Pages

Sabtu, 24 Januari 2015

Gelombang, Sebuah Isyarat Non-Visual

Beberapa hari yang lalu, seorang teman meminjamiku buku fenomenal yang saat ini paling dicari. Gelombang. Sekuel ke 5 dari seri Supernova Dewi Lestari. Di tengah kesibukan yang tiada henti, membaca buku itu seperti mereguk air kedamaian dari sebuah oase di tengah panasnya padang pasir. Begitu menyegarkan. Sajian demi sajian yang tertuang dalam tulisan Dee seolah menyadarkan kembali batin ini untuk terus menggali alam bawah sadar yang penuh firasat, isyarat, mimpi, harapan, halusinasi, fenomena, dan gelombang.


Kisah tentang Alfa yang bernama lengkap Thomas Alfa Edison Sagala (suatu bentuk mimpi sang ayah yang meraga dalam bentuk nama) yang seorang Batak ini, begitu menggelitik dan mengalir, hingga tanpa sadar aku terus terbawa arus cerita yang begitu deras, kadang tenang tapi tetap menghanyutkan, dan di tiap persimpangannya, selalu penuh dengan penghayatan makna-makna khas ala Dee. Aku betul-betul terkesima melihat cara seorang Dee menuangkan teh prosa modern yang sarat dengan metafor dan mitologi, dicampur dengan bumbu komedi yang kerap tak lucu namun justru menarik. Betul-betul nikmat tak terhingga. Saking terbawanya, aku tak sadar kalo buku setebal 482 halaman itu kulahap hanya dalam 2 malam, dengan nafas memburu karena emosi yang begitu saja dipermainkan setelah tensi yang naik turun ketika membaca. Banyak etimologi baru yang betul-betul asik didengar disini, Pangalim, Aek Sipitu Dai, Gondang, Begu, Boru, Lucid Dream, Peretas, Infiltran, Sarvara, dll.

Berikut beberapa quotes yang mungkin bisa kusisipkan disini;

“Tak semua sanggup mengerti betapa berharganya sesuatu yang diberikan cuma-cuma kepada mereka yang nyawanya bersambung rapuh dari hari ke hari. Udara yang sejuk, nyanyian burung di pepohonan, matahari yang bersinar murah hati...” (hal. 309).


“Kalau kamu meragu, sadari kamu meragu, tapi jangan ladeni. Kalau kamu takut, sadari kamu takut, tapi jangan lawan.” (hal. 313).


Satu hal yang sangat kusuka adalah, entah kebetulan atau tidak, ternyata karakter Alfa ini begitu mirip denganku. Alfa memiliki 2 saudara, begitupun denganku. Saat kecil, Alfa suka sekali mengisi TTS dan membaca buku cerita Kho Ping Hoo. Akupun sama, waktu SD di Selong, Lombok Timur dulu, ketika teman-temanku asyik bermain Video Game dan sepatu roda, aku lebih memilih mengisi TTS dan membaca seri demi seri buku cerita buah tangan Takeshi Maekawa, Kungfu Boy. See?


Tiap pulang sekolah, Alfa langsung memegang gitar bututnya berjam-jam sampai kadang lupa makan saking khidmatnya. Akupun dulu, tiap kali ada gitar nganggur di rumah ketika gak di pakai Bapak, aku akan terus mendentingkan nada-nada entah itu enak atau tidak didengar. Tapi minimal, hobi kita betul-betul sama. Dan yang cukup menjadi perhatianku adalah, kami sama-sama punya pengalaman mimpi buruk yang begitu aneh. Saking anehnya mimpi itu kadang terus berulang sampai sekarang. Bedanya, dia bertemu si Jaga Portibi, sementara aku, bertemu dengan bayang-bayang masa lalu.

Selain itu, di usia SMP, Alfa berangkat merantau ke Jakarta, persis ketika di usia SMP dulu, aku pindah ke Jawa. Sampai titik ini kami benar-benar memiliki banyak kesamaan. Yang aku kaget lagi,  Alfa suka menyambangi rumah kerabat ayahnya yang seorang pedagang buku lama. Dia suka menghabiskan waktu disitu berjam-jam. Dulu ketika aku pulang sekolah, tak jarang aku mampir ke sebuah pasar di kecamatan sendirian lalu mampir di sebuah buku loakan di ujung, yang walaupun berjam-jam berdiri memaku membaca buku demi buku usang tentang cerita cerita prosa lama dari karyanya SH Mintardja, sastra wanginya Freddy S, sampai cerpen-cerpen cantik Djenar Maesa Ayu tak pernah lelah mata ini untuk terus membaca, yaaa walaupun yang akhirnya kubeli hanya sebuat buku TTS bercover cewek cantik sih he he he. Tapi nenek tua penjaga toko selalu bilang, “Gak usah khawatir nak, kalo mau baca, baca aja gak pa pa. Biar pintar ya...”.

Alfa memiliki cita-cita yang tinggi, ingin membahagiakan ortunya. Hingga ia akhirnya ikut Amanguda nya berangkat ke Amrik dan tinggal di sebuah apartemen kumuh yang dihuni oleh kelompok-kelompok gangster rasis. Cerita terus berlanjut hingga akhirnya Alfa mendapat beasiswa di Cornell University,  kemudian bertemu Tom Irvine yang merekrutnya menjadi karyawannya di Wall Street, lalu bertemu gadis misterius bernama Ishtar, dan pertemuan uniknya dengan seorang gadis muda yang ternyata dokter yang jatuh cinta pada Alfa. Namun pada akhirnya jawaban demi jawaban ditemukannya di Tibet. Persis ketika pada akhirnya aku menemukan jawaban dari semua tanya yang kerap menghantuiku di kota yang sekarang kutinggali, Surabaya.

Entah kusadari atau tidak, Dee dengan begitu manisnya, telah mempertemukanku dengan Alfa secara non-visual dan disinteraktif, namun sama-sama mengalami pahit getir kompleksitas elemen bumi yang sama; Gelombang. Dalam konteks subconscious mind, aku seperti mendapat teman. Teman yang kadang muncul dalam kaca, melambaikan tangannya, dan dengan sedikit berbisik, ia berkata, “Tenang kawan.... Kamu tak sendiri...”

0 komentar: