Pages

Sabtu, 11 Juli 2015

Tentang Sastra dan Tradisi Jawa

Sore tadi, sembari sedikit melakukan relaksasi di kantor, saya berselancar di internet. Fokus saya tertahan seketika saat menemukan sebuah situs tentang sastra jawa. Senang dan haru serasa sesak memenuhi dada. Luar biasa, ternyata masih ada juga orang yang tergerak melakukan pelestarian terhadap kebudayaan dan sastra jawa. Di situs itu, terdapat banyak sekali karya yang sudah sangat sulit ditemukan. Arsip-arsip Kasunanan, Mangkunegaran, Ranggawarsita, ataupun Sastradiningrat. Tradisi literasi jawa kuno yang dulu pernah dirintis oleh para empu dan sastrawan pada masa kerajaan. 

Pada perkembangannya, sastra Jawa memiliki 3 periode. Menurut Zoetmulder P.J (1974:1983), dalam Kalangwan ia membagi dua Sastra Jawa. Bagian pertama, berisi sejarah bahasa dan sastra jawa, sastra parwa, kitab uttarakanda, teknik persajakan sastra jawa kuna, penyair, syair, puisi, dan lukisan alam dalam kakawin. Bagian kedua, berisi bahasan karya-karya sastra jawa kuna.

Pigeaud menjelaskan lebih lanjut tentang periode ini. Periode pra-Islam, sebuah periode yang dimulai sekitar abad 10, periode sastra pra-islam dapat dikatakan sebagai periose sastra Jawa kuna. Pada masa ini bahasa dan tulisan sansekerta merupakan media komunikasi tertulis yang mendominasi. Kitab Candha Karan dan Kakawin Ramayana karya empu Yogiswara adalah contohnya. Periode berikutnya adalah periode Jawa Pertengahan. Pada masa ini pusat kasusastraan Jawa berada di daerah Jawa Timur. Bahasa yang digunakan sudah bukan bahasa sansekerta, melainkan bahasa dan aksara jawa kuna yang memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan sansekerta. Ceritanya sendiri merupakan modifikasi dari cerita India yang sebelumnya mendominasi di era periode pra-Islam. Contoh karyanya adalah Arjuna Wiwaha, Gathotkacasraya, Sutasoma, dan Negara Kertagama. Era Islam atau biasa disebut era Jawa Baru adalah period eke tiga dan paling banyak mempengaruhi di periode-periode berikutnya. Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Serat Nitisrut adalah contoh yang terkenal. 
 
Ketika sastra pesisir mulai mengalami penurunan dan mulai ditinggalkan akibat melemahnya pengaruh ekonomi dan dampak kemunculan Batavia. Sekitar abad 18-19, pusat kasusastraan kembali lagi pada kebudayaan Jawa yang berpusat di Keraton Kartasura, Surakarta , dan Yogyakarta. Bahasa dan aksara yang digunakan selain menggunakan jawa juga sudah mulai bersinggungan dengan budaya luar atau eropa. Bahkan pada perkembangannya sastra jawa didampingi aksara latin.

Pada masa ini budaya jawa sudah berkembang lebih luas dan berinteraksi dengan budaya luar atau eropa. Sehingga selain budaya sebelumnya budaya eropa turut meramaikan coraknya pada sastra jawa. Babad Dipenegoro, Serat Jatimurti, Serat Madurasa, dan artikel-artikel Ki Hajar Dewantara adalah beberapa yang sering kita dengar.Sayang, setelah periode yang terakhir ini, minat masyarakat terhadap lerasi jawa mulai menglamai penurunan, baik pembacanya maupun penulisnya. Seperti yang dikatakan pula oleh seorang blogger pengamat budaya Jawa, Adelia Dini. Begini dia bilang, "Dewasa ini, sastra jawa sudah mulai terpuruk, terpinggirkan karena perkembangan zaman global yang kian gencar memasuki kebudayaan timur."
 
Sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang begitu njaweni, hidup saya kental dengan berbagai budaya jawa dengan segala mitologinya. Beberapa kali saya juga pernah membaca majalah-majalah lama jawa milik kakek saya. Salah satunya yang terkenal adalah Panjebar Semangat. Dari apa yang saya baca dan juga cerita-cerita yang kakek sampaikan, saya banyak menemukan nilai-nilai normatif yang dikemas dengan seni yang mengagumkan. Saya melihat budaya jawa adalah suatu seni pengembangan kepribadian yang selalu bisa diaplikasikan dalam tindak tanduk dan perilaku kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang sederhana dan tidak membebani. 
 
Mencium tangan misalnya, hal ini adalah suatu bentuk penghormatan dan bakti terhadap mereka yang di’tua’kan, seperti orang tua, kakak, guru, atau mereka yang usianya lebih tua dari kita. Namun hal ini akan beda arti dengan cium tangan orang Eropa yang bisa dimaknai sebagai sikap memuliakan wanita pujaannya. Walaupun sebenarnya sedikit berbeda secara praktiknya, dimana orang Eropa mencium menggunakan mulut, sementara orang Jawa menggunakan hidung (baca: indra penciuman). Kita semua tahu, budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Suatu kunci sosial yang telah lama diwariskan oleh para ahli hikmah kejawen sejak lama bagi generasi penerusnya. Banyak lelaku yang bisa digunakan untuk tetap membuat local wisdom tersebut menyatu dengan jiwa. Salah satunya menggunakan boso kromo ketika berbicara, sebuah tatanan bahasa untuk orang yang dihormati atau dituakan. Hal ini akan membuat seeorang rendah hati. Selain itu, ada juga, berjalan membungkuk di depan orang lain. Hal ini akan melatih kita bagaimana menghargai orang lain. Yang tidak kalah pentingna, menggunakan kata nyuwun sewu sebelum bertanya atau minta tolong pada orang lain adalah suatu sikap menghargai eksistensi orang lain tanpa harus tahu siapa dan apa latar belakangnya. 

Sampai setua inipun, saya masih melakukan ketiga hal tersebut. Karena saya lebih sering menggunakan boso kromo daripada bahasa Indonesia, Pernah suatu ketika seorang rekan yang masih muda mengatakan ini pada saya, “Kamu ini ndeso ya mas. Ngomongnya lucu.”Kemudian sembari tersenyum kecil, ini yang saya katakan padanya, Saya mencoba melestarikan budaya Jawa yang mulai ditinggalkan oleh orang-orang Jawanya sendiri.” Saya menyadari, budaya ini sudah mulai hilang dari nafas kehidupan di Jawa. Di bebragai tempat sudah jarang sekali saya lihat orang-orang yang notabene asli Jawa, namun banyak menggunakan bahasa elu-guwe, bahasa yang jelas-jelas tak jelas asal usulnya (ingat, kalo betawi itu lo, aye., apalagi di EYD). Itu adalah tren rekayasa media televisi yang jelas-jelas menyesatkan. Jika bahasa Jawa sudah tidak dihiraukan, lalu berbahasa Indonesiapun salah kaprah, maka apa sudah benar-benar hilangkah jati diri kita?

0 komentar: