Pages

Selasa, 07 Juli 2015

Tentang Hati dan Rasa


Aku tak tahu lagi harus menumpahkan semua perasaan ini ke siapa. Semuanya begitu menyesakkan dada. Seluruh elemennya serba absurd, fiksi. Cetak biru yang pernah kutorehkan seakan tak berarti apapun di hadapan sang pembunuh karakter. Semua bayangan itu nampak jelas, terukir besar di menara langit. Dan tiap kali kumendongak untuk sekedar menengok saja, maka gambaran itu akan kembali muncul dan dengan sekejap mata akan menukik ke bawah mencoba membunuhku kembali perlahan-lahan.
Aku tahu hidup ini didesain adil. Kadang menawan, kadang juga kejam. Hanya saja aku tak pernah benar-benar ada di salah satu kutub itu. Dengan rumitnya jalan yang kulalui, aku tak pernah tahu, kemana semua ini akan bermuara. Akupun terlampau bodoh untuk mendefinisikan keajaiban-keajaiban beserta seluruh misteri yang tertangkup menelungkup menyelubungi titian hidupku. Aku sadar hidup ini tidak dirancang simpel, sebagai salah sebab musabab kita diturunkan ke bumi untuk menguji daya tahan kita sebagai spesies kelas wahid, semuanya memang semata-mata untuk meretas misteri alam. Maka kemudian layaklah bila kompleksitas mendapat penghargaan. Pemahaman inilah yang merajut benang-benang kegalauan menjadi filsafat kesadaran dan membuka mataku bahwa jalan di depan ‘masih panjang’. Namun, deru waktu selalu datang berburu. Menagih segala janji yang tak sekalipun pernah kuberi. Maka terhempas jua segala asa.
Malam ini, kubuka block note-ku lagi, hanya untuk sekedar menakar sebuah emosi yang menuntut untuk dibagi. Tak ada lagi tempat peraduan. Yang ada hanyalah dinding untukku meratap. Malam ini kulukiskan perasaanku di dinding-dinding itu. Coretannya menjelma menjadi aksara-aksara yang saling membelit berkelindan satu dan yang lain, hingga pada akhirnya tercipta suatu kombinasi aksara yang meneguhkan; ‘hadapilah.’
Tak jantan memang menangis. Tapi demi masa yang selalu mencatat sejarah, kuadukan semua keluh kesahku kepada tangis yang tetesannya menyatu dengan bumi, dimana ia kemudian menjadi sirna seiring berubahnya warna tanah, lalu embun pagipun akan datang dengan segala kesejukannya.
Masih kulihat jingga di atas sana yang mulai mengatup. Waktuku untuk beristirahat. Lamat-lamat kudengar suara lirih. Suara itu seperti tengah menyadarkanku, bahwa memang ada yang hilang dari diriku. Seperti terbang mengawang bersama awan, kemudian tanpa kusadari, sebagian dari nafas hidupku juga terbawa ke langit. Menyisakan sebuah prosa berkepanjangan yang di akhir eposnya, muncul satu bunyi yang tak pantas untuk turut disenandungkan; ‘sesal’.

Sudahlah .....

0 komentar: