Matahari masih tampak mengintip
di balik serangkaian awan. Sinarnya menyelinap dari balik dedaunan. Menyisir
setiap apa yang lewat di jalan itu. Sebuah jalan besar satu arah yang membawa
orang-orang menuju sebuah bangunan megah dengan tulisan besar, “Universitas Ciputra”.
Di pintu masuk itu banyak
mahasiswa yang lalu lalang. Beberapa tampak sedikit terburu-terburu. Ada juga
sepasang mahasiswa yang tengah berjalan santai bersama bergandengan tangan
sembari tertawa-tawa ringan. Di kawasan akademis yang menjulang tinggi itu,
sebuah bangunan yang tampak sedikit lebih ‘mewah’
berdiri tegak di tengahnya. “Fakultas
Magister Manajemen”. Seorang gadis tampak berjalan sedikit terburu-buru
menuju koridor kampus. Rambutnya tergerai lurus sepinggang. Mengenakan T-Shirt
dan blue-jeans sambil menenteng tas kecil di pundak kirinya. Kaca matanya tipis
memberikan kesan smart yang akan membuat siapapun meliriknya.
Sebuah suara memanggilnya tepat ketika
ia mulai menaiki tangga kecil menuju kelas.
“Vee... Vee... Tunggu!”
Gadis itu berbalik mendengar sebuah
suara memanggilnya. Wajahnya sedikit tirus dengan bola mata yang sedikit
menyipit. Hidungnya mancung dan bibir tipisnya tersungging melihat siapa yang
memanggilnya. “Rafa...” ucapnya pelan dengan nada suara yang begitu manis.
“Sorry.... Ini buku yang kemarin lalu aku pinjam...”
ujar cowok itu dengan nada bicara yang sedikit tersengal-sengal seperti habis
berlari.
“Oh ... Ok. Kamu beneran udah
selesai bacanya?” tanya Vee.
“Iya. Udah kok. Partikel emang
luar biasa. Aku udah gak sabar nunggu sekuel setelahnya. Gelombang.”
“Iya ... Kita tunggu aja yah... By the way, aku agak buru-buru nih.
Kelasnya Prof. Sidharta udah mau mulai. Sampai nanti ya... “ ujar Vee sembari
tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan Rafa.
“Terima kasih ya Vee. Iya...
Sampai nanti.”
Rafa
masih menoleh ke belakang saat Vee membuka pintu ruang kelasnya. Dari kejauhan
ia masih terus menatap gadis cantik itu bahkan ketika pintu sudah tertutup. Cowok
kece itu tersenyum simpul sembari berujar sesuatu “Vee... Itu namamu khan? Semoga
... ” kemudian melangkah kecil meninggalkan koridor itu.
Suasana kantin mahasiswa itu
nampak semakin ramai saja walau jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Masih
banyak dari mereka yang nongkrong dan berbincang-bincang disana. Kantin
Universitas itu sudah menjadi tempat favorit bagi para mahasiswa terutama
mereka yang hobi camilan dan ngopi di waktu petang. Tidak sedikit pula kuliner
khas Surabaya yang ditawarkan di situ.
Diantara sekerumunan mahasiswa
itu, seorang gadis tampak sedang berbincang-bincang akrab dengan seorang teman
ceweknya. Dua gelas jus dan sepiring kentang goreng menemani mereka.
“Terus terang aku masih bingung
Vee... Tentang materi yang disampaikan Prof. Sidharta tadi, kayaknya aku mulai stuck deh. Bagaimana bisa akumulasi
penyusutan justru menambah kemungkinan terjadinya inflasi cash-flow perusahaan?”
“Sebenarnya bukan stuck Nin... Itu karena kamu belum
pernah menemukan satu kasus semacam itu di perusahaan tempatmu bekerja. Sebagai
seorang akuntan, seharusnya kamu lebih peka dong dengan hal-hal kayak gitu.”
Sahut Vee.
“Seharusnya sih gitu. Tapi kamu
khan tau sendiri, aku hanya bekerja mengikuti SOP yang berlaku. Untuk analisis
proses kan sudah ditangani sama tim audit. Jadi ya, aku gak pernah tau
bagaimana sejatinya semua perhitungan itu bermuara.”
“Oke aku ngerti kok. Tapi aku yakin, dengan
adanya rasa penasaran yang kamu miliki itu, kamu bakalan ngerti dalem-dalemnya
teori Keseimbangan Akumulatif yang
dijelaskan Prof. Sidharta. Karena kamu selain belajar, juga praktek. Gak kayak
aku Nin, yang jelas-jelas beda jauh dari aktivitas itu. Aku masih sulit
mengimplementasikan apa yang kudapat dari sini di dalam pekerjaanku.”
Nindi tampak mulai serius mendengarkan.
Vee lalu melanjutkan, “Sebagai
seorang guru, aku hanya harus bagus dalam mengajar dan aktif dalam proses
akademik. Di tataran manajemen, yayasan sudah memegang penuh kendalinya. Jadi
ya gak ada ruang bagiku untuk istilahnya, “berekspresi”,
dan mencoba teori-teori yang kudapat disini. But I enjoy it kok he...”
“Oke deh Vee... Eh
ngomong-ngomong, siapa itu namanya? Cowok yang minggu lalu nyamperin kita di
perpustakaan itu? Yang tinggi keren itu lho...”
“Yang mana sih?” tanya Vee
sembari mengernyitkan dahi.
“Halah ... Yang itu lho, pas dia
tiba-tiba nyerocos gak jelas bicara ngalor ngidul tentang isi novelnya Dewi
Lestari yang Atom terus kamu tanggepin yang terus aku bengong gak tau apa-apa
itu lhoh...?”
“Owalah, maksudmu Rafa?”
“Iya iya itu... Siapa tadi?”
“Rafa, Nin. Rafael namanya...”
“Iya betul itu. Kok gak pernah
keliatan lagi ya... Apa karena kita yang jarang ke perpust ya?”
“Aku tadi ketemu.”
“Hah! Serius?” Nindi bertanya
sedikit terpekik.
Vee mengangguk. “Dia ngembaliin buku
yang kupinjemin waktu itu. Kamu masih inget khan waktu dia bilang gak mungkin
ada cewek yang begitu nerdy dengan
mengoleksi karya-karya fiksi Dewi Lestari. Lalu dia kelabakan pas kuliatin novel
Partikel dari tas waktu itu.”
“Oh iya iya... Aku inget. Iya ya,
yang dia langsung minta ijin pinjem itu kan?”
“Iya he he..”
Mereka berdua tertawa lepas
merasa menang dari lelaki.
“Eh Vee dia itu, mahasiswa
jurusan apa ya, kamu inget gak pas dia kenalan dulu itu?”
“Kalo gak salah sih dia pernah
nyebut kalo dia dari Magister Manajemen Psikologi.”
“Oh... Keren juga ya. Masih
jomblo gak ya dia? He he ...”
“Owalah Nin... Jadi ceritanya
kamu naksir dia nih? Hahaha...”
“Gak tau deh ... “ balas Nindi
senyum-senyum sendiri.
“Kayaknya dia baik kok Nin. Aku
dukung deh kalo gitu. He ... “ujar Vee sembari tersenyum simpul.
“Eh tapi belum tentu juga lho
Vee. Ada yang bilang cowok itu rajanya akting. Kadang mereka bisa begitu baik
sama kita, tapi gak jarang juga lho yang tiba-tiba berubah jadi buas dan nyakitin
hati kita.”
Vee langsung menyahut, “Itulah
kenapa, ada yang mengatakan, jika kamu cewek, maka jadiah singa betina. Agar
serigala-serigala lapar itu akan berfikir berulang kali untuk menyerang.”
“Betul juga kamu Vee. Kamu tau
khan terakhir kali aku putus sama Nico. Gara-gara aku yang terlalu lembek dan
memanjakan dia, aku jadi harus merasakan sakit hati waktu ngeliat dia jalan
sama cewek lain yang menurutku nggak lebih cantik dari aku.” papar Nindi.
“Ya itu salah satunya Nin. Ketika
kita telah memposisikan diri sebagai seseorang yang prinsipil dan berkomitmen,
ya harus tegas pula kita menjaganya. Salah satunya ya itu, kita harus berani
galak dan judes sama cowok. Kita ini seperti sudah ditakdirkan untuk selalu
bilang tidak sama cowok. Nah, sudah
takdir pula para cowok ini selalu merasa tertantang dan ingin terus berjuang
untuk membuat si cewek ini bilang iya.”
“Iya Vee. I got it.”
“Yang sabar ya Nin. Masih ada juga
kok cowok baik di luar sana. I mean,
cowok yang betul=betul baik dan bisa ngertiin kita para cewek, luar dalam.”
Nindy kembali tersenyum,
“Feelingku sih mengatakan, mungkin si Rafa ini... Hahahaha...”
Mereka berdua kembali tertawa
lepas. Kali ini lebih keras, seolah tak lagi peduli dengan orang-orang di sekitar.
“Kalo memang ditakdirkan begitu,
aku juga ada feeling, bahwa besok kita bakal ketemu lagi sama dia.” Vee mulai
bercakap kembali.
“O ya...?” mata Nindi
berbinar-binar.
“Aku dengar, si Rafa ini jago
maen piano. Dan kalo gak salah, dari brosur pesta musik kampus yang kulihat
tadi, dia bakalan ikut perform juga disana. Ada namanya kok disana. Di situ
tertulis, Special Performance: Rafael
Antonio. Dan ada fotonya juga disitu.”
“Oh my... He’s so
cccuutteeee... A pianist? Perfect banget ya dia Vee...? Yaudah
kita besok dateng ya Vee, dateng ya, plizzz...”
“Kalo ini sih bukan ditakdirkan
lagi namanya. Tapi ngarep... Iya wis, besok kutemenin. Demi kamu Nin, demi
kamu....” wajah Vee mulai cemberut.
“Makasih ya Vee... Makkaassiih
banget udah mau malam mingguan bareng aku besok. Kamu emang temenku yang paling
buaek, cuanteek, semuart, pokoknya semuanya deh he he...”
“Aku gak butuh pujianmu Nin. Aku
butuh dibeliin Donuts J-Co sama Black Mocca nya pak Ipul aja besok.”
Kata Vee sambil tetap memalingkan wajahnya yang dilipat.
“Oke deh. Deal!”
“Oke,
deal!”
Suasana hall gedung utama kampus terlihat begitu ramai dengan kerumunan
penonton yang ingin menyaksikan konser tahunan bertajuk Pesta Musik Kampus itu. Satu demi satu band-band dan performer
saling unjuk kebolehan di square stage
berukuran 10x6 meter itu. Orang-orang mulai turut bernyanyi ketika salah satu
band pengisi membawakan lagu-lagu Maliq D’ Essentials. Satu bentuk antusiasme
yang luar biasa.
Diantara kerumunan itu, berdiri 2
cewek cantik yang turut mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama groovy yang dimainkan. Mereka adalah
Nindi dan Vee.
“Keren banget ya Vee” kata Nindi
berapresiasi.
“Iya Nin. Aku juga suka kok
lagu-lagunya Maliq. Liriknya dalem dan musiknya oke punya. Semoga nanti mereka
membawakan Taman Sriwedari.” Vee
menimpali.
Harapan Veepun terkabul. Taman Sriwedari dimainkan dan suasana
terasa begitu riuh ketika suara penonton dengan kompak menyanyikan lagu itu
bersama-sama. Mereka terlihat begitu lekat dengan lagu hits terbaru Maliq
tersebut. Vee dan Nindi tampak begitu menikmati. Kadang mereka ikut bernyanyi
dan bergoyang.
Suasana berubah ketika band
tersebut turun lalu MC menyebut nama seorang soloist yang sebentar lagi akan naik ke stage dan unjuk kebolehan.
Rafael Antonio.
“Ini dia Vee, ini dia!” jerit
Nindi.
Vee hanya geleng-geleng kepala
melihat teman satu kelasnya itu lompat-lompat kegirangan.
Tidak lama kemudian Rafa muncul
dia atas panggung. Cowok berkacamata itu mengenakan hem kotak-kotak lengan
panjang bercelana jeans bersepatu ket. Setelah menata sedikit letak piano uprightnya, iapun mulai menyapa
pengunjung.
“Musik adalah bahasa universal. As a part of nature, dia sudah indah secara
alamiah. Maka mari kita berapresiasi. Style yang saya mainkan nanti, mungkin
agak sedikit berbeda. Bagi saya musik klasik adalah harmoni yang selalu membuat
saya menggali inspirasi-inspirasi. Semoga anda terhibur.”
Rafa menutup prolognya dengan
disertai tepuk tangan para penonton. Dan tentu saja Nindi yang paling keras
tepuk tangannya.
Penonton nampak begitu hikmat
mendengarkan ketika Rafa mulai memainkan jari-jarinya membawakan
komposisi-komposisi klasik karya maestro-maestro besar seperti Mozart,
Monteverdi, dan tentu sang legenda Beethoven. Nada demi nada melantun apik dari
tangannya. Satu penampilan yang betul-betul memikat, terutama bagi Nindi.
Diam-diam Vee mulai menyadari bahwa lelaki yang tengah diidolakan temannya itu
mulai menarik perhatiannya.
Lagu terakhir dimainkan dengan
begitu apik oleh Rafa. Kecepatan dan ketepatan nada-nada yang dihasilkan begitu
akurat, sehingga menarik decak kagum orang-orang yang hadir. Begitu klimaks.
Tepuk tangan panjang terdengar membahana memenuhi seisi ruangan setelah Rafa
berdiri dan membungkukkan badannya berpamitan pada para penonton. Tak lama
kemudian ia turun dan memasuki ruangan kecil di belakang panggung.
“Eh Vee, ayo kita ke sana. Kita
sapa dia.” Tukas Nindi.
Belum sempat Vee membalas,
tangannya sudah ditarik langsung oleh sahabat karibnya itu.
Dengan sedikit tergopoh-gopoh
mereka berjalan begitu cepat menuju ruangan khusus performer itu.
“Tunggu tunggu. Kalian mau
bertemu siapa?” kata seorang laki-laki tinggi besar yang nampaknya salah satu
panitia yang bertugas menjaga pintu masuk ruangan itu.
“Ng.. ngg.. kami temannya Rafa.
Kami mau bertemu sebentar.” kelakar Nindi.
“Maaf ini ruangan khusus pengisi
acara, orang luar dilarang masuk.” Tegas lelaki bertubuh atletis itu.
“Plizz mas. Cuman sebentar tok
kok. Sebentaaarr aja...” ujar Nindi memelas.
“Iya deh mas, sebentar aja kok.
Teman saya ini ada hal penting yang harus disampaikan ke Rafa. Gak sampai 10
menit kok. Bentar aja deh...” Vee membantu Nindi beralasan.
“Mm 10 menit? Oke, tapi 10 menit
beneran ya, setelah itu saya akan sterilkan lagi ruangan ini.” Lelaki itu
memberi peringatan.
“Terima kasih mas.” kata Vee
hampir berbarengan dengan Nindi.
Mereka masuk ke ruangan itu, terlihat beberapa
personil band dan penampil acara duduk-duduk santai sembari ngobrol menunjukkan
keakraban sesama musisi. Mata Nindi mencoba mencari-cari di mana Rafa.
“Itu dia Nin.” Jari Vee menunjuk
ke arah sudut ruangan dimana Rafa duduk-duduk santai menatap jendela luar.
Rafa masih belum menyadari
kehadiran mereka ketika akhirnya Nindi menyapanya. “Rafa...” sapa Nindi.
Rafa menoleh ke belakang. Dilihatnya
Vee dan Nindi dengan ekspresi kaget.
“Lhoh... Kalian juga datang ya?”
ujar lelaki manis berlesung pipit itu.
“Iya fa... Kami kebetulan dateng
dan surprise banget liat maenmu yang keren tadi. Gak kusangka kamu seorang
pianis.” Nindi langsung melayangkan pujiannya.
Rafa tersenyum lebar sembari
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ah biasa aja kalee... Aku emang
suka sama piano sejak kecil. Jadi ya udah kayak pacarku aja dia hahaha...”
sahut Rafa.
“Aku suka yang Minuet tadi fa.
Suasananya dramatis banget. Kayak lagi nonton film seri romantis gitu he he...”
Vee turut menunjukkan simpatinya.
“Oh tau juga ya Minuet kamu Vee?”
tanya Rafa.
“Ya dikit-dikit tau lah. Musik
klasik kan sudah jadi keharusan ketika kita belajar musik di masa sekolah
dulu.” sahut Vee.
“Eh Rafa... Kamu sibuk nggak? Kita
hangout yuk.” ajak Nindi tanpa basa
basi memotong topik.
Vee tampak sedikit kikuk
mendengar temannya itu langsung menawarkan kopi darat. Baginya, itu sedikit
berlebihan untuk sebuah awalan.
Dengan sedikit canggung, Rafa
menjawab, “Mmm... Beneran nih? Sibuk sih nggak. Tapi apa nggak takut pulang
kemaleman nanti kalian?”
“Ini akan malam minggu fa. Selalu ada
pengecualian untuk siapapun yang merayakan Sat-Nite khan?” Nindi masih saja
mengejar.
“Nin, masih ada lain waktu kok.
Mungkin Rafa capek habis perform tadi. Kamu ngertiin dia dong?” rayu Vee
mencoba membaca situasi.
Dengan sedikit cemberut, Nindi
menoleh ke arah Vee seolah mengatakan ‘kamu
kok gitu sih, ga dukung aku?’
“Oh nggak nggak, aku fit kok he he... Ok,
boleh deh kita ngopi. Di Han’s Coffee belakang kampus cocok deh kayaknya.” ujar
Rafa mencairkan suasana.
Wajah cemberut Nindi berubah
seketika.
“Oke, kita ketemu di Han’s 20
menit lagi ya.” tukas Nindi riang.
Vee hanya geleng-geleng kepala sembari
tersenyum simpul.
“Seepp...”
balas Rafa.
Suasana di Han’s Coffee cukup
ramai malam itu. Kopi Latte dan Mocca di Han’s ini memang cukup terkenal
di kalangan mahasiswa Ciputra. Selain tempatnya yang nyaman, pelayanannya juga
bagus.
Di meja nomor 24 yang sedikit
berada di pojok ruangan tengah cafe, telah duduk Nindi dan Vee. Mereka duduk
besebelahan sengaja memberikan ruang di depannya untuk Rafa yang sebentar lagi
datang.
“Lama juga ya Vee si Rafa...”
ujar nindi.
“Kamu ini baru sekali ketemuan
aja udah ngeluh. Sabar dulu dong, anggap aja ini perjuanganmu.” balas Vee
berusaha menenangkan Nindi yang mulai gusar karena cowok idolanya itu belum
datang juga.
“Lagipula bukan Rafa yang telat,
tapi kita yang terlalu cepat nyampe. Mbok ya tenang dulu gitu lho. Tuh diminum
dulu Moccanya” Vee menambahkan.
“Kamu aja dulu yang minum. Kan
kamu yang pesen duluan...” sahut Nindi judes.
“Aku kan memang gak punya
kepentingan Nin. Aku cuman nemenin kamu ngopi aja kan? Paling bentar lagi juga
aku udah kayak Baygon, ngebasmi nyamuk yang lalu lalang...” timpal Vee tak
kalah judes.
Nindi hanya diam saja. Tidak
membalas sepatah katapun, seperti pelempar Boomerang yang terkena lemparannya
sendiri. Such exasperating...
“Hi girls. Sorry ya nunggu lama. Tadi ketemu temen jadi ngobrol
bentar di depan.” Suara Rafa tiba-tiba mengejutkan Nindi dan Vee yang tadi saling
berebut ego.
“Oh gak pa pa kok fa... Mau pesen
apa?” tanya Nindi sembari menyodorkan kertas menu setelah Rafa mengambil posisi
duduk di depannya.
“Mm aku Cappucino aja deh ya ...”
ujar Rafa. Tidak lama kemudian seorang pelayan mengambil kertas menu dan
berujar “Ditunggu ya...”
“Nindi, Vee. Vee, Nindi. Benar
khan?” kata Rafa sambil menunjuk-nunjuk kedua cewek cantik di hadapannya itu.
“Kenapa fa?” tukas Nindi.
“Aku hanya takut salah sebut
nama. Kan baru sekarang kita ketemu setelah terakhir kita berbincang-bincang di
perpust.” Sahut Rafa.
“Kamu sering ya ke perpust fa?”
Nindi mulai agresif seperti presenter yang sedang mengawali sesi tanya jawab.
“Nggak juga sih. Kadang-kadang
aja kalo aku pas lagi suntuk. Membaca terkadang bisa menciptakan ‘pause’ dan membantu melonggarkan
suasana yang terasa sesak di pikiran kita. Eh bener nggak sih?”
“Aku gak tau juga sih fa. Aku gak
begitu suka baca, tapi aku menghargai para book
reader. Contohnya ya, aku selalu nemenin si Vee ini kalo pas dia baca di
perpust. Dia ini kutu buku banget, saking seriusnya baca, gak jarang dia lupa
kalo ada aku di sebelahnya. Seandainya aku teriak-teriak minta tolong karena
ada kecoa pun aku yakin dia gak bakalan noleh. Beneran ...” Nindi berbasa-basi.
Vee hanya manyun saja
mendengarnya.
“Kalo Vee sih keliatan banget
kalo dia doyan ama buku.” Ujar Rafa mencoba melibatkan Vee ke dalam percakapan.
“Ya gitu deh.” tukas Vee simpel.
Nindi memulai perbincangan
kembali, “Eh tapi jarang lho fa, musisi yang kutu buku kaya kamu.”
“Ah siapa bilang Nin. Banyak juga
lho musisi yang suka baca. Liat aja tuh mas Yovie Widiyanto. Dia punya banyak
koleksi buku. Mas Dhani juga, banyak banget dia punya buku. Kebanyakan malah
yang bersifat filosofis gitu bukunya. Lagu-lagunya pas di Dewa kan mostly ngambil dari karya-karya Teosofinya
Rumi sama puisi cintanya Gibran. Gak heran deh kalo mereka itu smart.” Rafa menimpali.
“Bisa jadi gitu sih. Tapi gak
semuanya didasarkan pada kebutuhan akan referensi untuk lirik-lirik lagu
ciptaan mereka.” Vee mulai terhanyut.
Ia pun menambahkan, “Gak sedikit
juga kok yang membaca karena memang dari sononya sudah terbiasa membaca. Bagi
sebagian orang, itu sudah seperti lelaku
ritual yang sulit untuk ditinggalkan. Bahkan mereka memilih menjadi penulis
ketimbang menjadi artis penyanyi. Misalnya ya mbak Dewi Lestari itu. Di Rida
Sita Dewi, dia udah punya nama besar lho. Tapi namanya justru semakin melambung
setelah dia mentahbiskan diri menjadi novelis. Karya-karyanya tuh betul-betul epic. Full of emotion and inspiration.”
Merasa tertantang untuk membahas
lebih dalam, Rafa mencoba berkomentar, “Sebentar, oke, let’s say she’s amazing karena dia punya banyak talent dalam
menulis dan banyak juga contoh motivasi inspirasional dalam karya-karyanya. Tapi
Vee, maaf, kenapa dia sendiri tidak berdaya melihat keruntuhan rumah tangganya,
her personal life. She’s got divorced sama Marcell
Siahaan.”
“Kamu tau fa, dokter itu, sepandai
dan sepintar apapun dia, gak mungkin bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri.
Kamu ngerti khan?” sahut Vee.
“Itu konsekuensi namanya. Dan itu
alamiah. Tapi, burung yang sudah terluka sayapnya, gak mungkin bisa terbang
bebas seperti sebelumnya.”
“Walaupun tertatih, tapi burung
itu masih tetap akan terbang fa. Karena itu kodratnya. Walaupun pernah terluka
hatinya, tapi mbak Dewi masih akan terus menulis. Karena dia tahu itu
kodratnya.”
“Are you sure Vee?”
“Yes, absolutely yes. Kalo gak percaya, kita lihat saja edisi
Gelombang besok. Pasti akan lebih seru dari karya-karya sebelumnya.”
“Well. Let’s see then.” Sahut Rafa sembari manggut-manggut kecil
mengkonfirmasi persetujuannya.
“Eh ini fa, di minum dulu Cappucinonya keburu
dingin lho ntar...” potong Nindi yang sedari tadi bengong takut salah bicara.
“Sip!” ujar Rafa simpel. Di minumnya kopi itu.
“Kamu tau ga girls, minum kopi malam minggu ditemani cewek-cewek cantik macam
kalian gini ini, buat cowok jomblo kayak aku tuh rasanya geemmaannaaaa gitu he
he...” celoteh Rafa.
Nindi dan Vee kontan tertawa
hampir berbarengan.
“Gombal ah fa...” tukas Nindi
sambil senyum senyum sendiri.
“Gak kok beneran ini. I shall thank to both of you karena
malam ini aku gak sendirian kaya biasanya. I
like to make a friend sama siapapun. And
that’s the way I am. Maklum sih, aku orang yang bisa begitu nyaman
menghabiskan waktu sendiri. Reading,
playing piano, composing music, watching DVD. U know lah, things like that. Jarang juga sih aku hangout. Paling sama temen-temen kerja. Aku gak begitu dekat sama
temen-temen kuliah. U knowlah,
orientasi kita ngambil post grad kan
beda, gak kaya mereka yang ngambil
sarjana. Iya khan?”
“Iya sih. Eh, by the way kamu kerja di mana fa. Instruktur
musik?” tanya Nindi penasaran.
Rafa menggeleng. “Pekerjaanku gak
ada kaitannya sama hobi musikku. Aku kerja ikut kakakku. Dia punya perusahaan IT.
Aku bantu dia di bagian Public Relations.
Taulah, ngedeal-in project-project
gitu he he... Makanya aku harus pinter ngegombal hahaha...”
Tawa mereka meledak kompak.
“Kalo gitu kamu cocok dong masuk Psikologi. Bisa tau karakter klien dan
konsumen he...” Nindi membalas.
“Terus terang pusing juga sih
belajar Psikologi. Tapi, aku akhirnya bisa ngerti kenapa manusia ini ciptaan
Tuhan yang begitu kompleks. Bahkan Dr. Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa,
jika dalam dunia kedokteran diibaratkan bagian-bagian tubuh manusia bila
disambungkan menjadi satu mata rantai dia bisa mengelilingi bola bumi, maka
untuk bagian-bagian jiwa manusia, mental dan psikis, jika disatukan akan mampu mengelilingi
alam semesta seisinya. Itu hanya analogi untuk menggambarkan kompleksitas sifat
dan karakteristik manusia. Ya contohnya ya, kita bisa saja berimajinasi tentang
bentuk planet Jupiter seperti apa, padahal kita sendiri belum pernah melihatnya
secara langsung. Jadi imajinasi itu hanya sebagian kecil dari Mind Building, sementara mind sendiri hanyalah bagian kecil dari
psikis manusia.”
“Lalu bagaimana manusia ideal itu
menurutmu?” Vee kembali memantik obrolan menuju zona yang teoritis.
“It depends... Cara pandang manusia itu berbeda-beda Vee. Menurut
kultur dan pengalaman hidupnya.” Jawab Rafa setelah meneguk kopinya yang
langsung memusatkan perhatiannya pada Vee.
“Tapi manusia punya standar fa.”
Balas Vee.
“Yaudah aku ambil sampel wis,
sekarang menurut kamu standar cowok yang baik buat cewek itu kayak gimana?”
tantang Rafa.
“Cowok yang ideal buat suami apa
tipikal cowok yang cewek suka?”
“Ya, yang kamu suka?”
“Yang aku suka? Nanti bisa
subyektif lho jawabanku?”
“It’s fine. Subyektivitasmu itu
nanti akan masuk ke lingkup Universal
Discourse sehingga bisa dikatakan itu obyektif.”
“Oke... Mmm... “ dahi Vee nampak
mengernyit dan matanya melihat ke atas untuk sesaat. Dia kembali memandang
Rafa. Lalu berkata, “Kalo yang pasti, dia harus beragama, seagama. Kemudian,
dia harus bekerja, mempunyai pekerjaan. Dewasa...”
“Oh kalo itu ya pasti lah Vee...
Yang kutanyakan tu yang kamu suka?”
“Lha iya makanya tadi aku khan
tanya, cowok ideal buat suami apa tipe cowok yang aku suka? Kan sudah
kuklasifikasikan...” balas Vee gak mau kalah.
“Oke deh. Tipe cowokmu aja...”
“Tipe cowokku ya... Aku tu
orangnya sedikit cerewet, jadi dia harus banyak diemnya ketimbang ngomongnya.”
“Jadi kayak plastik gitu ya, yang
bisa kapan saja digunakan buat nampung celotehan-celotehanmu?” goda Rafa.
“Haha... Iya mungkin ya
hahaha...” tawa Vee sambil tetap menutup mulutnya ketika tertawa lebar begitu.
“Terus terus...?” Rafa mengejar.
“Dia harus pengertian dan baik.
Jadi ketika aku mulai kebablasan dalam bertindak dia paling tidak bisa
mengarahkanku ke arah yang benar.”
“Ada tipikal lain gak? Misalnya
dia harus pemain basket gitu misalnya?”
“Ya kalo dia bisa bermain basket,
kenapa enggak? He he...”
Dicuekin dari tadi, dengan
sedikit kesal Nindi menimpali sekenanya, “Tapi yang jelas, dia gak boleh
beristri dua!”
“Oo.. ya iyalah, emang siapa juga
yang mau jadi Eyang Subur!” sahut Rafa dongkol.
Vee berusaha menahan tawanya,
setelah menyadari kalo dia telah membuat Nindi cemberut.
“Eh tapi bener lho, cewek itu
emang unik. Dia suka meminta pada kami kaum pria, untuk rajin-rajin menghafal
nomor-nomor. Nomor kelahirannya, nomor tanggal jadiannya, bahkan nomor
rumahnya, lengkap dengan RT/RW nya. Emang perlu ya? Coba dong kalian para
cewek, jawab... ” Rafa kembali melanjutkan topik.
“Ya perlu itu emang. Cewek itu suka pria yang
bisa menunjukkan komitmen. Ya, mengingat tanggal-tanggal cantik apa salahnya?
Toh itu membuktikan cinta mereka.” Jawab Nindi.
“Tapi itu kan bukan ukuran Nin.
Sekarang kamu Vee. Cewek itu suka dikado apa kalo ulang tahun?.”
“Lha kamu biasanya dulu suka
ngado apa sama cewekmu?” Vee mencoba memancing reaksi Rafa, mencari informasi
mungkin.
“Mmm... Aku? Kalo aku sih terus
terang, gak pernah ngasih hadiah buat dia. Aku paling hanya ngasih ucapan lewat
telpon. Itu aja.”
“Nah itu dia, mungkin birthday wishes mu itu udah cukup buat
dia. Itu udah lebih cukup dari kado mungkin.” Ujar Vee.
“Eh eh, bukannya tadi aku tanya ke kamu,
kenapa justru dia yang dibahas...?” wajah Rafa sedikit dilipat.
“Kenapa emang fa?” Nindi justru
penasaran.
“Kami udah lama break kok. Dia minta aku cepat-cepat
nikahin dia, sementara aku masih ingin sedikit lebih lama lagi meniti karir.
Keluarga menjadi alasan kenapa dia memaksaku untuk cepat-cepat melamarnya. Kita
udah gak sejalan.”
Vee menimpali, “Berarti kamu tipe
cowok yang takut resiko ya. Ketika terjadi perbedaan pandangan yang sifatnya
prinsipil, langsung kamu leave out
gitu. Padahal fa, mengobati sakit kepala itu tidak dengan memenggal kepala. Apa
kamu sudah berusaha memberi terapi terhadap hubunganmu itu?”
“Eh kenapa jadinya ngomongin aku
sih, kan sifat topiknya umum?” kelakar Rafa.
“He he... Iya deh maaf maaff... “
kata Vee kemudian.
“Eh, by the way, besok filmnya Nicholas
Cage yang Left Behind udah putar lho
di Lenmarc. Gimana kalo kita nonton bareng?” Nindi mulai aktif kembali.
“Kamu suka nonton ya?” tanya Rafa
ke Nindi.
“Ya buat hiburan aja, kupikir
film adalah produk pelumat stress or
something...” balas Nindi.
“Kalo kamu Vee, suka juga?” imbuh
Rafa ke Vee sekarang.
“Film itu refleksi. Bagiku, film
itu semacam karya ilmiah yang dilalui lewat berbagai penelitian dan uji coba,
kemudian dikombinasikan secara imajinatif dan dipresentasikan dengan begitu epic. Tentu patut kita apresiasi para
sineas itu.” Jawab Vee.
“Yups setuju. Kalo aku sih simpel,
lihat film itu kayak liat kehidupan orang lain secara nyata. Bayangkan, betapa
menyenangkannya menonton drama miliaran manusia tanpa harus terlibat konflik
apapun, dan kita bebas berkomentar apapun tanpa harus menyinggung siapapun. Iya
nggak?” Rafa melengkapi.
“Mmm... so, gimana? Berangkat
nggak nih besok?” Nindi mengejar.
“Kita bertiga khan?” Rafa
memastikan.
“Iyalah...” sahut Nindi.
“Kamu bisa khan Vee?” Nindi
beralih ke Vee.
“Sebetulnya aku ada pekerjaan
yang harus selesai besok sih, tapi demi Nindi, aku ikut deh. Pasti seru he
he...” jawab Vee sedikit berbasa basi.
“Ssseeeeppppp!!” sahut Nindi
semangat.
Malam
terasa begitu panjang bagi ke 3 jomblo itu. Sat
Nite kali ini, entah karena sering terlewatkan atau karena chemistry yang baru saja tercipta di
meja nomor 24 itu, terasa begitu spesial. Terutama bagi Rafa, seorang pria
lajang, yang bisa dikatakan sangat jauh dari wanita selama ini. Kedekatan kali
ini begitu berarti. Sangat berarti ....
Sebuah mobil Avanza hitam baru
saja keluar dari Lenmarc, meluncur menuju arah utara. Mobil itu berhenti di depan
sebuah mini cafe depan Spazio yang saat itu cukup ramai dengan muda mudi yang
menikmati suasana malam dengan langit penuh bintang. Seorang pria keluar dari
pintu depan mobil mengenakan kaca mata hitam dengan jaket jeans khas anak muda,
diikuti dengan 2 pintu mobil belakang yang turut terbuka. 2 wanita cantik yang
tak lain adalah Nindi dan Vee nampak berjalan mengikuti dari belakang.
“Kamu biasa nongkrong di sini ya
fa?” tanya Nindi memulai percakapan setelah sesaat sebelumnya memesan makanan.
“Kadang-kadang sih Nin. Paling ya
sama temen-temen kantor sepulang kerja gitu.” balas Rafa sembari melepas kaca
mata hitamnya.
“Eh, gimana tadi filmnya
menurutmu, bagus gak?” tanya Nindi lagi.
“Film apapun, kalo Nicholas Cage
pemerannya pasti luar biasa. Menurutku dia bakalan gantiin posisi
senior-seniornya macam Al Pacino atau Robert de Niro. Film tadi agak sedikit
fiksi sih, tapi karena referensinya dari Alkitab, maka tiap adegan-adegan di
situ nampak begitu nyata, dan ramalan masa depan nanti bisa jadi seperti itu.
Kamu masih inget khan ramainya film 2012 dulu?”
jelas Rafa.
jelas Rafa.
Nindi mulai tersenyum melihat
Rafa merespon pertanyannya, “Iya lah, siapa yang lupa hebohnya tahun 2012 lalu.
Aku aja waktu itu udah mikir yang enggak-enggak. Gimana kalo beneran kiamat.
Mana belum kawin lagi... he he”. celoteh Nindi.
“Makanya ada yang bilang film itu doktrin yang
nyata. Kepala ini akan terasa begitu penuh ketika menyadari hal-hal yang
terjadi dalam film itu sangat memungkinkan untuk menimpa kita juga.” jelas Rafa.
Nindi manggut-manggut saja,
sementara Vee hanya duduk manis menyimak.
“Sekarang gini aja deh, pernahkah
kalian berfikir, kalo ternyata mobil-mobil atau bus dan truck besar yang lalu
lalang di seberang sana itu adalah Transformer
yang turun ke bumi untuk melindungi kita. Atau pernahkah kalian berfikir bahwa
kampus kita itu punya fasilitas rahasia yang sedang meneliti tentang ilmu-ilmu
sihir layaknya akademi sihirnya Dumbledore di film Harry Potter, bagaimana pula jika Bapak tukang parkir yang berompi
kuning bertuliskan “Penegak Disiplin”
itu ternyata adalah Spiderman. Atau,
bagaimana jika aku ternyata berasal dari keluarga Vampire yang sedang mencari
cinta layaknya Edward Cullen dalam Twilight.
Pernahkah kalian?” mata Rafa kini mulai agak meruncing, ia menatap tajam ke dua
wanita cantik di depannya itu.
Sejenak Nindi dan Vee seperti
terhipnotis, tak mampu berkata-kata, hanya bisa menatap dalam mata Rafa itu.
Atau mungkin seperti ramalan Rafa tadi, kepala mereka kini mulai penuh. Penuh
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang anehnya cowok di depannya ini.
“Atau mungkin gimana jika kamu
ternyata adalah titisan dewa Shiwa seperti di film Mahadewa?” Vee mulai melepaskan
diri dari pengaruh hipnotis tadi.
“Hahahahaha....” tawa Rafa
meledak seketika.
Nindi turut serta tertawa kecil.
“Betul memang katamu, film itu
doktrin nyata, dan kamu ini salah satu korbannya Rafa...” ujar Vee tak tahan
untuk tidak mengatakannya.
Rafa tertawa cukup lama dan baru berhenti
ketika seorang waitress datang
membawa pesanan dan mempersilahkan mereka untuk menikmatinya.
“Mari-mari silahkan....” kata
Rafa.
Mereka mengambil gelas
masing-masing yang berisikan macam-macam juice itu, mengangkatnya ke atas,
bersiap untuk sebuah toast.
“For our health, and friendship...” Rafa memimpin.
“For our health, and friendship...” Nindi dan Eve mengikuti.
Sedetik kemudian, “Ttiinnggg...” gelas-gelas itu beradu.
Hampir berbarengan, mereka
meneguknya. Mata Rafa tiba-tiba tertuju pada sebuah piano upright yang berdiri gagah di atas panggung tanpa penampil itu. Tiba-tiba
sebuah ide terbersit di kepalanya. Ia kemudian berjalan mendatangi meja kasir
dan terlihat bercakap-cakap dengan seorang lelaki disana.
“Eh Vee, kira-kira mau ngapain
dia?” bisik Nindi ke Vee.
“Mau bayar kali...” sahut Vee
sekenanya.
Beberapa menit kemudian Rafa
terlihat berjalan menjauhi kasir menuju ke arah panggung di mana piano itu
berada. Ia mengambil mic dan bersiap untuk mengatakan sesuatu.
Hampir seluruh pengunjung
mengarahkan pandangannya ke panggung. ‘Ini
ya ternyata pemainnya’ begitu mungkin pikir mereka.
“Oh My God Vee, he’s gonna play it for us...” Nindi tampak
kegirangan.
Vee hanya tersenyum saja. “Semoga
dia main cuman buatmu aja Nin...” sahut Vee membesarkan hati Nindi.
Di panggung, Rafa mulai
mengatakan sesuatu.
“Ehm... tes.. tes... Ok, selamat
malam kerabat cafe semua... Saya Rafa. Saya datang ke sini bersama dua orang
spesial di sebelah sana. Kami baru saja merayakan persahabatan kami. Maka,
untuk meramaikan suasana, saya akan bermain piano di belakang ini. So, untuk
anda semua, especially, Nindi and Vee,
enjoy this song...”. Rafa berjalan kecil menuju tempat dimana piano itu
berada. Dia mengambil posisi sembari membetulkan stand mic yang akan digunakannya untuk bernyanyi.
“Oh my... Vee, he’s so cute that way, he’s gonna sing for me, he’s
gonna sing for me!!” ujar Nindi mulai ke-Pe-De-an sembari
menginjak-injakkan kakinya ke tanah berkali-kali.
Sebuah lagu lama milik Kenny Loggins berjudul For The First Time mulai dinyanyikan
oleh Rafa.
“For the first time, I’m looking in your eyes, for the first time, I’m
seeing who you are, can’t believe how much I see, when you’re looking back at
me, now I understand what love is, love is ...”
Nada-nada yang terlantun begitu
memikat siapa saja yang berada di sana. Permainanannya, suaranya, semua yang
hadir jelas tahu betul, betapa Rafa memiliki talenta musik yang tidak
main-main. Itu bukan sekedar lagu, itu adalah ekspresi jiwa romantis Rafa yang terwujud
dalam nada-nada membentuk sebuah ruang indah di sudut sana, tempat Nindi dan
Eve berada. Diam-diam, Eve mulai mengagumi cowok ini.
Applause datang bertubi-tubi memenuhi venue ketika Rafa
menyelesaikan penampilannya. Tampak ia berkali-kali membungkukkan badannya di
panggung sana. Kembali Rafa memegang mic nya dan berkata, “Kali ini saya akan
ditemani oleh salah seorang sahabat saya yang juga hadir. Silahkan, Nindi atau
Vee, temani saya di sini yah...”
Begitu kaget ekspresi 2 bidadari cantik
itu, lebih kaget lagi ketika menyadari bahwa hampir semua mata sekarang tengah
tertuju pada mereka.
“Aduuhh... Gimana ini Vee...”
Nindi mulai salah tingkah.
“Udah sono, kamu aja yang maju...
Nyanyi apa gitu kek, atau joget doang juga gak pa pa...”kilah Vee.
“Nggak ah, bisa jatuh pingsan aku
nanti di atas situ. Suaraku cempreng Vee, hancur, kamu ngamatin khan kalo pas kita karaoke?”
“Halah gak pa pa sono, udah mau
aja, kan kamu bintangnya malam ini...”
“Ogah ah... Mending-mending juga
kamu kalo nyanyi. Sana, maju ya... Tuh
liat semua orang pada nengokin kita lhoh... “
Menyadari mereka jadi sasaran
tembak, Vee memejamkan mata, menghela nafas panjang, lalu berdiri, melihat
Nindi sejenak, lalu berjalan menuju panggung.
Suara tepuk tangan kembali
membahana.
Rafa menyerahkan mic pada Vee.
“Oke, jadi, saya paling gak bagus
kalo harus bernyanyi, apalagi di atas panggung seperti ini, namun sebagai teman
yang baik, saya akan memenuhi permintaan Rafa untuk bernyanyi disini.”
Setelah sedikit ber was wes wos
dengan Rafa, Vee kemudian berujar lagi, “So, kami akan berduet dan
mempersembahkan lagu ini untuk sahabat kami di ujung sana, Nindi. Sebuah lagu
lawas milik Jikustik berjudul “Maaf”,
semoga anda suka...”
Tak disangka suara Vee ternyata
mampu menghipnotis seisi cafe yang sebagian muda mudi itu. Permainan piano Rafa
juga tak kalah menariknya. Duet Rafa dan Vee ini layaknya seperti 2 sejoli yang
disatukan karena cinta mereka pada musik.
“Buatmu menangis... Buatmu
bersedih... Ingin ku memelukmu... Dan ucapkan maaf... Maafkan aku....”.
Lagu yang aslinya begitu band
ini, terasa sangat unplugged dibawakan
oleh Rafa dan Vee. Kombinasi suara vibrasi Vee dan permainan Rafa yang melodius
benar-benar seperti sebuah opera yang dimainkan dalam sebuah Hall besar di
Sienna, Italia sana layaknya Pavarotti ketika bernyanyi.
Tepuk tangan kembali riuh, saat
Vee menyanyikan bar-bar terakhir dalam lagu tersebut, diikuti dengan outro Rafa yang khas.
Rafa tampak tersenyum puas di
belakang piano. ‘Malam yang indah’ begitu pikirnya.
“It was so alive guys!!” ujar Nindi ketika ke dua temannya itu kembali.
“Dasar kamu fa tukang ngerjain
orang” ucap Vee tak lama kemudian.
Rafa hanya tertawa kecil.
“Aku orangnya asik kan?” goda
Rafa.
“Nyebelin....” sahut Vee sewot.
“By the way, kamu emang suka
lagu-lagu Jikustik ya Vee?” tanya Rafa.
“Mmm... ya lumayanlah. Waktu
masih sekolah dulu Jikustik sering nemenin aku ngerjain PR di kamar. Lagunya
bagus-bagus dan maknanya dalem-dalem. Gak kayak eranya Cherrybelle sekarang he
he...” jawab Vee.
“Yups betul sekali. Kayaknya kreativitas
penyanyi muda dalam composing song mulai mengalami penurunan sekarang.”
“Mungkin juga serangan Korean Pop
yang tanpa jeda....”
“Eh Rafa, aku gak nyangka lho kalo
kamu juga bagus kalo nyanyi.” Nindi menyela.
“Ah biasa aja kali Nin... Spontan
aja aku nyanyi...” sahut Rafa.
“Lagu tadi bagus kok fa. Lagunya
siapa itu, aku kok gak pernah dengar?” Vee aktif kembali.
“Mmm... lagu lama itu, milik
Kenny Loggins. Aku suka liriknya. Lagu itu adalah ungkapan rasa seseorang yang
baru menyadari kalo dia selama ini telah jatuh cinta kepada temannya sendiri.
Teman kerjanya. George Clooney sama Michelle Pfeiffer jadi bintang video clipnya.
Lagu ini soundtrack film mereka. Tapi aku lupa judulnya.”
“Terus, akhirnya mereka bersama?”
Nindi penasaran.
“Mmm... Itu yang masih abu-abu. Akhir
ceritanya seperti memberikan ruang bagi kita untuk menuntaskan sendiri akhir
cerita itu.” Jawab rafa.
“Wah bagaimana ya akhirnya...?”
sahut Nindi lagi.
“Kita lihat saja nanti...” balas
Rafa.
“Maksudnya?” kata Nindi dan Vee
hampir berbarengan.
“Eh ng ng... Nggak nggak... Nggak
pa pa kok he he... Eh ngomong-ngomong udahan yuk. Besok kalian harus kerja
khan?” Rafa mengalihkan perhatian.
“Iya juga sih, ayo deh.... “ajak
Nindi menyepakati.
Tak lama berselang, mereka
meninggalkan cafe itu. Beberapa penghuni cafe tampak melambaikan tangan pada
mereka memberi salam perpisahan. Rafa membalas lambaian mereka.
Nindi yang pertama kali diantar.
Dari apartemen Pakuwon tempat Nindi tinggal, mobil Avanza hitam itu menuju barat
ke arah Graha Family, tempat Vee tinggal.
“Maaf ya fa, jadi ngrepotin kamu
pake diantar segala.” ujar Vee.
“Nggak pa pa Vee... Kan emang udah seharusnya...”
sahut Rafa.
Mereka berdua tersenyum.
“Vee....”
“Iya...”
“Ngng... kapan-kapan kutemenin
makan malam mau nggak?”
Suasana dalam mobil tiba-tiba
hening.
“Sama Nindi?” tanya Vee.
“Mmm.. Nggak sih, aku pengen sama
kamu aja. Boleh?”
“Gimana ya? Terus terang si Nindi
ngefans sama kamu. Gak mungkin kan aku nglukain dia?”
“Kupikir sah-sah saja kok Vee aku
mau keluar bareng siapa. Toh kita semua khan teman?”
“Ya nggak enak aja aku fa sama
Nindi...”
“Gini aja deh. Kalo ada gelas
yang berisi air setengah, kamu akan mengatakan itu gelas setengah kosong atau
setengah isi?” tanya Rafa mulai beranalogi sambil terus memegangi setirnya.
Vee tersenyum, “Sulit juga ya. But I will mention it as a... ng.. ng...
setengah isi.”
“Nah itu dia Vee, banyak dari
kita yang terjebak dengan pemikiran kita sendiri. Apa salah jika aku mengatakan
itu adalah gelas setengah kosong. Enggak khan?”
“So, what’s the connection?” Vee mulai penasaran.
“Jangan terjebak dengan pemikiran
bahwa selamanya kita harus berteman dengan satu jenis orang atau terus-terusan
menjaga hatinya. Itu tadi hanya justifikasimu saja. Aku tau kamu hanya berkilah
kok. Kalo emang gak mau ya gak pa pa. Gak usaha bawa-bawa Nindi. Apakah
kemana-mana harus selalu bertiga? Ntar kalo aku dikira bodyguard kalian gimana?”
“Hahaha... Bodyguard? Gak masuk
kriteria kali fa... Udah jadi pemain musik ajalah, gak usah pake coba-coba jadi
satpam juga he he he...”
Keduanya tertawa... Mereka mulai
memasuki pintu masuk Graha Family Regency.
Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah
besar. 27 nomornya.
“So, gimana Vee, mau nggak?”
“Kamu kok gak tanya pacarku bakal
marah apa nggak?” sahut Vee.
“Bukannya pacarmu Nindi?”
Vee tersenyum.
“Oke deh. Kapan-kapan ya. Ntar
BBM aja...”
“Janji?”
Vee mengangguk pelan.
“Kepribadian seorang cewek itu
dilihat dari bagaimana ia menepati janjinya.” ujar Rafa.
“See you fa...” kata Vee sembari membuka pintu mobil.
Dia melambaikan tangannya ketika
mobil Rafa kembali melaju meninggalkan Vee.
Vee masih
berdiri terpaku seperti terbersit satu pemikiran yang tiba-tiba muncul. Sedetik
kemudian ia berbalik memasuki rumah besar itu.
“Ping...” sebuah message masuk ke dalam iPhone Vee.
“Hai Vee apa khabar?”
Ternyata dari Rafa.
“Baik fa. Ada kabar apa nih?”
“Ntar malem aku main lagi, di
Sutos. Kamu bisa dateng?”
“Sorry fa, aku udah ada janji ama
Nindi soalnya mau ngerjain tugas Statistik.”
“Oh yaudah kalo gitu, maaf ya
ganggu...”
“Semoga gak membebanimu ya fa. Kan aku sudah cukup puas melihatmu main
piano waktu itu. Tenang saja, walau ragaku tak bisa melihatmu disana, tapi
hatiku bisa merasakan indahnya melodi yang kau mainkan. Nyanyian indah yang tak
dapat tersampaikan lewat kata, tapi dapat terdengar lewat angan. Semoga gak batal konser ya...”
Rafa membalas, “Makasih ya Vee.
Kata-katamu tadi sesuatu banget. It makes
my day!”
“Sama-sama...” balas Vee.
Dan chatting singkat itupun
selesai. Chatting 5 menit yang
berarti sesuatu bagi Rafa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rafa tampak berjalan
tergopoh-gopoh memasuki ruang perpustakaan kampus.
Dilewatinya rak buku besar itu.
Dia periksa satu demi satu buku-buku yang tertata rapi di sana seperti tengah
mencari sesuatu. Tanpa disadarinya dia berjalan semakin ke kanan dan ke kanan
terus hingga tiba-tiba lengannya beradu dengan lengan seseorang disampingnya.
Dia toleh ke kanan. Ternyata seorang cewek. Rambutnya panjang tergerai, berkacamata,
dan ternyata mereka saling kenal.
“Rafa?!”
“Vee?!”
“How come on earth we meet like this?” ujar Rafa masih setengah
kaget. Senyumnya terkembang.
“He he he... Kamu ni ngagetin
aja. Kukira siapa nyenggol-nyenggol gitu.”
“Tampaknya aku harus berterima
kasih sama bu Intan.”
“What....??”
“Kalo tadi dia gak nyuruh aku
ngerjain tugas Sosiologi Paternalistik,
gak mungkin lah aku kesini terus ketemu kamu.”
“Owalah ... Bisa aja kamu
ini....”
“Udah dari tadi Vee?”
“Lumayanlah udah dapet 3 buku.
Aku juga lagi nyari referensi kok buat tugasnya pak Sidharta. Terus nyoba-nyoba
aja cari buku Psikologi siapa tau ada yang bisa kubuat baca-baca gitu.”
“Oh... Oke... Nih ada kalo mau, buku
tentang Self-Hypnosis, atau ini juga
ada yang bahas tuntas tentang mitos Indra
ke-enam. Kalo yang agak berat, ini lumayan, tentang Logika, Dialektika, dan Materialisme.”
Kata Rafa nyerocos sambil menyodorkan buku-buku yang disebutkannya tadi.
“Kamu ini udah kayak pegawainya
Gramedia aja fa fa...” canda Vee.
“Eh, kamu gak bareng Nindi?”
tanya Rafa menyadari jika ternyata Vee datang sendirian.
“Oh Nindi, dia langsung pulang
tadi habis kuliah. Katanya dia harus berangkat ke Novotel. Ada konferensi
divisioner yang harus dia datengin. Katanya sih lagi ramai mau di merger
perusahaannya. Tapi banyak yang gak setuju. Makanya semua perwakilan cabang
datang.”
“Ya baguslah, siapa tau dia dapet
jodoh di sana?”
“Lhoh gimana sih fa, kapan lalu
kamu bilang dia pacarku, sekarang kamu doain dia biar dapet jodoh... Bingung
aku fa?”
“Itulah kenapa kadang kita harus
menyebut gelas itu setengah isi atau setengah kosong. Tergantung sikon.”
“Berarti gak konsisten dong?”
“Ya tergantung mayoritas atau
minoritasnya aja?
“Ukurannya kan subyektif fa,
tergantung dari sudut pandang mana dulu kita melihat...”
“Lha kalo ukuran sepatumu
berapa?”
“Kuambilin penggaris dulu ya biar
kamu bebas ngukurnya... Haha...”.
“Hush ini di perpust Vee. Pelan-pelan. Ayo
kita ke sebelah sana aja.” Kata Rafa sembari menunjuk ke sebuah meja putih
kosong dengan 2 kursi yang berada di ujung ruangan.
Rafa berjalan diikuti Vee dari
belakang sambil tetap memegangi buku-buku tebalnya itu.
Tak lama kemudian mereka sampai
di sana. Mereka duduk berhadap-hadapan.
“Gak terasa ya Vee. Ternyata udah
seminggu sejak terakhir kita ketemu.”
“Iya. Masih sering konser?”
“Konser? Emang siapa aku, Ahmad
Dhani?”
“Ya nggak, kali aja kamu sibuk perform sana perform sini... Kan kapan hari kamu ngundang aku buat liat kamu
main di Sutos kan?”
“Iya sih. Tapi ya gitu deh, cuman
acara komunitas. Gak yang solo
performance kayak Jazz Traffic atau semacamnya getoohh... He he”.
“Tapi lancar khan?”
“Ya lancar lah. Kan itu juga
berkat kata-kata motivasimu he he...”
“Ah bisa aja... Lagi sibuk apa
akhir-akhir ini fa?”
“Mmm.. biasalah Vee. Kerja, balik
kerja kuliah, browsing sambil ngerjain tugas, maen piano, baca buku, tidur.
Gituuuuu aja mulu tiap hari. Makanya kadang aku ngrasa hidupku ni monoton.
Kurang ada dinamika.”
“I think it’s time for you to have something different.” Saran Vee.
“Like what?”
“Maybe a new activity on weekend. Bungee Jumping thing, rafting, free
style motorcycling, joining communities, musicians gathering, or if possible
make out with girlsome like Nindi maybe...”
“Oh Vee, that’s too many...”
“We live in a world with so many options right? We’re free to choose
and you know that.”
“I’m kinda simple guy Vee. Jadi bukan tipe cowok yang kayak Hatim
apa Sri Rama gitu yang suka berpetualang sana sini.”
“Yaudah kalo gitu jadian sama
Nindi aja sana...” celoteh Vee terus menyudutkan Rafa.
“Kok jadi aku sih yang diserang?”
Rafa mulai sewot.
“Aku khan hanya beropini. Boleh
khan?” balas Vee sok judes berusaha menghilangkan rasa bersalahnya.
“Mmm... Dunno lah, I just have no
idea about getting along with Nindi. She’s
just... She’s just not my tipe Vee... But as friend, sure I highly
appreciate her.”
“You should try first fa. Just like Javanese proverb, witing tresno
jalaran soko kulino. Siapa tau ...”
“But why her, kenapa
nggak Raisa, atau anaknya bu Susi, atau Agnes Mo gitu aja sekalian”
“Kumat kamu...”
“No no... I just actually want to enjoy the friendship first. So don’t
you even try to fetch me in your claptrap again, okay? I just wondering, why
are you so spirited to get me in touch with her?”
Vee tersenyum simpul. “You are a good guy. You deserve a good girl
like her. That’s all what I think. You don’t think like you’ve been jerked off
or something, do you?”
“Wait, wait, wait... She’s good based on your experience as a friend
and as a girl. But we, boys, have different way thinking. And let’s stop talking
about this, will you?”
“Okay, okay... Let’s stop talking. Yang bicara beliin bakso.”
Seperti dikomando, ke
duanya tiba-tiba diam. Cukup lama.
Beberapa detik berselang,
keduanya saling pandang, mereka mulai tersenyum. Rafa menggerak gerakkan
tangannya layaknya pewicara yang menggunakan bahasa tangan untuk para pemirsa
tuna wicara di acara berita TVRI.
“Aku kalah!!” pekik Rafa
sedikit menjerit.
“Hahaha... Yes yes... “
Vee tampak puas berhasil mengintimidasi pria di depannya ini.
“Oke oke, pengen bakso
beneran ta?” tantang Rafa.
“Boleh...”
“Baksonya pak Mul mau?
Yang di seberang jalan masuk kampus itu lho.”
“Terserah.”
“Lagipula, aku pernah nawarin
kamu dinner khan?”
“Iya juga sih, ya udah
malam ini ku tepatin janjiku deh.”
“Oke... By the way, sorry
ya, aku gak pernah BBM kamu buat hangout
for dinner.”
“Gak pa pa lah, aku juga
gak nunggu kok he he...”
“Aku gak berani message kamu.”
“Kenapa emang?”
“Dari status BB mu
kayaknya kamu lagi sibuk terus. Aku gak berani nyela.”
“Gak pa pa sih
sebenarnya. Ya maklum lah fa, tempetku kan lagi mau Akreditasi, jadi ya gitu
deh kita semua ngebut gitu biar maksimal hasilnya.”
“Oh ok ok... So, shall we go now?”
“Let’s
go!”
Bakso Pak Mul ini
sebenarnya bukan tipe tempat makan yang representative
layaknya kantin-kantin kampus atau mini resto di kiri kanan jalan protokol,
melainkan hanyalah sebuah bakso yang semua perangkat makan dan masaknya berada dalam
satu gerobak dorong yang bebas di bawa kemana-mana. Namun yang terkenal dari
bakso Pak Mul ini adalah rasanya yang begitu menggigit, pedas yang nendang, dan
abang tukang bakso yang begitu ramah. Makanya, tidak heran jika pelanggan Pak
Mul ini kebanyakan justru orang-orang berdasi dan mahasiswa elit khususnya yang
berada di kawasan Ciputra.
Saat itu Pak Mul terlihat
sibuk membuatkan pesanan beberapa mahasiswa yang sudah saling mengantri di
awal. Tikar-tikar yang berada di trotoar samping gerobak tampak ramai dihuni
oleh para pengunjung yang nyangkruk
bareng teman-temannya. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang sedang off kuliah.
Dari kejauhan tampak Rafa
dan Vee yang berbincang-bincang akrab berjalan menuju ke arah Bakso Pak Mul. Beberapa
pengunjung melihat ke arah mereka. Orang-orang ini tampak simpatik melihat
mereka berjalan bersama. ‘Serasi sekali
pasangan ini’ begitu mungkin pikir mereka.
“Halo mas Rafa, lama
sekali gak ke sini?” sapa Pak Mul ramah.
“Iya pak. Biasa pak lagi
diburu banyak tugas.” Balas Rafa.
“Siapa itu mas, pacarnya
ya? Senang rasanya mas ke sini akhirnya ditemani cewek. Hihihi...” goda pak
Mul.
“Halah Pak Mul ini sukanya
gitu mulu. Jangan dengerin ya Vee. Kita ini cuma temenan kok pak...”
Vee hanya terseyum saja
menanggapi kelucuan 2 pria beda umur di depannya ini.
“Mas, semua itu selalu berawal dari teman.
Hihihi...”
“Idih... Udah ah pak,
malu nih diliatin cewek cantik di sebelahku. He he...”
Vee kontan menyikut
lengan Rafa agak keras. Rafa hanya meringis lucu.
“Ya udah mas, baksonya
berapa?”
“Emang kita orang berapa
pak. Udah liat 2 orang yang dateng masih pake basa basi lagi.” Sahut Rafa masih
dengan nada sewot.
“Ya nggak mas, kali aja
mau nraktir semua yang dateng ke sini buat syukuran jadiannya mas....
Qiqiqiqi..”
“Aduh paaakkk, pusing
kepalaku. Bodrex mana bodrex?!! Yaudah cepetan gih, minumnya es teh aja 2.”
Ujar Rafa tak tahan digoda begitu.
Pak Mul tampak masih
terkekeh-kekeh dari kejauhan melihat Rafa yang mendadak salah tingkah begitu.
Mereka mengambil posisi
duduk di tikar di bawah pohon kelapa. Sore itu, udara tidak begitu panas.
Langit sedikit mendung, awan-awan menggerombol di sana.
“Jarang ya sore di
Surabaya seadem ini...” kata Rafa memulai percakapan.
“Ya mungkin karena lama
gak hujan aja.” Balas Vee.
“Iya juga sih. Tapi aku
maklum kok.”
“Maksudnya?”
“Surabaya ini khan lagi
gencar-gencarnya membangun infrastruktur, nah kalo hujan duluan datang, kan
tetep bakal pengaruh ama hasil jadinya. Makanya kenapa, pawang-pawang
dikondisikan sedemikian rupa agar hujan ini jangan turun dulu.”
“Kamu percaya sama
hal-hal kayak gitu?”
“Vee, kita ini hidup di
Indonesia. Tempat dimana logika dan spiritualitas ini diuji. Banyak hal-hal
yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia Vee. Mereka menyebutnya mistiscm. Ya contohnya ya pawang tadi.”
“Ya benar sih, banyak
hal-hal yang tak bisa dijelaskan di dunia ini. Tapi menurutku fa, itu hanya
masalah waktu saja. Selama berabad-abad, sains telah berhasil membuktikan the unknowns secara gamblang dan ilmiah.
Orang-orang seperti Thomas Alfa, Einstein, Wright Brothers, Marie Curie, dll
telah membuktikan bahwa apa yang impossible
selalu bisa menjadi possible. Jadi
sebenarnya tinggal menunggu waktu dan ketemu orang yang tepat, the one yang punya passion di situ.”
“Tapi sebentar Vee. Kalo
menurutku, untuk melakukan inventions seperti
para pendahulu itu kemungkinannya kecil. Yang bisa dilakukan orang sekarang
adalah melanjutkan developingnya,
lalu daya gunanya. Contohnya, dulu CD piringan, laser disc, terus jadi Walkman,
terus jadi mp3 player, terus jadi iPod, terus sekarang bisa disetel di semua
jenis gadget. Apa itu namanya kalau bukan pengembangan namanya?”
“Tidak semuanya fa. Aku
percaya, mesin waktu mungkin satu saat nanti akan benar-benar ada dan aman.
Jadi tetap masih ada yang namanya invention.
Just like what I said before, it’s only a matter of time.”
“Jadi menurutmu semua
selalu ada penjelasan ya?”
“Yep, always...”
“Tapi ada juga lho yang
masih gak bisa untuk dijelaskan.” Rafa mencoba membandel.
“Apa?”
“Cinta...”
Vee sejenak terdiam.
Tubuhnya agak terdorong ke belakang sebagai respon kaget atas kata yang baru
saja didengarnya.
“Well.... Mmm... Like what?”
Rafa tersenyum simpul
lalu berkata, “Orang yang jatuh cinta akan merasakan keanehan pada dirinya.
Tiap kali seorang cowok melihat cewek yang disukai, tiba-tiba bulan menjadi
semakin besar dan besar. Bintang-bintang tiba-tiba mempunyai wajah, bibir
mereka terkembang seperti memberikan dukungan pada si cowok untuk menyatakan
cintanya. Bunga-bunga di taman tiba-tiba bermekaran. Dan mendadak, lagu Kuch-Kuch Hota Hai terdengar jelas
ditelinga. Apa itu namanya? Bisa dijelasin?”
“Hahahaha... Rafa Rafa...
Dasar, kamu keseringan nonton filmnya Shah Rukh Khan! Hahaha...”
“Hahaha...”
Rafa dan Vee tertawa
bersama sampai-sampai tidak menyadari kalau Pak Mul berjalan mendekati mereka
sambil membawa bakso dan teh pesanan mereka.
“Ini mas pesanannya. Udah
tertawanya nanti lagi. Dimakan dulu ya, biar nanti dapat ide ngrayu lagi.....”
kata pak Mul.
“Pak Mul ini masih aja
gitu. Besok aku ogah ke sini lagi ah.”
“Ampun mas...
ampun....Qiqiqiqi...” kata pak Mul sembari berlari kecil menjauh sambil masih
tertawa terkekeh.
“Akrab sekali kalian ini.
Sering ke sini ta kamu?” tanya Vee.
“Ya dulu sering Vee, tapi
beberapa bulan terakhir ini jarang. Orangnya ya gitu itu, sukanya ngebully orang.”
“Tapi asyik kok fa
orangnya... Aku suka..”
“Apa? Kamu suka? Yaudah
sana jadian aja...”
“Edan kamu ini. Yaudah
ayo buruan dimakan, biar ilang itu stressnya...”
“Hahaha....” Rafa justru
tertawa keras dijudesin begitu.
“Eh by the way Vee, setelah kamu nyanyiin lagunya Jikustik waktu itu, aku sering loh dengerin lagu-lagu mereka.
Ternyata bagus juga ya.”
“Lho itu khan band lama
fa, mosok dulu kamu gak dengerin?” tanya Vee sambil sesekali mengunyah
baksonya.
“Ya tau sih, cuman
sepintas doank. Waktu itu aku lebih sering dengerin lagu-lagu Barat macam
Backstreet Boys gitu, he he...” balas Rafa.
Bakso itu terasa istimewa
terutama bagi seorang Rafa. Itu adalah kali pertama Rafa makan bakso pak Mul
berdua dengan seorang cewek. Vee tidak terkecuali dia begitu menikmati sendok
demi sendok kuah bakso itu, lahap sekali makannya, diam-diam dia mengakui
kelezatan bakso Pak Mul sampai-sampai tidak menyadari kalo dirinya mulai
berkeringat.
“Vee... You’re sweaty. Let me wipe it...”
Rafa mengambil tisu dan
mengusapkannya pada kening Vee yang berkeringat. Seperti terkejut, Vee
memandangi Rafa. Mereka saling pandang, dalam sekali. Seperti ribuan elemen
semesta ini tiba-tiba berhenti bergerak terdiam menyaksikan mereka demikian. Tangan
Rafa pun turut terhenti mengusap kening indah itu. Mereka tak mampu berkata.
Saling mengagumi apa yang mereka lihat di di dalam bola mata itu. Sebuah sinar,
sebuah harapan.
“Mmm...mmm.. maaf Vee...
Aku hanya ingin mengusap keringatmu.”
Vee hanya terdiam. Dia
sedikit mundur ke belakang. Segera menghabiskan baksonya, meminum teh itu, dan
bangkit berdiri.
Rafa seperti kaget dengan
perubahan drastis itu.
“Maaf ya fa, aku lupa
kalo aku ternyata ada janji. Permisi...”
Vee berjalan cepat
meninggalkan bakso pak Mul.
Seperti tak percaya
dengan apa yang dilihatnya, Rafa hanya mematung. Tak sepatah katapun yang
keluar dari bibir itu. Dia masih tidak percaya perjumpaan hari itu dengan Vee
akan berakhir seperti ini. Langit tiba-tiba gelap, langit bergemuruh. Tanda
hujan sebentar lagi kan datang.
Dengan
tatapan mata kosong dan ekspresi yang hampa itu, Rafa berucap pelan, “Salah...
Aku salah. Cerita tentang pawang itu tidak benar...”.
“Ping.....” sebuah message masuk di Pin BB Rafa.
Dia masih duduk
termenung, terpaku melihat dan mendengarkan penjelasan Pak Anton di kelas.
Sebenarnya, mata kuliah Dasar Proses adalah mata kuliah favoritnya. Sering dia
aktif berdialog dengan dosennya itu di kelas. Namun kali ini, ia begitu pasif.
Mungkin, karena kejadian di warung bakso pak Mul beberapa hari yang lalu.
Rafa membuka
blackberrynya, dibacanya dengan seksama. Ternyata sebuah message yang datang
dari Nindi.
“Rafa, pulang kuliah kita
ketemu di kantin yuk. Kutraktir deh...”
Melihat satu kesempatan
memperbaiki situasi, Rafa membalas, “Oke... Kita ketemu jam 19.00.”
“Sip...”
balas Nindi.
Vee sedang membaca-baca
papan pengumuman di pusat informasi mahasiswa ketika jam menunjukkan pukul 21.00
tepat. Dia tidak habis pikir kenapa banyak dosen yang merubah-rubah jadwal
kuliahnya, sementara para mahasiswa yang kebanyakan para pekerja harus
meluangkan waktu untuk kuliah. Semuanya serba repot kalo udah dosen yang
bertingkah labil. ‘Dosen dosen sih jenius
emang, tapi susah kalo disuruh konsisten ngajar...’ begitu pikir Vee.
Sebuah suara yang
ternyata petugas kantor informasi memanggilnya, “Vianita Nanda...”
Vee menoleh dan berjalan
mendekat.
“Iya bu...”
“Ini update data terbaru
kartu mahasiswa mbak, sudah kami lengkapi nomor serinya. Terima kasih.” kata
ibu petugas itu sembari menyodorkan kartu mahasiswa elektronik.
“Iya bu sama-sama...”
Vee berjalan menuju pintu
keluar. Malam itu lokasi itu tidak begitu ramai. Hanya petugas dan beberapa
mahasiswa yang lalu lalang mengurus ketertinggalan kuliah atau updating kartu mahasiswa.
Sesampainya di pintu
keluar. Sebuah suara tiba-tiba memanggilnya.
“Vee... Vee...!!”
Ditolehnya asal suara
itu.
“Hey, Nin...” teriak Vee
menyahut.
Nindi tampak berjalan
menghampiri Vee.
“Ada yang harus kuomongin
sama kamu.”
“Ada apa Nin, kok
kayaknya serius gituh pake ‘harus’
segala?” tanya Vee penasaran.
“Udah kamu pulang bareng
aku aja. Aku bawa mobil kok. Kamu naik taksi khan?” ujar Nindi menawarkan diri.
“Iya tadi aku naik taksi.
Oke deh, boleh.”
Mereka berjalan menuju
lokasi parkir mobil Nindi. Mobil Swift
silver itu berjalan keluar area parkir menuju ke arah barat dan berhenti di
sebuah cafe di dekat National Hospital.
Setelah mengambil beberapa
makanan ringan pesanannya di kasir, Nindi mulai bicara.
“Sorry bikin kamu
penasaran. Mm... Sebenarnya gak ada masalah apa-apa kok. Hanya saja....” Nindi
tidak melanjutkan kata-katanya. Dia menunduk sejenak dan mengambil nafas
panjang.
“Ada apa Nin... Ngomong
aja gak pa pa...”
“Aku tadi ketemu Rafa di
kantin....”
Vee tampak sedikit kaget.
Dia berusaha tersenyum.
“Oh syukurlah kalo
begitu. Gimana, positif gak kesannya tadi?” Vee berbasa-basi.
Nindi menggelengkan
kepalanya.
“Bukan Vee... Bukan
itu... It’s not about me... It’s all
about you...”
Sedikit shock mendengarnya, posisi duduk Vee
mulai tampak gelisah.
“Maksudnya...?” Vee
mengernyitkan dahinya.
“Rafa bicara semuanya
padaku. Dia ternyata sudah mengikuti kita dari pertama kali kita ketemu dulu.”
“What??” jerit Vee
sedikit tertahan.
“Iya. Dia sebenarnya naksir kamu. Dia pernah
lihat kamu ketika ada kuliah umum Andrie Wongso bulan Agustus lalu. Dia bilang,
dia gak bisa tidur semenjak hari itu. Selalu kamu yang ada di kepalanya. Setelah
memastikan bahwa kamu gak pernah jalan bareng cowok, dia akhirnya memberanikan
diri membuntuti kita dan akhirnya bertemu di perpustakaan waktu itu.” Ungkap
Nindi.
“Oh... Beneran itu? What’s wrong with him?!”kata Vee masih
dengan nada tinggi.
“Nothing wrong with Rafa Vee. Sejak awal dia udah suka sama kamu.
Bukan aku. Meminjam buku darimu ketika itu hanyalah trik yang sengaja
dilakukannya supaya ada alasan baginya untuk ketemu lagi. Bahkan ketika dia performin
piano di acara kampus waktu itu, dia yang minta ke panitia agar bisa bermain sebagai sarana untuk
memperkenalkan diri ke kamu. Sekali lagi Vee, bukan ke aku.” imbuh Nindi
menegaskan.
Vee benar-benar tidak
menyangka ada cowok seperti itu.
“Nggak Nin, aku nggak
terima kamu diperlakukan begini. Aku gak mungkin tinggal diam. Bakal kulabrak
dia. Dia udah nyakitin kamu Nin. Dia itu buatmu, bukan buat aku. Aku padahal
udah bilang ke dia, kalo kamu tuh suka sama dia. Bahkan aku udah niat buat
nyomblangin kalian lho. Serius!”
“Terima kasih Vee, aku
hargain itu. Dia juga cerita tentang kejadian di bakso Pak Mul. Aku bisa
mengambil kesimpulan kalo kamu mencoba untuk menjaga perasaanku.”
“Sebentar Nin, ada yang
salah dengan situasi ini. Kamu jangan terjebak dengan cerita-cerita dia. Aku
gak mungkin sama Rafa. Aku ....”
“Sssttt!!”Nindi memotong
kata-kata Vee.
Wajahnya kini berubah
serius. Matanya tajam.
“Tolong Vee. Jangan
korbankan dirimu hanya demi cinta semu yang ada di aku. Oke aku suka dia, tapi
aku gak mungkin maksa dia buat nerima aku. Kita udah sama-sama dewasa Vee. Cara
pandang kita udah bukan lagi kayak anak ABG. Pertanyaanku cuman satu. Kamu suka
dia kan?”
Seperti kilatan petir
menyambar, Vee benar-benar terkejut ditanyai begitu oleh sahabat karibnya ini.
“Eng.. Eng... Enggak kok
Nin. Aku gak ada perasaan ap... ap..apa-apa sama dia. Suer, beneran...” ujar
Vee terbata-bata.
Nindi menggelengkan
kembali kepalanya. Rambutnya yang bergelombang itu bergerak-gerak ke kanan dan
ke kiri.
“Mouth can lie, but eyes can’t. Mata itu jendela hati Vee. Aku bisa
melihat kejujuran disitu...” ujar Nindi bijak.
“No no... Nindi please, don’t do this to me...”
“It’s okay kok Vee. Tenang aja. Aku orangnya easy going, and you already know that...”
Vee hanya diam memaku.
Tak ada yang keluar lagi dari bibir tipisnya itu. Dia berusaha berbohong pada
Nindi, namun bagaimanapun dia tak bisa membohongi diri sendiri. Dia memang
tertarik pada Rafa. Walaupun selama ini rasa itu telah berusaha dihilangkannya
dari hari ke hari.
“Ini Vee, dia menitipkan
ini padaku.” ucap Nindi sembari merogoh
isi tasnya, mengambil sebuah amplop putih bertuliskan ‘To My Valentine’. Nindi memberikan amplop itu pada Vee.
Vee tampak ragu untuk
meraihnya. Tangannya pelan-pelan terjulur mencoba meraih amplop itu.
Perasaannya mulai tak karuan. Sedih, senang, penasaran, bingung, takut,
semuanya bercampur aduk menjadi satu. Emosinya betul-betul sedang tidak stabil.
Dadanya bergetar hebat ketika diraihnya surat itu.
“Kamu baca di rumah aja
ya nanti. Jangan disini. Kan ada aku...” kata Nindi mencoba berbesar hati.
“Nindi, kamu... Maafkan
aku ya... Aku gak nyangka kalo semuanya justru bakal jadi kayak gini.” Ucap Vee
mengungkapkan perasaannya.
Nindi tersenyum. “Vee,
aku nggak pa pa. Kecewa tentu ada. Tapi kadarnya hanya sedikit sekali. Aku
justru lebih senang melihat sahabatku berbahagia. Kadarnya sangat besar
sekali.”
“Nindi, aku bahagia bukan
karena Rafa atau surat ini. Aku bahagia karena memiliki sahabat terbaik di
dunia.”
Tanpa
sadar, air mata mereka mulai menetes. Vee langsung memeluk erat tubuh Nindi.
Mereka berpelukan sambil terus menangis. Mereka menangis. Sebuah tangis bahagia
karena persahabatan mereka yang tulus. Bahkan ketika seorang lelaki, tengah berdiri
di antara mereka.
Rumah 2 lantai itu cukup
besar untuk ukuran perumahan cluster. Kamar Vee sendiri terletak di atas. Kamarnya
begitu rapi, boneka di sana sini. Warna pink begitu dominan di sana. Surat itu
masih tergeletak di atas meja di depan cermin. Menunggu sang tuan putri untuk
mengambilnya, membukanya, dan menjelajahi makna-makna prosa yang ada disana.
Tak lama kemudian, sebuah
tangan putih bersih mengambilnya. Jari jemarinya memegang lembut ujung-ujung
surat itu. Vee kini telah mengenakan baju tidurnya. Dia duduk disitu, di depan
cermin. Dilihatnya sejenak wanita dalam cermin itu, menghela nafas dalam-dalam,
kemudian memusatkan perhatiannya pada surat itu. Suasana begitu hening.
Seolah-olah khidmat menunggu reaksi Vee ketika membaca surat itu. Pelan-pelan,
mata yang berkacamata itu mulai membaca deretan baris pertama.
“Tuan Putri. Ijinkan hamba sang pujangga senja ini menghaturkan persembahannya.
Fajar tak pernah lupa menebarkan mimpi baru bagi semua insan di dunia.
Ketika matahari muncul menjelang pagi, selalu embun di dedaunan mulai menghilang
sebagai penanda malam yang telah kehilangan ujungnya. Bagiku, pagi adalah momen
dimana aku harus berhadapan dengan kehidupan kedua. Kehidupan kedua itu selalu
monoton. Bergelut dengan sifat-sifat congkak dan arogansi manusia. Aku seperti
berjalan di lintasan kereta berkabut yang aku sendiri tak tahu kapan kereta itu
akan tiba-tiba muncul dan menghantamku.
Jingga di seberang sana seolah-olah menertawakanku. Mencibir dan
mencemooh lelaki ini. Seperti kelelahan mencari oase di padang pasir, aku mulai
melihat fatamorgana-fatamorgana.
Iya, aku melihatmu. Aku melihat
keindahan. Aku melihat bidadari yang meraga dalam bentuk manusia. Aku masih
merasa kamu adalah fatamorgana yang menampakkan diri untuk sedikit
menghilangkan dahagaku. Namun aku salah, kamu adalah nyata. Kamu bukanlah
sekedar bayangan yang menantang siapapun untuk mengikutimu. Melihatmu dari
dekat, seperti membuat beberapa kelenjar sarafku ini berhenti bekerja. Aku
seperti awan yang tampak padat berisi, tetapi ketika disentuh menjadi embun
yang rapuh.
Mungkin,
seorang Vee yang sempurna, akan sedikit terhenyak kaget membaca surat ini. Maka
maafkan aku yang lancang ini. Aku sengaja menulisnya dengan pena. Bukan dengan
mesin ketik. Aku ingin tampak orisinil. Tampak begitu nyata didepanmu. Karena
itu yang akan mempertegas kehadiranku. Aku ingin surat ini berisi, dan
menjentikkan kesadaran kita untuk berfikir. Mungkin aforismenya sedikit
berlebihan, tapi bahasa metaforis yang tak pernah terkonsep secara baku ini
akan cukup mewakili batinku yang telah sejak lama bergejolak.
Semua mungkin nampak dilematis saat ini. Nindi pasti telah bicara
banyak. Aku berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita sebaik
dia. Karena itulah aku tak ingin semuanya justru menjadi abu-abu, abstrak,
berkabut, pekat, dan menggelapkan seluruh mata hati kita. Aku ingin semuanya
tidak ruwet, terang benderang.
Aku dulu sering berandai-andai
kapan aku bisa berkenalan denganmu. Kapan aku terpikir untuk akhirnya membangun
berhala dari buku-buku dan kupersembahkan untuk seorang novel geek sepertimu.
Hingga akhirnya Tuhan yang mulia itu, mempertemukanku denganmu di rumah buku,
sebuah kedai ilmu. Dan ternyata benar, kamu benar-benar cantik. Aku takjub,
namun juga ngeri. Sampai sekarang aku masih mendefinisikan dua etimologi itu.
Bangunan kata-kata selalu menjadi penawar racun yang ampuh tiap kali
aku merasa keracunan. Makanya, tidak jarang orang-orang menganggapku aneh
dengan cara berfikir yang agak misterius bagi mereka. Namun, tidak denganmu.
Kamu satu-satunya orang yang ‘connected’ dengan semua keanehanku itu. Sementara
yang lain berlari, kamu justru mendekat. Tentunya, analogi tadi kurang pas
untuk mengibaratkan betapa cocoknya kita dalam mengkonsumsi ide-ide prosa.
Bagiku, tak ada yang benar-benar
memikat dari seorang wanita. Kebanyakan hanyalah bedak tebal dan tarian
erotisnya saja. Tetapi, ketika seorang wanita dilihat menggunakan logika
terbalik, maka semuanya akan nampak beda. Wanita akan terlihat begitu indah,
apa adanya. Dan wanita itu adalah kamu Vee. Iya.. Kamu...
Aku suka dengan caramu bertutur, aku suka caramu berjalan, kamu selalu berjalan
tertunduk dan begitu santun menyapa ramah orang-orang. Satu bentuk kerendahan
hati yang terpola. Aku suka caramu memandangku, mata itu, bukan mata biasa, itu
adalah mata surga. Surga yang akan menyelamatkanku dari dosa-dosa dan
kutukan-kutukan.
