Pages

Sabtu, 11 Juli 2015

Menakar Ayat-Ayat Cinta

Terkejut juga saya ketika membaca sebuah tulisan tentang bagaimana kenyataan novel Ayat-Ayat Cinta karya kang Abik, yang ternyata hanya dilirik sebelah mata oleh kalangan sastrawan. Namun ini bukan seperti Air besar batu bersibak (peribahasa)dimana perselisihan akan timbul karena opini-opini. Para sastrawan ini mampu menakar dan memberikan kontrol terhadap apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Ya jelaslah, mereka memiliki kemampuan yang jarang dimiliki oleh kita, yakni kemampuan melihat nilai-nilai.

Dalam konteks kasusastraan, ini adalah salah satu paradigma yang saling berbenturan antara 2 pandangan yang memiliki nilai perbedaan tinggi. Namun dalam kasus ini, membaca apa komentar sang Guru sastra pembaharu, Ayu Utami, ada semacam dialektika yang bermuara pada tingginya skepticism yang kemudian muncul saat mengetahui fakta yang sebenarnya. 

Tentu ada gaya yang berbeda dari novel mbak Ayu dan kang Abik. Mbak Ayu ini lebih ke multikontekstual dan tulisannya adalah kombinasi dari berbagai perspektif dengan segala aforismanya sementara kang Abik cenderung mengusung plot yang baku dengan gaya penulisan paralelisme namun tetap tidak meninggalkan kadar retorismenya. Keduanya memiliki kharismanya masing-masing. Saya pribadi, terus terang memang kurang terlalu berminat membaca novel AAC itu, saya tidak bilang bahwa novel itu tidak bagus. Ini bukan juga tentang selera. Tetapi lebih kepada bagaimana seorang pecinta buku yang haus akan moral value dan pergulatan aksara tidak menemukan apa yang dicarinya disana, bahkan hingga habis saya baca novel itu. Melihat filmnya apalagi, tidak perlu saya utarakan lagi bagaimana perasaan saya waktu itu. Bahkan kalau saya boleh bilang, harus ada filologi atau dalam bahasa sastra sering disebut conjecture, demi menjadikan novel ini sempurna. Saya juga tidak menemukan ada ad libitum di tiap-tiap babak. Namun, pada faktanya, AAC menjadi best seller dan booming. Mungkin saya salah karena tidak menggunakan pendekatan stilistika seperti yang dilakukan para sarjana sastra ketika memberi penilaian, artinya, bisa jadi saya berfikir subyektif dalam memberikan judgement. Tapi itulah opini terjujur saya. Maka, mungkin beberapa pernyataaan Ayu Utami berikut ini, akan sedikit mencerahkan. Kenapa Ayu Utami yang menjadi rujukan, karena saya tidak pernah melihat affective fallacy atau ‘salah nalar’ yang pernah terjadi pada dia. Justru orang lainlah yang sering salah menilainya karena bobot tulisan yang begitu berat bagi kebanyakan orang.

Ini yang dikatakan mbak Ayu tentang novel kang Abik itu; “Ayat-ayat Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya. Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happy ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang tidak ingin didengar. Orang sekarang ingin mendengar petuah bijak, seperti ada sesuatu yang optimis, ada kebaikan di dunia ini”. Hal ini saya benarkan, karena memang pola pikir kebanyakan orang yang terbentuk oleh berbagai produk sinetron televisi. Padahal tanpa disadari ini akan membunuh kemampuan berfikir kritis dan analitis terhadap tumbuh kembangnnya kehidupan sosial. Inilah faktor pertama yang menurut saya sekali lagi, menjadi alasan utama larisnya novel ini. Sudah jelas bukan, komoditasnya adalah, happy ending. Satu hal yang sangat teramat sulit sekali terjadi di negeri ini. Saya pikir ini senada juga dengan pemikiran mbak Ayu berikut, “Mengapa kemudian Ayat-Ayat Cinta ini sangat laris? Karena masyarakat kita masih di situ tahapnya, inginnya kisah-kisah yang hitam putih dan penuh optimisme seperti itu. Mungkin karena kita habis reformasi, lalu ada chaos, jadi kita ingin kisah yang menghibur seperti itu.”

Tentang karakter novel, mbak Ayu menambahkan lagi; “Cerita novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri pertama menyuruh dia kawin lagi. Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan yang istri kedua mati.” Di sini ada semacam kesalahan yang kemudian diluruskan dengan cara yang begitu tidak menarik. Poligami, lalu menjadi monogami karena salah satunya meninggal. Satu alur yang kurang memiliki cita rasa dalam penyajiannya. Namun bagaimanapun juga, kang Abik memiliki kebebasan dalam mengolah alur dan menyajikan imajinasi. Termasuk ketika beliau menyatakan bahwa ini adalah novel dakwah. Tentu saja ini sah-sah saja. Mbak Ayu malah mengacungi jempol dengan kreativitas dakwah semacam ini. Setali tiga uang. Satu aksi tiga perolehan. Karya seni sastra, dakwah, dan pendapatan. Tentu kita perlu berapresiasi. Hanya saja, kadang orang lupa bahwasanya, sastra adalah tentang pergulatan nilai-nilai, bukan pembenaran sebuah nilai tertentu. Sehingga pembaca mampu melakukan generalisasi untuk kemudian menarik satu moral value yang sesuai dengan konteks hidup mereka masing-masing. Bukannya memaksakan satu nilai tertentu kepada para pembaca yang nyata-nyata heterogen, bukan homogen.
Interview selengkapnya dengan mbak Ayu silahkan baca di sini: http://dunia-sazali.blogspot.com/2008/03/ayu-utami-ayat-ayat-cinta-pengecut.html

0 komentar: