Terkejut
juga saya ketika membaca sebuah tulisan tentang bagaimana kenyataan
novel Ayat-Ayat Cinta karya kang Abik, yang ternyata hanya dilirik
sebelah mata oleh kalangan sastrawan. Namun ini bukan seperti Air
besar batu bersibak (peribahasa)dimana
perselisihan akan timbul karena opini-opini. Para sastrawan ini mampu
menakar dan memberikan kontrol terhadap apa yang harus dan tidak
boleh dilakukan. Ya jelaslah, mereka memiliki kemampuan yang jarang
dimiliki oleh kita, yakni kemampuan melihat nilai-nilai.
Dalam
konteks kasusastraan, ini adalah salah satu paradigma yang saling
berbenturan antara 2 pandangan yang memiliki nilai perbedaan tinggi.
Namun dalam kasus ini, membaca apa komentar sang Guru
sastra pembaharu,
Ayu Utami, ada semacam dialektika yang bermuara pada tingginya
skepticism
yang kemudian muncul saat mengetahui fakta yang sebenarnya.
Tentu ada
gaya yang berbeda dari novel mbak Ayu dan kang Abik. Mbak Ayu ini
lebih ke multikontekstual dan tulisannya adalah kombinasi dari
berbagai perspektif dengan segala aforismanya sementara kang Abik
cenderung mengusung plot yang baku dengan gaya penulisan paralelisme
namun tetap tidak meninggalkan kadar retorismenya. Keduanya memiliki
kharismanya masing-masing. Saya pribadi, terus terang memang kurang
terlalu berminat membaca novel AAC itu, saya tidak bilang bahwa novel
itu tidak bagus. Ini bukan juga tentang selera. Tetapi lebih kepada
bagaimana seorang pecinta buku yang haus akan moral
value
dan pergulatan aksara tidak menemukan apa yang dicarinya disana,
bahkan hingga habis saya baca novel itu. Melihat filmnya apalagi,
tidak perlu saya utarakan lagi bagaimana perasaan saya waktu itu.
Bahkan kalau saya boleh bilang, harus ada filologi atau dalam bahasa
sastra sering disebut conjecture,
demi
menjadikan novel ini sempurna. Saya juga tidak menemukan ada ad
libitum
di tiap-tiap babak. Namun, pada faktanya, AAC menjadi best
seller
dan booming.
Mungkin saya salah karena tidak menggunakan pendekatan stilistika
seperti yang dilakukan para sarjana sastra ketika memberi penilaian,
artinya, bisa jadi saya berfikir subyektif dalam memberikan
judgement.
Tapi itulah opini terjujur saya. Maka, mungkin beberapa pernyataaan
Ayu Utami berikut ini, akan sedikit mencerahkan. Kenapa Ayu Utami
yang menjadi rujukan, karena saya tidak pernah melihat affective
fallacy
atau ‘salah nalar’ yang pernah terjadi pada dia. Justru orang
lainlah yang sering salah menilainya karena bobot tulisan yang begitu
berat bagi kebanyakan orang.
Ini
yang dikatakan mbak Ayu tentang novel kang Abik itu; “Ayat-ayat
Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya.
Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya
berita happy ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan
yang tidak ingin didengar. Orang sekarang ingin mendengar petuah
bijak, seperti ada sesuatu yang optimis, ada kebaikan di dunia ini”.
Hal
ini saya benarkan, karena memang pola pikir kebanyakan orang yang
terbentuk oleh berbagai produk sinetron televisi. Padahal tanpa
disadari ini akan membunuh kemampuan berfikir kritis dan analitis
terhadap tumbuh kembangnnya kehidupan sosial. Inilah faktor pertama
yang menurut saya sekali lagi, menjadi alasan utama larisnya novel
ini. Sudah jelas bukan, komoditasnya adalah, happy
ending.
Satu hal yang sangat teramat sulit sekali terjadi di negeri ini. Saya
pikir ini senada juga dengan pemikiran mbak Ayu berikut, “Mengapa
kemudian Ayat-Ayat Cinta ini sangat laris? Karena masyarakat kita
masih di situ tahapnya, inginnya kisah-kisah yang hitam putih dan
penuh optimisme seperti itu. Mungkin karena kita habis reformasi,
lalu ada chaos, jadi kita ingin kisah yang menghibur seperti itu.”
Tentang
karakter novel, mbak Ayu menambahkan lagi; “Cerita
novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua
laki-laki untuk dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri
pertama menyuruh dia kawin lagi. Lalu penyelesaiannya untuk kompromi
simpel, perempuan yang istri kedua mati.”
Di sini ada semacam kesalahan yang kemudian diluruskan dengan cara
yang begitu tidak menarik. Poligami, lalu menjadi monogami karena
salah satunya meninggal. Satu alur yang kurang memiliki cita rasa
dalam penyajiannya. Namun bagaimanapun juga, kang Abik memiliki
kebebasan dalam mengolah alur dan menyajikan imajinasi. Termasuk
ketika beliau menyatakan bahwa ini adalah novel dakwah. Tentu saja
ini sah-sah saja. Mbak Ayu malah mengacungi jempol dengan kreativitas
dakwah semacam ini. Setali tiga uang. Satu aksi tiga perolehan. Karya
seni sastra, dakwah, dan pendapatan. Tentu kita perlu berapresiasi.
Hanya saja, kadang orang lupa bahwasanya, sastra adalah tentang
pergulatan nilai-nilai, bukan pembenaran sebuah nilai tertentu.
Sehingga pembaca mampu melakukan generalisasi
untuk kemudian menarik satu moral
value
yang sesuai dengan konteks hidup mereka masing-masing. Bukannya
memaksakan satu nilai tertentu kepada para pembaca yang nyata-nyata
heterogen, bukan homogen.
Interview
selengkapnya dengan mbak Ayu silahkan baca di sini:
http://dunia-sazali.blogspot.com/2008/03/ayu-utami-ayat-ayat-cinta-pengecut.html
0 komentar:
Posting Komentar