Sore
tadi, sembari sedikit melakukan relaksasi di kantor, saya berselancar
di internet. Fokus saya tertahan seketika saat menemukan sebuah situs
tentang sastra jawa. Senang dan haru serasa sesak memenuhi dada. Luar
biasa, ternyata masih ada juga orang yang tergerak melakukan
pelestarian terhadap kebudayaan dan sastra jawa. Di situs itu,
terdapat banyak sekali karya yang sudah sangat sulit ditemukan.
Arsip-arsip Kasunanan, Mangkunegaran, Ranggawarsita, ataupun
Sastradiningrat. Tradisi literasi jawa kuno yang dulu pernah dirintis
oleh para empu dan sastrawan pada masa kerajaan.
Pada
perkembangannya, sastra Jawa memiliki 3 periode. Menurut Zoetmulder
P.J (1974:1983),
dalam Kalangwan ia membagi dua Sastra Jawa. Bagian pertama, berisi
sejarah bahasa dan sastra jawa, sastra parwa, kitab uttarakanda,
teknik persajakan sastra jawa kuna, penyair, syair, puisi, dan
lukisan alam dalam kakawin. Bagian kedua, berisi bahasan karya-karya
sastra jawa kuna.
Pigeaud menjelaskan
lebih lanjut tentang periode ini. Periode pra-Islam, sebuah periode
yang dimulai sekitar abad 10, periode sastra pra-islam dapat
dikatakan sebagai periose sastra Jawa kuna. Pada masa ini bahasa dan
tulisan sansekerta merupakan media komunikasi tertulis yang
mendominasi. Kitab
Candha Karan dan
Kakawin
Ramayana
karya empu Yogiswara adalah contohnya. Periode
berikutnya adalah periode Jawa Pertengahan. Pada masa ini pusat
kasusastraan Jawa berada di daerah Jawa Timur. Bahasa yang digunakan
sudah bukan bahasa sansekerta, melainkan bahasa dan aksara jawa kuna
yang memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan sansekerta.
Ceritanya sendiri merupakan modifikasi dari cerita India yang
sebelumnya mendominasi di era periode pra-Islam. Contoh karyanya
adalah Arjuna Wiwaha, Gathotkacasraya, Sutasoma, dan Negara
Kertagama. Era Islam atau biasa disebut era Jawa Baru adalah period
eke tiga dan paling banyak mempengaruhi di periode-periode
berikutnya. Suluk
Sukarsa, Suluk Wujil, dan Serat Nitisrut adalah contoh yang terkenal.
Ketika sastra
pesisir mulai mengalami penurunan dan mulai ditinggalkan akibat
melemahnya pengaruh ekonomi dan dampak kemunculan Batavia. Sekitar
abad 18-19, pusat kasusastraan kembali lagi pada kebudayaan Jawa yang
berpusat di Keraton Kartasura, Surakarta , dan Yogyakarta. Bahasa dan
aksara yang digunakan selain menggunakan jawa juga sudah mulai
bersinggungan dengan budaya luar atau eropa. Bahkan pada
perkembangannya sastra jawa didampingi aksara latin.
Pada masa ini budaya
jawa sudah berkembang lebih luas dan berinteraksi dengan budaya luar
atau eropa. Sehingga selain budaya sebelumnya budaya eropa turut
meramaikan coraknya pada sastra jawa. Babad Dipenegoro, Serat
Jatimurti, Serat Madurasa, dan artikel-artikel Ki Hajar Dewantara
adalah beberapa yang sering
kita dengar.Sayang, setelah periode yang terakhir ini, minat
masyarakat terhadap lerasi jawa mulai menglamai penurunan, baik
pembacanya maupun penulisnya. Seperti yang dikatakan pula oleh seorang blogger pengamat budaya Jawa, Adelia Dini. Begini dia bilang, "Dewasa ini, sastra jawa sudah mulai terpuruk, terpinggirkan karena
perkembangan zaman global yang kian gencar memasuki kebudayaan timur."
Sebagai
anak yang terlahir dari keluarga yang begitu njaweni,
hidup
saya kental dengan berbagai budaya jawa dengan segala mitologinya.
Beberapa kali saya juga pernah membaca majalah-majalah lama jawa
milik kakek saya. Salah satunya yang terkenal adalah Panjebar
Semangat.
Dari apa yang saya baca dan juga cerita-cerita yang kakek sampaikan,
saya banyak menemukan nilai-nilai normatif yang dikemas dengan seni
yang mengagumkan. Saya melihat budaya jawa adalah suatu seni
pengembangan kepribadian yang selalu bisa diaplikasikan dalam tindak
tanduk dan perilaku kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang
sederhana dan tidak membebani.
Mencium
tangan misalnya, hal ini adalah suatu bentuk penghormatan dan bakti
terhadap mereka yang di’tua’kan, seperti orang tua, kakak, guru,
atau mereka yang usianya lebih tua dari kita. Namun hal ini akan beda
arti dengan cium tangan orang Eropa yang bisa dimaknai sebagai sikap
memuliakan wanita pujaannya. Walaupun sebenarnya sedikit berbeda
secara praktiknya, dimana orang Eropa mencium menggunakan mulut,
sementara orang Jawa menggunakan hidung (baca: indra penciuman). Kita
semua tahu, budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan
keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga menjunjung
tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Suatu kunci sosial yang telah
lama diwariskan oleh para ahli hikmah kejawen sejak lama bagi
generasi penerusnya. Banyak lelaku yang bisa digunakan untuk tetap
membuat local
wisdom
tersebut menyatu dengan jiwa. Salah satunya menggunakan boso
kromo
ketika berbicara, sebuah tatanan bahasa untuk orang yang dihormati
atau dituakan. Hal ini akan membuat seeorang rendah hati. Selain itu,
ada juga, berjalan membungkuk di depan orang lain. Hal ini akan
melatih kita bagaimana menghargai orang lain. Yang tidak kalah
pentingna, menggunakan kata nyuwun
sewu
sebelum bertanya atau minta tolong pada orang lain adalah suatu sikap
menghargai eksistensi orang lain tanpa harus tahu siapa dan apa latar
belakangnya.
Sampai setua inipun, saya masih melakukan ketiga hal
tersebut. Karena saya lebih sering menggunakan boso
kromo
daripada bahasa Indonesia, Pernah suatu ketika seorang rekan yang
masih muda mengatakan ini pada saya, “Kamu ini ndeso
ya mas. Ngomongnya lucu.”Kemudian
sembari tersenyum kecil, ini yang saya katakan padanya, Saya mencoba
melestarikan budaya Jawa yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang
Jawanya sendiri.”
Saya menyadari, budaya ini sudah mulai hilang dari nafas kehidupan di
Jawa. Di bebragai tempat sudah jarang sekali saya lihat orang-orang
yang notabene asli Jawa, namun banyak menggunakan bahasa elu-guwe,
bahasa yang jelas-jelas tak jelas asal usulnya (ingat, kalo betawi
itu lo, aye., apalagi di EYD). Itu adalah tren rekayasa media
televisi yang jelas-jelas menyesatkan. Jika bahasa Jawa sudah tidak
dihiraukan, lalu berbahasa Indonesiapun salah kaprah, maka apa sudah
benar-benar hilangkah jati diri kita?
0 komentar:
Posting Komentar