Aku suka caramu berfikir. Kamu gabungkan konseptualisasi dengan
tema-tema abstrak namun masih tidak meninggalkan ke’formal’annya. Kamu masih
terlihat elegan bahkan ketika tertawa terbahak-bahak. Kamu begitu tampak
terpelajar dengan kacamata yang tak pernah lepas itu. Kamu tidak mengatakan A
atau B, tapi kamu mengatakan begini dan begitu. Straight to the point. Di
situlah daya pikatmu. Kamu cantik, bukan karena rambut yang tak pernah lupa
kamu shampoo atau parfum yang tak pernah lupa kamu pakai, atau baju bagus yang selalu
kamu pakai. Kamu cantik karena kamu begitu filosofis. Kamu adalah simbol
bidadari yang sengaja diturunkan ke bumi untuk memberikan pencerahan-pencerahan
bagi musafir-musafir tersesat sepertiku ini.
Sering kubergumam, kamu gak mungkin menerimaku. Seorang abdi yang menghamba
sekaligus mencinta seorang tuan putri. Kasta selalu menjadi pembeda. Ketika aku
begitu, malam tiba-tiba memuram. Udara terinfeksi dan dunia menjadi enggan
bersuara. Ketakutanku itu menorehkan duka, dan duka itu membuatku demam. Ada
tangis yang tak terlihat yang merobek ruang dan waktu dan menghampiriku dengan
caranya sendiri. Aku memilih diam, mencoba menyelamatkan diri. Tetapi diamku
memapahku ke ujung pertahanan. Dan akhirnya aku tersedak oleh hampa. Kutelan
nafas itu, kubungkus dan kusimpan untuk nanti kubuang ke sungai.
Namun dalam diam itu, lamat-lamat kudengar suara. Awalnya pelan, lalu
semakin keras dan semakin keras. ‘Kamu harus mencoba’. Namun aku takut bila
hatiku tersakiti. Tetapi semakin ku meringkuk dan menelungkupkan tubuhku dalam
peluh dan ruang kecil yang pengap, suara itu semakin nyaring terdengar. Lalu
aku bangkit berdiri, kutatap samudra di depan. Dengan sedikit bergetar, aku
balas suara tadi, ‘Kan kucari dia. Akan kunyatakan cintaku, walau entah
akhirnya nanti’.
Akhirnya, serangkaian prosedur kusiapkan. Hanya untuk membuktikan bahwa
kamu akan baik, atau jahat kepadaku. Semua itu bukan semata-mata untuk menciptakan
muslihat. Melainkan sebuah permainan catur yang cantik yang mengundangmu untuk
bermain di dalamnya. Tentu permainan catur bukan keahlianku, makanya sering aku
salah langkah dan akhirnya bunuh diri. Itulah mengapa yang pertama menyebut
kata ‘skak mat’ justru kamu, bukannya aku. Mungkin kamu sudah mahfum sekarang.
Maka tolong jangan lihat hasil jadinya, namun lihat apa yang ada dibalik itu
semua. Lihat prosesnya, kesungguhan yang ada, lihat peluh keringatku yang tak menuntut
dihiraukan, aku tak ingin apa-apa, aku hanya ingin kau melihat hatiku.
Cuaca, bagi sebagian orang adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi
ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar
diutarakan. Itulah kenapa kemarin di Pak Mul aku memilih kata ‘adem’ ketimbang
‘mendung’. Mungkin kamu sudah membacanya. Sayangnya itu adalah hari yang
angkuh. Jalan kita terpecah kemarin. Kebisuan menjebak kita dalam lingkaran
tebak-menebak, agar yang tersirat tetap tersurat. Pragmatis.
Namun aku berontak. Aku tak
mungkin membohongi batinku sendiri. Aku ingin menampilkan cerah yang sejati,
karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.
Dan aku telah siap dengan badai Vee. Aku hanya tinggal menunggu saja,
kapan badai itu meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah
menghangatkan, atau justru menghanguskan.
Kini aku bersimpuh dihadapanmu tuan putri. Kujulurkan tangan kananku
ini untuk kau raih, kuingin kau menggenggamnya. Dan bisa jadi, ini usaha
terakhirku. Karena semua keputusan kini berada di tanganmu. Apapun jawabannya,
kutunggu kau besok di kedai ilmu. Tempat pertama kali kita
berjumpa. Pukul 8 malam. Tepat.”
Yang mendambamu ..............
Rafa...
Vee seperti patung arca
yang dipahat rapi oleh pengrajin dari zaman kerajaan. Dia duduk terpaku melihat
kata-kata terakhir dalam surat itu. Dia seperti tak percaya dengan apa yang
baru saja dibacanya. Dia masih sulit mencari indikator-indikator dalam tulisan
itu, walaupun tentu dia sendiri sudah sangat mengerti isinya.
Bagi seorang Vee yang
tumbuh dalam keluarga konservatif, pacaran adalah satu hal yang tabu. Itulah
mengapa, dia terakhir mengenal cowok hanya ketika SMA, itupun tidak lama.
Selebihnya, dia fokus pada karir akademisnya.
Kehadiran
Rafa membuatnya sedikit keluar dari zona itu. Kepalanya terasa begitu sesak
oleh hal-hal negatif positif yang saling berjejalan merangsek masuk ke alam pikirnya.
Namun dibalik kebimbangannya itu, ada sedikit tantangan yang ingin dia coba taklukkan.
Dia ingin membuktikan bahwa seorang Vee itu bernyali. Bukan pecundang yang mengaku
kalah sebelum berperang.
Suasana perpustakaan
tidak begitu ramai kala itu. Hanya beberapa petugas jaga dan mahasiswa yang
dikejar-kejar deadline oleh
dosen-dosen mereka. Vee baru saja meletakkan tasnya di rak penitipan di depan
lobi perpustakaan. Dia membuka pintu masuk. Ada sedikit getar dihatinya. Takut
semuanya berakhir buruk, miris membayangkan bila harus ada yang dikecewakan.
Rak-rak buku itu
dilewatinya tanpa sedikitpun ia menyentuh buku yang biasanya menarik
perhatiannya untuk sekedar berhenti dan mencoba membuka lembar demi lembar halaman
buku.
Batinnya makin terasa
tidak karuan ketika ia mendekati meja putih tempat ia bertemu pertama kali
dengan Rafa. Meja itu berada di ujung rak. Space
yang tersedia tidak terlalu besar, namun cukup untuk 4 orang berdiskusi.
Vee mencoba untuk
terlihat tenang saat dilihatnya seorang cowok mengenakan polo shirt hijau dan bercelana jeans telah berada di meja itu.
Cowok itu duduk membelakanginya. Dia tahu, dialah cowok yang tengah menunggunya
saat ini.
Ditengoknya sebentar jam
tangan mungilnya, jam 8 tepat. Vee sekali lagi menghela nafas panjang.
“Rafa...”
Cowok itu menoleh. Dia
tersenyum. Vee membalasnya pula dengan senyuman.
“Hai... Apa khabar?” sapa
Rafa sembari menutup bukunya yang tak pernah ia niatkan untuk dibaca.
“Kurang baik ...”sahut
Vee sekenanya sembari mengambil posisi duduk berhadap-hadapan.
“Lhoh.. kenapa?”
“Suratmu bikin kepalaku
sakit kepala. Dan sakitnya gak ilang-ilang sampe sekarang.”
“Ngng... Jadi udah kamu
baca?”
“Kalo belum kubaca, mana
mungkin aku duduk disini sekarang.”
Rafa hanya tersenyum
kecil saja.
“Jadi, kenapa kamu harus
bersandiwara? Bikin skenario segala. Semua yang kemarin itu sudah kamu rancang
khan? Biar sesuai rencanamu kan? Kamu ini siapa sih, CIA?”
“Bukan begitu Vee. Aku
minta maaf banget jika kamu tak berkenan. Aku tak pernah berniat buruk
terhadapmu. Itu semua semata-mata agar aku bisa mendekatimu.”
“Kenapa harus kayak gitu,
kenapa gak langsung aja kamu ajak aku kenalan?”
“Karena... karena aku minder Vee. Aku takut
jika perkenalan kita nggak spesial, kamu akan menjauh.”
“Jadi serendah itu kamu
menilaiku?
”Aku gak pernah ada
pikiran seperti itu. Sama sekali gak pernah. Aku hanya mencoba untuk sedia
payung sebelum hujan. Dan aku ingin memberikan sedikit nilai seni di awal-awal
perkenalan kita. Biar ada kesan. Sama sekali jauh dari pikiran seperti yang
kamu kira tadi.”
Vee tidak membalas
sepatah katapun.
“So, you got the point from what I’ve been writing there in the
letter?” Rafa mengejar.
“Iya. Aku udah paham
maksudmu. Tetapi, dimana sebenarnya kita pernah ketemu?”
“Ketika ada kuliah umum
dari Andrie Wongso. Aku duduk 2 kursi dibelakangmu. Telingaku memang mendengar
semua yang dikatakan oleh beliau, tetapi mataku ini got stuck on you. Gak pernah aku merasakan darahku berdesir, dan
hatiku bergetar seperti waktu itu. Dari situ aku tau bahwa aku telah menemukan
sesuatu, atau, seseorang. Iya Vee, aku telah menemukanmu.”
“Rafa... kamu terlalu berlebihan. Aku bukan
tipe cewek yang gampang jatuh ke pelukan laki-laki.”
“Aku tau kamu punya
standar. But just like other fighters, I
will try my best to be on your standard. Aku akan berusaha menjadi seperti
yang kau minta. Because I want you to be
my fairy... The one and only...”
“Kamu serius fa...”
“Aku jatuh cinta padamu
Vee... From the very first sight. That’s
what I want you to know. Aku tak tahu lagi apakah ini salah atau benar.
Yang kutau aku punya hak untuk mencinta. Dan tentu, berhak pula untuk
memperjuangkannya.”
Vee sedikit melunak
mendengarkan ucapan Rafa barusan.
“Bahkan jika harus
kujilat matahari, akan kulakukan.”
Vee benar-benar gak
menyangka akan ada lelaki yang mencintainya sebegini kuat. Seperti langit
seisinya runtuh dari langit, hati Vee pun luluh. Memberanikan dirinya untuk
membuka diri bagi sosok didepannya ini.
“Aku akan memberimu kesempatan...”
ujar Vee membuka diri.
Mata Rafa tiba-tiba
berubah cerah, berbinar-binar, kebahagiaan menyelimuti hatinya, layaknya merpati
jantan yang menemukan betinanya.
“Be... be.. benarkah..”
ujar Rafa penuh harap.
Vee mengangguk kecil
sambil tersenyum manis seraya setengah berbisik; “Kalo kamu tidak keberatan,
kita menjalaninya pelan-pelan.”
“Te... terima kasih Vee.
Aku gak pernah sebahagia ini.”
Vee hanya berfikir,
banyak hal yang tak bisa dipaksakan, namun layak diberi kesempatan. Mungkin
nanti akan banyak penawaran-penawaran di depan. Hubungan bisa dibangun, namun
memupuk kepercayaan bisa jadi hal pertama yang akan menjadi tantangan terbesar.
Maka, ia memutuskan untuk saling menjajaki dulu sebelum melangkah ke jenjang komitmen.
Dan Rafa sepakat.
Mereka berjalan keluar
dari perpustakaan itu. Semua elemen kedai ilmu itu seolah menjadi saksi babak
baru kehidupan Rafa.
“Apa yang pertama kali
akan kau sajikan padaku?” tanya Vee.
“Pertama-tama, akan
kubuat untaian nada-nada terbaikku buatmu Vee. Kan kumainkan ia di atas mimbar
di depan ribuan makhluk bumi. Dan puncaknya, akan kusebut namamu sebagai
perwujudan roh cinta sejatiku ini.”
Hati Vee
bergetar mendengarnya. Digenggamnya tangan Rafa, dan di sandarkannya kepala
dengan rambut terurai itu ke pundak Rafa. Pertemuan singkat malam itu, menjadi
gerbang sebuah perjalanan baru yang panjang bagi Vee dan Rafa.
Surabaya, 12 Desember 2014
Yang bertabur debu .....
Ed,
Surabaya, 12 Desember 2014
Yang bertabur debu .....
Ed,
2 komentar:
Syahdu tralala...
Thanks bos ngikuti terus he he ....
Posting Komentar