakang kampus cocok deh kayaknya.” ujar Rafa mencairkan suasana.
Wajah cemberut Nindi berubah seketika.
“Oke, kita ketemu di Han’s 20 menit lagi ya.” tukas Nindi riang.
Vee hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum simpul.
“Seepp...” balas Rafa.

Suasana di Han’s Coffee cukup ramai malam itu. Kopi Latte dan Mocca di Han’s ini memang cukup terkenal di kalangan mahasiswa Ciputra. Selain tempatnya yang nyaman, pelayanannya juga bagus.
Di meja nomor 24 yang sedikit berada di pojok ruangan tengah cafe, telah duduk Nindi dan Vee. Mereka duduk besebelahan sengaja memberikan ruang di depannya untuk Rafa yang sebentar lagi datang.
“Lama juga ya Vee si Rafa...” ujar nindi.
“Kamu ini baru sekali ketemuan aja udah ngeluh. Sabar dulu dong, anggap aja ini perjuanganmu.” balas Vee berusaha menenangkan Nindi yang mulai gusar karena cowok idolanya itu belum datang juga.
“Lagipula bukan Rafa yang telat, tapi kita yang terlalu cepat nyampe. Mbok ya tenang dulu gitu lho. Tuh diminum dulu Moccanya” Vee menambahkan.
“Kamu aja dulu yang minum. Kan kamu yang pesen duluan...” sahut Nindi judes.
“Aku kan memang gak punya kepentingan Nin. Aku cuman nemenin kamu ngopi aja kan? Paling bentar lagi juga aku udah kayak Baygon, ngebasmi nyamuk yang lalu lalang...” timpal Vee tak kalah judes.
Nindi hanya diam saja. Tidak membalas sepatah katapun, seperti pelempar Boomerang yang terkena lemparannya sendiri. Such exasperating...
Hi girls. Sorry ya nunggu lama. Tadi ketemu temen jadi ngobrol bentar di depan.” Suara Rafa tiba-tiba mengejutkan Nindi dan Vee yang tadi saling berebut ego.
“Oh gak pa pa kok fa... Mau pesen apa?” tanya Nindi sembari menyodorkan kertas menu setelah Rafa mengambil posisi duduk di depannya.
“Mm aku Cappucino aja deh ya ...” ujar Rafa. Tidak lama kemudian seorang pelayan mengambil kertas menu dan berujar “Ditunggu ya...”
“Nindi, Vee. Vee, Nindi. Benar khan?” kata Rafa sambil menunjuk-nunjuk kedua cewek cantik di hadapannya itu.
“Kenapa fa?” tukas Nindi.
“Aku hanya takut salah sebut nama. Kan baru sekarang kita ketemu setelah terakhir kita berbincang-bincang di perpust.” Sahut Rafa.
“Kamu sering ya ke perpust fa?” Nindi mulai agresif seperti presenter yang sedang mengawali sesi tanya jawab.
“Nggak juga sih. Kadang-kadang aja kalo aku pas lagi suntuk. Membaca terkadang bisa menciptakan ‘pause’ dan membantu melonggarkan suasana yang terasa sesak di pikiran kita. Eh bener nggak sih?”
“Aku gak tau juga sih fa. Aku gak begitu suka baca, tapi aku menghargai para book reader. Contohnya ya, aku selalu nemenin si Vee ini kalo pas dia baca di perpust. Dia ini kutu buku banget, saking seriusnya baca, gak jarang dia lupa kalo ada aku di sebelahnya. Seandainya aku teriak-teriak minta tolong karena ada kecoa pun aku yakin dia gak bakalan noleh. Beneran ...” Nindi berbasa-basi.
Vee hanya manyun saja mendengarnya.
“Kalo Vee sih keliatan banget kalo dia doyan ama buku.” Ujar Rafa mencoba melibatkan Vee ke dalam percakapan.
“Ya gitu deh.” tukas Vee simpel.

Nindi memulai perbincangan kembali, “Eh tapi jarang lho fa, musisi yang kutu buku kaya kamu.”
“Ah siapa bilang Nin. Banyak juga lho musisi yang suka baca. Liat aja tuh mas Yovie Widiyanto. Dia punya banyak koleksi buku. Mas Dhani juga, banyak banget dia punya buku. Kebanyakan malah yang bersifat filosofis gitu bukunya. Lagu-lagunya pas di Dewa kan mostly ngambil dari karya-karya Teosofinya Rumi sama puisi cintanya Gibran. Gak heran deh kalo mereka itu smart.” Rafa menimpali.
“Bisa jadi gitu sih. Tapi gak semuanya didasarkan pada kebutuhan akan referensi untuk lirik-lirik lagu ciptaan mereka.” Vee mulai terhanyut.
Ia pun menambahkan, “Gak sedikit juga kok yang membaca karena memang dari sononya sudah terbiasa membaca. Bagi sebagian orang, itu sudah seperti lelaku ritual yang sulit untuk ditinggalkan. Bahkan mereka memilih menjadi penulis ketimbang menjadi artis penyanyi. Misalnya ya mbak Dewi Lestari itu. Di Rida Sita Dewi, dia udah punya nama besar lho. Tapi namanya justru semakin melambung setelah dia mentahbiskan diri menjadi novelis. Karya-karyanya tuh betul-betul epic. Full of emotion and inspiration.
Merasa tertantang untuk membahas lebih dalam, Rafa mencoba berkomentar, “Sebentar, oke, let’s say she’s amazing karena dia punya banyak talent dalam menulis dan banyak juga contoh motivasi inspirasional dalam karya-karyanya. Tapi Vee, maaf, kenapa dia sendiri tidak berdaya melihat keruntuhan rumah tangganya, her personal life. She’s got divorced sama Marcell Siahaan.”  
“Kamu tau fa, dokter itu, sepandai dan sepintar apapun dia, gak mungkin bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri. Kamu ngerti khan?” sahut Vee.
“Itu konsekuensi namanya. Dan itu alamiah. Tapi, burung yang sudah terluka sayapnya, gak mungkin bisa terbang bebas seperti sebelumnya.”

“Walaupun tertatih, tapi burung itu masih tetap akan terbang fa. Karena itu kodratnya. Walaupun pernah terluka hatinya, tapi mbak Dewi masih akan terus menulis. Karena dia tahu itu kodratnya.”
Are you sure Vee?”
Yes, absolutely yes. Kalo gak percaya, kita lihat saja edisi Gelombang besok. Pasti akan lebih seru dari karya-karya sebelumnya.”
Well. Let’s see then.” Sahut Rafa sembari manggut-manggut kecil mengkonfirmasi persetujuannya.
 “Eh ini fa, di minum dulu Cappucinonya keburu dingin lho ntar...” potong Nindi yang sedari tadi bengong takut salah bicara.
 “Sip!” ujar Rafa simpel. Di minumnya kopi itu.
“Kamu tau ga girls, minum kopi malam minggu ditemani cewek-cewek cantik macam kalian gini ini, buat cowok jomblo kayak aku tuh rasanya geemmaannaaaa gitu he he...” celoteh Rafa.
Nindi dan Vee kontan tertawa hampir berbarengan.
“Gombal ah fa...” tukas Nindi sambil senyum senyum sendiri.
“Gak kok beneran ini. I shall thank to both of you karena malam ini aku gak sendirian kaya biasanya. I like to make a friend sama siapapun. And that’s the way I am. Maklum sih, aku orang yang bisa begitu nyaman menghabiskan waktu sendiri. Reading, playing piano, composing music, watching DVD. U know lah, things like that.  Jarang juga sih aku hangout. Paling sama temen-temen kerja. Aku gak begitu dekat sama temen-temen kuliah. U knowlah, orientasi kita ngambil post grad kan beda, gak  kaya mereka yang ngambil sarjana. Iya khan?”
“Iya sih. Eh, by the way kamu kerja di mana fa. Instruktur musik?” tanya Nindi penasaran.
Rafa menggeleng. “Pekerjaanku gak ada kaitannya sama hobi musikku. Aku kerja ikut kakakku. Dia punya perusahaan IT. Aku bantu dia di bagian Public Relations. Taulah, ngedeal-in project-project gitu he he... Makanya aku harus pinter ngegombal hahaha...”
Tawa mereka meledak kompak.

“Kalo gitu kamu cocok dong masuk Psikologi. Bisa tau karakter klien dan konsumen he...” Nindi membalas.
“Terus terang pusing juga sih belajar Psikologi. Tapi, aku akhirnya bisa ngerti kenapa manusia ini ciptaan Tuhan yang begitu kompleks. Bahkan Dr. Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa, jika dalam dunia kedokteran diibaratkan bagian-bagian tubuh manusia bila disambungkan menjadi satu mata rantai dia bisa mengelilingi bola bumi, maka untuk bagian-bagian jiwa manusia, mental dan psikis, jika disatukan akan mampu mengelilingi alam semesta seisinya. Itu hanya analogi untuk menggambarkan kompleksitas sifat dan karakteristik manusia. Ya contohnya ya, kita bisa saja berimajinasi tentang bentuk planet Jupiter seperti apa, padahal kita sendiri belum pernah melihatnya secara langsung. Jadi imajinasi itu hanya sebagian kecil dari Mind Building, sementara mind sendiri hanyalah bagian kecil dari psikis manusia.”
“Lalu bagaimana manusia ideal itu menurutmu?” Vee kembali memantik obrolan menuju zona yang teoritis.
It depends... Cara pandang manusia itu berbeda-beda Vee. Menurut kultur dan pengalaman hidupnya.” Jawab Rafa setelah meneguk kopinya yang langsung memusatkan perhatiannya pada Vee.
“Tapi manusia punya standar fa.” Balas Vee.
“Yaudah aku ambil sampel wis, sekarang menurut kamu standar cowok yang baik buat cewek itu kayak gimana?” tantang Rafa.
“Cowok yang ideal buat suami apa tipikal cowok yang cewek suka?”
“Ya, yang kamu suka?”
“Yang aku suka? Nanti bisa subyektif lho jawabanku?”
“It’s fine. Subyektivitasmu itu nanti akan masuk ke lingkup Universal Discourse sehingga bisa dikatakan itu obyektif.”

“Oke... Mmm... “ dahi Vee nampak mengernyit dan matanya melihat ke atas untuk sesaat. Dia kembali memandang Rafa. Lalu berkata, “Kalo yang pasti, dia harus beragama, seagama. Kemudian, dia harus bekerja, mempunyai pekerjaan. Dewasa...”
“Oh kalo itu ya pasti lah Vee... Yang kutanyakan tu yang kamu suka?”
“Lha iya makanya tadi aku khan tanya, cowok ideal buat suami apa tipe cowok yang aku suka? Kan sudah kuklasifikasikan...” balas Vee gak mau kalah.
“Oke deh. Tipe cowokmu aja...”
“Tipe cowokku ya... Aku tu orangnya sedikit cerewet, jadi dia harus banyak diemnya ketimbang ngomongnya.”
“Jadi kayak plastik gitu ya, yang bisa kapan saja digunakan buat nampung celotehan-celotehanmu?” goda Rafa.
“Haha... Iya mungkin ya hahaha...” tawa Vee sambil tetap menutup mulutnya ketika tertawa lebar begitu.
“Terus terus...?” Rafa mengejar.
“Dia harus pengertian dan baik. Jadi ketika aku mulai kebablasan dalam bertindak dia paling tidak bisa mengarahkanku ke arah yang benar.”
“Ada tipikal lain gak? Misalnya dia harus pemain basket gitu misalnya?”
“Ya kalo dia bisa bermain basket, kenapa enggak? He he...”
Dicuekin dari tadi, dengan sedikit kesal Nindi menimpali sekenanya, “Tapi yang jelas, dia gak boleh beristri dua!”
“Oo.. ya iyalah, emang siapa juga yang mau jadi Eyang Subur!” sahut Rafa dongkol.
Vee berusaha menahan tawanya, setelah menyadari kalo dia telah membuat Nindi cemberut.
“Eh tapi bener lho, cewek itu emang unik. Dia suka meminta pada kami kaum pria, untuk rajin-rajin menghafal nomor-nomor. Nomor kelahirannya, nomor tanggal jadiannya, bahkan nomor rumahnya, lengkap dengan RT/RW nya. Emang perlu ya? Coba dong kalian para cewek, jawab... ” Rafa kembali melanjutkan topik.
 “Ya perlu itu emang. Cewek itu suka pria yang bisa menunjukkan komitmen. Ya, mengingat tanggal-tanggal cantik apa salahnya? Toh itu membuktikan cinta mereka.” Jawab Nindi.
“Tapi itu kan bukan ukuran Nin. Sekarang kamu Vee. Cewek itu suka dikado apa kalo ulang tahun?.”
“Lha kamu biasanya dulu suka ngado apa sama cewekmu?” Vee mencoba memancing reaksi Rafa, mencari informasi mungkin.
“Mmm... Aku? Kalo aku sih terus terang, gak pernah ngasih hadiah buat dia. Aku paling hanya ngasih ucapan lewat telpon. Itu aja.”
“Nah itu dia, mungkin birthday wishes mu itu udah cukup buat dia. Itu udah lebih cukup dari kado mungkin.” Ujar Vee.
 “Eh eh, bukannya tadi aku tanya ke kamu, kenapa justru dia yang dibahas...?” wajah Rafa sedikit dilipat.
“Kenapa emang fa?” Nindi justru penasaran.
“Kami udah lama break kok. Dia minta aku cepat-cepat nikahin dia, sementara aku masih ingin sedikit lebih lama lagi meniti karir. Keluarga menjadi alasan kenapa dia memaksaku untuk cepat-cepat melamarnya. Kita udah gak sejalan.”
Vee menimpali, “Berarti kamu tipe cowok yang takut resiko ya. Ketika terjadi perbedaan pandangan yang sifatnya prinsipil, langsung kamu leave out gitu. Padahal fa, mengobati sakit kepala itu tidak dengan memenggal kepala. Apa kamu sudah berusaha memberi terapi terhadap hubunganmu itu?”
“Eh kenapa jadinya ngomongin aku sih, kan sifat topiknya umum?” kelakar Rafa.

“He he... Iya deh maaf maaff... “ kata Vee kemudian.
“Eh, by the way, besok filmnya Nicholas Cage yang Left Behind udah putar lho di Lenmarc. Gimana kalo kita nonton bareng?” Nindi mulai aktif kembali.
“Kamu suka nonton ya?” tanya Rafa ke Nindi.
“Ya buat hiburan aja, kupikir film adalah produk pelumat stress or something...” balas Nindi.
“Kalo kamu Vee, suka juga?” imbuh Rafa ke Vee sekarang.
“Film itu refleksi. Bagiku, film itu semacam karya ilmiah yang dilalui lewat berbagai penelitian dan uji coba, kemudian dikombinasikan secara imajinatif dan dipresentasikan dengan begitu epic. Tentu patut kita apresiasi para sineas itu.” Jawab Vee.
“Yups setuju. Kalo aku sih simpel, lihat film itu kayak liat kehidupan orang lain secara nyata. Bayangkan, betapa menyenangkannya menonton drama miliaran manusia tanpa harus terlibat konflik apapun, dan kita bebas berkomentar apapun tanpa harus menyinggung siapapun. Iya nggak?” Rafa melengkapi.
“Mmm... so, gimana? Berangkat nggak nih besok?” Nindi mengejar.
“Kita bertiga khan?” Rafa memastikan.
“Iyalah...” sahut Nindi.
“Kamu bisa khan Vee?” Nindi beralih ke Vee.
“Sebetulnya aku ada pekerjaan yang harus selesai besok sih, tapi demi Nindi, aku ikut deh. Pasti seru he he...” jawab Vee sedikit berbasa basi.
“Ssseeeeppppp!!” sahut Nindi semangat.
Malam terasa begitu panjang bagi ke 3 jomblo itu. Sat Nite kali ini, entah karena sering terlewatkan atau karena chemistry yang baru saja tercipta di meja nomor 24 itu, terasa begitu spesial. Terutama bagi Rafa, seorang pria lajang, yang bisa dikatakan sangat jauh dari wanita selama ini. Kedekatan kali ini begitu berarti. Sangat berarti ....

Sebuah mobil Avanza hitam baru saja keluar dari Lenmarc, meluncur menuju arah utara. Mobil itu berhenti di depan sebuah mini cafe depan Spazio yang saat itu cukup ramai dengan muda mudi yang menikmati suasana malam dengan langit penuh bintang. Seorang pria keluar dari pintu depan mobil mengenakan kaca mata hitam dengan jaket jeans khas anak muda, diikuti dengan 2 pintu mobil belakang yang turut terbuka. 2 wanita cantik yang tak lain adalah Nindi dan Vee nampak berjalan mengikuti dari belakang.
“Kamu biasa nongkrong di sini ya fa?” tanya Nindi memulai percakapan setelah sesaat sebelumnya memesan makanan.
“Kadang-kadang sih Nin. Paling ya sama temen-temen kantor sepulang kerja gitu.” balas Rafa sembari melepas kaca mata hitamnya.
“Eh, gimana tadi filmnya menurutmu, bagus gak?” tanya Nindi lagi.
“Film apapun, kalo Nicholas Cage pemerannya pasti luar biasa. Menurutku dia bakalan gantiin posisi senior-seniornya macam Al Pacino atau Robert de Niro. Film tadi agak sedikit fiksi sih, tapi karena referensinya dari Alkitab, maka tiap adegan-adegan di situ nampak begitu nyata, dan ramalan masa depan nanti bisa jadi seperti itu. Kamu masih inget khan ramainya film 2012 dulu?”
jelas Rafa.
Nindi mulai tersenyum melihat Rafa merespon pertanyannya, “Iya lah, siapa yang lupa hebohnya tahun 2012 lalu. Aku aja waktu itu udah mikir yang enggak-enggak. Gimana kalo beneran kiamat. Mana belum kawin lagi... he he”. celoteh Nindi.  
 “Makanya ada yang bilang film itu doktrin yang nyata. Kepala ini akan terasa begitu penuh ketika menyadari hal-hal yang terjadi dalam film itu sangat memungkinkan untuk menimpa kita juga.” jelas Rafa.
Nindi manggut-manggut saja, sementara Vee hanya duduk manis menyimak.

“Sekarang gini aja deh, pernahkah kalian berfikir, kalo ternyata mobil-mobil atau bus dan truck besar yang lalu lalang di seberang sana itu adalah Transformer yang turun ke bumi untuk melindungi kita. Atau pernahkah kalian berfikir bahwa kampus kita itu punya fasilitas rahasia yang sedang meneliti tentang ilmu-ilmu sihir layaknya akademi sihirnya Dumbledore di film Harry Potter, bagaimana pula jika Bapak tukang parkir yang berompi kuning bertuliskan “Penegak Disiplin” itu ternyata adalah Spiderman. Atau, bagaimana jika aku ternyata berasal dari keluarga Vampire yang sedang mencari cinta layaknya Edward Cullen dalam Twilight. Pernahkah kalian?” mata Rafa kini mulai agak meruncing, ia menatap tajam ke dua wanita cantik di depannya itu.
Sejenak Nindi dan Vee seperti terhipnotis, tak mampu berkata-kata, hanya bisa menatap dalam mata Rafa itu. Atau mungkin seperti ramalan Rafa tadi, kepala mereka kini mulai penuh. Penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang anehnya cowok di depannya ini.
“Atau mungkin gimana jika kamu ternyata adalah titisan dewa Shiwa seperti di film Mahadewa?” Vee mulai melepaskan diri dari pengaruh hipnotis tadi.
“Hahahahaha....” tawa Rafa meledak seketika.
Nindi turut serta tertawa kecil.
“Betul memang katamu, film itu doktrin nyata, dan kamu ini salah satu korbannya Rafa...” ujar Vee tak tahan untuk tidak mengatakannya.
 Rafa tertawa cukup lama dan baru berhenti ketika seorang waitress datang membawa pesanan dan mempersilahkan mereka untuk menikmatinya.

“Mari-mari silahkan....” kata Rafa.
Mereka mengambil gelas masing-masing yang berisikan macam-macam juice itu, mengangkatnya ke atas, bersiap untuk sebuah toast.
“For our health, and friendship...” Rafa memimpin.
“For our health, and friendship...” Nindi dan Eve mengikuti.
Sedetik kemudian, “Ttiinnggg...” gelas-gelas itu beradu.
Hampir berbarengan, mereka meneguknya. Mata Rafa tiba-tiba tertuju pada sebuah piano upright yang berdiri gagah di atas panggung tanpa penampil itu. Tiba-tiba sebuah ide terbersit di kepalanya. Ia kemudian berjalan mendatangi meja kasir dan terlihat bercakap-cakap dengan seorang lelaki disana.
“Eh Vee, kira-kira mau ngapain dia?” bisik Nindi ke Vee.
“Mau bayar kali...” sahut Vee sekenanya.
Beberapa menit kemudian Rafa terlihat berjalan menjauhi kasir menuju ke arah panggung di mana piano itu berada. Ia mengambil mic dan bersiap untuk mengatakan sesuatu.
Hampir seluruh pengunjung mengarahkan pandangannya ke panggung. ‘Ini ya ternyata pemainnya’ begitu mungkin pikir mereka.
“Oh My God Vee, he’s gonna play it for us...” Nindi tampak kegirangan.
Vee hanya tersenyum saja. “Semoga dia main cuman buatmu aja Nin...” sahut Vee membesarkan hati Nindi.
Di panggung, Rafa mulai mengatakan sesuatu.
“Ehm... tes.. tes... Ok, selamat malam kerabat cafe semua... Saya Rafa. Saya datang ke sini bersama dua orang spesial di sebelah sana. Kami baru saja merayakan persahabatan kami. Maka, untuk meramaikan suasana, saya akan bermain piano di belakang ini. So, untuk anda semua, especially, Nindi and Vee, enjoy this song...”. Rafa berjalan kecil menuju tempat dimana piano itu berada. Dia mengambil posisi sembari membetulkan stand mic yang akan digunakannya untuk bernyanyi.
“Oh my... Vee, he’s so cute that way, he’s gonna sing for me, he’s gonna sing for me!!” ujar Nindi mulai ke-Pe-De-an sembari menginjak-injakkan kakinya ke tanah berkali-kali.

 Sebuah lagu lama milik Kenny Loggins berjudul For The First Time mulai dinyanyikan oleh Rafa.
“For the first time, I’m looking in your eyes, for the first time, I’m seeing who you are, can’t believe how much I see, when you’re looking back at me, now I understand what love is, love is ...”
Nada-nada yang terlantun begitu memikat siapa saja yang berada di sana. Permainanannya, suaranya, semua yang hadir jelas tahu betul, betapa Rafa memiliki talenta musik yang tidak main-main. Itu bukan sekedar lagu, itu adalah ekspresi jiwa romantis Rafa yang terwujud dalam nada-nada membentuk sebuah ruang indah di sudut sana, tempat Nindi dan Eve berada. Diam-diam, Eve mulai mengagumi cowok ini.
Applause datang bertubi-tubi memenuhi venue ketika Rafa menyelesaikan penampilannya. Tampak ia berkali-kali membungkukkan badannya di panggung sana. Kembali Rafa memegang mic nya dan berkata, “Kali ini saya akan ditemani oleh salah seorang sahabat saya yang juga hadir. Silahkan, Nindi atau Vee, temani saya di sini yah...”
Begitu kaget ekspresi 2 bidadari cantik itu, lebih kaget lagi ketika menyadari bahwa hampir semua mata sekarang tengah tertuju pada mereka.
“Aduuhh... Gimana ini Vee...” Nindi mulai salah tingkah.
“Udah sono, kamu aja yang maju... Nyanyi apa gitu kek, atau joget doang juga gak pa pa...”kilah Vee.
“Nggak ah, bisa jatuh pingsan aku nanti di atas situ. Suaraku cempreng Vee, hancur, kamu ngamatin  khan kalo pas kita karaoke?”
“Halah gak pa pa sono, udah mau aja, kan kamu bintangnya malam ini...”
“Ogah ah... Mending-mending juga kamu kalo nyanyi. Sana, maju ya...  Tuh liat semua orang pada nengokin kita lhoh... “
Menyadari mereka jadi sasaran tembak, Vee memejamkan mata, menghela nafas panjang, lalu berdiri, melihat Nindi sejenak, lalu berjalan menuju panggung.
Suara tepuk tangan kembali membahana.
Rafa menyerahkan mic pada Vee.

“Oke, jadi, saya paling gak bagus kalo harus bernyanyi, apalagi di atas panggung seperti ini, namun sebagai teman yang baik, saya akan memenuhi permintaan Rafa untuk bernyanyi disini.”
Setelah sedikit ber was wes wos dengan Rafa, Vee kemudian berujar lagi, “So, kami akan berduet dan mempersembahkan lagu ini untuk sahabat kami di ujung sana, Nindi. Sebuah lagu lawas milik Jikustik berjudul “Maaf”, semoga anda suka...”
Tak disangka suara Vee ternyata mampu menghipnotis seisi cafe yang sebagian muda mudi itu. Permainan piano Rafa juga tak kalah menariknya. Duet Rafa dan Vee ini layaknya seperti 2 sejoli yang disatukan karena cinta mereka pada musik.

“Buatmu menangis... Buatmu bersedih... Ingin ku memelukmu... Dan ucapkan maaf... Maafkan aku....”.
Lagu yang aslinya begitu band ini, terasa sangat unplugged dibawakan oleh Rafa dan Vee. Kombinasi suara vibrasi Vee dan permainan Rafa yang melodius benar-benar seperti sebuah opera yang dimainkan dalam sebuah Hall besar di Sienna, Italia sana layaknya Pavarotti ketika bernyanyi.
Tepuk tangan kembali riuh, saat Vee menyanyikan bar-bar terakhir dalam lagu tersebut, diikuti dengan outro Rafa yang khas.
Rafa tampak tersenyum puas di belakang piano. ‘Malam yang indah’ begitu pikirnya.
“It was so alive guys!!” ujar Nindi ketika ke dua temannya itu kembali.
“Dasar kamu fa tukang ngerjain orang” ucap Vee tak lama kemudian.
Rafa hanya tertawa kecil.
“Aku orangnya asik kan?” goda Rafa.
“Nyebelin....” sahut Vee sewot.
“By the way, kamu emang suka lagu-lagu Jikustik ya Vee?” tanya Rafa.
“Mmm... ya lumayanlah. Waktu masih sekolah dulu Jikustik sering nemenin aku ngerjain PR di kamar. Lagunya bagus-bagus dan maknanya dalem-dalem. Gak kayak eranya Cherrybelle sekarang he he...” jawab Vee.
 “Yups betul sekali. Kayaknya kreativitas penyanyi muda dalam composing song mulai mengalami penurunan sekarang.”
“Mungkin juga serangan Korean Pop yang tanpa jeda....”
“Eh Rafa, aku gak nyangka lho kalo kamu juga bagus kalo nyanyi.” Nindi menyela.
“Ah biasa aja kali Nin... Spontan aja aku nyanyi...” sahut Rafa.
“Lagu tadi bagus kok fa. Lagunya siapa itu, aku kok gak pernah dengar?” Vee aktif  kembali.
“Mmm... lagu lama itu, milik Kenny Loggins. Aku suka liriknya. Lagu itu adalah ungkapan rasa seseorang yang baru menyadari kalo dia selama ini telah jatuh cinta kepada temannya sendiri. Teman kerjanya. George Clooney sama Michelle Pfeiffer jadi bintang video clipnya. Lagu ini soundtrack film mereka. Tapi aku lupa judulnya.”
“Terus, akhirnya mereka bersama?” Nindi penasaran.
“Mmm... Itu yang masih abu-abu. Akhir ceritanya seperti memberikan ruang bagi kita untuk menuntaskan sendiri akhir cerita itu.” Jawab rafa.
“Wah bagaimana ya akhirnya...?” sahut Nindi lagi.
“Kita lihat saja nanti...” balas Rafa.
“Maksudnya?” kata Nindi dan Vee hampir berbarengan.
“Eh ng ng... Nggak nggak... Nggak pa pa kok he he... Eh ngomong-ngomong udahan yuk. Besok kalian harus kerja khan?” Rafa mengalihkan perhatian.
“Iya juga sih, ayo deh.... “ajak Nindi menyepakati.
Tak lama berselang, mereka meninggalkan cafe itu. Beberapa penghuni cafe tampak melambaikan tangan pada mereka memberi salam perpisahan. Rafa membalas lambaian mereka.
Nindi yang pertama kali diantar. Dari apartemen Pakuwon tempat Nindi tinggal, mobil Avanza hitam itu menuju barat ke arah Graha Family, tempat Vee tinggal.
“Maaf ya fa, jadi ngrepotin kamu pake diantar segala.” ujar Vee.  
 “Nggak pa pa Vee... Kan emang udah seharusnya...” sahut Rafa.
Mereka berdua tersenyum.
“Vee....”
“Iya...”
“Ngng... kapan-kapan kutemenin makan malam mau nggak?”
Suasana dalam mobil tiba-tiba hening.
“Sama Nindi?” tanya Vee.
“Mmm.. Nggak sih, aku pengen sama kamu aja. Boleh?”
“Gimana ya? Terus terang si Nindi ngefans sama kamu. Gak mungkin kan aku nglukain dia?”
“Kupikir sah-sah saja kok Vee aku mau keluar bareng siapa. Toh kita semua khan teman?”
“Ya nggak enak aja aku fa sama Nindi...”
“Gini aja deh. Kalo ada gelas yang berisi air setengah, kamu akan mengatakan itu gelas setengah kosong atau setengah isi?” tanya Rafa mulai beranalogi sambil terus memegangi setirnya.
Vee tersenyum, “Sulit juga ya. But I will mention it as a... ng.. ng... setengah isi.”
“Nah itu dia Vee, banyak dari kita yang terjebak dengan pemikiran kita sendiri. Apa salah jika aku mengatakan itu adalah gelas setengah kosong. Enggak khan?”
“So, what’s the connection?” Vee mulai penasaran.
“Jangan terjebak dengan pemikiran bahwa selamanya kita harus berteman dengan satu jenis orang atau terus-terusan menjaga hatinya. Itu tadi hanya justifikasimu saja. Aku tau kamu hanya berkilah kok. Kalo emang gak mau ya gak pa pa. Gak usaha bawa-bawa Nindi. Apakah kemana-mana harus selalu bertiga? Ntar kalo aku dikira bodyguard kalian gimana?”
“Hahaha... Bodyguard? Gak masuk kriteria kali fa... Udah jadi pemain musik ajalah, gak usah pake coba-coba jadi satpam juga he he he...”
Keduanya tertawa... Mereka mulai memasuki pintu masuk Graha Family Regency.
 Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah besar. 27 nomornya.
“So, gimana Vee, mau nggak?”
“Kamu kok gak tanya pacarku bakal marah apa nggak?” sahut Vee.
“Bukannya pacarmu Nindi?”
Vee tersenyum.
“Oke deh. Kapan-kapan ya. Ntar BBM aja...”
“Janji?”
Vee mengangguk pelan.
“Kepribadian seorang cewek itu dilihat dari bagaimana ia menepati janjinya.” ujar Rafa.
“See you fa...” kata Vee sembari membuka pintu mobil.

Dia melambaikan tangannya ketika mobil Rafa kembali melaju meninggalkan Vee.
Vee masih berdiri terpaku seperti terbersit satu pemikiran yang tiba-tiba muncul. Sedetik kemudian ia berbalik memasuki rumah besar itu.

“Ping...” sebuah message masuk ke dalam iPhone Vee.
“Hai Vee apa khabar?”
Ternyata dari Rafa.
“Baik fa. Ada kabar apa nih?”
“Ntar malem aku main lagi, di Sutos. Kamu bisa dateng?”
“Sorry fa, aku udah ada janji ama Nindi soalnya mau ngerjain tugas Statistik.”
“Oh yaudah kalo gitu, maaf ya ganggu...”
“Semoga gak membebanimu ya fa. Kan aku sudah cukup puas melihatmu main piano waktu itu. Tenang saja, walau ragaku tak bisa melihatmu disana, tapi hatiku bisa merasakan indahnya melodi yang kau mainkan. Nyanyian indah yang tak dapat tersampaikan lewat kata, tapi dapat terdengar lewat  angan. Semoga gak batal konser ya...”
Rafa membalas, “Makasih ya Vee. Kata-katamu tadi sesuatu banget. It makes my day!”
“Sama-sama...” balas Vee.
Dan chatting singkat itupun selesai. Chatting 5 menit yang berarti sesuatu bagi Rafa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rafa tampak berjalan tergopoh-gopoh memasuki ruang perpustakaan kampus.
Dilewatinya rak buku besar itu. Dia periksa satu demi satu buku-buku yang tertata rapi di sana seperti tengah mencari sesuatu. Tanpa disadarinya dia berjalan semakin ke kanan dan ke kanan terus hingga tiba-tiba lengannya beradu dengan lengan seseorang disampingnya. Dia toleh ke kanan. Ternyata seorang cewek. Rambutnya panjang tergerai, berkacamata, dan ternyata mereka saling kenal.
“Rafa?!”
“Vee?!”
“How come on earth we meet like this?” ujar Rafa masih setengah kaget. Senyumnya terkembang.
“He he he... Kamu ni ngagetin aja. Kukira siapa nyenggol-nyenggol gitu.”
“Tampaknya aku harus berterima kasih sama bu Intan.”
“What....??”
“Kalo tadi dia gak nyuruh aku ngerjain tugas Sosiologi Paternalistik, gak mungkin lah aku kesini terus ketemu kamu.”

“Owalah ... Bisa aja kamu ini....”
“Udah dari tadi Vee?”
“Lumayanlah udah dapet 3 buku. Aku juga lagi nyari referensi kok buat tugasnya pak Sidharta. Terus nyoba-nyoba aja cari buku Psikologi siapa tau ada yang bisa kubuat baca-baca gitu.”
“Oh... Oke... Nih ada kalo mau, buku tentang Self-Hypnosis, atau ini juga ada yang bahas tuntas tentang mitos Indra ke-enam. Kalo yang agak berat, ini lumayan, tentang Logika, Dialektika, dan Materialisme.” Kata Rafa nyerocos sambil menyodorkan buku-buku yang disebutkannya tadi.
“Kamu ini udah kayak pegawainya Gramedia aja fa fa...” canda Vee.
“Eh, kamu gak bareng Nindi?” tanya Rafa menyadari jika ternyata Vee datang sendirian.
“Oh Nindi, dia langsung pulang tadi habis kuliah. Katanya dia harus berangkat ke Novotel. Ada konferensi divisioner yang harus dia datengin. Katanya sih lagi ramai mau di merger perusahaannya. Tapi banyak yang gak setuju. Makanya semua perwakilan cabang datang.”
“Ya baguslah, siapa tau dia dapet jodoh di sana?”
“Lhoh gimana sih fa, kapan lalu kamu bilang dia pacarku, sekarang kamu doain dia biar dapet jodoh... Bingung aku fa?”
“Itulah kenapa kadang kita harus menyebut gelas itu setengah isi atau setengah kosong. Tergantung sikon.”
“Berarti gak konsisten dong?”
“Ya tergantung mayoritas atau minoritasnya aja?
“Ukurannya kan subyektif fa, tergantung dari sudut pandang mana dulu kita melihat...”
“Lha kalo ukuran sepatumu berapa?”
“Kuambilin penggaris dulu ya biar kamu bebas ngukurnya... Haha...”.
 “Hush ini di perpust Vee. Pelan-pelan. Ayo kita ke sebelah sana aja.” Kata Rafa sembari menunjuk ke sebuah meja putih kosong dengan 2 kursi yang berada di ujung ruangan.
Rafa berjalan diikuti Vee dari belakang sambil tetap memegangi buku-buku tebalnya itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di sana. Mereka duduk berhadap-hadapan.
“Gak terasa ya Vee. Ternyata udah seminggu sejak terakhir kita ketemu.”
“Iya. Masih sering konser?”
“Konser? Emang siapa aku, Ahmad Dhani?”
“Ya nggak, kali aja kamu sibuk perform sana perform sini... Kan kapan hari kamu ngundang aku buat liat kamu main di Sutos kan?”
“Iya sih. Tapi ya gitu deh, cuman acara komunitas. Gak yang solo performance kayak Jazz Traffic atau semacamnya getoohh... He he”.
“Tapi lancar khan?”
“Ya lancar lah. Kan itu juga berkat kata-kata motivasimu he he...”
“Ah bisa aja... Lagi sibuk apa akhir-akhir ini fa?”
“Mmm.. biasalah Vee. Kerja, balik kerja kuliah, browsing sambil ngerjain tugas, maen piano, baca buku, tidur. Gituuuuu aja mulu tiap hari. Makanya kadang aku ngrasa hidupku ni monoton. Kurang ada dinamika.”
“I think it’s time for you to have something different.” Saran Vee.
“Like what?”
“Maybe a new activity on weekend. Bungee Jumping thing, rafting, free style motorcycling, joining communities, musicians gathering, or if possible make out with girlsome like Nindi maybe...”
 “Oh Vee, that’s too many...”
“We live in a world with so many options right? We’re free to choose and you know that.”
“I’m kinda simple guy Vee. Jadi bukan tipe cowok yang kayak Hatim apa Sri Rama gitu yang suka berpetualang sana sini.”

“Yaudah kalo gitu jadian sama Nindi aja sana...” celoteh Vee terus menyudutkan Rafa.
“Kok jadi aku sih yang diserang?” Rafa mulai sewot.
“Aku khan hanya beropini. Boleh khan?” balas Vee sok judes berusaha menghilangkan rasa bersalahnya.
“Mmm... Dunno lah, I just have no idea about getting along with Nindi. She’s  just... She’s just not my tipe Vee... But as friend, sure I highly appreciate her.”
“You should try first fa. Just like Javanese proverb, witing tresno jalaran soko kulino. Siapa tau ...”
“But why her, kenapa nggak Raisa, atau anaknya bu Susi, atau Agnes Mo gitu aja sekalian”
“Kumat kamu...”
“No no... I just actually want to enjoy the friendship first. So don’t you even try to fetch me in your claptrap again, okay? I just wondering, why are you so spirited to get me in touch with her?”
Vee tersenyum simpul. “You are a good guy. You deserve a good girl like her. That’s all what I think. You don’t think like you’ve been jerked off or something, do you?”
“Wait, wait, wait... She’s good based on your experience as a friend and as a girl. But we, boys, have different way thinking. And let’s stop talking about this, will you?”
Okay, okay... Let’s stop talking. Yang bicara beliin bakso.”
Seperti dikomando, ke duanya tiba-tiba diam. Cukup lama.
Beberapa detik berselang, keduanya saling pandang, mereka mulai tersenyum. Rafa menggerak gerakkan tangannya layaknya pewicara yang menggunakan bahasa tangan untuk para pemirsa tuna wicara di acara berita TVRI.
“Aku kalah!!” pekik Rafa sedikit menjerit.
“Hahaha... Yes yes... “ Vee tampak puas berhasil mengintimidasi pria di depannya ini.
“Oke oke, pengen bakso beneran ta?” tantang Rafa.
“Boleh...”
“Baksonya pak Mul mau? Yang di seberang jalan masuk kampus itu lho.”
“Terserah.”
“Lagipula, aku pernah nawarin kamu dinner khan?”
“Iya juga sih, ya udah malam ini ku tepatin janjiku deh.”
“Oke... By the way, sorry ya, aku gak pernah BBM kamu buat hangout for dinner.”
“Gak pa pa lah, aku juga gak nunggu kok he he...”
“Aku gak berani message kamu.”
“Kenapa emang?”
“Dari status BB mu kayaknya kamu lagi sibuk terus. Aku gak berani nyela.”
“Gak pa pa sih sebenarnya. Ya maklum lah fa, tempetku kan lagi mau Akreditasi, jadi ya gitu deh kita semua ngebut gitu biar maksimal hasilnya.”
“Oh ok ok... So, shall we go now?”
  “Let’s go!”

Bakso Pak Mul ini sebenarnya bukan tipe tempat makan yang representative layaknya kantin-kantin kampus atau mini resto di kiri kanan jalan protokol, melainkan hanyalah sebuah bakso yang semua perangkat makan dan masaknya berada dalam satu gerobak dorong yang bebas di bawa kemana-mana. Namun yang terkenal dari bakso Pak Mul ini adalah rasanya yang begitu menggigit, pedas yang nendang, dan abang tukang bakso yang begitu ramah. Makanya, tidak heran jika pelanggan Pak Mul ini kebanyakan justru orang-orang berdasi dan mahasiswa elit khususnya yang berada di kawasan Ciputra.
Saat itu Pak Mul terlihat sibuk membuatkan pesanan beberapa mahasiswa yang sudah saling mengantri di awal. Tikar-tikar yang berada di trotoar samping gerobak tampak ramai dihuni oleh para pengunjung yang nyangkruk bareng teman-temannya. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang sedang off kuliah.

Dari kejauhan tampak Rafa dan Vee yang berbincang-bincang akrab berjalan menuju ke arah Bakso Pak Mul. Beberapa pengunjung melihat ke arah mereka. Orang-orang ini tampak simpatik melihat mereka berjalan bersama. ‘Serasi sekali pasangan ini’ begitu mungkin pikir mereka.
“Halo mas Rafa, lama sekali gak ke sini?” sapa Pak Mul ramah.
“Iya pak. Biasa pak lagi diburu banyak tugas.” Balas Rafa.
“Siapa itu mas, pacarnya ya? Senang rasanya mas ke sini akhirnya ditemani cewek. Hihihi...” goda pak Mul.
“Halah Pak Mul ini sukanya gitu mulu. Jangan dengerin ya Vee. Kita ini cuma temenan kok pak...”
Vee hanya terseyum saja menanggapi kelucuan 2 pria beda umur di depannya ini.
 “Mas, semua itu selalu berawal dari teman. Hihihi...”
“Idih... Udah ah pak, malu nih diliatin cewek cantik di sebelahku. He he...”
Vee kontan menyikut lengan Rafa agak keras. Rafa hanya meringis lucu.
“Ya udah mas, baksonya berapa?”
“Emang kita orang berapa pak. Udah liat 2 orang yang dateng masih pake basa basi lagi.” Sahut Rafa masih dengan nada sewot.
“Ya nggak mas, kali aja mau nraktir semua yang dateng ke sini buat syukuran jadiannya mas.... Qiqiqiqi..”
“Aduh paaakkk, pusing kepalaku. Bodrex mana bodrex?!! Yaudah cepetan gih, minumnya es teh aja 2.” Ujar Rafa tak tahan digoda begitu.
Pak Mul tampak masih terkekeh-kekeh dari kejauhan melihat Rafa yang mendadak salah tingkah begitu.
Mereka mengambil posisi duduk di tikar di bawah pohon kelapa. Sore itu, udara tidak begitu panas. Langit sedikit mendung, awan-awan menggerombol di sana.
“Jarang ya sore di Surabaya seadem ini...” kata Rafa memulai percakapan.
“Ya mungkin karena lama gak hujan aja.” Balas Vee.
“Iya juga sih. Tapi aku maklum kok.”
“Maksudnya?”
“Surabaya ini khan lagi gencar-gencarnya membangun infrastruktur, nah kalo hujan duluan datang, kan tetep bakal pengaruh ama hasil jadinya. Makanya kenapa, pawang-pawang dikondisikan sedemikian rupa agar hujan ini jangan turun dulu.”
“Kamu percaya sama hal-hal kayak gitu?”
“Vee, kita ini hidup di Indonesia. Tempat dimana logika dan spiritualitas ini diuji. Banyak hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia Vee. Mereka menyebutnya mistiscm. Ya contohnya ya pawang tadi.”
“Ya benar sih, banyak hal-hal yang tak bisa dijelaskan di dunia ini. Tapi menurutku fa, itu hanya masalah waktu saja. Selama berabad-abad, sains telah berhasil membuktikan the unknowns secara gamblang dan ilmiah. Orang-orang seperti Thomas Alfa, Einstein, Wright Brothers, Marie Curie, dll telah membuktikan bahwa apa yang impossible selalu bisa menjadi possible. Jadi sebenarnya tinggal menunggu waktu dan ketemu orang yang tepat, the one yang punya passion di situ.”
“Tapi sebentar Vee. Kalo menurutku, untuk melakukan inventions seperti para pendahulu itu kemungkinannya kecil. Yang bisa dilakukan orang sekarang adalah melanjutkan developingnya, lalu daya gunanya. Contohnya, dulu CD piringan, laser disc, terus jadi Walkman, terus jadi mp3 player, terus jadi iPod, terus sekarang bisa disetel di semua jenis gadget. Apa itu namanya kalau bukan pengembangan namanya?”
“Tidak semuanya fa. Aku percaya, mesin waktu mungkin satu saat nanti akan benar-benar ada dan aman. Jadi tetap masih ada yang namanya invention. Just like what I said before, it’s only a matter of time.”
“Jadi menurutmu semua selalu ada penjelasan ya?”
“Yep, always...”
“Tapi ada juga lho yang masih gak bisa untuk dijelaskan.” Rafa mencoba membandel.
“Apa?”
“Cinta...”
Vee sejenak terdiam. Tubuhnya agak terdorong ke belakang sebagai respon kaget atas kata yang baru saja didengarnya.
“Well.... Mmm... Like what?”
Rafa tersenyum simpul lalu berkata, “Orang yang jatuh cinta akan merasakan keanehan pada dirinya. Tiap kali seorang cowok melihat cewek yang disukai, tiba-tiba bulan menjadi semakin besar dan besar. Bintang-bintang tiba-tiba mempunyai wajah, bibir mereka terkembang seperti memberikan dukungan pada si cowok untuk menyatakan cintanya. Bunga-bunga di taman tiba-tiba bermekaran. Dan mendadak, lagu Kuch-Kuch Hota Hai terdengar jelas ditelinga. Apa itu namanya? Bisa dijelasin?”
“Hahahaha... Rafa Rafa... Dasar, kamu keseringan nonton filmnya Shah Rukh Khan! Hahaha...”
“Hahaha...”
Rafa dan Vee tertawa bersama sampai-sampai tidak menyadari kalau Pak Mul berjalan mendekati mereka sambil membawa bakso dan teh pesanan mereka.
“Ini mas pesanannya. Udah tertawanya nanti lagi. Dimakan dulu ya, biar nanti dapat ide ngrayu lagi.....” kata pak Mul.
“Pak Mul ini masih aja gitu. Besok aku ogah ke sini lagi ah.”
“Ampun mas... ampun....Qiqiqiqi...” kata pak Mul sembari berlari kecil menjauh sambil masih tertawa terkekeh.
“Akrab sekali kalian ini. Sering ke sini ta kamu?” tanya Vee.
“Ya dulu sering Vee, tapi beberapa bulan terakhir ini jarang. Orangnya ya gitu itu, sukanya ngebully orang.”

“Tapi asyik kok fa orangnya... Aku suka..”
“Apa? Kamu suka? Yaudah sana jadian aja...”
“Edan kamu ini. Yaudah ayo buruan dimakan, biar ilang itu stressnya...”
“Hahaha....” Rafa justru tertawa keras dijudesin begitu.
“Eh by the way Vee, setelah kamu nyanyiin lagunya Jikustik waktu itu, aku sering loh dengerin lagu-lagu mereka. Ternyata bagus juga ya.”
“Lho itu khan band lama fa, mosok dulu kamu gak dengerin?” tanya Vee sambil sesekali mengunyah baksonya.
“Ya tau sih, cuman sepintas doank. Waktu itu aku lebih sering dengerin lagu-lagu Barat macam Backstreet Boys gitu, he he...” balas Rafa.
Bakso itu terasa istimewa terutama bagi seorang Rafa. Itu adalah kali pertama Rafa makan bakso pak Mul berdua dengan seorang cewek. Vee tidak terkecuali dia begitu menikmati sendok demi sendok kuah bakso itu, lahap sekali makannya, diam-diam dia mengakui kelezatan bakso Pak Mul sampai-sampai tidak menyadari kalo dirinya mulai berkeringat.

“Vee... You’re sweaty. Let me wipe it...”
Rafa mengambil tisu dan mengusapkannya pada kening Vee yang berkeringat. Seperti terkejut, Vee memandangi Rafa. Mereka saling pandang, dalam sekali. Seperti ribuan elemen semesta ini tiba-tiba berhenti bergerak terdiam menyaksikan mereka demikian. Tangan Rafa pun turut terhenti mengusap kening indah itu. Mereka tak mampu berkata. Saling mengagumi apa yang mereka lihat di di dalam bola mata itu. Sebuah sinar, sebuah harapan.
“Mmm...mmm.. maaf Vee... Aku hanya ingin mengusap keringatmu.”
Vee hanya terdiam. Dia sedikit mundur ke belakang. Segera menghabiskan baksonya, meminum teh itu, dan bangkit berdiri.
Rafa seperti kaget dengan perubahan drastis itu.
“Maaf ya fa, aku lupa kalo aku ternyata ada janji. Permisi...”
Vee berjalan cepat meninggalkan bakso pak Mul.
Seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Rafa hanya mematung. Tak sepatah katapun yang keluar dari bibir itu. Dia masih tidak percaya perjumpaan hari itu dengan Vee akan berakhir seperti ini. Langit tiba-tiba gelap, langit bergemuruh. Tanda hujan sebentar lagi kan datang.
Dengan tatapan mata kosong dan ekspresi yang hampa itu, Rafa berucap pelan, “Salah... Aku salah. Cerita tentang pawang itu tidak benar...”.

“Ping.....” sebuah message masuk di Pin BB Rafa.
Dia masih duduk termenung, terpaku melihat dan mendengarkan penjelasan Pak Anton di kelas. Sebenarnya, mata kuliah Dasar Proses adalah mata kuliah favoritnya. Sering dia aktif berdialog dengan dosennya itu di kelas. Namun kali ini, ia begitu pasif. Mungkin, karena kejadian di warung bakso pak Mul beberapa hari yang lalu.
Rafa membuka blackberrynya, dibacanya dengan seksama. Ternyata sebuah message yang datang dari Nindi.
“Rafa, pulang kuliah kita ketemu di kantin yuk. Kutraktir deh...”
Melihat satu kesempatan memperbaiki situasi, Rafa membalas, “Oke... Kita ketemu jam 19.00.”
“Sip...” balas Nindi.

Vee sedang membaca-baca papan pengumuman di pusat informasi mahasiswa ketika jam menunjukkan pukul 21.00 tepat. Dia tidak habis pikir kenapa banyak dosen yang merubah-rubah jadwal kuliahnya, sementara para mahasiswa yang kebanyakan para pekerja harus meluangkan waktu untuk kuliah. Semuanya serba repot kalo udah dosen yang bertingkah labil. ‘Dosen dosen sih jenius emang, tapi susah kalo disuruh konsisten ngajar...’ begitu pikir Vee.
Sebuah suara yang ternyata petugas kantor informasi memanggilnya, “Vianita Nanda...”
Vee menoleh dan berjalan mendekat.
“Iya bu...”
“Ini update data terbaru kartu mahasiswa mbak, sudah kami lengkapi nomor serinya. Terima kasih.” kata ibu petugas itu sembari menyodorkan kartu mahasiswa elektronik.
“Iya bu sama-sama...”
Vee berjalan menuju pintu keluar. Malam itu lokasi itu tidak begitu ramai. Hanya petugas dan beberapa mahasiswa yang lalu lalang mengurus ketertinggalan kuliah atau updating kartu mahasiswa.
Sesampainya di pintu keluar. Sebuah suara tiba-tiba memanggilnya.
“Vee... Vee...!!”
Ditolehnya asal suara itu.
“Hey, Nin...” teriak Vee menyahut.
Nindi tampak berjalan menghampiri Vee.
“Ada yang harus kuomongin sama kamu.”
“Ada apa Nin, kok kayaknya serius gituh pake ‘harus’ segala?” tanya Vee penasaran.
“Udah kamu pulang bareng aku aja. Aku bawa mobil kok. Kamu naik taksi khan?” ujar Nindi menawarkan diri.
“Iya tadi aku naik taksi. Oke deh, boleh.”
Mereka berjalan menuju lokasi parkir mobil Nindi. Mobil Swift silver itu berjalan keluar area parkir menuju ke arah barat dan berhenti di sebuah cafe di dekat National Hospital.
Setelah mengambil beberapa makanan ringan pesanannya di kasir, Nindi mulai bicara.
“Sorry bikin kamu penasaran. Mm... Sebenarnya gak ada masalah apa-apa kok. Hanya saja....” Nindi tidak melanjutkan kata-katanya. Dia menunduk sejenak dan mengambil nafas panjang.
“Ada apa Nin... Ngomong aja gak pa pa...”
“Aku tadi ketemu Rafa di kantin....”
Vee tampak sedikit kaget. Dia berusaha tersenyum.
“Oh syukurlah kalo begitu. Gimana, positif gak kesannya tadi?” Vee berbasa-basi.
Nindi menggelengkan kepalanya.
“Bukan Vee... Bukan itu... It’s not about me... It’s all about you...”
Sedikit shock mendengarnya, posisi duduk Vee mulai tampak gelisah.
“Maksudnya...?” Vee mengernyitkan dahinya.
“Rafa bicara semuanya padaku. Dia ternyata sudah mengikuti kita dari pertama kali kita ketemu dulu.”
“What??” jerit Vee sedikit tertahan.
 “Iya. Dia sebenarnya naksir kamu. Dia pernah lihat kamu ketika ada kuliah umum Andrie Wongso bulan Agustus lalu. Dia bilang, dia gak bisa tidur semenjak hari itu. Selalu kamu yang ada di kepalanya. Setelah memastikan bahwa kamu gak pernah jalan bareng cowok, dia akhirnya memberanikan diri membuntuti kita dan akhirnya bertemu di perpustakaan waktu itu.” Ungkap Nindi.
“Oh... Beneran itu? What’s wrong with him?!”kata Vee masih dengan nada tinggi.
“Nothing wrong with Rafa Vee. Sejak awal dia udah suka sama kamu. Bukan aku. Meminjam buku darimu ketika itu hanyalah trik yang sengaja dilakukannya supaya ada alasan baginya untuk ketemu lagi. Bahkan ketika dia performin piano di acara kampus waktu itu, dia yang minta ke  panitia agar bisa bermain sebagai sarana untuk memperkenalkan diri ke kamu. Sekali lagi Vee, bukan ke aku.” imbuh Nindi menegaskan.

Vee benar-benar tidak menyangka ada cowok seperti itu.
“Nggak Nin, aku nggak terima kamu diperlakukan begini. Aku gak mungkin tinggal diam. Bakal kulabrak dia. Dia udah nyakitin kamu Nin. Dia itu buatmu, bukan buat aku. Aku padahal udah bilang ke dia, kalo kamu tuh suka sama dia. Bahkan aku udah niat buat nyomblangin kalian lho. Serius!”
“Terima kasih Vee, aku hargain itu. Dia juga cerita tentang kejadian di bakso Pak Mul. Aku bisa mengambil kesimpulan kalo kamu mencoba untuk menjaga perasaanku.”
“Sebentar Nin, ada yang salah dengan situasi ini. Kamu jangan terjebak dengan cerita-cerita dia. Aku gak mungkin sama Rafa. Aku ....”
“Sssttt!!”Nindi memotong kata-kata Vee.
Wajahnya kini berubah serius. Matanya tajam.
“Tolong Vee. Jangan korbankan dirimu hanya demi cinta semu yang ada di aku. Oke aku suka dia, tapi aku gak mungkin maksa dia buat nerima aku. Kita udah sama-sama dewasa Vee. Cara pandang kita udah bukan lagi kayak anak ABG. Pertanyaanku cuman satu. Kamu suka dia kan?”
Seperti kilatan petir menyambar, Vee benar-benar terkejut ditanyai begitu oleh sahabat karibnya ini.
“Eng.. Eng... Enggak kok Nin. Aku gak ada perasaan ap... ap..apa-apa sama dia. Suer, beneran...” ujar Vee terbata-bata.
Nindi menggelengkan kembali kepalanya. Rambutnya yang bergelombang itu bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri.
“Mouth can lie, but eyes can’t. Mata itu jendela hati Vee. Aku bisa melihat kejujuran disitu...” ujar  Nindi bijak.
“No no... Nindi please, don’t do this to me...”
“It’s okay kok Vee. Tenang aja. Aku orangnya easy going, and you already know that...”

Vee hanya diam memaku. Tak ada yang keluar lagi dari bibir tipisnya itu. Dia berusaha berbohong pada Nindi, namun bagaimanapun dia tak bisa membohongi diri sendiri. Dia memang tertarik pada Rafa. Walaupun selama ini rasa itu telah berusaha dihilangkannya dari hari ke hari.
“Ini Vee, dia menitipkan ini padaku.” ucap Nindi  sembari merogoh isi tasnya, mengambil sebuah amplop putih bertuliskan ‘To My Valentine’. Nindi memberikan amplop itu pada Vee.
Vee tampak ragu untuk meraihnya. Tangannya pelan-pelan terjulur mencoba meraih amplop itu. Perasaannya mulai tak karuan. Sedih, senang, penasaran, bingung, takut, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Emosinya betul-betul sedang tidak stabil. Dadanya bergetar hebat ketika diraihnya surat itu.
“Kamu baca di rumah aja ya nanti. Jangan disini. Kan ada aku...” kata Nindi mencoba berbesar hati.
“Nindi, kamu... Maafkan aku ya... Aku gak nyangka kalo semuanya justru bakal jadi kayak gini.” Ucap Vee mengungkapkan perasaannya.
Nindi tersenyum. “Vee, aku nggak pa pa. Kecewa tentu ada. Tapi kadarnya hanya sedikit sekali. Aku justru lebih senang melihat sahabatku berbahagia. Kadarnya sangat besar sekali.”
“Nindi, aku bahagia bukan karena Rafa atau surat ini. Aku bahagia karena memiliki sahabat terbaik di dunia.”
Tanpa sadar, air mata mereka mulai menetes. Vee langsung memeluk erat tubuh Nindi. Mereka berpelukan sambil terus menangis. Mereka menangis. Sebuah tangis bahagia karena persahabatan mereka yang tulus. Bahkan ketika seorang lelaki, tengah berdiri di antara mereka.

Rumah 2 lantai itu cukup besar untuk ukuran perumahan cluster. Kamar Vee sendiri terletak di atas. Kamarnya begitu rapi, boneka di sana sini. Warna pink begitu dominan di sana. Surat itu masih tergeletak di atas meja di depan cermin. Menunggu sang tuan putri untuk mengambilnya, membukanya, dan menjelajahi makna-makna prosa yang ada disana.

Tak lama kemudian, sebuah tangan putih bersih mengambilnya. Jari jemarinya memegang lembut ujung-ujung surat itu. Vee kini telah mengenakan baju tidurnya. Dia duduk disitu, di depan cermin. Dilihatnya sejenak wanita dalam cermin itu, menghela nafas dalam-dalam, kemudian memusatkan perhatiannya pada surat itu. Suasana begitu hening. Seolah-olah khidmat menunggu reaksi Vee ketika membaca surat itu. Pelan-pelan, mata yang berkacamata itu mulai membaca deretan baris pertama. 
   
“Tuan Putri. Ijinkan hamba sang pujangga senja ini menghaturkan persembahannya.
Fajar tak pernah lupa menebarkan mimpi baru bagi semua insan di dunia. Ketika matahari muncul menjelang pagi, selalu embun di dedaunan mulai menghilang sebagai penanda malam yang telah kehilangan ujungnya. Bagiku, pagi adalah momen dimana aku harus berhadapan dengan kehidupan kedua. Kehidupan kedua itu selalu monoton. Bergelut dengan sifat-sifat congkak dan arogansi manusia. Aku seperti berjalan di lintasan kereta berkabut yang aku sendiri tak tahu kapan kereta itu akan tiba-tiba muncul dan menghantamku.

Jingga di seberang sana seolah-olah menertawakanku. Mencibir dan mencemooh lelaki ini. Seperti kelelahan mencari oase di padang pasir, aku mulai melihat fatamorgana-fatamorgana.
 Iya, aku melihatmu. Aku melihat keindahan. Aku melihat bidadari yang meraga dalam bentuk manusia. Aku masih merasa kamu adalah fatamorgana yang menampakkan diri untuk sedikit menghilangkan dahagaku. Namun aku salah, kamu adalah nyata. Kamu bukanlah sekedar bayangan yang menantang siapapun untuk mengikutimu. Melihatmu dari dekat, seperti membuat beberapa kelenjar sarafku ini berhenti bekerja. Aku seperti awan yang tampak padat berisi, tetapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.

 Mungkin, seorang Vee yang sempurna, akan sedikit terhenyak kaget membaca surat ini. Maka maafkan aku yang lancang ini. Aku sengaja menulisnya dengan pena. Bukan dengan mesin ketik. Aku ingin tampak orisinil. Tampak begitu nyata didepanmu. Karena itu yang akan mempertegas kehadiranku. Aku ingin surat ini berisi, dan menjentikkan kesadaran kita untuk berfikir. Mungkin aforismenya sedikit berlebihan, tapi bahasa metaforis yang tak pernah terkonsep secara baku ini akan cukup mewakili batinku yang telah sejak lama bergejolak.

Semua mungkin nampak dilematis saat ini. Nindi pasti telah bicara banyak. Aku berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita sebaik dia. Karena itulah aku tak ingin semuanya justru menjadi abu-abu, abstrak, berkabut, pekat, dan menggelapkan seluruh mata hati kita. Aku ingin semuanya tidak ruwet, terang benderang.

 Aku dulu sering berandai-andai kapan aku bisa berkenalan denganmu. Kapan aku terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari buku-buku dan kupersembahkan untuk seorang novel geek sepertimu. Hingga akhirnya Tuhan yang mulia itu, mempertemukanku denganmu di rumah buku, sebuah kedai ilmu. Dan ternyata benar, kamu benar-benar cantik. Aku takjub, namun juga ngeri. Sampai sekarang aku masih mendefinisikan dua etimologi itu.
Bangunan kata-kata selalu menjadi penawar racun yang ampuh tiap kali aku merasa keracunan. Makanya, tidak jarang orang-orang menganggapku aneh dengan cara berfikir yang agak misterius bagi mereka. Namun, tidak denganmu. Kamu satu-satunya orang yang ‘connected’ dengan semua keanehanku itu. Sementara yang lain berlari, kamu justru mendekat. Tentunya, analogi tadi kurang pas untuk mengibaratkan betapa cocoknya kita dalam mengkonsumsi ide-ide prosa.

 Bagiku, tak ada yang benar-benar memikat dari seorang wanita. Kebanyakan hanyalah bedak tebal dan tarian erotisnya saja. Tetapi, ketika seorang wanita dilihat menggunakan logika terbalik, maka semuanya akan nampak beda. Wanita akan terlihat begitu indah, apa adanya. Dan wanita itu adalah kamu Vee. Iya.. Kamu...

Aku suka dengan caramu bertutur, aku suka caramu berjalan, kamu selalu berjalan tertunduk dan begitu santun menyapa ramah orang-orang. Satu bentuk kerendahan hati yang terpola. Aku suka caramu memandangku, mata itu, bukan mata biasa, itu adalah mata surga. Surga yang akan menyelamatkanku dari dosa-dosa dan kutukan-kutukan.

Aku suka caramu berfikir. Kamu gabungkan konseptualisasi dengan tema-tema abstrak namun masih tidak meninggalkan ke’formal’annya. Kamu masih terlihat elegan bahkan ketika tertawa terbahak-bahak. Kamu begitu tampak terpelajar dengan kacamata yang tak pernah lepas itu. Kamu tidak mengatakan A atau B, tapi kamu mengatakan begini dan begitu. Straight to the point. Di situlah daya pikatmu. Kamu cantik, bukan karena rambut yang tak pernah lupa kamu shampoo atau parfum yang tak pernah lupa kamu pakai, atau baju bagus yang selalu kamu pakai. Kamu cantik karena kamu begitu filosofis. Kamu adalah simbol bidadari yang sengaja diturunkan ke bumi untuk memberikan pencerahan-pencerahan bagi musafir-musafir tersesat sepertiku ini.

Sering kubergumam, kamu gak mungkin menerimaku. Seorang abdi yang menghamba sekaligus mencinta seorang tuan putri. Kasta selalu menjadi pembeda. Ketika aku begitu, malam tiba-tiba memuram. Udara terinfeksi dan dunia menjadi enggan bersuara. Ketakutanku itu menorehkan duka, dan duka itu membuatku demam. Ada tangis yang tak terlihat yang merobek ruang dan waktu dan menghampiriku dengan caranya sendiri. Aku memilih diam, mencoba menyelamatkan diri. Tetapi diamku memapahku ke ujung pertahanan. Dan akhirnya aku tersedak oleh hampa. Kutelan nafas itu, kubungkus dan kusimpan untuk nanti kubuang ke sungai.

Namun dalam diam itu, lamat-lamat kudengar suara. Awalnya pelan, lalu semakin keras dan semakin keras. ‘Kamu harus mencoba’. Namun aku takut bila hatiku tersakiti. Tetapi semakin ku meringkuk dan menelungkupkan tubuhku dalam peluh dan ruang kecil yang pengap, suara itu semakin nyaring terdengar. Lalu aku bangkit berdiri, kutatap samudra di depan. Dengan sedikit bergetar, aku balas suara tadi, ‘Kan kucari dia. Akan kunyatakan cintaku, walau entah akhirnya nanti’.

Akhirnya, serangkaian prosedur kusiapkan. Hanya untuk membuktikan bahwa kamu akan baik, atau jahat kepadaku. Semua itu bukan semata-mata untuk menciptakan muslihat. Melainkan sebuah permainan catur yang cantik yang mengundangmu untuk bermain di dalamnya. Tentu permainan catur bukan keahlianku, makanya sering aku salah langkah dan akhirnya bunuh diri. Itulah mengapa yang pertama menyebut kata ‘skak mat’ justru kamu, bukannya aku. Mungkin kamu sudah mahfum sekarang. Maka tolong jangan lihat hasil jadinya, namun lihat apa yang ada dibalik itu semua. Lihat prosesnya, kesungguhan yang ada, lihat peluh keringatku yang tak menuntut dihiraukan, aku tak ingin apa-apa, aku hanya ingin kau melihat hatiku.

Cuaca, bagi sebagian orang adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar diutarakan. Itulah kenapa kemarin di Pak Mul aku memilih kata ‘adem’ ketimbang ‘mendung’. Mungkin kamu sudah membacanya. Sayangnya itu adalah hari yang angkuh. Jalan kita terpecah kemarin. Kebisuan menjebak kita dalam lingkaran tebak-menebak, agar yang tersirat tetap tersurat. Pragmatis.
 Namun aku berontak. Aku tak mungkin membohongi batinku sendiri. Aku ingin menampilkan cerah yang sejati, karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.

Dan aku telah siap dengan badai Vee. Aku hanya tinggal menunggu saja, kapan badai itu meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan, atau justru menghanguskan. 
Kini aku bersimpuh dihadapanmu tuan putri. Kujulurkan tangan kananku ini untuk kau raih, kuingin kau menggenggamnya. Dan bisa jadi, ini usaha terakhirku. Karena semua keputusan kini berada di tanganmu. Apapun jawabannya, kutunggu kau besok di kedai ilmu. Tempat pertama kali kita 
berjumpa.  Pukul 8 malam. Tepat.”                                                       

Yang mendambamu ..............

Rafa...


Vee seperti patung arca yang dipahat rapi oleh pengrajin dari zaman kerajaan. Dia duduk terpaku melihat kata-kata terakhir dalam surat itu. Dia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Dia masih sulit mencari indikator-indikator dalam tulisan itu, walaupun tentu dia sendiri sudah sangat mengerti isinya.
Bagi seorang Vee yang tumbuh dalam keluarga konservatif, pacaran adalah satu hal yang tabu. Itulah mengapa, dia terakhir mengenal cowok hanya ketika SMA, itupun tidak lama. Selebihnya, dia fokus pada karir akademisnya.
Kehadiran Rafa membuatnya sedikit keluar dari zona itu. Kepalanya terasa begitu sesak oleh hal-hal negatif positif yang saling berjejalan merangsek masuk ke alam pikirnya. Namun dibalik kebimbangannya itu, ada sedikit tantangan yang ingin dia coba taklukkan. Dia ingin membuktikan bahwa seorang Vee itu bernyali. Bukan pecundang yang mengaku kalah sebelum berperang.

Suasana perpustakaan tidak begitu ramai kala itu. Hanya beberapa petugas jaga dan mahasiswa yang dikejar-kejar deadline oleh dosen-dosen mereka. Vee baru saja meletakkan tasnya di rak penitipan di depan lobi perpustakaan. Dia membuka pintu masuk. Ada sedikit getar dihatinya. Takut semuanya berakhir buruk, miris membayangkan bila harus ada yang dikecewakan.
Rak-rak buku itu dilewatinya tanpa sedikitpun ia menyentuh buku yang biasanya menarik perhatiannya untuk sekedar berhenti dan mencoba membuka lembar demi lembar halaman buku.   
Batinnya makin terasa tidak karuan ketika ia mendekati meja putih tempat ia bertemu pertama kali dengan Rafa. Meja itu berada di ujung rak. Space yang tersedia tidak terlalu besar, namun cukup untuk 4 orang berdiskusi.
Vee mencoba untuk terlihat tenang saat dilihatnya seorang cowok mengenakan polo shirt hijau dan bercelana jeans telah berada di meja itu. Cowok itu duduk membelakanginya. Dia tahu, dialah cowok yang tengah menunggunya saat ini.
Ditengoknya sebentar jam tangan mungilnya, jam 8 tepat. Vee sekali lagi menghela nafas panjang.
“Rafa...”
Cowok itu menoleh. Dia tersenyum. Vee membalasnya pula dengan senyuman.
“Hai... Apa khabar?” sapa Rafa sembari menutup bukunya yang tak pernah ia niatkan untuk dibaca. 
“Kurang baik ...”sahut Vee sekenanya sembari mengambil posisi duduk berhadap-hadapan.
“Lhoh.. kenapa?”
“Suratmu bikin kepalaku sakit kepala. Dan sakitnya gak ilang-ilang sampe sekarang.”

“Ngng... Jadi udah kamu baca?”
“Kalo belum kubaca, mana mungkin aku duduk disini sekarang.”
Rafa hanya tersenyum kecil saja.
“Jadi, kenapa kamu harus bersandiwara? Bikin skenario segala. Semua yang kemarin itu sudah kamu rancang khan? Biar sesuai rencanamu kan? Kamu ini siapa sih, CIA?”
“Bukan begitu Vee. Aku minta maaf banget jika kamu tak berkenan. Aku tak pernah berniat buruk terhadapmu. Itu semua semata-mata agar aku bisa mendekatimu.”
“Kenapa harus kayak gitu, kenapa gak langsung aja kamu ajak aku kenalan?”
 “Karena... karena aku minder Vee. Aku takut jika perkenalan kita nggak spesial, kamu akan menjauh.”

“Jadi serendah itu kamu menilaiku?
”Aku gak pernah ada pikiran seperti itu. Sama sekali gak pernah. Aku hanya mencoba untuk sedia payung sebelum hujan. Dan aku ingin memberikan sedikit nilai seni di awal-awal perkenalan kita. Biar ada kesan. Sama sekali jauh dari pikiran seperti yang kamu kira tadi.”
Vee tidak membalas sepatah katapun.

“So, you got the point from what I’ve been writing there in the letter?” Rafa mengejar.
“Iya. Aku udah paham maksudmu. Tetapi, dimana sebenarnya kita pernah ketemu?”
“Ketika ada kuliah umum dari Andrie Wongso. Aku duduk 2 kursi dibelakangmu. Telingaku memang mendengar semua yang dikatakan oleh beliau, tetapi mataku ini got stuck on you. Gak pernah aku merasakan darahku berdesir, dan hatiku bergetar seperti waktu itu. Dari situ aku tau bahwa aku telah menemukan sesuatu, atau, seseorang. Iya Vee, aku telah menemukanmu.”
 “Rafa... kamu terlalu berlebihan. Aku bukan tipe cewek yang gampang jatuh ke pelukan laki-laki.”
“Aku tau kamu punya standar. But just like other fighters, I will try my best to be on your standard. Aku akan berusaha menjadi seperti yang kau minta. Because I want you to be my fairy... The one and only...”

 “Kamu serius fa...”

“Aku jatuh cinta padamu Vee... From the very first sight. That’s what I want you to know. Aku tak tahu lagi apakah ini salah atau benar. Yang kutau aku punya hak untuk mencinta. Dan tentu, berhak pula untuk memperjuangkannya.”
Vee sedikit melunak mendengarkan ucapan Rafa barusan.
“Bahkan jika harus kujilat matahari, akan kulakukan.”
Vee benar-benar gak menyangka akan ada lelaki yang mencintainya sebegini kuat. Seperti langit seisinya runtuh dari langit, hati Vee pun luluh. Memberanikan dirinya untuk membuka diri bagi sosok didepannya ini.
“Aku akan memberimu kesempatan...” ujar Vee membuka diri.
Mata Rafa tiba-tiba berubah cerah, berbinar-binar, kebahagiaan menyelimuti hatinya, layaknya merpati jantan yang menemukan betinanya.  
“Be... be.. benarkah..” ujar Rafa penuh harap.
Vee mengangguk kecil sambil tersenyum manis seraya setengah berbisik; “Kalo kamu tidak keberatan, kita menjalaninya pelan-pelan.”
“Te... terima kasih Vee. Aku gak pernah sebahagia ini.”

Vee hanya berfikir, banyak hal yang tak bisa dipaksakan, namun layak diberi kesempatan. Mungkin nanti akan banyak penawaran-penawaran di depan. Hubungan bisa dibangun, namun memupuk kepercayaan bisa jadi hal pertama yang akan menjadi tantangan terbesar. Maka, ia memutuskan untuk saling menjajaki dulu sebelum melangkah ke jenjang komitmen.  
Dan Rafa sepakat.

Mereka berjalan keluar dari perpustakaan itu. Semua elemen kedai ilmu itu seolah menjadi saksi babak baru kehidupan Rafa.
“Apa yang pertama kali akan kau sajikan padaku?” tanya Vee.
“Pertama-tama, akan kubuat untaian nada-nada terbaikku buatmu Vee. Kan kumainkan ia di atas mimbar di depan ribuan makhluk bumi. Dan puncaknya, akan kusebut namamu sebagai perwujudan roh cinta sejatiku ini.”
Hati Vee bergetar mendengarnya. Digenggamnya tangan Rafa, dan di sandarkannya kepala dengan rambut terurai itu ke pundak Rafa. Pertemuan singkat malam itu, menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang panjang bagi Vee dan Rafa.

Surabaya, 12 Desember 2014
Yang bertabur debu .....

   Ed,





2 komentar:

Unknown mengatakan...

Syahdu tralala...

OK mengatakan...

Thanks bos ngikuti terus he he ....