Pages

Rabu, 30 Maret 2016

Mengikat Makna Menyingkap Rasa






Menulis, sebagai laku hidup yang dipercaya sebagai proses kontemplasi bagi sebagian kalangan, sejatinya adalah proses mengikat makna kata untuk kehidupan; hidup si penulis. Mengikat makna mungkin agak sedikit berlebihan disini, mengingat metafor seperti itu, untuk diucapkan saja sudah membuat lidah kelu, apalagi dilakoni. Namun, ini adalah paradigma. Sebuah tantangan yang menuntut seseorang mendefinisikan sikap berdasarkan cara pandang yang digunakannya.


Dalam bukunya “Mengikat Makna Update”, Hernowo menyatakan bahwa makna adalah sesuatu yang penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang. Dan makna baru bisa ditemukan seseorang bila ia mencoba mengaitkan atau mengontekskan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kredo yang bisa didapat di sini adalah “create meaning by connecting things”. Sehingga, sintesis yang muncul kemudian adalah bahwa makna dalam kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan yang menghubungkan atau mengaitkan apa yang kita baca dan kita tulis dengan sesuatu yang bersifat pribadi.  

Masih menurut Hernowo, untuk menjalankan konsep mengikat makna ini, seseorang perlu menjalani tiga tahapan. Pertama, menyediakan ruang privat, kedua, memadukan membaca dan menulis dalam satu paket kegiatan yang diselenggarakan secara kontinu dan konsisten, dan ketiga dan yang paling penting, berusaha sekuat daya untuk menemukan makna ketika menjalankan kegiatan membaca dan menulis.

Sebelum menemukan makna dalam menulis tentu ada proses yang mendahuluinya, salah satunya adalah meningkatkan potensi tulisan. Dalam buku Quantum Writing, disebutkan tiga hal yang perlu ditempuh seseorang agar potensi menulis mencuat; Pertama, menulis untuk menyingkap diri, menulis untuk menjelajah diri, dan menulis untuk mengungkapkan diri. Kesemua hal itu memang nampak seperti entitas spiritualistik-sufistik. Bagaimanapun juga, terlepas dari segala proses kreatif, kita sepakat bahwa menulis adalah  self-centered process. Kita rela membenamkan kepala kita ke dalam kertas dan pena selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan tidak jarang yang menghabiskan waktu menulisnya dalam kurun waktu sekian bulan, atau sekian tahun. Namun ini adalah suatu bentuk kerelaan yang hakiki. Seseorang akan dengan senang hati melakukan sesuatu karena memang dia senang melakukannya, atau sedang menemukan kesenangan dalam prosesnya. Tentu apa yang akan ditemukan itu berbeda-beda, tergantung bagaimana proses kreatif yang ditempuh dan bagaimana sudut pandang filosofis-semiotis-sintaksis yang digunakan.    

Sedang dari sisi pembaca, ada aspek lain yang harus diperhatikan dalam proses mengikat makna. Charles Sanders Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda, obyek, dan interpretasi. Ketiga hal itu, semua bermuara pada satu hal; penghayatan. Tentang ini, Peirce menjelaskan;
My view is that there are three modes of being. I hold that we can directly observe them in elements of whatever is at any time before the mind in any way. They are the being of positive qualitative possibility, the being of actual fact, and the being of law that will govern facts in the future.”
Tentang bagaimana penghayatan itu, salah satu cara ampuh untuk mendapatkan intisara penghayatan adalah melalui visualisasi. Dan Bell mengatakan; “Visualization is a “mental image” created in a person's mind while reading text, which "brings words to life" and helps improve reading comprehension.”  Jadi, melalui pengembaraan visual sembari menciptakan “big picture”, seseorang akan mendapatkan penghayatan (total comprehension) dan pendalaman (digesting). 2 hal inilah yang akan membantu seseorang menangkap makna, dan mengikatnya

Tidak sedikit mereka yang menulis dan membaca, gagal mendapatkan impresi sebuah karya hingga benar-benar tertancap di benaknya. Kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Semua kisah dan penjelasan itu hanya lewat saja layaknya semilir angin yang melintas di depan kita.

Upaya “mengikat makna” adalah upaya terbaik yang bisa dilakukan seorang pembaca maupun penulis. Ini adalah kenaikan tingkat dalam paradigma baca-tulis. Bagi penulis, pergolakan batin dan eksplorasi diri yang liat akan menghasilkan sintesa makna yang bernilai tinggi bagi dirinya maupun bakal calon pembacanya nanti. Sementara bagi pembaca, dengan mengikat makna, akan ditemukan kesan dan pesan yang akhirnya akan menginspirasi sebagai sumber keteladanan hidupnya. Namun ini tentu paradigm yang baru. Ada semacam pergeseran cara pandang di sini (paradigm shift).  

Untuk membentuk sebuah paradigma baru dalam membaca dan menulis, Stephen R. Covey menjelaskan tentang perlunya tiga hal berikut untuk dijadikan habit; pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan keinginan (desire). Dalam mengaplikasikan ketiganya tentu tidaklah mudah, karena hanya untuk sekedar memenuhi yang pertama saja sudah membutuhkan segenap tenaga, apalagi dua hal lainnya. Namun untuk memiliki, hanya cukup dengan memulai. Maka sekarang yang diperlukan tinggal keberanian. Karena bagaimanapun, untuk memulai, kita semua butuh keberanian, dan keberanian tentu muncul karena ada kesadaran. Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kembali ungkapan terkenal Ian Marshall ini; “Kita memerlukan kesadaran akan makna dan tujuan yang menggerakkan hidup kita. Tanpa itu, kita akan sakit atau mati.” 

Edwin Mclean, musisi dan konsultan. Hobi menulis fiksi dan esai sejak remaja. Blog: isapanhati.blogspot.com dan guitaronsky.asia

Tulisan ini juga di publikasikan di redaksi Jurnal Sastra Aksara edisi 8 pimpinan ibu Khanis Selasih.

0 komentar: