Aku tak tahu
lagi harus menumpahkan semua perasaan ini ke siapa. Semuanya begitu menyesakkan
dada. Seluruh elemennya serba absurd, fiksi. Cetak biru yang pernah kutorehkan
seakan tak berarti apapun di hadapan sang pembunuh karakter. Semua bayangan itu
nampak jelas, terukir besar di menara langit. Dan tiap kali kumendongak untuk
sekedar menengok saja, maka gambaran itu akan kembali muncul dan dengan sekejap
mata akan menukik ke bawah mencoba membunuhku kembali perlahan-lahan.
Aku tahu hidup
ini didesain adil. Kadang menawan, kadang juga kejam. Hanya saja aku tak pernah
benar-benar ada di salah satu kutub itu. Dengan rumitnya jalan yang kulalui,
aku tak pernah tahu, kemana semua ini akan bermuara. Akupun terlampau bodoh
untuk mendefinisikan keajaiban-keajaiban beserta seluruh misteri yang tertangkup
menelungkup menyelubungi titian hidupku. Aku sadar hidup ini tidak dirancang
simpel, sebagai salah sebab musabab kita diturunkan ke bumi untuk menguji daya
tahan kita sebagai spesies kelas wahid, semuanya memang semata-mata untuk
meretas misteri alam. Maka kemudian layaklah bila kompleksitas mendapat penghargaan.
Pemahaman inilah yang merajut benang-benang kegalauan menjadi filsafat
kesadaran dan membuka mataku bahwa jalan di depan ‘masih panjang’. Namun, deru waktu selalu datang berburu. Menagih
segala janji yang tak sekalipun pernah kuberi. Maka terhempas jua segala asa.
Malam ini,
kubuka block note-ku lagi, hanya
untuk sekedar menakar sebuah emosi yang menuntut untuk dibagi. Tak ada lagi
tempat peraduan. Yang ada hanyalah dinding untukku meratap. Malam ini
kulukiskan perasaanku di dinding-dinding itu. Coretannya menjelma menjadi
aksara-aksara yang saling membelit berkelindan satu dan yang lain, hingga pada
akhirnya tercipta suatu kombinasi aksara yang meneguhkan; ‘hadapilah.’
Tak jantan
memang menangis. Tapi demi masa yang selalu mencatat sejarah, kuadukan semua
keluh kesahku kepada tangis yang tetesannya menyatu dengan bumi, dimana ia
kemudian menjadi sirna seiring berubahnya warna tanah, lalu embun pagipun akan
datang dengan segala kesejukannya.
Masih kulihat
jingga di atas sana yang mulai mengatup. Waktuku untuk beristirahat. Lamat-lamat
kudengar suara lirih. Suara itu seperti tengah menyadarkanku, bahwa memang ada
yang hilang dari diriku. Seperti terbang mengawang bersama awan, kemudian tanpa
kusadari, sebagian dari nafas hidupku juga terbawa ke langit. Menyisakan sebuah
prosa berkepanjangan yang di akhir eposnya, muncul satu bunyi yang tak pantas untuk
turut disenandungkan; ‘sesal’.
Sudahlah .....
0 komentar:
Posting Komentar