Sedikit kebanggaan muncul dari dalam sini
(menunjuk dada) ketika semalam saya membaca sebuah esai Goenawan Muhammad di
harian Jawa Pos tentang persiapan Indonesia menjadi Guest of Honour di
Frankfurt Book Fair yang akan digelar selama nyaris satu minggu yaitu tanggal
13-18 Oktober nanti. Senang juga ketika tahu beberapa novelis jagoan tanah air
berada di line up. Sebut saja Ahmad
Tohari, Laksmi Pamuntjak, Andrea Hirata, Ayu Utami, atau Dewi Lestari. Mereka
adalah para tamu kehormatan yang nantinya akan mewakili wajah kesusastraan
Indonesia. Menurut mbak Feby Indira yang juga anggota Komite Nasional, ada
sekitar 70 penulis yang siap berangkat Oktober nanti.
Selesai membaca esai itu,
ada semacam rasa was-was dan kegamangan yang kemudian muncul menghinggapi saya ketika Om
Goen yang didapuk menjadi Ketua Komite Nasional event buku terbesar di dunia itu, mengatakan bahwa sejujurnya kita adalah Guest of Honour yang kurus.
Kondisi minimnya karya sastra yang bakal menjadi bahan pameran di sana merupakan
fakta yang begitu memprihatinkan. Jangan minta
dibandingkan dengan China atau Jepang. Bahkan dengan India saja kita kalah
jauh. Hal ini diperkuat pula dengan pengakuan Lucya Andham Dewi salah satu
kurator dari Komite Buku, bahwa karena terlalu ketatnya syarat penulis yang
lolos seperti harus asli Indonesia, karyanya harus sudah diterjemahkan, dan
karya harus original, membuat seleksi buku yang akan di bawa semakin rumit.
Mengingat, penulis yang betul-betul orisinil memang hanya segelintir. Lucya
juga menambahkan bahwa buku-buku yang mendapat subsidi pernerjemahan tidak
banyak. Dari 2000-an buku harus dirampingkan lagi menjadi 300 buku. Semua
selalu kembali ke masalah pembiayaan oleh pemerintah, yang dalam bahasa Om Goen
disebutnya bahwa pembiayaan selalu seret karena faktor-faktor birokratif, sedang
dalam bahasa kedinasan disebut “prosedural”.
Mas Ronny dari penerbit Marjin Kiri yang
juga bakal turut hadir ke event ini, turut memberikan opini kritisnya. Salah
satu masalah adalah soal database penulis, katanya. Indonesia belum punya data
pasti semua buku yang terbit, baik melalui penerbit besar maupun terbit secara
independen. "Kita juga jarang tahu penulis dari Indonesia Timur, seperti
Papua. Itu harus dihadirkan," ujarnya.
Terus terang, khazanah kesusastraan di
Indonesia sebetulnya mulai menampakkan geliat yang baik. Setidaknya dalam 3 tahun
terakhir, mulai muncul penerbit baru yang arahnya ke mayor, tentunya disamping
penerbit-penerbit independen yang rasanya semakin banyak menawarkan self-publishing service remaja ini. Sayangnya,
karena kurangnya persiapan menjelang event ini, dimana Indonesia mempersiapkan
diri hanya selama 2 tahun saja, membuat buku yang terkumpul dan masuk di meja
kurasi Komite Nasional hanyalah buku-buku mayor, yang utamanya, sudah pernah
menerima berbagai gelar dan penghargaan. Tentu hal ini sedikit disayangkan
karena kita tahu betul banyak sekali karya sastra baik mayor maupun indie yang
memiliki mutu dan nilai yang prestigious.
Brazil saja yang terkenal dengan sastrawan hebat macam Paulo Coelho, yang
diperkuat dengan organisasi kepenulisan nasional yang solid, mempersiapkan diri selama 4
tahun menjelang Frankfurt Book Fair 2014. Tentu sedikit kesal mengetahui bahwa
Indonesia terlalu PeDe dengan hanya 2 tahun saja. Semestinya, ada semacam tim book hunter dari Komite Nasional yang
diterjunkan langsung untuk mencari bakat-bakat baru. Namun sepertinya bukan demikian opsinya. Mereka memilih untuk menyeleksi dari jenis buku best selling
ataupun buku dengan seperangkat gelar lainnya. Padahal banyak nama-nama penulis
Indie yang memiliki standar kelayakan internasional. Sebut saja Muhammad
Subhan, Peter Dantovski, Kirana Kejora, Khanis Selasih, Norman Edwin, atau
Aliyah Nurlaela misalnya. Mereka tidak perlu mendapat penghargaan ini itu untuk
mendapat pengkuan. Dengan kualitas kepenulisan yang mumpuni, nama mereka sering
menjadi topik literasi di kalangan netizen. Saya pikir orang-orang seperti mereka layak diberi kesempatan.
Sayangnya,
entah disadari atau tidak, ada semacam dunia kelas dalam budaya berkesusastraan di Indonesia. Dan dunia kelas itulah yang kemudian menjadi dasar bagi
mereka para executive di bisnis literature untuk menentukan siapa yang
akan menjadi penulis ‘jagoan’ berikutnya, dengan segala ramalan kesuksesan di
depan; karya yang mendunia, nama pena yang memorable,
dan kebebasan finansial. Dari sekelumit tulisan ini, saya kemudian menyadari, sepertinya ada sikap kurang serius dari para stakeholder. Padahal jelas ini bukan main-main. Sekarang
kita semua paham bukan, sejauh mana kesungguhan para petinggi negeri dalam
menyikapi undangan menjadi Guest of Honour dari Frankfurt Book Fair. Pameran
buku terbesar di dunia. Bayangkan, di dunia … Saya tidak tahu lagi, harus senang atau justru sedih ....
0 komentar:
Posting Komentar